Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Wednesday, February 26, 2025

Perfect Hero Bab 175 : Rahasia yang Terkuak || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Baik-baik di sini ya!” bisik Deny sambil membaringkan tubuh Refina ke atas kasur. Ia tersenyum sambil mengelus ujung kepala Refi. “Aku ambilin minum dulu buat kamu.”

 

Refi menganggukkan kepala.

 

Deny bergegas menuju meja tempat ia menyimpan beberapa makanan dan minuman. Ia menuangkan air mineral ke dalam gelas. Diam-diam, ia juga meneteskan Female Aphrodisiac Water ke dalam gelas air minum untuk Refi. Ia kembali menghampiri Refi yang berbaring di tempat tidur dan menyodorkan gelas tersebut ke arah Refi.

 

“Minum!” perintah Deny. Ia mengambil kamera DSLR yang ia letakkan di atas meja dan duduk di kursi, tepat di sebelah tempat tidurnya.

 

Refi meminum air yang diberikan oleh Deny perlahan. “Kamu tahu kan apa yang harus kamu kerjain besok?”

 

Deny mengangguk santai.

 

“Yeriko bukan orang yang mudah buat dihadapi. Aku nggak mau kamu ceroboh lagi!”

 

“Ceroboh gimana?”

 

“Yeriko udah tahu identitas kamu!” seru Refi. “Kamu bisa nggak ngerjain semuanya dengan rapi? Bisa-bisanya kamu ninggalin jejak!?” omel Refi. Ia langsung menenggak habis air minum yang ada di tangannya.

 

Deny langsung menatap tajam ke arah Refi. Ia menyunggingkan setengah senyum di bibirnya. “Aku udah banyak bantu kamu selama di Paris. Mau sampai kapan kamu anggap aku rendah banget?”

 

“Aku udah keluarin uang banyak buat kamu!”

 

“Sebanyak apa pun uang yang kamu kasih, nggak akan pernah bisa bikin aku puas.”

 

“Kamu mau meras aku terus?”

 

Deny tersenyum kecil. Ia meletakkan kembali kameranya ke atas meja. “Kenyataannya, kamu yang selalu butuh aku, kan?”

 

Refi merapatkan kedua bibirnya. Ia merasa seluruh tubuhnya menghangat. “Den, kamu masukin obat ke minuman aku!?” seru Refi.

 

Deny tersenyum kecil sambil menghampiri Refi. “Aku mau permainan kali ini lebih menggairahkan,” bisiknya sambil mengangkat dagu Refi.

 

“Kamu ...!?” Refi menatap kesal ke arah Deny.

 

“Kamu nggak usah pura-pura menderita. Bukannya waktu di Paris, kamu melakukannya dengan senang hati?” bisik Deny di telinga Refi.

 

Refi menarik napas dalam-dalam saat angin lembut berhembus di telinganya.

 

Deny tersenyum kecil, ia menarik tengkuk Refi dan menghisap kuat bibir gadis itu.

 

Tarikan napas Refi semakin cepat seiring dengan jemari tangan Deny yang melepas pakaiannya satu per satu. Ia terus mendesah saat Deny menekan tubuhnya dan mengusap lembut bagian-bagian sensitif yang dimilikinya.

 

Deny tersenyum kecil sambil menatap mata kamera yang ia pasang di sudut ruangan. “Udah saatnya aku yang ngendalikan kamu,” bisik Deny sambil menyunggingkan setengah senyumnya. Ia sangat menikmati waktunya bercinta dengan Refi.

 

Setelah bermain cukup lama, Deny akhirnya terlelap di sisi Refi. Refi berusaha turun dari tempat tidurnya. Ia merosot dan duduk di lantai, berjalan dengan tangannya menuju kamar mandi.

 

Refi meraih bibir bathtub dan berusaha keras memasukkan tubuhnya ke dalam bathtub. “Cowok brengsek!” maki Refi sambil membuka keran air. “Kenapa semuanya jadi kayak gini?” gumamnya dengan mata berkaca-kaca.

 

Semua bayangan masa lalunya dengan Yeriko berkelebat di pelupuk matanya. Dadanya semakin sakit, ia menangis sejadi-jadinya. Menyesali semua hal yang pernah ia lakukan di masa lalu. Membuang kebahagiaan yang seharusnya masih ia miliki hingga kini. Ia tidak tahu, bagaimana akan menghadapi hari esok.

