Thursday, February 13, 2025

Perfect Hero Bab 111 : Banci Rempong

 


Yuna terduduk lesu di salah satu kursi. Ia memejamkan mata sambil menyandarkan punggungnya.

 

“Minum?” Juan menghampiri Yuna sambil menyodorkan satu botol air mineral.

 

“Makasih.” Yuna langsung meraih botol air mineral tersebut dan menenggaknya.

 

“Capek ya? Semalam, kenapa nggak bisa dihubungi?”

 

“Aku udah tidur. Nggak sadar kalau baterai hp-ku habis. Soalnya abis teleponan lama sama temenku.”

 

“Oh.”

 

“Icha mana? Kok, nggak kelihatan ya?”

 

“Standby di kantor.”

 

“Oh.” Yuna mengangguk-anggukkan kepala.

 

Juan duduk di samping Yuna. Sesekali ia memerhatikan wajah cantik Yuna. Meski sudah menikah dan menjadi istri orang, Yuna tetap memiliki pesona dan menarik perhatian banyak pria.

 

“Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau kamu nggak dateng secepatnya. Pak Lian aja, kebingungan sendiri. Dari subuh cuma mondar-mandir nggak jelas,” tutur Juan.

 

Yuna tertawa kecil. “Masa sih?”

 

Juan menganggukkan kepala. “Eh, aku ke sana dulu ya!” pamit Juan sambil menunjuk timnya yang sedang menyiapkan audio untuk acara tersebut.

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum.

 

Juan melangkah pergi meninggalkan Yuna. Membantu audio-man menyiapkan peralatannya sambil sesekali menikmati wajah Yuna yang cantik dari kejauhan. “Yuna ... Yuna, kamu tuh dilihat dari sudut mana aja tetep cantik. Sayangnya, udah jadi istri orang,” gumam Juan dalam hati.

 

Yuna terus mengamati timnya yang sedang bekerja memperbaiki venue yang sempat berantakan.

 

“Mbak Yuna, lampu di ruang make-up kurang terang.” Seorang pria setengah wanita menghampiri Yuna.

 

“Eh!? Coba ngomong sama Mas yang di sana!” pinta Yuna. “Dia yang bagian penerangan.”

 

“Iih... eike dah bilang ke dia. Tapi, dia bilang nunggu instruksi dari Mbak Yuna.”

 

Yuna mengernyitkan dahi. “Oke. Ntar aku kasih tahu dia.”

 

“Buruan, Mbak! Kita mau make-up!”

 

“Iya!” dengus Yuna sambil bangkit dari duduknya. Ia menghampiri seorang pria yang sedang mengatur lighting di atas panggung.

 

“Mas, ada yang bilang kalau lampu ruang make-up kurang terang. Kenapa?”

 

“Nanti saya ganti lampunya, Mbak. Kayaknya, memang sudah redup.”

 

“Bukannya ada lampu kaca ya? Masih kurang terang lagi?”

 

“Nggak tahu tuh si Banci. Bawel amat!”

 

“Ya udah. Nanti disesuaikan aja sama permintaan dia. Maunya kayak gimana.”

 

“Iya, Mbak. Saya kelarin ini dulu.”

 

“Oke.” Yuna menautkan jari telunjuk dan jempolnya sambil tersenyum manis. Ia bergegas kembali ke tempat duduk dan menghampiri asisten model yang masih menantinya.

 

Pria itu tersenyum menatap Yuna. “Coba dari kemaren Mbak Yuna yang di sini. Bawaannya tenang aja. Udah cantik, baik, sabar dan pengertian. Nggak kayak satunya itu yang selalu ngeburu-buru dan marah-marah terus,” celetuknya saat Yuna sudah pergi dari hadapannya.

 

“Gimana, Mbak?”

 

“Ntar diganti,” jawab Yuna santai sambil duduk di kursi.

 

“Kok, ntar sih? Kita udah mau make-up nih!”

 

“Acaranya ntar sore. Masih lama. Ngapain make-up sekarang?”

 

“Mau tes make-up dulu, Mbak.”

 

“Kamu yang mau make-up model kamu?”

 

“Iya.”

 

“Udah berapa lama jadi make-up artisnya dia?”

