Surga
yang Tak Pernah Ada
Oleh : Riri
Rosy
Surga, tidak selamanya tampak indah dan sempurna. Bukan juga tempat
yang dipenuhi aneka bunga cantik nan harum, dengan berbagai pohon buah yang
ranum. Apalagi tempat yang akan dialiri susu dan madu. Surga tidak seperti itu
bagi sepasang kekasih, Anneliese dan Wirojoyo. Bagi mereka surga itu hanyalah
tempat mereka biasa bersua, dengan pohon bambu di tepi sungai dengan air jernih
meneduhkan keduanya.
Tempat rahasia mereka jauh dari keramaian. Mereka terpaksa selalu
bertemu diam-diam karena ayah Anneliese, Meneer Aart Leonard Langenberg,
melarang putri semata wayangnya menjalin hubungan dengan orang pribumi. Baginya
tidak akan mudah menyatukan banyak perbedaan di antara mereka.
Anneliese Beatrix Aart, wanita Belanda berkulit seputih susu itu duduk
terpaku. Dengan wajah bermendung penuh kegalauan, ia menatap Wiro, pemuda
pribumi yang menjadi tambatan hatinya. Pemuda itu duduk di sampingnya dengan
mata menerawang jauh. Dahinya sedikit berkerut. Kemudian ia menghela napas
dalam-dalam. Anneliese bisa merasakan betapa berat beban perasaan Wiro saat
ini.
Anneliese menatap wajah pemuda di sampingnya. Rambutnya hitam legam
bergelombang dipotong pendek dan rapi. Alisnya tebal, garis wajah tegas dengan
mata beriris hitam. Hidungnya cukup mancung untuk ukuran pemuda pribumi.
Kulitnya cokelat dengan sedikit bulu halus di lengan dan kakinya. Bibir
tipisnya murah senyum, tetapi sangat hemat berkata-kata.
"Zeg eens¹, Wiro," pinta Anneliese.
"Mungkin kita memang harus berpisah." Wiro berpaling menatap
sepasang mata cokelat gadis di sampingnya itu.
Seketika mata Anneliese tampak membulat, sepasang alis cantiknya
terangkat. Ia menutup mulut dengan jemarinya.
"Nee². Kamu menyerah?"
"Meneer Aart benar. Kebahagiaanmu yang utama. Aku belum tentu
bisa membahagiakanmu."
"Tidak, Wiro. Kebahagiaanku bersamamu. Ingat, ons paradijs³ .
Surgaku bukanlah rumah megah, tapi di sini, bersamamu. Jangan pernah tinggalkan
aku."
Wiro kembali berpaling, menatap pucuk-pucuk daun yang bergoyang oleh
semilir angin. Gemericik air sungai bagai simponi indah mengiringi nyanyian
burung yang sesekali hinggap di pohon sekitar sungai. Keduanya membisu,
tenggelam dalam kekalutan masing-masing.
Anneliese, gadis berambut ikal sepinggang itu menunduk. Diamnya Wiro
terasa menyiksanya. Ia menggigit bibirnya yang kemerahan. Jemarinya merapikan
selendang penutup kepalanya yang sedikit melorot tertiup angin. Gadis langsing
itu sengaja berpenampilan seperti wanita Jawa, menggunakan kain batik dan
kebaya. Ia juga memakai selendang di kepalanya hingga menutup sebagian wajah
untuk menyamarkan wajah Belandanya dengan hidung yang begitu mancung.
Anneliese mulai menaruh hati pada Wiro sejak pemuda itu menolongnya
saat rombongan tentara Jepang berusaha menculiknya untuk dijadikan budak pemuas
nafsu. Sejak Jepang berkuasa, banyak warga Belanda yang dibantai atau
dipulangkan. Anneliese dan ayahnya berhasil menyelamatkan diri dan pindah ke
tempat yang agak terpencil dengan bantuan seorang saudagar kaya, Tuan Suryo.
"Anneliese, hari Jumat aku akan pergi." Kata-kata Wiro
membuat Anneliese langsung berpaling menatapnya.
"Aku ikut!"
"Maaf, Anneliese. Aku rasa itu tidak mungkin."
"Bawa aku, atau aku mati?"
Wiro terdiam. Ditatapnya gadis itu dalam-dalam. Anneliese tidak sedang
bercanda. Wiro sangat paham sifat keras kepalanya.
"Aku tak mau menikah dengan saudagar tua gendut itu." Wajah
Anneliese menampakkan kemarahan. "Keluargaku berhutang budi pada Tuan
Suryo yang telah membantu kami menyelamatkan diri dan ternyata duda itu
menginginkanku. Kamu rela?"
Wajah Wiro memerah. Dadanya seakan-akan bergemuruh dan ingin meledak.
Sungguh tak ada pilihan mudah baginya.
"Kamu sungguh-sungguh ingin ikut?" tanya Wiro seraya menatap
gadisnya yang juga sedang memperhatikannya.
Anneliese mengangguk, matanya berbinar penuh harap.
"Tak akan menyesal apapun risikonya?"
Anneliese tersenyum.
"Jumat malam selepas Isya', aku akan pergi dengan bendi. Kita
bertemu di jembatan." Wiro akhirnya mengambil sebuah keputusan setelah
melihat Anneliese yakin untuk ikut bersamanya.
Senyum Anneliese mengembang penuh mendengar kata-kata Wiro.
"Semoga kita menemukan surga yang lebih indah," katanya berharap.
"Semoga aku tak akan membuatmu kecewa."
"Wiro, kenapa kamu takut membuatku kecewa? Aku senang bersamamu.
Kamu tahu, kan?"
Wiro menghela napas. Bibirnya menyungging senyum sekilas.
"Bagaimanapun kehidupan kita sangat berbeda, Anneliese. Aku takut
tak bisa menghadirkan surga untukmu."
"Percayalah. Surgaku ada padamu, Wiro."
***
Sejak istrinya meninggal akibat peluru pejuang pribumi yang salah
sasaran dan Anneliese nyaris ditangkap tentara Jepang, Meneer Aart mulai
depresi. Ia ingin kembali ke negaranya tetapi tidak bisa. Pria itu menyesali
nasib harus kehilangan istri dan setelah Jepang berkuasa, kehidupannya berubah
drastis. Kesehatannya agak menurun. Ia khawatir memikirkan masa depan
Anneliese, hingga ketika Tuan Suryo yang kaya tampak tertarik pada putrinya,
kekhawatirannya mulai berkurang.
Sementara, sang putri justru sangat tak menyukai Tuan Suryo yang
dianggapnya hanya mencari untung di atas deritanya. Ia juga terlanjur mencintai
Wiro, pemuda pribumi yang sederhana tetapi membuatnya nyaman bersamanya.
Rasa sedih untuk meninggalkan ayahnya tak urung dirasakan Anneliese
juga. Bagaimanapun, Meneer Aart adalah ayah yang menyayanginya. Sebenarnya ia
tidak ingin meninggalkan ayahnya, tetapi ia benar-benar muak dengan Tuan
Suryo. Tidak ada jalan lain baginya
untuk menghindari Tuan Suryo selain lari bersama Wiro.
Anneliese mengucapkan selamat malam, lalu memeluk ayahnya erat.
"Kamu mau tidur sekarang, Anneliese?" tanya Meneer Aart yang
sedikit heran.
"Aku merasa lelah dan ingin tidur sekarang," jawab Anneliese
sambil berpaling ke arah pintu. Ia tidak ingin ayahnya curiga.
"Baiklah. Tidurlah sekarang."
Setelah gelisah menanti kesempatan yang tepat untuk menyelinap ke luar
rumah, Anneliese melihat kedatangan dua orang pria, Tuan Suryo dan temannya.
Meneer Aart menyambut mereka dengan gembira dan mereka pun langsung terlibat
percakapan serius di ruangan tempat Meneer Aart biasa membaca.
Samar-samar ia mendengar radio menyiarkan bahwa Bung Karno telah
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia hari itu jam sepuluh pagi. Pekik merdeka
kemudian mulai diperdengarkan.
Dengan debar dada yang tak karuan oleh berbagai perasaan, Anneliese
mengambil beberapa potong pakaian dan menyelipkan sebuah pisau di dalamnya
untuk berjaga-jaga. Ia segera melompat ke luar melalui jendela kamarnya dan
berjalan dengan cepat menuju jembatan menembus gelapnya malam yang hanya
diterangi sinar lampu minyak dari rumah penduduk dan cahaya bulan.
Wiro duduk di atas bendinya, menatap lurus ke jalan arah Anneliese
akan datang. Jantungnya mulai berdentam-dentam tanpa irama. Seumur hidupnya ia
belum pernah melakukan hal senekat ini, membawa lari seorang gadis. Bibir
tipisnya menyungging senyum saat dilihatnya Anneliese samar-samar muncul dengan
berjalan mengendap-endap ke arahnya.
Setelah jarak mereka tinggal kira-kira dua puluh meter, terdengar deru
mobil mendekat. Mobil tentara Jepang yang berkeliling. Mata Wiro membulat, ia
tak menyangka tentara Jepang itu bisa berkeliling sampai ke kampungnya. Mungkin
keberadaan beberapa orang Belanda di wilayah itu sudah tercium.
Saat mereka melihat Anneliese berjalan seorang diri, mobil berhenti.
Dua orang tentara turun dan langsung menarik gadis itu ke mobil mereka.
Anneliese berontak, tetapi tenaganya kalah jauh dengan tentara-tentara bermata
sipit itu. Mobil kembali melaju. Jeritan Anneliese terdengar menyayat hati saat
mobil itu melintasi jembatan.
Wiro berusaha mengejar mobil itu meskipun kecepatan tak sepadan,
tetapi kemarahannya yang memuncak membuatnya bertekad untuk menyelamatkan
Anneliese. Dokar Wiro tertinggal cukup jauh, tetapi sebagai pria penduduk asli
wilayah tersebut, Wiro sangat hafal jalan-jalan di sana.
Anneliese memeluk erat bungkusan berisi bajunya. Sepanjang perjalanan,
para tentara itu memperlakukannya dengan sangat tak sopan. Ia seolah-olah hanya
permainan bagi mereka. Tangan-tangan pria bermata sipit itu tak henti
bergerilya di atas tubuhnya. Semakin ia meronta, semakin mereka bernafsu
melakukannya. Bahkan pakaian Anneliese bagian atas sudah sebagian robek dan
terbuka. Anneliese menutup dadanya dengan bungkusan yang dibawanya. Air matanya
tak henti mengalir.
Para tentara itu bukannya merasa iba, tetapi justru tertawa semakin
kencang. Benar-benar biadab. Tak puas melihat pakaian Anneliese yang mulai
terbuka, seorang tentara bertubuh agak gemuk mendekati Anneliese dan dengan
kasar menarik kain di tubuh gadis itu hingga memperlihatkan pahanya. Anneliese
menjerit, pria itu tertawa keras.
Anneliese semakin marah dengan perlakuan mereka. Ia teringat pisau di
dalam bungkusan bajunya. Sambil menunduk, ia memasukkan tangan kanannya untuk
mengambil pisau. Begitu tangannya berhasil memegang pisau itu, dengan cepat ia
menghujamkan pisau ke tubuh tentara yang menyingkapkan kainnya. Sayang, salah
satu temannya dengan sigap menangkap tangannya.
"Oh, rupanya kamu diam-diam membawa senjata. Baiklah, pisau ini
yang akan membuatmu menuruti semua perintah kami!" sergah tentara itu
setelah berhasil merebut pisau.
Dengan bibir menyeringai, ia menyentuhkan pisau itu ke pipi, leher,
lalu dada Anneliese. Ia tampak begitu menikmati ekspresi ketakutan gadis itu.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah kosong
bercat putih. Anneliese diseret masuk ke rumah kosong itu. Seorang tentara
menamparnya saat ia berteriak meminta tolong. Gadis itu dibawa masuk ke sebuah
ruangan bersama beberapa tentara.
Rumah kosong itu hanya menyisakan beberapa perabot besar, setelah
penghuninya pergi, mungkin ada yang menjarah barang-barang di dalamnya.
Anneliese dibawa masuk ke sebuah kamar yang hanya berisi lemari
kosong. Salah satu tentara yang memegang pisaunya segera mendorongnya ke
lantai. Ia tersungkur. Saat ia meringis menahan sakit tubuhnya yang terbentur
lantai, tentara bertubuh gemuk langsung menarik pakaiannya dan tertawa melihat
bagian atas tubuh gadis itu terbuka.
Tentara yang memegang pisau langsung menarik kain bagian bawah
Anneliese. Gadis itu menjerit dan berontak, tetapi salah satu tentara memegang
erat kedua lengannya.
Bulan mengintip dari jendela yang terbuka. Ia menjadi saksi malam
jahanam yang merenggut mahkota sang gadis Belanda.
Tentara bermata sipit itu tak peduli jerit tangis Anneliese. Mereka
bergantian melampiaskan nafsu bejatnya.
Meskipun sempat kehilangan jejak, pada akhirnya, Wiro beruntung bisa
menemukan mobil itu berhenti di depan rumah peninggalan Belanda yang kosong.
Beberapa lama kemudian, Wiro muncul dan langsung menghambur ke arah
dua tentara yang berjaga di depan pintu. Baku hantam terjadi, satu tentara
tersungkur. Satu lagi baru berhasil menembakkan senjatanya dan mengenai paha
Wiro, tetapi pria itu justru menabraknya. Ia berhasil merebut senjata, menembak
tentara itu lalu masuk mencari Anneliese.
Ia mendengar tangisan Anneliese dan tawa lelaki dari dalam sebuah
ruangan. Wiro menendang pintu sambil menahan sakit di pahanya. Ia menembakkan
senjata ke arah tentara Jepang yang sedang melampiaskan nafsu bejatnya pada
Anneliese. Sayang, hanya tinggal satu peluru. Dua orang tentara merangsek ke
arahnya dan berhasil merobohkannya. Salah satu kemudian menarik senjata dari
balik bajunya dan menembakkan ke arah Wiro. Darah segar mengalir dari perut
Wiro. Tak puas dengan itu, dua orang temannya ikut menendang dan menginjaknya.
Wiro terkapar tak berdaya.
Ketiga tentara tertawa puas lalu melangkah pergi meninggal Wiro dan
Anneliese yang tak berdaya. Di bawah temaram cahaya bulan yang masuk dari
jendela, Anneliese samar-samar melihat tubuh Wiro yang bersimbah darah. Kali
ini bersama Wiro, ia merasakan seolah-olah berada di neraka. Tubuhnya terasa
sakit terutama di bagian bawah. Tangisnya tak lagi terdengar. Ia merangkak
sekuat tenaga mendekati Wiro.
"Wiro," panggilnya sambil menyentuh wajah Wiro.
Ia masih merasakan embusan napas lemah dari hidung Wiro. Ia mencoba
mengguncang tubuh pria itu.
"Wiro," panggilnya menahan tangis.
Mata Wiro terbuka perlahan.
"Ma-afkan aku, Anneliese." Terbata-bata Wiro berkata dengan
nada sesal.
"Jangan tinggalkan aku, Wiro. Bertahanlah. Kamu tahu, negaramu
sudah merdeka."
"A-palah artinya jika kita ... tak merdeka. Tak ada lagi surga.
Ma-afkan aku membuatmu ... men-derita." Napas Wiro tersengal-sengal lalu
tampak makin sulit bernapas dan matanya menutup.
Anneliese menangis memeluk jasad Wiro. Hidup terasa tidak adil
baginya. Tak ada lagi surga.
Ia merangkak mengambil pisaunya yang tergeletak di dekat tempatnya
berbaring sebelumnya.
"Aku akan menyusulmu, Wiro," bisiknya sambil menghunjamkan
pisau ke jantungnya.
***
Catatan kaki:
1. zeg eens: katakan padaku
2. nee: tidak
3. ons paradijs: surga kita
***
Profil Penulis
Riri Rosy, wanita
introvert yang suka melukis, membaca, dan membuat aneka kerajinan ini mulai
mencoba menulis dengan menulis antologi cerpen. Meskipun awalnya menulis hanya
sebuah cara untuk healing, kini ia benar-benar mencintai dunia menulis fiksi.
Oleh karena itu, ia berniat terus belajar sehingga bisa menghasilkan tulisan
yang berkualitas. Riri bisa disapa di akun facebook Riri Rosy dan instagram
@riri.rosy.9.