 

 

 

Di sisi lain ...

 

Yuna mondar-mandir di dalam kamar sambil menggigit jarinya.

 

Yeriko menatap istrinya sambil membaca majalah bisnis yang ada di tangannya. “Kamu kenapa? Belum ngantuk?”

 

“Aku nggak bisa tidur,” jawab Yuna.

 

“Kenapa?”

 

“Besok mau bikin konferensi pers. Aku nggak tahu mau ngomong apa. Apalagi, aku nggak terbiasa di depan kamera.”

 

“Nggak usah ngomong apa-apa!”

 

“Eh!? Kalo wartawan ngajuin pertanyaan ke aku? Gimana jawabnya?”

 

“Kamu cukup senyum aja!” pinta Yeriko.

 

Yuna memonyongkan bibir sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Terus, yang ngomong kamu sama Refi doang?”

 

Yeriko menutup majalah dan meletakkannya di atas meja. Ia melangkah perlahan menghampiri Yuna. “Emangnya kamu mau ngomong apa? Semua pertanyaan dari wartawan, aku yang jawab. Kamu nggak perlu mikir macem-macem. Oke?”

 

Yuna memonyongkan bibirnya lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa.

 

Yeriko memutar bola mata dan ikut duduk di samping Yuna. “Ada apa?”

 

“Aku boleh tanya sesuatu sama kamu?” tanya Yuna sambil menatap Yeriko.

 

“Apa?”

 

“Ada berapa banyak rahasia yang kamu sembunyikan dari aku?”

 

Yeriko mengernyitkan dahi.

 

“Dari awal kita nikah, aku bener-bener nggak tahu siapa kamu. Aku nggak tahu kalo kamu pengusaha kaya raya. Aku juga nggak tahu kalo kamu berasal dari keluarga militer. Aku juga gak tahu kalau ternyata kamu punya mantan pacar. Aku tahu itu semua bukan dari mulut kamu sendiri. Apa aku emang nggak berhak buat tahu masa lalu kamu? Sekarang, aku harus berhadapan sama masa lalu kamu di depan orang banyak. Aku cuma perempuan biasa yang nggak pernah dilihat sama orang lain. Sekarang, semua orang lihat aku. Aku nggak tahu harus gimana ngadepinnya?” cerocos Yuna.

 

Yeriko tertegun sejenak menatap Yuna. Ia sama sekali tidak menyangka kalau istrinya punya banyak kekhawatiran dalam hatinya.

 

“Maafin aku ...!” Yeriko langsung merengkuh kepala Yuna. “Jangan berpikir terlalu jauh!” bisiknya. “Aku tahu kamu wanita yang kuat. Aku cuma nggak mau membebani kamu dengan banyak hal. Kamu masih muda. Masih banyak waktu buat senang-senang.”

 

Yuna menengadahkan kepalanya menatap Yeriko. “Kalo dia nggak kembali, apa selamanya kamu bakal ngerahasiain hubungan masa lalu kamu sama dia?”

 

Yeriko menggelengkan kepala. “Aku pikir, membicarakannya di saat yang sudah tepat, jauh lebih baik. Aku nggak tahu kalo dia kembali dan bikin kacau hubungan kita,” jawab Yeriko sambil mengelus lembut pundak Yuna.

 

Yuna menatap wajah Yeriko. Entah berapa banyak rahasia yang disembunyikan oleh suaminya. Banyak pertanyaan dalam benaknya yang tak mampu ia ungkapkan. Terutama soal keberadaan ayah Yeriko yang tidak ia ketahui hingga kini.

 

“Nggak perlu khawatir. Aku selalu ada di belakangmu.” Yeriko mengeratkan pelukannya.

 

Yuna membenamkan wajahnya ke dada Yeriko. “Mungkin benar apa kata Yeri, masih ada banyak hal yang bakal aku hadapi ke depannya. Aku juga nggak yakin seberapa kuat aku nanggung semuanya. Asal bisa tetep kayak gini, aku akan berusaha bertahan,” bisik Yuna dalam hati.

 

“Ayo tidur!” ajak Yeriko. “Besok harus berhadapan dengan banyak media. Jangan sampai istriku punya mata panda karena nggak bisa tidur semalaman. Nggak boleh jelek di depan kamera. Oke?” Ia menangkup wajah Yuna dengan kedua telapak tangannya.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko mengecup kening Yuna dan bangkit dari sofa sambil menarik lengan Yuna.

 

“Gendong!” pintanya manja.

 

Yeriko tertawa kecil. “Manja banget!” celetuknya sambil mengangkat tubuh Yuna ke tempat tidur.

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus.

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Perfect Hero Bab 174 : Serangan untuk Refi || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Gimana caranya aku ngadepin Yuna?” gumam Refi sambil menggigit jemari tangannya. “Kayaknya, aku emang masih butuh bantuan Deny. Tapi ...”

 

Refi menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Setelah merasa hatinya lebih baik, ia mengoperasikan kursi rodanya keluar dari ruang rawatnya. Perlahan menyusuri koridor dan masuk ke lift khusus disabilitas. Ia turun ke lantai bawah dan mengoperasikan kursi rodanya menuju taman.

 

Refi duduk di taman selama beberapa saat sambil menatap layar ponselnya. Ia tersenyum kecil membaca kehebohan berita yang ia buat. Ia juga melihat beberapa video lamanya saat masih mengejar karirnya di Paris.

 

“Yer, dulu aku terlalu egois. Aku selalu mementingkan diriku sendiri, ngelupain kamu yang selalu setia mendukung dan menungguku. Sekarang, aku nggak pernah bisa balik ke masa lalu itu lagi,” tutur Refi dengan mata berkaca-kaca.

 

“Yer, bisakah kamu buka hatimu lagi buat aku?” Refi menundukkan kepala, terisak seorang diri di taman yang sepi.

 

Setelah beberapa menit, Refi kembali masuk ke gedung rumah sakit. Menjalankan kursi rodanya perlahan menyusuri koridor, menaiki lift dan kembali ke lantai ruang rawatnya.

 

“Pasien yang di ruangan ini ke mana?” tanya salah seorang perawat.

 

“Biasanya keluar ke taman.”

 

“Nggak ada yang nemenin?” tanya salah seorang perawat sambil membereskan ruangan Refi.

 

“Lama-lama males banget nemenin dia. Cerewet, ribet, galak juga.”

 

“Iya. Eh, katanya dia pelakor ya?”

 

“Kayaknya, sih. Mas-mas ganteng yang sering ke sini itu, ternyata udah punya istri. Kelihatannya dia ngincar mas-mas itu.”

 

“Masa sih? Kamu tahu dari mana?”

 

“Aku nggak sengaja denger pembicaraan mereka waktu aku tugas jaga.”

 

“Oh ya? Terus?”

 

“Ya gitu. Mas-masnya nggak hirauin dia.”

 

“Padahal, dia cantik banget. Apa istrinya dia lebih cantik lagi? Makanya nggak tergoda.”

 

“Biar cantik banget kalau nggak normal, siapa juga yang mau? Mending istri yang biasa aja tapi bisa ngurus keluarga di rumah. Kalo cacat, malah sibuk ngurusin istri,” celetuk perawat yang lainnya.

 

“Mmh ... nggak gitu juga kali. Kalo cinta sejati itu, susah seneng sama-sama. Mau sehat atau sakit, tetep aja cintanya nggak berkurang,” sahut perawat satunya.

 

“Iya juga sih. Tapi, Mas itu kan udah beristri. Wajar kan kalo dia lebih milih istrinya daripada pelakor itu.”

 

“Banyak juga cowok yang lebih milih pelakor daripada istrinya.”

 

“Heran, kenapa ada pelakor di dunia ini? Kalo sampe aku yang ketemu pelakor, udah kusuntik mati tuh pelakornya.”

 

“Hahaha. Kejam banget!”

 

“Masih kejam pelakor, ngancurin rumah tangga orang. Apalagi, aku lihat berita yang beredar malah terbalik sama yang aku dengar waktu itu.”

 

“Emang ada beritanya?”

 

“Ada. Kamu ini kudet banget sih?”

 

“Huft, aku ini udah punya anak dua. Kalo udah sampe rumah, dah sibuk ngurus anak-anak sama rumah. Mana sempat mau ngepoin gosip. Emangnya, gosip di luar sana gimana?”

 

“Kalo dari berita yang aku baca, Mbak Refi itu yang pacarnya Mas ganteng itu dan istrinya yang udah ngancurin hubungan mereka.”

 

“Jadi, sebenarnya yang pelakor yang mana?”

 

Perawat yang ditanya mengedikkan bahu.

 

“Kalo aku sih, lebih suka sama istrinya mas-mas itu. Dia ramah banget, murah senyum dan kelihatannya sopan.”

 

“Iya. Beda jauh kalo sama Mbak Refi. Mbak Refi mah galak, suka marah-marah dan merintah-merintah sesukanya.”

 

“Huft, iya juga. Sayangnya, dia pasien VIP. Kalo bukan, kubiarkan aja dia ngurus dirinya sendiri.”

 

Ketiga perawat itu terus membicarakan keburukan Refi. Membuat Refi yang mendengarkan dari balik pintu merasa sangat geram. Ia langsung mendorong pintu ruangannya dan menatap tiga perawat yang sedang merapikan ruang rawatnya.

 

“Kalian dibayar buat gosipin aku!?” sentak Refi.

 

Perawat yang ada di dalam ruangan tersebut saling pandang.

 

“Nggak, sih. Kita dibayar buat ngerawat pasien. Bukan jadi babunya pasien kami,” sahut salah seorang perawat dengan berani.

 

“Iya juga, sih. Lagian, keluarga kamu ke mana sih? Nggak ada satu pun yang datang buat nemenin kamu. Anak malang, ckckck,” ucap perawat yang lain sambil menggeleng-gelengkan kepala.

 

“Keluarga aku di luar negeri semua!” sahut Refi kesal.

 

“Oh. Berarti keluarga kamu kaya banget dong? Dari luar negeri ke sini, butuh waktu nggak nyampe tiga hari, kok. Kenapa mereka nggak ada yang peduli sama kamu?”

 

“Biasa, orang kaya mah yang datang duitnya, bukan orangnya. Makanya, dia bayar banyak perawat buat ngelayani dia.”

 

“Oh, iya juga ya? Bener, bener, bener! Kasihan juga ya? Banyak uang, tapi nggak bisa dapetin kasih sayang dari keluarga. Pantes aja sampe ngemis-ngemis cinta dari suami orang.”

 

“Apa kamu bilang!?” sentak Refi sambil menunjuk pasien muda bertubuh tinggi. “Aku bisa laporin kamu ke direktur rumah sakit ini biar kamu dipecat!” ancamnya.

 

Perawat tersebut tersenyum sinis. “Silakan! Kita lihat, apa direktur rumah sakit bakal percaya sama cewek stres kayak kamu? Jelas-jelas, kamu yang butuh psikiater. Dirut kami bukan orang bodoh yang bisa percaya sama kamu gitu aja. Lagian, aku juga udah capek ngelayani pasien yang sifatnya kayak kamu.”

 

“Kamu!? Bener-bener mau cari mati, hah!?” sentak Refi.

 

Perawat tersebut tak menghiraukan ucapan Refi. Ia melangkah pergi meninggalkan Refi diikuti dengan dua perawat lainnya.

 

“Aargh ...! Bitch kalian semua!” seru Refi. Ia langsung menyalakan ponsel dan menelepon seseorang.

 

“Den, aku butuh bantuan kamu!” pinta Refi begitu panggilan teleponnya tersambung.

 

“Bantuan apa lagi? Bukannya yang kamu mau udah aku kelarin semua?”

 

“Ada tugas tambahan yang harus kamu kerjain.”

 

“Apa itu?”

 

Refi menarik napas dan menjelaskan rencana yang harus ia lakukan untuk menghadapi Yuna dan Yeriko di konferensi pers.

 

“Kamu tahu berapa bayaran yang harus kamu kasih ke aku?” tanya Deny dari ujung telepon.

 

“Aku kasih berapa pun yang kamu minta.”

 

Deny tertawa kecil. “Aku bukan cuma mau uang. Kamu ngerti kan maksud aku?”

 

“Ngerti. Aku kasih setelah kamu berhasil nyelesaikan misi kamu.”

 

“Aku minta malam ini juga.”

 

“Apa kamu bilang? Kamu udah gila ya?”

 

“Hahaha.”

 

“Kamu nyuruh aku nyelinap keluar lagi dari rumah sakit?”

 

“Apa yang mau aku lakuin besok, tergantung sama keputusan kamu malam ini.”

 

“Oke, oke. Aku ke sana malam ini. Kirim orang kamu buat jemput aku!”

 

“Oke. Sampai ketemu lagi cantik!”

 

Refi langsung mematikan panggilan teleponnya. Hanya Deny, satu-satunya orang yang berada di belakangnya selama ini.

 

Refi mengoperasikan kursi rodanya mendekati ranjang. Ia mengambil beberapa lembar pakaian dan meletakkannya di atas ranjang. Perlahan, tangannya berpegangan kuat pada tepi ranjang dan berusaha bangkit dari kursi rodanya. Walau masih bertumpu pada benda-benda di sekitarnya, kini ia sudah bisa berdiri, hanya saja masih kesulitan melangkahkan kakinya.

 

“Apa aku bener-bener bisa kembali kayak dulu lagi?” gumamnya. Ia berusaha mengangkat tubuhnya naik ke ranjang dan mengganti pakaiannya sebelum pergi meninggalkan rumah sakit.

 

Beberapa menit kemudian, Refi sudah berada di lobi. Menunggu orang suruhan Deny menjemputnya.

 

“Ayo!” Seorang pria bertubuh kekar, mengenakan jaket berwarna hitam dengan topi dan masker di kepalanya. Meraih kursi roda Refi dan langsung membawanya keluar.

 

“Den, kamu sendiri yang ke sini?” tanya Refi.

 

“Kenapa kalo aku yang ke sini? Kamu nggak suka?”

 

Refi menggelengkan kepala. Ia menarik napas dalam-dalan sambil memeluk tas tangan miliknya.

 

Deny langsung mendorong kursi roda Refi menuju parkiran. Ia menggendong tubuh Refi dan memasukkannya ke dalam mobil. Kemudian, melipat kursi roda dan memasukkan ke dalam mobilnya juga.

 

Deny langsung melajukan mobilnya menuju hotel tempat ia tinggal.

 

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus.

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

Perfect Hero Bab 173 : Double Couple || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Abis jengukin Refi?” tanya Yuna sambil bergelayut manja di tubuh Yeriko. Mereka berjalan bergandengan setelah keluar dari mobil.

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

“Gimana keadaannya?”

 

“Lumayan baik.”

 

“Gimana? Dia mau datang?”

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

“Kamu pasti ngerayu dia ya?” goda Yuna.

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Terus, gimana caranya bikin dia mau datang?”

 

“Aku punya cara sendiri.”

 

“Nggak ngerayu-ngerayu gitu? Bilang dia cantik atau apa gitu?”

 

Yeriko tertawa kecil. “Nggak perlu.”

 

“Why?”

 

“Kamu mau dia ngejar-ngejar aku lagi?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Kenapa masih mikir kalo aku bakal ngerayu dia?”

 

“Nggak papa. Biar dia makin nge-bucin. Hehehe.” Yuna meringis sambil mengeratkan pelukannya. “Asal kamu tetep meluk aku kayak gini. Aku nggak takut.”

 

Yeriko mengetuk dahi Yuna. “Kucing nakal!” celetuknya.

 

Yuna memonyongkan bibirnya sambil menatap Yeriko.

 

Yeriko langsung menyambar bibir Yuna.

 

“Iih ... dilihatin banyak orang!” tutur Yuna sambil memukul dada Yeriko.

 

“Biar aja. Biar yang jomblo makin panas,” sahut Yeriko sambil melirik Jheni dan Chandra yang masih ada di belakangnya.

 

“Iih ... jahat!” dengus Yuna. Mereka melangkah memasuki area taman kota yang berada tak jauh dari Pantai Kenjeran.

 

Chandra tersenyum melihat keharmonisan Yuna dan Yeriko dari kejauhan. Di kepalanya, ada hal yang tiba-tiba ingin ia rencanakan. Ia memainkan kunci di tangannya sambil menunggu Jheni keluar dari mobil.