 

“Udah lima tahun lebih.”

 

“Ya udah, sih. Ngapain pakai acara tes make-up segala? Udah profesional kan? Harusnya bisa make-up dalam waktu singkat.”

 

“Kamu!?” Asisten tersebut geram dengan kata-kata Yuna. Ia menghentakkan kaki sambil berbalik pergi meninggalkan Yuna.

 

Yuna tersenyum kecil sambil menatap pria yang berjalan bak model internasional tersebut. “Mau cari gara-gara sama aku? Dikira aku bego banget apa yak?” dengus Yuna kesal.

 

Yuna langsung memutar bola matanya saat Bellina dan dua pelayannya berjalan menghampirinya. “Dateng lagi Mak Lampir satu ini,” celetuknya dalam hati. Ia pura-pura tidak melihat kedatangan Bellina. Meminum air mineral yang ada di tangannya sambil memerhatikan timnya yang sedang merapikan kursi untuk tamu undangan.

 

“Heh!? Kamu tuh sebenarnya istrinya Yeriko beneran atau nggak?” tanya Bellina saat ia sudah berdiri di depan Yuna.

 

Yuna pura-pura tidak mendengarkan ucapan Bellina.

 

“Kayaknya sih bukan. Kalau emang istrinya beneran. Buat apa masih harus kerja keras kayak gini?” sahut Lili.

 

“Hahaha. Bisa jadi. Dia cuma pura-pura jadi istrinya Yeriko. Makanya, nggak dapet uang belanja.”

 

Yuna merapatkan bibirnya sambil menatap Bellina.

 

“Kenapa? Marah? Berarti beneran?” sahut Bellina saat melihat ekspresi wajah Yuna yang kesal.

 

Yuna tersenyum sinis. “Kamu itu, nggak punya kerjaan lain ya? Hidup kamu nggak tenang kalau nggak ngusik aku?” tanya Yuna kesal.

 

“Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah ngebiarin kamu hidup tenang dan bahagia!” Bellina menatap Yuna penuh kebencian. Ia tak pernah menutupi kebenciannya terhadap Yuna.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. “Emang bener-bener pengangguran!” celetuk Yuna sambil bangkit dari tempat duduknya.

 

“Heh!? Kamu jangan kebanyakan gaya! Miskin aja belagu!” sentak Bellina sambil mendorong pundak Yuna.

 

“Bel, kamu nggak ada puas-puasnya cari masalah sama aku!?” sentak Yuna balik. “Mending kamu cari kerjaan yang banyak! Nggak cuma ngurusin hidup orang aja!”

 

“Kamu!?” Bellina menunjuk wajah Yuna sambil menahan amarah.

 

Yuna tersenyum sinis. “Lihat tuh!” Yuna menunjuk Lian dengan dagunya. “Daripada kamu sibuk ngata-ngatain aku, mending kamu sibuk jagain tunangan kamu yang kegatelan itu!”

 

Bellina langsung menoleh ke arah Lian yang sedang berbincang dengan salah satu model fashion show. Kepalanya langsung panas begitu melihat Lian bersama dengan wanita cantik. Ia menghentakkan kaki dan langsung menghampiri Lian.

 

“Dasar, provokator!” Lili mendengus ke arah Yuna.

 

Yuna tertawa kecil. “Apa bedanya sama kamu?” Ia menjulurkan lidahnya. Yuna berbalik sambil mengibaskan rambutnya di depan Lili dan berlalu pergi.

 

“Eh, busyet! Berasa kayak model iklan shampoo kali ya?” celetuk Lili kesal melihat tingkah Yuna. “Sok cantik banget!”

 

“Emang cantik kali, Li.” Sofi menimpali.

 

“Kamu belain dia?” dengus Lili sambil menatap Sofi.

 

“Nggak belain. Namanya perempuan kan emang cantik, gak mungkin ganteng,” sahut Sofi meringis.

 

“Alesan!” dengus Lili sambil berlalu pergi.

 

Sofi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Apa aku salah ngomong?” tanyanya sambil mengikuti langkah Lili.

 

Sementara itu, Bellina menghampiri model yang bersama Lian.

 

“Eh, ngapain kamu deket-deket sama laki orang!?” sentak Bellina sambil menarik lengan Lian.

 

“Bel, kamu ini kenapa?” tanya Lian sambil mengernyitkan dahinya. “Bisa jaga sikap atau nggak?”

 

“Kamu belain cewek ini!?” seru Bellina makin kesal. “Jelas-jelas dia berusaha buat deketin kamu!”

 

“Maaf, Mbak ... jangan nuduh sembarangan ya! Saya sama Pak Lian cuma ...”

 

“Halah ... alasan!” sentak Bellina. “Kamu sengaja deketin laki orang. Model kayak kamu itu cuma bisa jual badan aja buat ngerayu pengusaha muda kayak Lian!”

 

“Bel, kamu bisa nggak sih jaga sikap?” sentak Lian sambil menarik Bellina pergi.

 

Bellina melangkah mengikuti Lian, tatapannya tak lepas dari wajah model yang berseteru dengannya.

 

“Bel, kamu ini kenapa sih? Aku cuma ngobrol biasa aja. Nggak enak sama yang lain kalau sikap kamu kayak gini,” tutur Lian sambil merangkul pinggang Bellina.

 

“Kamu juga yang bikin aku kayak gini,” sahut Bellina. “Ngapain sih ngobrol sama model segala?”

 

Lian menghela napas. “Nggak enak lah. Mereka kan udah mau bantu perusahaan kita. Masa aku mau cuek gitu aja?”

 

Bellina mengerutkan bibirnya.

 

“Eh, kamu bilang ... mau periksa kandungan ke dokter kan?”

 

Bellina menganggukkan kepala.

 

“Aku antar kamu. Gimana?”

 

“Mmh ...” Bellina menggigit bibirnya.

 

“Kenapa?”

 

“Aku janjian sama dokter masih dua jam lagi. Aku bisa pergi sendiri, kok. Kamu urus aja kerjaan yang di sini!”

 

“Huft, ntar kamu cemburu lagi. Sembarang aja ngelabrak orang.”

 

“Enggak, kok,” sahut Bellina sambil tersenyum. “Aku minta maaf soal sikapku yang tadi. Aku bener-bener nggak berpikir dan nggak bisa mengendalikan diriku.”

 

Lian tersenyum sambil mengusap pundak Bellina.

 

Bellina balas tersenyum. Ia tidak akan membiarkan Lian mengantarnya ke rumah sakit san mengetahui kebenaran tentang kehamilannya.

 

(( Bersambung ... ))

Terima kasih sudah baca Perfect Hero sampai di sini. Jangan lupa kasih star vote biar aku makin semangat update cerita terbarunya. Thank you so much yang udah ngasih hadiah. I Love you ...

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

Perfect Hero Bab 110: Kekacauan Acara Fashion Show

 


“Sayang, sibuk ya?” tanya Yuna sambil memeluk Yeriko dari belakang.

 

“Lumayan. Kenapa?” tanya Yeriko sambil menatap laptop di ruang kerjanya.

 

“Nggak papa. Aku tidur duluan ya!”

 

Yeriko menganggukkan kepala. Ia memutar kursi dan menarik Yuna ke pangkuannya. “Cium dulu!” pintanya.

 

Yuna tersenyum kecil dan langsung mengecup bibir Yeriko. Ia bangkit dari pangkuan Yeriko dan langsung bergegas pergi. “Jangan lupa diminum kopi jahenya!” seru Yuna sambil membuka pintu ruang kerja Yeriko.

 

“Iya, Sayangku. Thank you so much,” sahut Yeriko.

 

Yuna tersenyum. Ia melangkah pergi menuju kamarnya.

 

Yuna langsung berbaring di tempat tidur sambil membuka ponselnya. Ia mendapati Jheni yang sudah meneleponnya beberapa kali. Tanpa pikir panjang, ia menelepon Jheni.

 

“Halo ...!” sapa Jheni begitu panggilan telepon Yuna tersambung. “Kamu ke mana aja sih, Yun? Aku telepon nggak diangkat-angkat.”

 

“Aku di ruang sebelah. Abis ngantar kopi buat suami aku.”

 

“Suami kamu masih kerja aja malam-malam gini?”

 

“He-em.” Yuna menganggukkan kepala.

 

“Pekerja keras memang,” celetuk Jheni.

 

“Iya. Biar bisa beli berlian. Hahaha.”

 

“Huft, enak banget jadi istri orang kaya ya? Beliin berlian mulu.”

 

“Yah, ada enaknya ... ada nggaknya juga. Kadang, aku khawatir sama dia kalau kerjanya sampai larut malam. Dia sering banget nggak tidur. Aku bingung, badannya dia itu terbuat dari apa ya?”

 

“Kayak robot. Hati-hati loh, walau kerja keras, tetap harus jaga kesehatan. Kamu, sebagai istrinya harus ngasih banyak perhatian ke dia! Kasih makanan bergizi. Biar nggak gampang sakit!”

 

“Siap, Bos! Kamu nelpon aku cuma mau nyeramahin aku doang?” tanya Yuna.

 

“Hehehe. Nggak sih. Ada yang mau aku ceritain ke kamu.”

 

“Apa?”

 

“Tadi sore, Amara dateng ke rumah sakit buat pamer hubungannya dia sama selingkuhannya itu. Ternyata, mereka malah udah nikah.”

 

“Terus, terus!?”

 

“Aku berantem sama Amara. Abisnya, dia datang cuma bikin Chandra makin sedih aja. Dia yang bikin Chandra kecelakaan. Eh, masih aja manas-manasin Chandra. Kalau Chandra bunuh diri gimana coba?”

 

“Iih ... kamu nih serem banget sih ngomongnya? Nggak mungkin Chandra bunuh diri. Dia nggak sebodoh itu.”

 

“Yes, I see. Eh, waktu si Amara pergi, Chandra meluk aku!” teriak Jheni.

 

Yuna langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. “Bisa nggak kalau nggak teriak? Telingaku sakit, tahu!” dengus Yuna kesal.

 

“Hehehe. Abisnya aku terlalu senang.”

 

“Kok, bisa si Chandra meluk kamu? Gimana ceritanya?”

 

Jheni langsung menceritakan semua detil kejadiannya sejak ia sampai di rumah sakit sampai pulang ke rumah.

 

“Ciyee ... seharian bareng Chandra mulu nih?” goda Yuna.

 

“Iya,” jawab Jheni ceria.

 

“Kenapa nggak kamu gunain kesempatan itu buat nyatain perasaan kamu?” tanya Yuna.

 

“Idih ... gila! Masa aku yang nyatain cinta duluan? Lagian, situasinya lagi panas gitu. Kalo aku nyatain perasaanku, bakal ditolak mentah-mentah sama Chandra.”

 

“Mmh ... gitu ya?”

 

“Iya, Yun. Kamu bayangin aja! Bayangin!”

 

“Bayangin apaan?”

 

“Terserah! Yang penting bayangin aja dulu!” sahut Jheni sambil tertawa.

 

“Iih ... serius Jhen!” seru Yuna. “Aku penasaran sama hubungan kalian berdua.”

 

“Penasaran kenapa?”

 

“Kira-kira, si Chandra ada rasa juga nggak ya sama kamu?”

 

“Nggak tau juga, sih.” Suara Jheni terdengar sangat lirih. “Aku sih, berharapnya dia ada rasa juga sama aku. Tapi ...”

 

“Mmh ... saat ini masih asyik berteman. Aku takut dia nggak suka sama aku, Yun. Aku nggak pede jadi pasangannya dia.”

 

“Nggak pede gimana?”

 

“Iih ... kamu lihat sendiri kalau dia itu ganteng, putih, tinggi, cool, baik hati, lembut ... haduh, pokoknya dia itu cowok paling perfect di dunia ini. Aku ngerasa nggak pantes aja ada di samping dia. Bagai pungguk merindukan bulan.”

 

“Ah, kamu aja yang berpikir terlalu jauh. Aku juga awalnya begitu sama Yeriko. Selalu ngerasa nggak percaya diri. Kalau di deket dia, sering malu-malu kucing.”

 

“Kalau sekarang?”

 

“Malu-maluin. Hahaha.” Yuna tergelak. Ia dan Jheni asyik berbicara lewat telepon hingga larut malam.

 

“Belum tidur?” tanya Yeriko saat masuk ke dalam kamar.

 

“Belum,” jawab Yuna santai. “Eh, aku tutup teleponnya ya!” pamit Yuna pada Jheni. “Suamiku udah masuk kamar nih.”

 

“Hmm ... oke. Selamat bercinta!”

 

“Idih, apa-apaan sih!?”

 

Jheni langsung mematikan sambungan teleponnya.

 

“Teleponan sama siapa?” tanya Yeriko sambil berbaring di samping Yuna.

 

“Jheni,” jawab Yuna sambil meletakkan ponselnya ke atas meja. “Kerjaan kamu baru selesai?”

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

Yuna langsung memeluk tubuh Yeriko. “Apa kamu nggak bisa lebih banyak istirahat daripada kerja?” tanya Yuna. “Aku perhatikan, beberapa hari terakhir ini kamu sibuk banget. Kalau nggak pulang kerja sampai malam, lembur di rumah sampai larut malam juga.”

 

Yeriko tersenyum sambil mengelus lembut pundak Yuna. “Kerjaan lagi padet banget. Banyak hal yang harus aku urus. Nanti, kalau udah kelar semua, pasti banyak waktu buat istirahat.”

 

Yuna tersenyum. Ia membenamkan wajahnya di dada Yeriko dan langsung tertidur pulas.

 

 

 

Keesokan harinya ...

 

Yuna dibuat heboh dan panik saat Manager proyek meneleponnya dan meminta pertanggung-jawaban Yuna atas kegiatan Fashion Show yang diselenggarakan oleh perusahaan tempat ia bekerja. Selain sebagai sponsor, ia juga ikut bertanggung jawab pada beberapa hal.

 

“Kamu kenapa?” tanya Yeriko saat sarapan pagi dan mendapati istrinya terburu-buru.

 

“Ada masalah sama persiapan acara Fashion Show. Aku berangkat duluan pakai taksi.” Yuna langsung berlari sambil mencomot satu potong roti bakar buatan Bibi War.

 

“Eh!?” Yeriko mengerutkan dahi melihat sikap istrinya. “Bukannya aku juga bisa antar kamu?” gumamnya sambil menggelengkan kepala. Namun, Yeriko tak mengejar Yuna dan tetap melanjutkan sarapannya.

 

Yuna sudah memesan taksi online. Ia langsung menuju ke venue. Di sana, ada Bellina dan Lili yang juga membantu persiapan acara fashion show.

 

Yuna terkejut saat baru keluar dari taksi dan langsung ditodong microphone oleh beberapa wartawan. Semua orang langsung mengajukan banyak pertanyaan pada Yuna dan ia tidak bisa memberikan jawaban.

 

“Nanti ya, Mbak, Mas!” jawab Yuna tenang. “Kami akan lakukan konferensi pers setelah semuanya jelas,” tutur Yuna sambil tersenyum manis.

 

“Tapi, Mbak ... apakah Mbak tidak mengetahui ...?” Beberapa wartawan tetap saja mengajukan pertanyaan tanpa henti.

 

Yuna makin bingung. Salah seorang security yang melihat kejadian ini, langsung menyelamatkan Yuna dan mengawalnya sampai masuk ke dalam gedung salah satu mall yang akan menjadi tempat fashion show berlangsung.

 

“Yuna! Kenapa baru dateng? Di sini sudah heboh dari semalam!” sentak Lian.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. “Sorry ...!”

 

“Kata Citra, semalam dia nelpon kamu dan hp kamu nggak aktif? Kamu tahu nggak kalau acara ini penting banget? Mereka sampai nggak tidur demi acara ini dan malah kacau kayak gini.”

 

“Hp-ku kehabisan baterai semalam. Aku udah tidur,” jawab Yuna santai. Ia langsung mengumpulkan beberapa panitia penyelenggara dan melakukan meeting dadakan.

 

Yuna mencari solusi terbaik. Ia bahkan mengeluarkan uang pribadi untuk menyelesaikan masalah persiapan  fashion show.

 

“Gimana dengan wartawan yang udah nunggu di luar?” tanya salah satu panitia.

 

“Bilang aja ke mereka kalau itu cuma rumor. Semua akan berjalan baik-baik aja. Ini murni kecelakaan. Pekerja yang terluka sudah ditangani dengan baik kan?”

 

“Iya. Cuma luka ringan. Nggak ada masalah.”

 

“Oke. Satu jam lagi, property yang baru akan datang. Pastikan semuanya aman saat dipasang sampai acara selesai!”

 

Semua panitia menganggukkan kepala.

 

Yuna menarik napas lega. Kecelakaan yang terjadi secara tiba-tiba memang di luar dugaan. Banyak hal yang sudah dipersiapkan sangat matang dan tetap saja terjadi masalah. Ia berharap, acaranya akan berjalan dengan lancar karena masih memiliki waktu beberapa jam lagi untuk memperbaiki lokasi acara yang berantakan.

 

 

(( Bersambung ... ))

Thanks buat temen-temen yang udah setia baca Perfect Hero sampai di sini. Makasih banyak untuk apresiasi yang begitu besar. Jangan sungkan sapa aku di kolom komentar ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

Perfect Hero Bab 109: Rasa yang Tak Biasa

 


“Belum mau pulang? Kamu udah seharian nemenin aku di sini,” tutur Chandra sambil menatap Jheni.

 

“Kamu ngusir aku? Oke, aku pulang!” sahut Jheni sambil bangkit dari tempat duduk.

 

“Nggak gitu, Jhen!” Chandra langsung menahan lengan Jheni. “Aku khawatir aja kalau orang rumah kamu nyariin.”

 

“Siapa yang mau nyariin aku?” tanya Jheni. “Aku tinggal sendirian,” lanjutnya.

 

“Oh iya. Aku lupa!” sahut Chandra sambil menepuk dahinya. “Siapa tahu aja, pacar kamu yang nyariin?”

 

“Aku nggak punya pacar, Chan!” tegas Jheni.

 

“Masa sih? Cantik-cantik masa nggak punya pacar?” celetuk Chandra.

 

“Aku cantik?” tanya Jheni.

 

“Iya. Kalo ganteng, itu aku!” sahut Chandra.

 

Jheni tergelak mendengar ucapan Chandra. “Kamu bisa aja,” sahutnya sambil mendorong pundak Chandra.

 

“Aduh ...!” teriak Chandra sambil menyentuh pundaknya.

 

“Hah!? Pundak kamu luka?” Jheni langsung panik dan langsung memeriksa pundak Chandra.

 

Chandra terpaku menatap wajah Jheni yang begitu dekat. Ia tidak mengerti perasaan yang ia miliki saat ini. Setiap berdekatan dengan Jheni, ia merasa jantungnya berdebar lebih kencang.

 

Saat posisi mereka ambigu, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Jheni dan Chandra langsung menoleh ke arah pintu.

 

Jheni langsung melepaskan tangannya dari pundak Chandra. Ia merasa sangat malu dengan adegan yang tidak ia sengaja itu.

 

“Amara!?” Chandra langsung menatap Amara yang berdiri di pintu. Kemudian, menatap laki-laki yang juga berdiri di samping Amara.

 

Amara melangkah perlahan menghampiri sofa tempat Jheni dan Chandra asyik bercengkrama. “Aku pikir kamu itu cowok alim yang baik dan pendiam. Ternyata, kamu juga ada main di belakang aku?” tanya Amara sambil menatap kesal ke arah Chandra.

 

“Amara, ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Aku nggak pernah mengkhianati kamu sedikit pun. Kamu jangan salah paham!” pinta Chandra.

 

Amara tersenyum sinis ke arah Chandra. “Mulai sekarang, kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi!” tegasnya.

 

“Tapi ... aku masih sayang sama kamu dan kita udah tunangan,” sahut Chandra.

 

Amara tersenyum sinis menanggapi ucapan Chandra. “Mulai sekarang, aku bukan lagi tunangan kamu.” Ia menyodorkan cincin tunangan miliknya ke arah Chandra. “Aku sudah menikah. Jadi, kamu jangan pernah berharap lagi sama aku!” pintanya.

 

“Amara ...!” panggil Chandra lirih dengan mata yang memerah menahan kepedihan. “Kamu nggak beneran nikah sama orang lain, kan?” Chandra menggoyang-goyangkan pundak Amara.

 

“Aku beneran udah nikah, Chan!” seru Amara sambil melempar cincin ke dada Chandra. “Kami baru aja menikah. Jadi, jangan berharap kalau aku bakalan balik lagi ke kamu!” tegas Amara.

 

“Gimana bisa kalian menikah secepat ini? Aku masih nggak percaya!” sahut Chandra.

 

Amara tersenyum sinis. Ia mengeluarkan buku nikah dari dalam tasnya dan memberikannya pada Chandra. “Kami beneran udah nikah. Pernikahan kami sudah sah menurut agama dan negara.”

 

Chandra tertegun menatap surat nikah yang disodorkan oleh Amara. Ia sama sekali tidak menyangka kalau tunangannya memilih untuk menikah dengan pria lain. Ia hanya bisa terduduk lesu dan tak bisa berkata-kata lagi.

 

“Kalian bener-bener nggak punya perasaan!” seru Jheni kesal.

 

“Kamu siapa? Selingkuhannya Chandra?”

 

“Aku nggak seburuk yang kamu pikirkan!” sentak Jheni. “Kamu, sebagai wanita harusnya punya perasaan dikit.”

 

Amara tersenyum sinis menatap Jheni. “Heh!? Kamu nggak usah sok suci di depan aku! Diam-diam, kamu juga suka sama tunangan orang. Kalau nggak, buat apa kamu di sini?”

 

“Karena aku peduli sama dia sebagai teman. Kamu yang tunangannya dia, harusnya jadi orang pertama yang ngerawat dan nemenin dia. Bukannya malah asyik sama cowok lain,” sahut Jheni.

 

“Aku nggak pernah bener-bener cinta sama dia!” tutur Amara sambil menunjuk wajah Chandra. “Kamu pikir, cewek mana yang betah pacaran sama patung?”

 

Chandra hanya tertunduk sambil menopang kening menggunakan telapak tangannya. Ia benar-benar tidak berdaya. Rasa sakit dalam hatinya terlalu dalam dan tak sanggup menahannya. Terlebih, sikap Amara yang membuatnya hampir gila.

 

“Eh, Chandra tuh tunangan kamu. Bisa-bisanya kamu ngatain dia. Walaupun dia cuek, dia sayang sama kamu!” seru Jheni. Ia terus membela Chandra mati-matian. “Kamu aja yang nggak tahu diri. Malah selingkuh sama cowok kayak gini,” lanjut Jheni sambil menatap sinis ke arah Harry.

 

“Kamu ...!?” Amara geram mendengar ucapan Jheny yang terlihat meremehkan Harry. Ia menghentakkan kakinya karena kesal. “Bilang aja kalau kamu suka sama Chandra, kan?”

 

“Mau suka atau nggak, bukan urusan kamu! Toh, kamu udah nikah sama laki-laki lain. Nggak perlu ngurusin kehidupan Chandra lagi!” sentak Jheni.

 

“Aku juga nggak mau ngurusin hidupnya cowok payah satu ini!” sahut Amara. “Aku ke sini cuma pengen dia tahu, kalau aku udah nikah dan nggak perlu ngarepin aku lagi karena aku udah hidup bahagia sama Harry,” lanjutnya sambil memeluk lengan Harry.

 

“Bodo amat!” sahut Jheni. “Chandra nggak bakalan mau sama perek kayak kamu!”

 

“Apa kamu bilang!?” Amara langsung mendelik ke arah Jheni. Ia tidak terima dengan julukan yang diberikan oleh Jheni.

 

“Kenapa? Nggak terima?” Jheni mendekatkan wajahnya dengan angkuh.

 

Amara mengangkat tangan dan bersiap menampar Jheni, namun Harry dengan sigap menahannya. “Jangan bikin onar di rumah sakit!” bisiknya.

 

“STOP!” teriak Chandra. “Kalian nggak perlu kelahi di sini!”

 

Chandra menatap tajam ke arah Amara. “Sebaiknya, kamu pergi dari sini!” sentaknya.

 

Amara tersenyum sinis. “Aku memang mau pergi dari sini. Lihat muka kalian, bener-bener bikin aku muak!” Ia langsung berbalik dan keluar dari ruangan Chandra.

 

BRAAK ...!!!

 

Amara membanting pintu sangat keras, membuat Jheni dan Chandra terkejut.

 

Jheni menatap pilu ke arah Chandra yang masih terduduk lemas di atas sofa. Ia ikut duduk di samping Chandra. “Are you ok?”

 

Chandra menoleh ke arah Jheni. Matanya memerah, jiwanya dipenuhi rasa sakit dan kecewa yang begitu dalam terhadap tunangannya sendiri. Ia merasa gagal menjadi seorang laki-laki. Membiarkan pasangannya sendiri lebih memilih hidup bersama pria lain.

 

Jheni berusaha untuk tersenyum walau hatinya ikut sakit melihat Chandra. “Kalau memang harus nangis, menangislah!” pintanya sambil menyentuh punggung tangan Chandra.

 

Chandra menatap Jheni beberapa saat. Ia langsung merengkuh tubuh Jheni. “Makasih, karena kamu sudah nemenin dan ngerawat aku,” bisik Chandra sambil meneteskan air mata.

 

Pikiran Jheni kosong untuk beberapa saat. Tubuhnya membeku saat Chandra tiba-tiba memeluknya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lalukan sekarang. Hanya berharap, air mata Chandra yang jatuh membasahi punggungnya akan segera tergantikan dengan senyum kebahagiaan.

 

“Lupain dia ...!” bisik Jheni.

 

Chandra mengangguk dan makin mengeratkan pelukannya. Ia terlihat seperti anak kecil yang sedang memeluk ibunya karena kehilangan mainan kesayangannya.

 

Beberapa menit kemudian, Chandra melepas pelukannya. Ia mengusap pipinya yang basah dan tersenyum ke arah Jheni.

 

Jheni balas tersenyum. “Kamu laki-laki. Pasti jauh lebih kuat. Di luar sana, masih banyak perempuan yang cantik dan baik hati. Suatu saat, kamu pasti akan bertemu dengan jodoh terbaikmu.”

 

Chandra menganggukkan kepala. “Tuhan memisahkan aku dengan Amara. Mungkin, karena dia telah menyiapkan seseorang yang jauh lebih baik dari dia.”

 

Jheni mengangguk sambil tersenyum. “Bener banget! Kalau gitu, jangan sedih lagi ya!” pinta Jheni.

 

Chandra tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

“Oh ya, sekarang udah sore banget. Aku harus pulang. Ntar kamu usir karena aku kelamaan di sini. Hehehe.”

 

Chandra tertawa kecil menanggapi ucapan Jheni. “Aku nggak ngusir. Kamu baperan banget sih!?”

 

Jheni meringis sambil meraih tas tangannya. “Bercanda, kok. Aku pulang dulu ya! Besok, kalau nggak sibuk, aku ke sini lagi.”

 

Chandra menganggukkan kepala.

 

“Salam buat suster cantik yang sering jagain kamu. Siapa tahu, dia jodoh kamu,” goda Jheni sambil mengerdipkan matanya.

 

“Ah, kamu bisa aja.”

 

Jheni tersenyum. Ia meraih tempat sup yang ia bawa dari rumah. Kemudian melangkah menuju pintu dan bergegas meninggalkan Chandra.

 

Chandra tersenyum menatap pintu ruangannya. Ia merasa, sikap Jheni membuat hatinya jauh lebih baik. Setidaknya, ia bisa melupakan Amara saat sedang bersama Jheni. Walau itu hanya kenyamanan sesaat. Sebab, ia masih terus merasa sakit begitu mengingat sikap Amara terhadap dirinya.

 

(( Bersambung ... ))

Thanks buat temen-temen yang udah setia baca Perfect Hero sampai di sini. Makasih banyak untuk apresiasi yang begitu besar. Jangan sungkan sapa aku di kolom komentar ya!

Happy Eid Mubarak! Minal Aidzin Wal Faidzin, Mohon maaf lahir dan batin ...

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas