MERDEKAKU
Penulis: ZaMo
“Ma, saya sudah
bercerai dengan Mas Bagus.” Kalimat itu keluar dari mulut seorang anak
perempuan yang sudah tidak mengunjungi ibunya selama satu tahun lamanya. Aku.
Pagi itu, aku tahu
aku akan mengacaukan sisa hari mama. Atau yang terburuk, mungkin sisa hidupnya.
Dentingan suara
bunyi ujung gunting yang membentur lantai adalah suara pertama yang kudengar
setelah suaraku sendiri.
Mama yang sedang
duduk di dekat jendela menghentikan aktivitas menjahitnya, mengalihkan
pandangannya dari gerak jarum padaku. Tatapan yang sedikit membuatku merinding,
namun aku bergeming.
Suasana rumah yang
bermandikan cahaya matahari lewat jendela-jendela yang dibuka mendadak berubah
suram.
“Bercanda, kan?”
Suara mama terdengar gemetar, dari raut wajahnya pun ia tahu aku tidak sedang
bercanda.
Rumah tanggaku
dengan Mas Bagus memang tidak pernah benar-benar baik-baik saja, bahkan sejak
awal pernikahan kami. Mama pun tahu itu.
Aku menggeleng, tangan
kanan mencengkeram tali tas untuk sedikit menguatkan kaki yang rasanya sudah
ingin cepat-cepat lari sejak tadi.
Reaksi mama adalah
sesuatu yang sudah kuprediksi, karenanya aku sengaja mengurus semuanya
diam-diam beberapa bulan belakangan ini.
Mama bangkit
berdiri, menghempaskan selimut berlubang yang belum selesai ia jahit karena
putri sulungnya ini. Hempasan kasar yang bukan pertama kali ini kulihat karena
mama memang suka membanting barang-barang saat sedang marah.
“Mama mau ke
mana?” Kutahan tangannya. Kali ini ganti suaraku yang gemetar.
Mama orang yang nekat.
Saat adik bungsuku memberitahunya kalau ia hamil padahal masih duduk di bangku
SMA, mama berlari ke jalan raya, menabrakkan dirinya pada kendaraan yang lewat,
mengutuk dirinya karena gagal mendidik anak. Aku takut ia akan melakukan hal
yang sama lagi, karena aku.
Mama menghempaskan
tanganku hingga mengenai ujung meja, darah segar menetes, namun sedikit pun
perempuan yang membawaku lahir ke dunia itu tidak peduli. “Mau bicara dengan
Bagus.”
“Bicara dengan
saya saja,” selaku.
Kutarik napas
pelan, mempersiapkan mental untuk menjatuhkan bom kedua. “Berbicara dengan Mas
Bagus tidak akan mengubah apapun. Saya yang menceraikannya.”
Tamparan keras
mendarat di pipiku. Panas.
Ini juga bukan
pertama kalinya, mama selalu melakukannya setiap kali aku mengatakan ingin
berpisah dengan Mas Bagus. Awal-awal aku masih sering menangis, sekarang sudah
kebal. Setetes pun tidak ada cairan yang keluar dari mataku.
“Keputusan sudah
dibuat oleh pengadilan, tidak akan ada yang berubah,” imbuhku dengan tangan
terkepal kuat.
“Perempuan tidak
tahu diuntung!” kutuk mama.
Aku menarik salah
satu sudut bibirku tipis. Menertawai kuatku yang hanya sampai sebatas ini.
Kalimat mama barusan nyatanya masih membuatku sakit hati. Payah.
“Harusnya kamu
bersyukur Bagus memilihmu di antara banyak perempuan yang ingin bersanding
dengannya dulu.” Mama berbicara sambil menoyori kepalaku. “Dia kaya,
terhormat.”
Aku memberanikan
diri menatap mata mama. “Hanya itu, kan?”
“Hanya dua hal itu
‘kan yang Mas Bagus punya?” Aku sedikit meninggikan nada bicaraku.
Dua hal yang
membuat mama tergila-gila pada anak camat yang naksir dengan putrinya, hingga
mama memaksaku untuk menghentikan pendidikan S2 yang sedang kujalani dengan
beasiswa yang susah-susah kudapat hanya karena calon mantu idamannya itu ingin cepat
naik ke pelaminan. Dua tahun setelah pernikahan, baru kuketahui kalau ternyata
itu hanya kedok, ia tidak ingin istrinya memiliki pendidikan lebih tinggi
darinya.
“Memang apa lagi
yang dibutuhkan dalam hidup lebih dari dua hal itu?” balas mama. Tatapannya
masih semembara sebelumnya.
“Mama tidak pernah
peduli saya bahagia atau tidak?” debatku.
“Apa yang lebih
membuat seorang perempuan bahagia dibanding tinggal di rumah yang bagus,
memakai baju-baju mahal, perhiasan tinggal pilih, tidak direndahkan orang?”
Mama memelototiku, merasa menang.
Mama terlahir dari
keluarga miskin, menikah dengan laki-laki yang hanya memberi nafkah saat ingat,
anak-anaknya tidak ada yang bisa dikatakan sukses, karenanya sedikit banyak aku
paham mengapa ia memandang kebahagiaan sesempit itu.
“Agar tidak
direndahkan orang.” Aku mengulang apa yang mama katakan. “Itu ‘kan yang paling
penting bagi mama?”
Mama menatapku
dengan mata yang memerah penuh amarah. Batasnya kulewati dan mungkin akan lebih
lagi.
Kutunggu ia bicara,
namun tidak ada suara. Jadi, aku bicara lagi, “Itu juga alasan mama tidak
pernah bisa benar-benar bahagia selama ini. Mama terlalu memikirkan pandangan
orang.”
Tamparan keras
lain kembali mendarat di pipiku. Aku tidak peduli, masih ingin bicara. “Seandainya
dulu mama mau papa ceraikan, seandainya dulu mama memilih untuk mengejar
kebahagiaan mama sendiri, mama pasti akan ribuan kali lebih bahagia, dan aku
tidak perlu menanggung semua penderitaan ini.”
Ya, mama dalam
ingatan masa kecilku adalah seorang perempuan pekerja keras. Ia cantik, pandai
berjualan, dan hampir tidak pernah mengeluh. Masakan mama enak, tidak jarang
orang meminta bantuannya untuk memasak saat ada acara. Mama senang-senang saja,
dapat uang untuk tambahan kebutuhan rumah dan jajan anak. Namun, semuanya
berubah ketika masa puber kedua papa datang hingga di titik ia ingin menikah
lagi.
Mama tidak mau
cerai, baginya menjadi janda cerai adalah aib. Katanya tidak ada satu pun orang
di kampungnya yang bercerai. Ia tidak ingin menjadi yang pertama, namun tidak
sadar sudah mengubah hidupnya sendiri dan anak-anaknya menjadi neraka.
Sejak itulah mama
berubah, menjadi sangat emosional, pemarah, dan pemalas. Bagian terburuknya,
aku bahkan tidak bisa menyalahkannya atas semua itu. Mama adalah korban, begitu
pun aku.
Aku menunduk,
menumpukan pandanganku pada ujung daster mama yang kubelikan sebulan sebelum
pernikahanku dengan Mas Bagus dulu, warnanya sedikit memudar, sudah lima tahun
yang lalu. Selama lima tahun itu pulalah aku tidak pernah bisa memberikan
apapun untuk mama lagi. Mas Bagus tidak mengizinkanku, menyebut mama hanya akan
memperalatku. Tidak pernah memberiku uang belanja lebih, semua uang ia yang
pegang. Rasanya aku hanyalah pembantu yang halal untuk ia tiduri.
Namun, tidak
pernah mama protes. Mas Bagus tetap menantu yang selalu ia bangga-banggakan.
Mama mengembuskan
napas keras.
“Kamu senang
mamamu jadi bahan tertawaan dan gunjingan orang karena menjanda? Dianggap tidak
bisa urus suami.” Mama mengepalkan tangannya hingga otot-otot di lengan
kurusnya semakin terlihat. Ada bersitan kebahagiaan di dalam diriku melihatnya
berusaha menahan diri untuk tidak memukulku lagi.
“Menjadi janda
bukan dosa, Ma!”
“Justru mereka
yang menggunjing orang lain itulah yang berdosa.”
Mama mengibaskan
tangannya, tidak ingin mendengar apapun dariku yang selalu ia anggap hanya
sebagai omong kosong.
“Kamu bukan lagi
anak mama, jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi,” pungkas mama
tanpa menatapku. Badan ringkihnya ia bawa kembali ke kamar, meninggalkan
putrinya yang sedang sangat membutuhkan dekap erat dan usapan lembut di
punggung.
Tubuh mama
menghilang di balik gorden merah muda yang dulu sering kugunakan untuk
bersembunyi saat bermain petak umpet dengannya. Sekarang, di kamar itu hanya
ada mama yang mungkin tengah hancur karenaku. Namun, kuharap mama tahu hormatku
padanya tidak akan pernah hilang, karenanya aku memilih jalan ini.
“Kak.”
Aku terkesiap,
melompat keluar dari lamunanku ketika tangan Wini, adik bungsuku menyentuh
bahuku. Dari tatapannya, aku tahu Wini mendengar semuanya dan dengan matanya,
ia berusaha menguatkanku. Aku mengangguk, memeluknya sebentar, lalu pamit
pergi.
Aku setengah
berlari keluar, namun seseorang yang berdiri di teras menghentikan langkahku
hanya dengan keberadaannya.
Hisman berjalan ke
arahku, mengulurkan salep dan amplop yang tampaknya sudah ia siapkan sejak tadi.
Kugigit bibir bagian dalamku kecil, ia pasti melihat bekas memar di lenganku
karena pukulan tongkat kasti Mas Bagus. Sudah beberapa bulan lalu, namun
bekasnya belum hilang. Mungkin tidak akan pernah hilang.
“Man, saya sudah
melakukan hal yang benar, kan? Saya akan bahagia, kan?”
Hisman tersenyum
tipis dan menganggukkan kepalanya. Ia tepuk tanganku lembut. “Bahagia dan merdeka.”
Aku tertawa tanpa
suara. Kuharap juga begitu.
Walau aku tidak
pernah membicarakan tentang masalah rumah tanggaku pada Hisman, namun aku tahu
ia tidak bisa mencegah dirinya untuk tahu karena mama yang selalu berakhir
menceramahiku dengan teriakan setiap kali aku mengadu dan memberitahunya ingin
menyerah.
Kutatap wajah
lelaki yang pernah kuimpikan menjadi suami itu selama beberapa detik, menyayangkan
keberanianku yang tidak cukup kuat untuk memperjuangkannya, namun sepertinya
itu adalah yang terbaik. Mama mungkin akan menghunuskan pisau pada kami berdua jika
tahu aku ada main dengan putra perempuan yang sudah membuat papa berpaling
darinya.
“Titip mama, ya,”
pintaku pada Hisman. Aku tahu tidak ada yang bisa lebih kupercaya tentang
keluarga sedarahku lebih dari ia. Ibu Hisman sudah meninggal tiga tahun lalu,
kecelakaan bersama papa, namun ia memilih untuk tetap tinggal di rumah ini
bersama mama dan Wini.
Hisman menahan
tanganku saat aku akan beranjak pergi, diletakkannya salep dan amplop yang ia
pegang di telapak tanganku. “Bawa ini.”
“Terima kasih,”
ucapku sungkan.
“Hati-hati.”
Aku mengangguk dan
melangkah pergi, menghampiri tukang ojek yang tadi mengantarku ke sini dan
kuminta untuk menunggu.
Tepat saat aku
menginjakkan kaki di trotoar, lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan oleh tim
paduan suara perayaan kemerdekaan berkumandang dari lapangan seberang jalan.
Ya, hari ini
adalah tanggal 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia. Hari yang kuharap juga
akan mengantarkanku pada kemerdekaanku sendiri.
Kualihkan
pandanganku dari sang merah putih yang sudah selamat sampai puncak tanpa
terbelit pada wallpaper ponselku yang
menampilkan York Minster. Beberapa jam lagi aku akan berada di negara tempat
kota itu berada, melanjutkan pendidikanku dengan beasiswa yang susah payah
kuperjuangkan selama dua tahun terakhir.
Sama dengan para
pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan negara ini di masa lalu, aku juga akan
berjuang untuk menjadi pahlawan bagi hidupku sendiri yang selama ini kehilangan
arti setelah memasuki mahligai pernikahan yang sama sekali tidak kuingini.
Seperti kata
Hisman, aku akan bahagia dan merdeka.
Tentu saja itu
membutuhkan perjuangan dan aku sudah lebih dari siap untuk memperjuangkannya.
Kutarik napas
dalam dan mengembuskannya kuat. Menghempaskan sisa-sisa sesal dan ketakutan
yang hanya akan menjadi kerikil penghalang bagi langkahku.
Kutatap rumah
tempatku tumbuh selama dua puluh tiga tahun itu sekali lagi.
“Saya akan kembali,
Ma … dengan lebih bahagia.”
***
PROFIL PENULIS
ID ANGGOTA PK235258745794. ZaMo sudah
menekuni dunia literasi sejak remaja, ia senang berkumpul dengan orang-orang
yang berpikiran positif dan membawa dampak positif.