 

“Lama banget? Ngapain?” tanya Chandra begitu melihat Jheni keluar dari mobil.

 

“Aku nyari tali rambutku. Rasanya, udah aku masukin di dalam tas. Abisnya, tadi agak buru-buru berangkatnya.” Jheni masih terus mencari di dalam tasnya sambil melangkah perlahan.

 

“Ini?” tanya Chandra sambil menunjukkan tali rambut yang melingkar di pergelangan tangannya.

 

Jheni menghela napas sambil menatap Chandra. “Kenapa nggak bilang kalo tali rambutnya ada sama kamu?” tanya Jheni.

 

“Kamu nggak nanya. Aku nggak tahu kalo kamu nyari ini.”

 

“Kenapa bisa ada sama kamu?”

 

“Jatuh. Aku ambil.”

 

“Iih ... sini!” Jheni berusaha menyambar lengan Chandra, tapi cowok itu justru menjauhkan lengannya.

 

“Heh!? Apa maksudnya? Mau main-main sama aku?” seru Jheni.

 

Chandra menggelengkan kepala sambil melipat kedua tangan di belakang punggungnya.

 

“Kalo gitu, balikin ke aku! Kalo nggak, aku marah nih!” Jheni membuang wajah dan berbalik membelakangi Chandra.

 

“Awas Jhen!” seru Chandra sambil menarik tubuh Jheni yang hampir tersambar mobil yang tiba-tiba melintas.

 

Jheni tertegun saat tubuhnya terjatuh di pelukan Chandra. Matanya tak berkedip saat menatap dirinya memenuhi manik mata Chandra.

 

Chandra menelan ludah sambil menatap wajah Jheni yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya. Debar jantungnya tak teratur dan sulit ia kendalikan.

 

“Sorry ...!” ucap Chandra lirih sambil melepas pelukannya.

 

“Eh, nggak papa. Aku yang nggak hati-hati. Makasih ya!” sahut Jheni sambil tersenyum kecil. Ia menundukkan kepala sambil menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Ia melangkah perlahan memasuki area taman kota sambil mengatur napasnya beberapa kali.

 

Chandra tersenyum kecil dan langsung mengikuti langkah Jheni dari belakang.

 

Jheni mempercepat langkahnya, menghampiri Yuna dan Yeriko yang sudah berjalan mendahuluinya.

 

Chandra ikut berlari mengejar langkah Jheni. "Kamu mau jadi obat nyamuk?" tanyanya sambil menarik lengan Jheni.

 

"Eh!?" Jheni berbalik menatap Chandra.

 

"Kita ke sana aja!" Chandra menunjuk ke arah yang berlawanan dengan Yuna dan Yeriko.

 

Jheni tersenyum dan mengikuti ajakan Chandra. “Mereka lagi ada masalah. Difitnah ini itu soal rumah tangganya. Tapi, masih aja harmonis banget,” tutur Jheni.

 

Chandra tersenyum kecil. “Yeriko orangnya tenang, Yuna juga cewek yang penurut. Selama bisa ngimbangin alurnya Yeri, semua bakal baik-baik aja.”

 

“Emangnya, mereka lagi ngerencanain sesuatu? Bilang Yuna, sebentar lagi mau konferensi pers?”

 

Chandra menganggukkan kepala. “Refi juga udah setuju buat dateng dan jelasin semuanya.”

 

“Serius?”

 

“Iya.”

 

“Dia mau datang?”

 

“Iya.”

 

“Apa kalian nggak takut?”

 

“Takut kenapa?”

 

“Siapa tahu aja, dia datang buat nambah kekacauan.”

 

“Aku rasa nggak berani.”

 

“Nggak berani gimana? Dia aja berani fitnah Yuna sampe segitunya.”

 

“Yeriko pasti udah punya pertimbangan sendiri.”

 

“Huft, aku tetep aja mengkhawatirkan Yuna.”

 

“Yeriko pasti ngelindungi dia.”

 

“Kamu yakin banget?”

 

“Karena dia sayang banget sama Yuna.”

 

“Tahu dari mana? Bisa aja kan dia cuma pura-pura sayang. Secara, mereka itu nikah tanpa kenalan dulu. Aku juga nggak habis pikir, kenapa banyak banget masalah yang harus mereka hadapi? Aku pikir, dengan menikah sama Yeriko. Semua penderitaan Yuna sudah berakhir.”

 

“Kamu temen yang baik. Yuna beruntung punya sahabat kayak kamu.”

 

“Dia juga baik. Rasanya, nggak rela kalo lihat orang baik selalu ditindas.” Jheni menatap Yeriko dan Yuna dari kejauhan.

 

Chandra menatap wajah Jheni. Ia bisa merasakan ketulusan hati Jheni, menyayangi sahabatnya seperti saudara sendiri. Bukan hanya menyayangi sahabatnya, tai juga menyayangi Chandra, kasih sayang yang belum mampu ia balas sampai saat ini.

 

Di sisi lain, Yuna dan Yeriko berdiri sambil menatap lautan yang terbentang luas di hadapan mereka.

 

“Dulu, tempat ini belum sebagus ini,” tutur Yuna.

 

“Kamu punya kenangan di tempat ini.”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Tepatnya di pantai itu. Waktu SMA, kami sering main di sana,” tuturnya sambil menunjuk pantai yang tak jauh dari taman tempat mereka berdiri.

 

“Sama Lian?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Sama Bellina juga. Waktu itu, hubungan kami masih sangat baik. Aku bahkan nggak tahu kalau ternyata, mereka udah selingkuh di belakang aku. Semuanya kelihatan bahagia dan ...”

 

“Ah, sudahlah. Aku nggak mau kamu sedih karena ingat masa lalu.” Yeriko merangkul Yuna dan membalikkan tubuh istrinya membelakangi pantai.

 

“Aku nggak sedih.”

 

“Beneran?”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. “Kalau bukan karena mereka mengkhianati aku, aku nggak akan pernah kenal sama kamu,” tutur Yuna sambil menengadahkan kepala menatap Yeriko.

 

Yeriko tersenyum kecil dan memeluk Yuna lebih erat. Ia menatap anak-anak kecil yang berlarian di taman bersama dengan orang tuanya.

 

Yuna menyadari tatapan Yeriko yang tertuju pada anak-anak kecil yang berlarian di hadapan mereka.

 

“Yer ...!”

 

“Umh.” Yeriko langsung menatap wajah Yuna.

 

“Mereka lucu-lucu ya?”

 

Yeriko mengangguk sambil tersenyum.

 

“Mmh ... kalo punya anak nanti, pengen cewek atau cowok?”

 

“Cowok.”

 

“Kenapa?”

 

“Biar bisa nerusin perusahaan.”

 

“Kalau dikasih cewek, gimana?”

 

“Nggak masalah. Biar ada yang masakin papanya setiap hari.”

 

“Kamu mau nyuruh anak kita jadi tukang masak? Tega banget!”

 

“Nggaklah. Bercanda doang. Kalo punya anak cewek, pasti secantik ibunya. Mana boleh kena asap dapur,” sahut Yeriko.

 

“Mmh ... tapi, cewek kan harus bisa masak, ngurus rumah, ngurus suami dengan baik ...”

 

“Kamu mikirnya terlalu jauh,” sela Yeriko. “Bisa bayar orang buat itu semua.”

 

“Nggak bisa!”

 

“Kenapa?” Yeriko mengernyitkajn dahi.

 

“Anak-anak kita, harus hidup sederhana. Mandiri dan nggak dilayani sama orang lain!” tegas Yuna.

 

“Kamu lagi nyinggung aku?” dengus Yeriko.

 

Yuna meringis. Ia melepas tangan Yeriko dari pundaknya dan berlari menjauh.

 

“Hei, awas kamu ya!” Yeriko mengejar Yuna dan menangkap tubuhnya.

 

“Aargh ...! Ampun ...!” seru Yuna yang tak lagi bisa bergerak dalam dekapan Yeriko.

 

“Kamu berani main-main sama Tuan Ye!?” bisik Yeriko.

 

Yuna menggeleng sambil tertawa lepas. Mereka menghabiskan waktu bersama penuh bahagia.

 

 

(( Bersambung ... ))

 

Makasih udah dukung cerita ini terus.

 Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas