Ilustrasi Gambar by Rin Muna |
Aku memarkirkan motorku
tepat di depan halaman salah satu bengkel yang ada di kota Balikpapan.
"Kak!" Aku
menghampiri seorang cowok yang sedang sibuk memperbaiki sepeda motor
pelanggannya.
"Hei, tumben main
ke sini." Cowok itu langsung berdiri menatapku, mengelap tangannya sambil
tersenyum.
"Nggak bawain kakak
makanan?"
Aku menggelengkan
kepala. Biasanya aku main ke rumah Kak Ari membawakan cemilan kesukaannya.
Tapi, kali ini aku ke bengkel dengan tangan kosong. Sepertinya ia sudah membaca
kalau aku sedang ada keperluan penting.
"Ada apa emangnya?
Nggak biasanya kamu ke sini. Mukamu serius banget gitu." Kak Ari mendengus
ke arahku.
"Aku mau nanya
sesuatu sama Kakak."
"Oh ya ... mau
tanya apa?"
"Erick ngelamar
aku." Aku menatap wajah Kak Ari. Tak ada ekspresi apa pun. Tatapannya
datar, aku tidak bisa mengerti apakah dia bahagia atau justru merasa aneh
mendengar pernyataanku.
"Bagus, dong."
Kak Ari kembali berjongkok dan sibuk memperbaiki motor pelanggannya.
"Kak ..."
"Hmm ...."
"Menurut Kakak, dia
gimana?"
Tak ada jawaban, masih
sibuk memutar baut dengan kunci Y miliknya.
"Kak."
"Apa?"
"Menurut Kakak, dia
gimana?"
"Gimana
apanya?"
"Cocok nggak sama
aku?"
"Cocok,"
jawabnya masih sibuk mengutak-atik motor pelanggannya.
"Apanya yang
cocok?"
Kak Ari mengangkat kedua
pundaknya.
"Kakak kok gitu
sih? Aku serius. Aku belum tahu gimana Erick secara dekat. Gimana pribadinya,
kehidupannya dia. Kak Ari kan sahabat Erick dari SMA. Pasti Kak Ari bisa kasih
aku saran, sebaiknya aku terima dia atau aku tolak?" Aku menyandarkan tubuhku
di dinding sambil menatap wajah Kak Ari.
Aku tidak bisa mengerti,
ekspresi wajahnya datar. Tidak ada rasa senang atau sedih ketika aku
menyampaikan kalau aku dilamar oleh Erick. Mungkin, dia hanya sekedar kaget
sejenak. Selama ini, hampir setiap hari aku menghabiskan waktu bersama Kak Ari.
Tidak ada perasaan suka atau sayang. Dia menganggapku sebagai adik, begitu pula
sebaliknya.
Biasanya, dia selalu
ceria. Hal yang selalu membuatku tersenyum mengingatnya adalah ketika ia
mengusap atau mengacak-acak rambutku.
Aku tidak punya kakak
kandung, karena itu aku merasa perhatiannya istimewa. Mungkin, ada saatnya kita
akan sama-sama kehilangan. Aku yang kehilangan dia sebagai kakak, dan dia yang
kehilangan aku sebagai adik.
Ah, apa iya dia akan
merasa kehilangan aku? Rasanya ... dia tidak akan seperti itu. Kalau dilihat
dari wajahnya, dia akan baik-baik saja. Bahkan mungkin dengan mudahnya
melupakan aku.
"Kak, aku masih
ragu sama dia."
Kak Ari mendongakkan
kepalanya menatapku. "Kenapa?"
"Entahlah
...." Aku mengangkat pundakku. Berharap, dia akan mengatakan "Jangan
terima lamaran Erick!"
Ah, tapi tidak mungkin
dia akan mengatakan itu. Aku bukan bagian penting di kehidupannya.
"Kakak pernah
bilang, akan jadi orang pertama yang ngelindungi aku kalau ada yang nyakitin.
Seandainya aku terima dia dan aku tidak bahagia karena dia menyakiti aku. Apa
kata-kata itu masih berlaku?" Aku menatap Kak Ari, menahan air mataku agar
tidak jatuh.
Kak Ari menghampiriku
dan menggenggam kedua pundakku. "Dek, Kakak sayang kamu seperti adiknya
Kakak sendiri. Tapi, ketika kamu sudah memilih untuk berkeluarga. Kakak bukan
siapa-siapa kamu lagi. Erick yang akan menjaga kamu. Percayalah!”
“Tapi, Kak—”
“Laki-laki yang berani melamar kamu, artinya dia serius
sayang sama kamu.” Kak Ari tersenyum menatapku.
“Sebelum aku terima dia, aku mau kakak ceritakan sama
aku, semua keburukan dia.”
“Maaf ... untuk itu Kakak nggak bisa.”
“Oke. Kalau emang Kakak nggak bisa ceritain ke aku. Kalau
sampai aku nggak bahagia sama dia. Kakak adalah orang pertama yang harus
bertanggung jawab!” ucapku ketus sambil berlalu pergi.
“Dek ...!” Aku dengar ia masih memanggilku. Aku hanya
menoleh kesal, berjalan menuju motorku dan berlalu pergi.
Kak ... bukan itu yang mau
aku dengar. Setelah sekian lama kita menghabiskan waktu bareng. Setelah sekian
banyak hal yang kita lewati bareng. Kenapa sampai hari ini, bahkan di saat aku
harus memilih dengan yang lain. Kamu masih tetap sama, menyayangiku sebagai
adik. Sementara hatiku mulai berubah. Aku ingin kita ada hubungan lebih, bukan
sekedar bersahabat. Setelah semua perhatian yang kamu berikan buat aku. Apa
salah bila akhirnya aku benar-benar jatuh cinta. Kamulah yang selalu aku
rindukan untuk mengisi hari dan hatiku.
Kak ... mungkin ini
terakhir kali kita akan bertemu dan saling sapa. Jujur, aku kecewa. Kalau kamu
menganggapku sebagai adik, kenapa tidak ada rona bahagia dari wajahmu? Kalau
kamu merasakan hal yang sama denganku, kenapa kamu tidak pernah mengungkapkan
itu?
Aku berhenti sejenak mengendarai motor, merogoh
kertas-kertas sketsa wajah yang aku buat untuk Kak Ari. Aku sobek dan kubuang
di tempat pembuangan sampah. Aku ingin melupakan semuanya. Semua yang pernah
aku lewati bersamanya.
Aku tinggalkan kertas itu bersama hujan yang tiba-tiba
tumpah dari langit. Aku menangis bersama hujan. Supaya tidak ada satupun yang
melihat air mataku. Air mata ini adalah awal luka di hatiku. Mungkin, masih ada
hal-hal lain yang lebih menyakitkan yang akan aku hadapi.
“Rin, kamu akan
baik-baik saja. Kamu wanita hebat dan kuat,” batinku menyemangati diriku
sendiri.
Aku melajukan motorku pulang ke rumah dan mendapati Erick
sedang menunggu kedatanganku.
“Kenapa hujan-hujanan?” tanyanya heran. Ia tahu kalau aku
tidak suka hujan-hujanan.
“Aku nggak enak badan. Sebaiknya kamu pulang.” Aku
bergegas masuk rumah, menutup pintu rapat-rapat. Meninggalkan Erick yang
terpaku sendirian di depan rumah. Setelah aku pastikan ia pulang, aku menangis
sejadi-jadinya di dalam rumah. Aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan
besok. Aku harap Tuhan tunjukkan jalan menuju bahagia.
Ditulis
oleh Rin Muna
Samboja,
16 Januari 2019