Saturday, January 25, 2025

Bab 44 - Keluarga Hadikusuma

 


“Hah!? Hari ini juga?” tanya Yuna. Ia tidak menyangka kalau Yeriko akan membawanya menemui keluarganya secepat ini.

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

“Kenapa mendadak? Aku harus gimana? Aku bawain apa buat kakek dan mama kamu? Kira-kira, mereka bakal suka atau nggak sama aku? Kalau mereka nggak suka, aku harus gimana? Aku takut banget!” cerocos Yuna.

 

Yeriko tersenyum kecil sambil menyuap makanan ke mulutnya. “Kenapa harus sepanik ini? Bukannya kita udah nikah? Apa yang kamu khawatirkan?”

 

“Mmh ...” Yuna meremas tangannya sendiri.

 

“Habiskan dulu sarapannya!” pinta Yeriko. “Hari ini, kita ketemu sama keluarga kita. Kita temui ayah dan almarhum ibu kamu. Terus, kita ke rumah keluargaku.”

 

Usai sarapan pagi, Yeriko mengajak Yuna untuk menemui ayahnya yang masih terbaring di rumah sakit.

 

“Ayah, hari ini aku mau nemuin keluarga Yeriko. Kami sudah menikah dan hidup bahagia. Ayah doakan supaya mamanya Yeri suka sama aku ya! Seperti ayah menyukai Yeri. Dia ... suami yang baik dan tampan. Ayah suka dia kan?” tanya Yuna sambil menatap wajah ayahnya.

 

Yeriko ikut tersenyum mendengar ucapan Yuna. Ia menggenggam tangan Yuna. “Ayah, aku pasti menjaga dia dengan baik. Ayah tidak perlu khawatir. Istirahatlah dengan baik dan cepat sembuh!”

 

Yuna menatap Yeriko penuh kehangatan.

 

“Ayah, masih banyak urusan yang harus kami lakukan hari ini. Ayah baik-baik di sini. Cepet sembuh ya!” Yuna mengecup punggung tangan ayahnya.

 

Usai mengunjungi ayahnya, Yuna mengajak Yeriko pergi ke tempat peristirahatan ibunya.

 

Begitu sampai di makam, Yuna dan Yeriko membersihkan makam sembari mengirim sebait doa untuk ibu Yuna.

 

“Bunda ... aku rindu,” bisik Yuna dalam hati dengan mata berkaca-kaca. Ia tak bisa menahan air matanya jatuh saat mengingat kejadian sebelas tahun lalu dan semua kenangan masa kecilnya bersama ibunya.

 

Yeriko langsung merengkuh tubuh Yuna dan mengajaknya pulang. “Ayo, kita pulang!” ajaknya. Terlalu lama berada di makam, akan membuat kesedihan Yuna semakin banyak. Ia tidak ingin melihat istrinya terlarut dalam penderitaan masa lalunya.

 

“Ke mana lagi, Bos?” tanya Riyan saat mereka sudah berada di dalam mobil.

 

“Ke rumah Kakek,” jawab Yeriko.

 

“Hah!?” Riyan langsung menoleh ke belakang.

 

“Kenapa?” tanya Yuna sambil menatap Riyan.

 

“Eh!? Nggak papa,” jawab Riyan sambil mengelus tengkuknya. Ia langsung menyalakan mesin mobil dan bergegas pergi ke rumah Keluarga Yeriko.

 

Sesampainya di rumah keluarga Yeriko. Yuna tertegun melihat rumah keluarga Yeriko yang sangat megah. “Ini ... rumah atau mall?” batin Yuna.

 

Riyan tak bergerak dari tempat duduknya meski Yuna dan Yeriko sudah keluar dari mobil.

 

“Riyan nggak diajak masuk?” tanya Yuna.

 

Yeriko mengedikkan bahunya. Ia menoleh ke arah Riyan yang masih bergeming di tempatnya.

 

Yuna langsung menghampiri Riyan. “Nggak mau masuk?”

 

“Nanti saya nyusul Nyonya,” jawab Riyan sambil meringis.

 

“Oke.”

 

Yuna dan Yeriko langsung masuk ke dalam rumah.  Yuna menarik napas beberapa kali, perasaannya semakin tak karuan. Telapak tangannya tiba-tiba berkeringat. Ia langsung menggenggam tangan Yeriko.

 

“Aku nervous,” bisik Yuna.

 

Yeriko tersenyum sambil mengelus punggung tangan Yuna. “Semua akan baik-baik aja! Kamu pasti suka di rumah ini.”

 

“Eh!?”

 

Yeriko langsung merangkul pinggang Yuna dan mengajaknya bertemu dengan Nurali Hadikusuma, Presdir Galaxy Group sekaligus seseorang yang berpangkat tinggi dan cukup disegani di dunia militer.

 

“Kakek ...!” sapa Yeriko begitu mereka sampai di halaman belakang, tempat kakek Yeriko biasa menghabiskan waktunya untuk bersantai.

 

Nurali bangkit dari tempat duduk dan menatap dua orang yang kini ada di hadapannya.

 

Yuna tersenyum manis ke arah Nurali. “Selamat pagi, Kakek!” sapanya. “Perkenalkan, nama saya Fristi Ayuna Linandar, biasa dipanggil Yuna. Salam kenal,” lanjut Yuna sambil menunduk hormat.

 

Nurali tertawa kecil melihat sikap Yuna yang lucu.

 

Yuna melongo menatap Nurali, ia tak menyangka kalau kakek Yeriko sangat ramah terhadapnya.

 

“Jangan terlalu formal. Kakek sudah tahu semuanya. Yeriko sudah banyak cerita,” tutur Nurali sambil menatap Yuna. “Ternyata, kamu memang sangat cantik. Pantas saja Yeriko mengambil kamu sebagai istri.”

 

Yuna tersenyum menatap Nurali. “Ah, Kakek bisa aja. Yeriko juga sangat tampan. Pasti karena warisan dari Kakek.”

 

“Aha ... kamu salah! Waktu muda, Kakek jauh lebih tampan dari dia,” sahut Nurali sambil tertawa kecil.

 

Yuna ikut tertawa kecil menanggapi ucapan kakek Yeriko. “Oh ya? Pasti dia dapet warisan tampannya dari kakek sedikit, banyakan kakek tampannya.”

 

Nurali tertawa kecil menanggapi ucapan Yuna. “Kamu bisa aja. Tahu dari mana?”

 

“Sampai sekarang, kakek masih kelihatan jauh lebih tampan dari Yeriko,” jawab Yuna.

 

“Hahaha.” Nurali tergelak mendengar ucapan Yuna.

 

Yuna tersenyum menatap kakek Yeriko.

 

“Yuna, kamu harus lebih sabar menghadapi Yeriko. Cucu Kakek yang satu ini sangat sulit untuk diatur. Kamu harus bisa menguasai dia. Supaya lebih nurut dan mudah diatur!”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Aku pasti merawat dia dengan baik. Kakek nggak perlu khawatir. Dia baik dan penurut.”

 

“Oh ya? Memang benar kata orang, cuma wanita yang bisa menguasai dan mengubah laki-laki yang dingin jadi lebih hangat. Huft, Kakek pikir, Yeriko tidak akan pernah menikah kalau melihat sifatnya yang cuek dan kejam.”

 

“Kejam?” Yuna melirik ke arah Yeriko sambil tersenyum.

 

“Kakek sudah mencoba menjodohkan dia dengan banyak wanita. Semuanya takut sama Yeriko. Nggak ada satu pun yang berhasil mengambil hatinya. Bahkan nggak berani ketemu kedua kalinya. Kamu bayangkan! Cucu kakek ini sekejam apa di depan semua wanita? Benar-benar membuat khawatir.”

 

Yuna tertawa kecil. Awalnya, Yeriko memang sangat dingin dan kejam. Tapi, saat ini ia adalah pria yang sangat hangat, melindungi dan menyayanginya.

 

“Kalau Kakek tahu dia sudah punya wanita pilihannya, pasti sudah dari dulu Kakek suruh menikah dan tidak perlu pusing memikirkan jodoh untuk dia.”

 

Yeriko hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan kakeknya.

 

“Kalian berdua sangat cocok. Cucu kakek ini usianya sudah banyak. Sudah kepala tiga dan belum punya anak. Lihat teman-temannya! Mereka bahkan sudah punya dua, tiga anak. Aku harap, kalian juga bisa segera punya anak.”

 

 “Eh!?” Yuna dan Yeriko saling pandang. Kemudian tersenyum ke arah Nurali.

 

“Mmh ... Mama mana?” tanya Yeriko mengalihkan perhatian.

 

“Masih di kamarnya. Kayaknya, dia mempersiapkan banyak hal untuk menyambut menantunya hari ini,” jawab Nurali.

 

“Oh ya? Apa aku sangat merepotkan?” tanya Yuna.

 

Nurali melambaikan tangan sambil tertawa kecil. “Nggak. Dia melakukannya dengan senang hati. Dia kelihatan bersemangat hari ini.”

 

Yeriko mengangkat kedua alisnya. Ia merasa sedikit aneh dengan sikap kakek dan mamanya hari ini. Di bibirnya, terseungging senyuman kecil. Ia merasa sangat bahagia karena keluarganya bisa menerima kehadiran Yuna dengan baik.

 

“Ayo, kita temui Mama dulu!” ajak Yeriko sambil merangkul tangan Yuna.

 

Yuna menganggukkan kepala. Rumah keluarga Yeriko sangat besar. Kalau ia berjalan sendiri, bisa saja dia tersesat di dalamnya.

 

“Mama kamu di mana?” tanya Yuna.

 

“Biasanya di atas.”

 

“Apa nggak terlalu lancang kalau kita masuk ke kamarnya?”

 

Yeriko tertawa kecil menatap Yuna. “Di atas, ada ruang pertemuan keluarga. Mama nunggu di sana.”

 

“Oh.” Yuna mengikuti langkah Yeriko, mereka menaiki anak tangga untuk menemui mama Yeriko.

 

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa.

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 43 - Cuek

 


Yeriko turun dari kamarnya saat hari masih gelap dan Bibi War sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi.

 

“Eh, tumben jam segini udah rapi? Mau ke mana? Bukannya ini hari minggu?” tanya Bibi War begitu melihat Yeriko duduk di salah satu kursi meja makan.

 

“Mau keluar. Cari angin,” jawab Yeriko tanpa ekspresi. “Kopi dulu, Bi!” pintanya.

 

Bibi War mengangguk dan langsung membuatkan secangkir kopi untuk Yeriko. Ia tidak langsung pergi, malah duduk di depan Yeriko karena melihat ekspresi wajah Yeriko tak bersemangat seperti biasanya.

 

“Ada apa? Ada masalah?” tanya Bibi War.

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Cerita ke Bibi!” pinta Bibi War. “Kenapa nggak bawa Mbak Yuna keluar sekalian?”

 

“Aku mau menenangkan diri dulu.”

 

Bibi War meraih jemari tangan Yeriko. “Lagi berantem sama Mbak Yuna?”

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Kalau enggak, kenapa murung?”

 

Yeriko menghela napas perlahan. “Sudah hampir sebulan kami menikah. Dia belum juga ngasih ...” Yeriko menghentikan ucapannya dan menatap Bibi War yang ada di hadapannya. “Huft, sudahlah! Aku keluar dulu!”

 

Yeriko bangkit dari tempat duduk usai menyesap kopinya dan bergegas pergi.

 

Bibi War tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya.

 

Dua jam kemudian ...

 

Yuna turun dari kamar dan langsung menghampiri Bibi War.

 

“Bi, suamiku ke mana?” tanya Yuna sambil menenggak segelas susu yang ada di atas meja.

 

“Ke luar,” jawab Bibi War.

 

Yuna menghela napas. “Kerja?”

 

“Bibi kurang tahu. Tadi subuh sudah berangkat.”

 

“Sepagi itu? Bukannya ini hari minggu?” Yuna terduduk lemas di atas kursi.

 

Bibi War menatap Yuna, ia membersihkan tangannya dan menghampiri Yuna. “Ada apa?” tanyanya sambil menyentuh pundak Yuna.

 

Yuna menatap Bibi War sambil melipat bibirnya. “Bi ...!” Yuna meraih tangan Bibi War dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia langsung menceritakan semua hal yang terjadi semalam antara dia dan suaminya itu.

 

“Bi, aku nggak bermaksud buat nggak patuh sama dia. Aku cuma ... aku ... aku belum siap bukan karena aku nggak sayang. Aku cuma ngerasa belum pantes buat dia. Aku takut kalau ...”

 

“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan! Mas Yeri memang seperti itu. Kalau suasana hatinya sudah baik, dia pasti bakal kembali. Biarkan dia menenangkan diri dulu.”

 

“Gimana caranya biar dia nggak marah sama aku lagi?”

 

“Dia nggak akan marah sama Mbak Yuna,” jawab Bibi War sambil tersenyum.

 

“Kalau dia nggak marah, kenapa dia tiba-tiba pergi. Padahal, ini kan hari libur. Kenapa dia nggak ngajak aku keluar? Bahkan aku juga nggak tahu, semalam dia masuk ke kamar atau nggak.”

 

Bibi War mengelus pundak Yuna perlahan. “Lebih baik sarapan dulu. Setelah sarapan, bisa cari Mas Yeri.”

 

“Bibi tahu dia ke mana?”

 

“Coba cari Mas Yeri ke Danau.”

 

“Danau?” Yuna mengernyitkan dahinya.

 

Bibi War menganggukkan kepala. “Dia biasa menenangkan dirinya di sana.”

 

“Danau di mana?” tanya Yuna.

 

“Nggak jauh dari sini ada danau. Sekitar dua puluh menit kalau jalan kaki.”

 

Yuna langsung melompat girang. “Oke.” Ia menyambar roti bakar di atas meja dan melenggang menaiki anak tangga menuju ke kamarnya untuk mandi.

 

 Usai mandi, Yuna melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Ia berjalan menyusuri trotoar dan menuju danau yang ditunjukkan oleh Bibi War.

 

Yuna mengedarkan pandangannya ke seluruh danau yang tidak terlalu luas. Danau dengan taman kecil ini sepertinya adalah danau buatan yang ada di sekitar perumahan. Tidak terlalu luas, tapi sangat sejuk dan nyaman.

 

Yuna melihat beberapa ekor burung bangau beterbangan di atas danau. Beberapa ekor burung bertengger di atas ranting pohon ketapang merah. Ia tersenyum. Meski tak mendapati sosok Yeriko, tapi perasaannya jauh lebih baik.

 

“Semoga aja dia nggak marah terlalu lama,” tutur Yuna sambil duduk di salah satu bangku yang ada di tepi danau. “Tempat ini nyaman juga. Kalau dia nggak ke sini, ke mana ya?”

 

Yuna memilih untuk menikmati suasana danau sejenak sebelum kembali ke rumah.

 

Waktu terus berlalu, terik mentari yang memanggang kulit perlahan turun ke peraduannya. Sudah lama Yuna menunggu Yeriko kembali ke rumah.

 

“Bi, aku nggak bisa nemuin dia di danau dan sampe jam segini belum pulang juga.” Yuna tak henti mondar-mandir di depan jendela sambil menatap jalanan yang ada di depan rumahnya. “Sebenarnya, dia ke mana sih?” Ia terus menggigiti jari tangannya.

 

Bibi War bisa memahami kegelisahan dan rasa bersalah dalam diri Yuna, terlebih hari beranjak petang dan Yeriko belum juga kembali.

 

Yuna langsung berlari keluar dari rumah saat melihat sosok Yeriko memasuki halaman rumah.

 

“Kamu dari mana?” tanya Yuna sembari menghadang Yeriko.

 

Yeriko bergeming. Ia tak menatap wajah Yuna sedikit pun dan melewati tubuh Yuna begitu saja.

 

Yuna merasakan dadanya begitu sesak melihat sikap Yeriko. Tanpa terasa, air matanya keluar sembari memandangi tubuh Yeriko yang perlahan memasuki rumahnya.

 

“Aku mau minta maaf,” ucap Yuna lirih sembari menundukkan kepalanya.

 

Yeriko menarik napas dalam-dalam. Ia masih merasa kecewa dengan sikap Yuna yang mengacuhkan dirinya dan tidak mau menerimanya dengan baik sebagai suami.

 

“Mas Yeri ...!” panggil Bibi War saat Yeri menaiki anak tangga.

 

Yeriko langsung berbalik. “Kenapa Bi?”

 

“Kasihani Mbak Yuna!” pinta Bibi War. “Dia sudah lama nunggu Mas Yeri pulang. Bahkan, dia belum makan dari tadi pagi. Dia selalu nunggu Mas Yeri di depan jendela. Dia sangat terpukul karena sikap Mas Yeri.”

 

Yeriko menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia melirik ke luar jendela. Menatap Yuna yang masih berdiri di sana. “Apa aku keterlaluan?” tanya Yeriko pada Bibi War.

 

Bibi War hanya tersenyum kecil menjawab pertanyaan Yeriko.

 

Yeriko langsung berlari keluar rumah dan menghampiri Yuna.

 

Yuna menengadahkan kepalanya menatap Yeriko dengan mata berkaca-kaca. “Maafin aku! Aku ...”

 

Yeriko langsung merengkuh tubuh Yuna dan memeluknya erat.

 

Yuna terisak dalam dekapan Yeriko. “Maafin aku, aku nggak bermaksud buat nggak patuh sebagai istri. Aku cuma belum siap buat ngelakuin itu karena takut sakit. Aku ...”

 

Yeriko tersenyum kecil. Ia melepas pelukannya dan mengusap air mata Yuna. “Jangan nangis lagi!”

 

“Jangan cuekin aku lagi!” pinta Yuna dengan nada sendu sambil menatap Yeriko.

 

Yeriko tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia menggandeng tangan Yuna dan mengajaknya masuk ke dalam rumah bersama.

 

Bibi War merasa sangat lega karena akhirnya kedua majikannya itu bisa berbaikan.

 

“Bi, masak apa?”

 

“Cuma ada ayam goreng sama sayur asem. Abisnya, Mas Yeri nggak ada di rumah dan Mbak Yuna nggak mau makan dari tadi pagi.”

 

Yeriko langsung menoleh ke arah Yuna. “Kamu bisa nggak makan seharian?”

 

Yuna meringis mendengar pertanyaan dari Yeriko.

 

“Lain kali harus tetap makan dalam keadaan apa pun!” tegas Yeriko sambil tersenyum ke arah Yuna.

 

“Bi, tolong siapin makanan buat kami!” pinta Yeriko. “Kami mandi dulu.”

 

Bibi War menganggukkan kepala.

 

Yeriko mengajak Yuna naik ke kamar dan mandi bersama. Mereka semakin mesra dan tidur bersama sambil berpelukan.

 

Keesokan harinya, Yuna dibuat terkejut karena Yeriko tiba-tiba mengajak Yuna untuk berkunjung ke rumah keluarganya.

 

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa.

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 42 - Gairah Malam di Ruang Kerja

 


Usai pulang kerja seperti biasa. Yeriko memenuhi janjinya untuk mengajak Yuna jalan-jalan ke luar rumah.

 

Cuaca malam ini sangat bersahabat. Angin berhembus perlahan dan bintang-bintang bertaburan di angkasa. Yeriko membawa Yuna masuk ke salah satu pusat perbelanjaan di pusat kota.

 

“Eh, kita ke sana yuk!” ajak Yeriko sambil menunjuk salah satu butik ternama yang ada di pusat kota.

 

“Mmh ... bajunya pasti mahal-mahal,” sahut Yuna. Ia sama sekali tidak bersemangat membeli baju-baju mahal karena keuangannya tak sebaik suaminya.

 

Yeriko menahan tawa. Ia menarik lengan Yuna. Tangan satunya lagi sibuk mengambil pakaian dari display dan memberikannya ke tangan Yuna.

 

Yuna kebingungan melihat tumpukan pakaian yang sudah ada di tangannya. “Ini mau buat apa? Banyak banget?”

 

“Buat kamu pakai,” jawab Yeriko sambil tersenyum.

 

“Tapi ... ini terlalu mahal.”

 

“Nggak ada satu pun barang yang mahal saat kamu pakai. Karena kamu tetap yang termahal buatku,” ucap Yeriko sambil tersenyum menatap Yuna.

 

Mata Yuna berbinar mendengar ucapan Yeriko. “Ini cukup,” tuturnya sambil tersenyum.

 

Yeriko mengernyitkan dahinya. “Yakin?”

 

Yuna mengangguk pasti.

 

“Oke.” Yeriko langsung mengajak Yuna ke kasir untuk membayar semua baju yang telah ia ambil.

 

Yuna terus menatap Yeriko tanpa berkedip. Semakin lama, Yeriko menunjukkan kepeduliannya pada Yuna secara terang-terangan. Membuat Yuna semakin hari semakin mengagumi pria itu.

 

“Mau ke mana lagi?” tanya Yeriko saat mereka sudah keluar dari butik.

 

“Mmh ... ini udah malem. Kita jalan-jalan di luar aja nikmati angin malam. Gimana?”

 

“Makan sate ayam, mau?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko langsung mengajak Yuna makan sate ayam di salah satu warung sate yang ada di jalan Dharmawangsa.

 

Begitu sampai di warung makan, Yeriko langsung memesan lima puluh tusuk sate ayam untuk mereka.

 

“Mmh ... kali ini, kamu yang harus makan lebih banyak dari aku!” pinta Yuna.

 

“Eh!? Kenapa?”

 

Yuna menghela napas. “Berat badanku udah nambah dua kilo. Aku mau diet,” ucapnya lirih.

 

Yeriko mengernyitkan dahi menatap Yuna. “Aku rasa, nggak ada perubahan sama sekali.”

 

“Masa sih?” tanya Yuna sambil menyentuh kedua pipinya.

 

Yeriko tersenyum kecil. Mereka langsung melahap sate ayam setelah terhidang di atas meja.

 

“Gimana kerjaan kamu hari ini?” tanya Yeriko.

 

“Baik,” jawab Yuna santai sambil melahap sate di depannya.

 

Yeriko tertawa kecil melihat Yuna yang makan dengan lahap.

 

“Kenapa ketawa?” tanya Yuna dengan mulut penuh makanan.

 

Yeriko menggelengkan kepala sambil menahan tawa karena Yuna sudah menghabiskan lebih banyak sate ayam yang terhidang.

 

“Temen-temen kerja yang lain semuanya baik. Aku cuma kesel sama Bellina yang selalu aja cari masalah ke aku. Belum lagi dua antek-anteknya yang ngeselin itu. Lihat aja. Aku nggak bakal tinggal diam. Harus ngelawan mereka!” tutur Yuna penuh semangat. Ia semakin melahap sate di depannya sambil mengomel.

 

Yeriko hanya tersenyum kecil menatap Yuna yang terus makan sambil berbicara.

 

“Mau nambah lagi satenya?” tanya Yeriko.

 

“Eh!?” Yuna membelalakkan matanya menatap tumpukan tusukan sate yang sudah ia makan. Sementara Yeriko hanya makan beberapa tusuk saja.

 

Yuna langsung meringis menatap Yeriko. Ia menggelengkan kepala perlahan. Saat ini ia benar-benar merasa sangat rakus karena selalu makan lebih banyak dari suaminya.

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna. Ia selalu merasa senang saat melihat Yuna memiliki nafsu makan yang tinggi.

 

Usai makan, mereka kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, Yuna langsung mengganti pakaiannya dengan gaun tidur. Sementara Yeriko, malah pergi ke ruang kerjanya.

 

“Mau kerja lagi?” tanya Yuna.

 

Yeriko menganggukkan kepala. “Kamu tidurlah!” pintanya. Ia bergegas menuju ruang kerjanya untuk mengecek laporan dan melakukan rapat online dengan beberapa bawahannya.

 

Yuna merasa tidak tenang karena suaminya masih bekerja. Ia merasa sangat bersalah. “Kalau nggak ngajak aku jalan-jalan, dia nggak perlu kerja sampai larut malam,” tuturnya.

 

Yuna bergegas keluar dari kamar. Ia menuruni anak tangga perlahan menuju dapur. Ia langsung membuatkan susu jahe dan mengantarkannya ke ruang kerja Yeriko.

 

“Belum tidur?” tanya Yeriko saat Yuna masuk ke ruang kerjanya.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku nggak bisa tidur. Masih lama kerjanya?” tanya Yuna.

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

“Ini. Aku buatkan susu jahe buat kamu,” tutur Yuna sambil meletakkan segelas susu ke hadapan Yeriko.

 

“Makasih!” ucap Yeriko sambil menatap Yuna yang berdiri di sebelahnya.

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia langsung merangkul leher Yeriko. “Jangan sampai larut malam kerjanya!” pinta Yuna sambil mengecup pipi Yeriko.

 

Yeriko tersenyum, ia menatap Yuna dan menarik tubuh Yuna ke pangkuannya. “Hari ini ... kamu manis dan antusias banget. Apa kamu ...?”

 

“Mmh ... bukannya aku harus jadi istri yang baik?” tanya Yuna sambil tersenyum.

 

“Oh ya?” Yeriko mengeratkan pelukannya.

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum.

 

Yeriko langsung mencium bibir Yuna penuh kehangatan. Mereka semakin terlarut dalam romansa yang menggairahkan. Yuna hampir tak bisa mengendalikan diri setiap kali jemari tangan Yeriko menyentuhnya begitu lembut.

 

Yeriko membaringkan tubuh Yuna perlahan ke lantai. Ia mencium bibir Yuna perlahan. Yeriko juga mulai mengendus leher Yuna.

 

Yuna merasa jiwanya terbang melayang ke angkasa. Setiap sentuhan bibir dan tangan Yeriko berhasil membuatnya membeku dan tak berdaya.

 

Yeriko terus melangkah lebih jauh, masuk ke dalam dunia Yuna yang penuh kehangatan dan kebahagiaan.

 

Yuna membelalakkan mata saat menyadari kalau mereka sama-sama berada di puncak orgasme. Ia teringat dengan ucapan Jheni beberapa waktu lalu.

 

“Apa bakal sakit?” batinnya. Ia langsung menggerakkan tubuhnya dan tak sengaja menendang Yeriko.

 

“Aw ...!” Yeriko merintih saat pahanya terbentur lutut Yuna.

 

Yuna bangkit dan mendorong tubuh Yeriko.

 

Yeriko menghela napas dan terduduk lemas di lantai. “Kamu  ini ...?” Yeriko bangkit perlahan dan kembali ke meja kerjanya.

 

Yuna menggigit bibirnya sambil menatap Yeriko yang kembali fokus dengan layar laptopnya. Ia merasa sangat bersalah dan sedih karena tidak bisa melayani suaminya dengan baik.

 

“Maaf ... aku ...”

 

“Aku mau kerja. Kembali ke kamar!” perintah Yeriko.

 

Yuna bangkit dari lantai. Ia melangkah perlahan keluar dari ruang kerja Yeriko. Matanya terus tertuju pada Yeriko yang tak lagi mau memandangnya.

 

Yuna melangkah memasuki kamarnya. Tanpa ia sadari, bulir-bulir air mengalir dari sudut matanya.

 

“Yuna, kamu payah banget sih?” maki Yuna pada dirinya sendiri. Ia langsung mengambil ponsel dan menelepon Jheni.

 

“Jhen ...!” panggil Yuna setelah Jheni mengangkat panggilan teleponnya.

 

“Hmm ... kenapa?”

 

“Udah tidur?” tanya Yuna.

 

“He-em. Ada apa, Yun?”

 

“Aku mau cerita sesuatu,” tutur Yuna lirih.

 

“Iya. Cerita aja!”

 

“Bangun dulu!” pinta Yuna.

 

“Ini udah bangun, Yuna!” sahut Jheni. “Kalau belum bangun, aku nggak mungkin angkat telepon. Mau cerita apa?”

 

Yuna langsung menceritakan kejadian yang baru saja terjadi antara dia dan Yeriko.

 

“Hahaha.” Jheni tergelak saat Yuna selesai bercerita.

 

“Kenapa malah diketawain!?” dengus Yuna kesal. “Nyesel aku cerita sama kamu.”

 

“Kamu tuh ya, udah umur dua puluh empat masih polos aja,” celetuk Jheni.

 

“Hmm ... kira-kira, dia marah nggak ya sama aku?” tanya Yuna.

 

“Bisa iya, bisa nggak.”

 

“Caranya biar aku tahu dia marah atau nggak, gimana?” tanya Yuna.

 

“Mmh ... lihat aja besok pagi. Kalau dia cuek, berarti dia marah.”

 

“Jhen ...! Aku harus gimana?”

 

“Eh, anak kecil. Kamu harus belajar menyelesaikan masalah kamu sendiri. Lagian, ini kan urusan rumah tangga kamu. Aku nggak mau ikut campur, hihihi.” Jheni langsung mematikan panggilan telepon Yuna.

 

“Jheni ...!” seru Yuna, ia makin kesal saat Jheni mematikan teleponnya. Ia merebahkan tubuhnya ke atas kasur dan berguling ke sana kemari.

 

 (( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa.

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas