“JESSICA
KILL NIRMA!”
“JESSICA
IS A KILLER. SHE KILL HER BESTFRIEND CRUELLY!”
Teriakan ratusan
orang itu masih terus terngiang-ngiang di telinga Jessica. Sudah berlalu begitu
lama sejak ia mendapatkan tuduhan sebagai pembunuh dari sahabatnya sendiri. Ia
harus menjalani sidang yang menyakitkan selama berbulan-bulan. Ia harus
mendekam di dalam penjara selama berbulan-bulan hingga hakim menjatuhkan vonis
20 tahun penjara kepadanya.
Lima tahun lalu,
Jessica yang tinggal dan bekerja di Ausie, memilih pulang ke Indonesia untuk
menikmati libur tahun Baru bersama keluarganya. Sudah cukup lama ia tak pulang
ke Indonesia. Biasanya, ia menjalani liburan bersama sang kekasih. Tapi sayang,
hubungannya dengan sang kekasih kandas begitu saja karena pria itu telah
berselingkuh dengan wanita lain. Pikirannya kacau, pekerjaannya menjadi tidak
baik-baik saja. Ia sudah tak tahan dengan sikap sang pacar yang tidak ingin ia
tinggalkan, tapi juga tak ingin meninggalkan wanita-wanita simpanannya.
Dalam waktu liburan
yang begitu singkat, Jessica menghabiskan waktu bersama keluarga. Sesekali ia
bertemu dengan teman-temannya yang ada di Indonesia untuk sekedar melepas
kerinduan.
Hari di mana ia
bertemu dengan sahabatnya adalah hari tersial dalam hidupnya. Nirma mengajaknya
bertemu di salah satu kafe yang ada di pusat kota Jakarta. Semuanya berjalan
normal seperti biasa. Tak ada firasat buruk apa pun yang akan terjadi pada hari
itu.
Sampai akhirnya ...
Nirma meninggal dunia setelah meminum ice coffee yang dipesankan Jessica
terlebih dahulu. Jessica tidak berpikiran apa pun. Ia hanya ingin memesankan
minuman lebih dulu, agar ia bisa gantian mentraktir sahabatnya itu.
Sore di kafe itu
berubah menjadi malapetaka bagi Jessica. Ia sangat kebingungan dan tidak tahu harus
berbuat apa karena sebelumnya tidak pernah ada dalam situasi seperti itu.
Jessica sangat sedih
karena harus kehilangan sahabat baiknya, tepat di depan matanya sendiri. Belum
sempat ia menghabiskan air matanya, tiba-tiba ia dituduh sebagai satu-satunya
orang yang membunuh Nirma.
Sungguh, begitu
hancur seluruh hari dan jiwa Jessica. Darah di seluruh tubuhnya seolah berhenti
begitu saja. Air mata yang harusnya mengalir deras untuk menunjukkan
kesedihannya, justru terbendung oleh rasa sakit yang tak terkira.
Tubuh mungil Jessica
seolah sedang disambar petir ribuan volt ketika semua orang berteriak bahwa ia
adalah seorang pembunuh.
“Kenapa semua
orang menganggapku sebagai pembunuh? Haruskah aku mengakui kesalahan yang tidak
pernah aku lakukan? Sungguh, aku sangat takut menghadapi dunia. Teriakan mereka
sungguh sangat menyakitkan. Membuatku tak ingin hidup, membuatku tak sanggup
bicara, membunuh mentalku hingga aku hidup seperti mayat.”
“Jika bukan
karena mama, wanita yang telah melahirkanku, aku tidak akan setegar ini
menghadapinya. Aku ingin buktikan kepada wanita yang telah melahirkanku, bahwa
aku bukanlah seorang pembunuh. Tapi semua ahli berpendapat bahwa aku bersalah
dan terbukti menaruh racun di kopi Nirma. Aku tidak tahu, dari mana datangnya
racun itu. Dan kenapa harus Nirma? Kenapa semua orang tiba-tiba menuduhku.
Sekeras apa pun aku berusaha membela diri, mereka tetap menganggapku sebagai
seorang pembunuh.”
“Jika aku memang
seorang pembunuh, bukankah terlalu bodoh jika aku membunuh sahabatku sendiri di
tengah keramaian? Bukankah hal itu bisa aku lakukan saat kami hanya satu mobil
berdua? Toh, hukumannya akan tetap sama jika aku membunuhnya dan dituduh
sebagai pembunuhnya? Lalu, kenapa orang-orang itu begitu jahat memperlakukanku.
Sungguh, aku tidak tahu apa pun. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku tidak
tahu kenapa Nirma mati.”
Jessica kini hanya
bisa menjalani hari-harinya di dalam ruang yang sepi. Hanya bercengkerama
dengan dinding yang usang. Sesekali kecoa mengajaknya bercanda. Sesekali para
semut menggelitiki tubuhnya. Sesekali dinginnya angin menyapa.
Jessica rindu dengan
sinar mentari. Ia rindu dengan udara bebas. Ia rindu dengan teman-teman dan
keluarganya. Tapi ia tidak bisa apa-apa. Vonis 20 tahun penjara, telah
merenggut seluruh kebebasan masa mudanya. Ia masih harus menunggu lima belas
tahun lagi untuk bebas dari tahanan.
Lima belas tahun
lagi, waktu yang masih sangat lama. Jika ia tidak dipenjara dan sudah menikah,
mungkin ia sudah bisa bercengkerama dengan anak-anaknya yang sudah beranjak
remaja. Sayangnya, semua impiannya itu direnggut begitu saja oleh orang-orang
yang ia juga tidak tahu siapa.
“Jessica, mengakulah
jika kamu yang membunuh Nirma dan kamu akan mendapatkan kebebasan!”
Jessica
menggelengkan kepala. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. Sudah
puluhan bahkan ratusan kali ia dengar kalimat itu. Tapi ia tak pernah mau
melakukannya. Ia tidak pernah membunuh Nirma. Ia tidak akan pernah mengakui
kesalahan yang tidak pernah ia lakukan.
Jessica sangat takut
menghadapi dunia luar. Ia tidak ingin dianggap sebagai pembunuh dan dikucilkan
dunia. Bukankah menyandang kata “pembunuh” sama saja sedang hidup dalam penjara
sosial?
“Biarlah aku tinggal
di penjara selama 20 tahun asalkan aku tidak selalu dianggap sebagai pembunuh
Nirma. Biarlah aku dipenjara selamanya, karena aku sudah terlalu takut
menghadapi kejamnya dunia di luar sana.”
Jessica tak akan
sanggup mengakui dirinya sebagai pembunuh Nirma. Sungguh, pembunuh yang
sesungguhnya adalah Tuhan. Dialah yang mencabut nyawa semua orang. Tapi tak ada
yang satu pun yang berani menghakiminya. Bahkan berlutut bersujud kepada-Nya.
Lalu, kenapa semua orang harus menghakimi Jessica? Bukankah Nirma tidak akan
meninggal jika Tuhan tidak berkendak, sekalipun ia menenggak sebotol racun?
Bukankah semua orang bisa meninggal meski sedang tidur sekalipun, jika Tuhan
telah berkehendak?
“Nir, aku tahu
kamu pasti mendengar tangisku selama 2.500 hari sejak aku kehilangan kamu. Kamu
yang paling tahu seperti apa kebenarannya. Aku mohon, bantulah aku! Tunjukkan
jalan kebenaran dengan caramu! Aku hanya bisa mengharapkan keajaiban dari Tuhan
dan seluruh makhluk ciptaan-Nya.”
“Jika aku boleh
memilih, aku akan memilih untuk mati. Supaya aku bisa bercengkerama dengan
Nirma seperti biasanya. Supaya aku bisa bercerita dengan Nirma tentang
ketidakadilan di dunia ini. Supaya aku bisa bercanda dengan Nirma dan saling
menertawakan betapa bodohnya manusia yang saling menghakimi.”
Jessica tak pernah
absen menitikan air matanya setiap malam. Tapi ia terus berusaha menguatkan
dirinya sendiri. Karena ia tahu, tak ada satu pun orang yang bisa jadi
sandaran. Tak ada orang yang akan menguatkan dirinya. Bahkan, ia masih harus
menguatkan kedua orang tuanya dalam kelemahan yang ia miliki.
“I am Jessica, not a killer!”
________________________________
Cerita ini hanyalah fiktif belaka.
Aku persembahkan untuk Jessica Kumala Wongso yang saat ini masih berada di dalam penjara. Semoga, Jessica fiksi karyaku bisa menjadi sahabat bercerita dan berbagi penderitaan tentang bagaimana rasanya diasingkan dunia atas kesalahan yang tidak pernah diperbuat.