Ibu ... hari ini tanggal 22 Desember 2018. Itu artinya, engkau sudah menemaniku selama 9.898 hari sejak aku membuka mata dan hadir ke dunia ini.
Sebanyak itu hari yang telah kita lalui bersama. Namun, aku masih belum bisa menciptakan bahagiamu. Aku masih belum bisa meringankan bebanmu. Aku masih belum bisa membalas peluh dan air susumu.
Setiap pagi kau langkahkan kaki menuju tanah tandus untuk diurus. Agar subur dan memberi berkah di sisa umur. Tak peduli terik mentari membakar kulitmu. Tak peduli kerikil jalanan menyayat-nyayat telapak kakimu. Tak peduli dengan jutaan peluh yang setiap hari menetes. Bahkan senyum indah selalu kau hadirkan saat pulang kala matahari tenggelam. Ceria selalu kau hadirkan kala malam siap memujamu dalam pembaringan. Tanganmu masih setia menyuguhkan teko teh manis dan kudapan di atas meja walau telah lelah.
Tak pernah kau mengeluh walau setiap hari berpeluh. Tak pernah kau mengeluh walau aku sering berkeluh karena inginku tak kunjung terpenuhi.
Sejak di pangkuanmu hingga aku mampu berjalan sendiri, aku belum bisa membalas apa yang telah engkau beri untuk diri ini. Peluhmu berharga bagi kami. Peluhmu lambang derajat keluarga kami. Bahkan aku tak kan mampu membayarnya dengan uang. Begitu banyak peluh yang telah engkau relakan untuk manusia yang bahkan belum bisa memberimu kebahagiaan. Jika harus aku bayar dengan uang, sudah pasti sepanjang hidupku tak kan mampu membalasnya.
Ibu, hari ini pun aku telah menjadi seorang ibu. Telah aku lalui hari-hari yang pernah engkau jalani saat mengandungku selama berbulan-bulan.
Darimu aku belajar untuk tidak manja, tidak merengek dan mudah menangis. Darimu aku belajar tetap mandiri menjalani hari-hari tanpa bergantung pada suami. Jika kau rela terpanggang matahari sembari menimangku di dalam perut. Aku pun rela terpanggang mentari dan menahan sakitnya deras air hujan sembari menimang calon puteri dalam perutku.
Telah kutahu rasa sakit melahirkan. Bukan, bukan rasa sakit ketika aku menyadarinya. Itu sebuah kenikmatan yang tidak bisa dirasakan oleh semua orang terutama para lelaki. Menurut penelitian, melahirkan adalah rasa sakit yang paling sakit. Dan kini kusadari sakitnya melahirkan adalah nikmat yang begitu indah. Sangat indah ... terlebih ketika menatap wajah mungil itu untuk pertama kalinya.
Wajah mungil itu membuatku jatuh cinta setiap hari hingga detik ini. Ingin mengecupnya setiap saat, ingin memeluknya setiap waktu, ingin bahagiakan dia di sepanjang usiaku.
Ibu ... apakah sama yang engkau rasakan?
Apakah seperti ini rasanya menjadi ibu?
Sakit, tapi nikmat.
Lelah, tapi Lillah.
Bahkan hingga saat ini kau tak pernah mengeluh memberi cinta pada anak dari anak-anakmu.
Ibu ... sejauh ini belum bisa kuciptakan bahagiamu dengan tanganku sendiri. Aku tak tahu bagaimana membalasnya. Bukan, bukan aku tak tahu. Aku tahu tapi aku tak mampu. Aku tak kan mampu membalas semua yang kau beri untukku. Sekedar cinta dan kasih sayang yang mampu kupersembahkan.
Ibu, 10 tahun lalu aku pernah merasakan jatuh cinta seperti yang dibilang banyak orang. Jatuh cinta pada lelaki yang sampai kini aku sendiri tak pernah tahu sesungguhnya apa itu cinta. Ada yang bilang, pacar pertama bukanlah cinta pertama. Lalu, siapakah cinta pertamaku? Pacar kedua, ketiga, keempat dan seterusnya? Bagaimana? Aku rasa tidak! Karena hingga kini aku masih tak yakin salah satu dari mereka adalah cinta pertamaku.
Sampai akhirnya wajah polos mungil itu menyadarkanku. Bahwa tak ada cinta lain yang kuterima selain cinta dari seorang ibu. Tidak ada yang bisa memberikan cinta sebesar cintamu padaku. Jika ditanya siapa cinta pertama? Harusnya aku bilang “Cinta Pertamaku adalah Ibu”. Sebab dari hari pertama aku hadir ke dunia, ibu adalah orang pertama yang menatapku penuh cinta. Ibu adalah orang pertama yang kulihat bahkan saat aku belum bisa untuk menyadarinya.
Ibu, betapa bodohnya aku, betapa jahatnya aku. Ketika aku harus membandingkan cintamu dengan cinta orang lain. Ketika aku lebih berusaha mencintai pria lain daripada dirimu. Padahal kaulah pemilik singgasana hati tertinggi dan terindah dalam ruang hidupku. Bohong jika aku bilang, ada seorang pria yang kusebut dengan cinta pertama.
Ibu, kaulah orang pertama yang aku cintai dan begitu seterusnya sampai ke surga nanti.
Jangan lelah mengajarkanku untuk berbakti walau kadang tak sadar aku menyakiti.
Ibu ... jika peluk dan ciumku masih tak mampu membayar masa yang telah lewat, maka kuukir kata-kata ini agar namamu abadi dalam hati ini.
Ibu, maafkan jika selama ini aku belum mampu jadi anak yang baik.
Maafkan jika selama ini aku masih sering merepotkanmu.
Maafkan jika selama ini aku masih bersikap manja.
Maafkan jika selama ini aku masih jadi puteri kecilmu yang suka merengek.
Ibu, maafkan jika aku belum mampu bahagiakanmu. Belum mampu beri istana indah di dunia. Hanya doa yang bisa kupanjatkan setiap hari agar doa-doaku jadi istanamu di Surga nanti.
Ibu, ijinkan aku selalu ada di sisimu sampai masa senjamu. Ijinkan aku memeluk tubuhmu yang kini mulai renta. Ijinkan aku mengelus kulitmu yang tak lagi mulus. Ijinkan aku mengusap rambutmu yang telah pudar dan memutih. Ijinkan aku tetap mencintaimu sampai kita sama-sama menutup mata dalam senyum bahagia.
Ibu ... sampai kapan pun aku tak kan mampu membalas apa yang telah engkau berikan. Bahkan jika aku menjadi orang paling kaya di dunia, hartaku tetap tak kan mampu kupakai untuk membayar peluh, air susu dan air matamu. Maka tunjukkan padaku cara membahagiakanmu. Jangan biarkan aku ada dalam kebutaan hidup ini.
Ibu ... you are my first love. Yesterday, now and forever...
Teruntuk Ibunda tercinta yang tak pernah mengeluh walau berselimut peluh.
Ditulis Oleh ~Rin Muna~ untuk Hari Ibu
East Borneo, 22 Desember 2018
Kecup manis dari puteri kecilmu.
#SuratuntukEmak
#KeluargaCemara