Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Monday, February 10, 2025

The Cakra Bab 121 : Sandiwara Lion || a Romance Novel by Vella Nine

 

BAB 121

SANDIWARA LION

 


Lion menarik napas dalam-dalam sambil menatap bubur ayam yang baru saja selesai ia masak. Jauh di dalam hatinya ia berharap jika tawanan yang dimaksud oleh para mafia ini bukanlah Chessy yang ada dalam bayangan masa depannya.

“Cepat!” bentak salah seorang sambil menatap Lion yang masih bergeming. “Bawa makannnya ke kamar di lantai 2!” perintahnya.

Lion mengangguk cepat dan melangkah menuju anak tangga kayu yang berada tak jauh dari pintu dapur. Ia terus melangkah dengan perasaan tak karuan hingga ia mendapati dua orang pria bertubuh kekar sedang berjaga di depan pintu.

“Kamu tukang masaknya? Lama banget!” sentak salah satu pria yang ada di sana.

“Ma-maaf, Bang. Saya masih baru kerja di sini. Belum hafal tempat bahan dan peralatan masak,” jawab Lion lirih sambil menundukkan kepala. Matanya tertuju pada sarung pistol yang melekat di tubuh pria itu.

“Gawat, mereka semua bersenjata,” batin Lion.

“Cepat masuk! Dia harus dikasih makan yang banyak! Jangan sampai mati! Kalau sampai dia mati, dia hanya akan jadi mayat yang nggak ada harganya. Kamu juga harus ikut mati!”

Lion mengangguk lagi. Ia segera melangkah masuk ke dalam kamar yang ada di sana. Ia segera menghampiri seorang wanita yang berbaring di atas dipan.

“Beneran Chessy,” batinnya dengan perasaan tak karuan. Wajahnya ikut pucat pasi saat melihat wajah Chessy yang sudah sangat pucat dan tubuhnya lemah. Entah berapa lama wanita itu tak sadarkan diri. Membuat Lion sangat ketakutan dibuatnya.

Lion segera memeriksa denyut nadi di tangan kanan Chessy. “Masih ada,” gumamnya  meski ia menyadari jika denyut nadi Chessy sudah sangat lemah.

“Woi, bangun!” sentak salah satu pria berpakaian preman yang ada di sana sambil menggebrak tempat tidur Chessy.

“Bang, jangan kasar begini!” pinta Lion dengan nada rendah. “Dia bisa mati lebih cepat karena jantungan. Nadinya sudah lemah banget. Biar saya yang urus!” pintanya.

“Kamu bisa?” tanya preman itu sambil menatap Lion dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

“Bisa, Bang. Aku pernah belajar ilmu medis dari keluargaku,” jawab Lion. “Dia hsrus dalam keadaan tenang. Jadi, biarkan aku yang mengurusnya sendiri. Abang keluar dulu!” pintanya.

“Kau nyuruh aku keluar?” sentak pria bertubuh kekar yang berdiri di dekat Lion.

“Maaf, Bang! Denyut nadi wanita tawanan ini sudah sangat lemah. Kalau tidak segera ditolong, dia bisa mati beneran.”

“Okelah. Jangan sampai dia kabur!” pinta pria itu. “Kalau sampai perempuan ini kabur, kau yang kutembak duluan!”

“I-iya, Bang.” Lion mengangguk sambil menggetarkan jemari tangannya agar ia terlihat ketakutan. Ia terus melirik pergerakan preman itu hingga keluar. Kemudian, ia segera menutup pintu kamar tersebut dan menguncinya.

“Hei, kenapa dikunci!?” sentak preman yang baru saja keluar kamar.

“Demi keamanan dan kenyamanan bersama, Bang. Biar nggak ada yang ganggu saya melakukan perawatan. Dia nggak mungkin bisa kabur dari lantai dua ini,” sahut Lion.

“Bener juga, ya?” gumam preman itu. Ia segera memerintahkan beberapa temannya untuk berjaga di luar bangunan villa tersebut.

Lion segera menghampiri Chessy yang sudah terbaring lemas tak berdaya. “Chessy ...!” panggilnya lirih sambil mengangkat kepala Chessy agar lebih tinggi dari tubuhnya.

Chessy bergeming. Ia bisa mendengarkan suara di sekitarnya, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia merasa jika dirinya sudah tidak ada di dunia lagi. Ia takut saat ia bangun, ia sudah berada di langit dan tak bisa lagi bertemu dengan Cakra.

“Chess ...! Chessy ...! Ini gue, Lion!” bisik Lion. Ia segera menyandarkan tubuh Chessy ke tubuhnya agar bisa duduk. Kemudian mengambil segelas air putih hangat yang ia bawa bersama bubur buatannya.

Chessy membuka matanya perlahan. Tapi ia tidak bisa melihat sosok Lion yang berada di belakangnya.

“Minum dulu!” pinta Lion saat menyadari kalau tubuh Chessy bereaksi. Ia segera memasukkan minuman itu ke dalam mulut Chessy secara perlahan agar wanita itu bisa memiliki kekuatan dan kesadarannya kembali.

“Kenapa lo ada di sini? Lo yang culik gue, Li?” tanya Chessy begitu ia sudah menghabiskan setengah gelas air hangat.

Lion spontan menggeleng sambil mengayunkan kedua telapak tangannya. “Nggak, Chess! Lo jangan suudzon sama gue!” pintanya. “Gue ke sini buat nolongin lo.”

“Beneran?” tanya Chessy sambil menatap lemas wajah Lion.

Lion mengangguk. “Lo makan dulu, ya! Supaya ada tenaga buat bertahan. Kita ada di tempat yang sulit dan berbahaya.”

“Berbahaya?” tanya Chessy penasaran.

Lion mengangguk. “Gue bakal cerita ke lo. Tapi sambil makan bubur ini, y!”

Chessy mengangguk perlahan. Ia seger menggeser tubuhnya agar tidak lagi bersandar pada tubuh Lion.

“Apa lo masih inget terakhir kali lo ada di mana sebelum diculik ke sini?

“Di acara perjamuan bisnis perusahaan  Nona Mang,” jawab Chessy.

Persis kayak gambaran masa depan yang aku lihat,” batin Lion.

“Lo tahu, nggak, sekarang ada di mana?” tanya Lion.

Chessy menggeleng.

“Kita ada di wilayah hutan Sangkulirang,” jelas Lion.

“Sangkulirang? Apa kita sudah ada di luar Indonesia?” tanya Chessy.

“Masih di Indonesia. Tapi ini daerah Pulau Kalimantan,” jawab Lion.

Chessy terbelalak mendengar jawaban Lion. “Lo serius? Gue nggak lagi di kota Jakarta?”

Lion mengangguk. “Nggak usah banyak omong, dulu! Makan dulu supaya lo punya banyak energi!” pintanya sembari mendekatkan semangkuk bubur ke hadapan Chessy.

Chessy terdiam sambil menatap semangkuk bubur yang disuguhkan oleh Lion. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa dia dibawa sejauh ini. Ia bahkan tak pernah mendengar nama Sangkulirang seumur hidupnya. Apakah dia bisa kembali ke Jakarta lagi?

“Nggak usah takut! Ada gue. Gue nggak akan biarkan mereka ngelukain lo.”

“Gue harus pulang, Li. Cakra pasti nyariin gue,” pinta Chessy.

“Kita nggak bisa keluar dari sini dengan mudah. Yang jaga di rumah ini ada banyak banget dan mereka pegang senjata api. Kita nggak bisa gegabah. Jalan satu-satunya buat gue adalah menjadi bagian dari mereka. Seenggaknya ini bisa menjamin kalau lo bakal aman.”

“Lo tahu dari mana kalau gue ada di sini?” tanya Chessy.

Lion tersenyum kecil dan menyuapkan bubur ke mulut Chessy. “Gue udah lama di sini, Chess. Gue lagi therapy dan banyak belajar spiritual,” jawabnya. “Gue nggak sengaja lihat lo dibawa ke tempat ini. Awalnya, gue pikir orang lain. Nggak nyangka kalau ternyata perempuan yang mereka sekap itu lo.”

“Kenapa gue nggak tahu kalau lo udah lama keluar dari kota Jakarta? Lo nggak pernah ngabarin gue, Li.”

“Lo udah sibuk sama kehidupan baru lo, Chess. Gue nggak mau ganggu kalau Cuma buat hal-hal kecil kayak gini,” jawab Lion. Ia tersenyum saat melihat Chessy mau memakan bubur buatannya dengan lahap.

“Untuk sementara, lo ikuti skenario orang-orang yang nyulik lo ini. Gue bakal nyari celah supaya kita bisa keluar dari tempat ini,” pinta Lion.

Chessy mengangguk. “Lo yakin kalau semua bakal aman?”

Lion mengangguk. “Gue yang bakal jagain lo, Ches. Gue yang bakal pastiin kalau mereka nggak akan ngelukai lo sedikitpun. Karena mereka mau duit suami lo.”

“Mereka minta tebusan?” tanya Chessy.

Lion mengangguk. “Kayaknya mereka minta nilai yang fantastis. Biar gimana pun, suami lo adalah orang paling kaya di negeri ini. Mana mungkin mereka minta uang recehan 200 atau 300 juta aja. Mereka juga bilang kalo lo berharga. Jadi, nggak akan berani bikin lo luka.”

Chessy menarik napas dalam-dalam dan bulir-bulir air mata mulai menghiasi mata indahnya.

“Kenapa nangis? Ada gue di sini. Lo bakal aman.”

“Gue kepikiran Cakra. Kasihan dia. Dia bakal kesusahan gara-gara gue, Li,” jawab Chessy lirih. Air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah juga.

“Chess, suami lo bukan orang biasa. Dia nggak mungkin kesusahan. Dia punya segalanya, Chess. Dia bisa ngelakuin apa aja yang dia mau pake uang yang dia punya. Bahkan buat cari banyak istri baru yang bakal gantiin posisi lo,” ucap Lion sambil menahan emosi melihat Chessy sedang menangisi suaminya.

PLAK!

Telapak tangan Chessy refleks menampar pipi Lion. “Jangan ngomong sembarangan, ya!” sentaknya.

Lion menatap tajam ke arah Chessy sambil memegangi pipinya yang memanas. Seumur hidupnya, Chessy tak pernah menamparnya meski ia kerap marah dan berkata kasar. Hatinya tiba-tiba merasa sakit karena perubahan sikap Chessy terhadap dirinya.

“Lo nampar gue demi laki-laki yang baru lo kenal, Chess?” tanya Lion sambil tersenyum sinis. “Dua puluh tahun kita hidup bareng, gue masih kalah sama cowok yang baru lo kenal setahun belakangan ini. Gue nggak nyangka kalo lo bakal berubah secepat ini, Chess,” ucap Lion penuh kekecewaan. Ia segera meletakkan mangkuk bubur yang isinya sisa dua sendok, kemudian bangkit dan melangkah keluar dari kamar tersebut dengan lunglai.

Chessy tertegun menatap telapak tangannya sendiri. Air matanya jatuh perlahan ketika ia dihadapkan oleh dua hal yang sangat penting dalam hidupnya, tapi ia harus memilih salah satunya.

“Kenapa? Kenapa gue bisa semarah ini sama Lion? Nggak seharusnya gue nampar dia,” lirih Chessy. Meski begitu, jauh di dalam lubuk hatinya ia tidak bisa menerima perkataan Lion yang menganggap remeh Cakra dan segala hal negatif tentang suaminya itu. Ia tidak mengerti kenapa rasanya begitu sakit saat Lion mengatakan kalau Cakra bisa dengan mudahnya bersama wanita lain di luar sana.

“Cak, kamu nggak akan nyakitin aku, kan?” ucap Chessy lirih sambil berlinang air mata. Semua kenangan antara ia dan Cakra, tiba-tiba muncul di pikirannya. Meski belum lama mengenal Cakra, ia merasa ada banyam memori indah yang memenuhi isi kepalanya, juga membahagiakan hatinya.

“Apa yang membuat rasanya berbeda? Kenapa kenanganku dengan Lion selama dua puluh tahun tidak lebih banyak dari kenanganku bersama Cakra selama satu tahun belakangan ini? Apa ini yang namanya cinta?” gumam Chessy. Ia terus sibuk berperang dengan hati dan pikirannya. Ia harap, ia bisa menjalani lebih banyak kebahagiaab bersama Cakra, meski orang lain mengatakan bahwa itu adalah penderitaan.


((Bersambung ...))

Terima kasih yang sudah setia mengikuti cerita ini sampai ke sini. Mohon banget kalau author udah bikin para pembaca kebingungan. Author juga jauh lebih bingung karena kontrak di platform F itu tidak menghasilkan apa-apa. Hanya menghasilkan lelah tak berujung yang bikin authornya kehilangan mood dan semangat buat nulis. Semoga kalian bisa mengerti bahwa tidak semua rumah bisa nyaman ditinggali oleh para penulis. 


Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

Perfect Hero Bab 99 : Kembalinya Masa Lalu Yeriko || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Aargh …!” teriak Refina saat ia tersadar dari komanya.

 

“Kenapa, Mbak?” tanya suster yang menjaganya.

 

“Kaki aku kenapa?” teriak Refina sambil memandangi kakinya yang sulit untuk ia gerakkan.

 

“Kakinya Mbak Refi mengalami luka yang cukup serius. Apa tidak bisa digerakkan sama sekali?”

 

“Nggak bisa, goblok! Kalo bisa, udah aku gerakin dari tadi. Kamu ini suster apaan, hah!? Kayak gini masih aja ditanyakan!” sentak Refina.

 

“Maaf, Mbak! Kami hanya perlu memastikan. Biar kami periksa dulu!” Suster mulai memeriksa kondisi kesehatan Refina pasca koma.Tidak ada luka dalam yang serius. Hanya luka di kaki  Refi yang sangat mempengaruhi kondisi psikisnya.

 

“Aku nggak mau lumpuh. Aku nggak mau kehilangan kakiku. Aku nggak mau kehilangan impianku. Aargh …!” teriak Refina. Ia mulai mengamuk dan melempar barang-barang yang ada di dekatnya.

 

“Panggilin dokter!” pinta salah seorang perawat. Perawat lain langsung keluar ruangan untuk memanggil dokter.

 

Beberapa perawat mencoba menenangkan Refina. Tapi teriakannya semakin menjadi dan mengundang perhatian Yeriko yang kebetulan melintas.

 

“Yer, itu bukannya si Refi? Dia kenapa?”

 

Yeriko mengedikkan bahunya.

 

“Ayo, kita lihat keadaan dia!” ajak Lutfi.

 

“Kamu aja!”

 

“Ck, ayo!” Lutfi langsung menarik lengan Yeriko.

 

Yeriko tak bersemangat masuk ke dalam ruang rawat Refi.

 

Refina terus memberontak hingga melukai salah satu suster yang ada di dalam ruangan itu.

 

Dokter yang bertugas langsung masuk ke dalam ruangan dan menyuntikkan obat penenang kepada Refina.

 

“Dia kenapa, Dok?” tanya Lutfi.

 

“Kondisi mentalnya masih belum stabil. Mungkin, dia masih belum bisa menerima kenyataan.”

 

“Maksudnya?” Lutfi mengernyitkan dahinya.

 

“Kecelakaan yang dialaminya, membuat dia kehilangan fungsi kakinya. Kakinya lumpuh,” jawab dokter sembari bergegas keluar dari ruangan. “Saya keluar dulu, masih ada pasien lain yang harus ditangani.”

 

Yeriko mengangguk dan langsung menghampiri Refina.

 

“Yeriko!?” Refina langsung memeluk Yeriko sangat erat.

 

Yeriko tersenyum kecil sambil mengelus rambut Refina. Ia melepaskan pelukan Refina perlahan dan mundur beberapa langkah.

 

“Yer …!” panggil Refina lirih sambil menatap Yeriko.

 

Yeriko tersenyum kecil. “Maaf atas apa yang sudah terjadi sama kamu! Aku mewakili Chandra, bener-bener minta maaf atas kejadian ini.”

 

“Chandra?” Refina memijat kepalanya yang berdenyut. “Kenapa Chandra?”

 

“Chandra yang sudah nabrak mobil kamu,” jawab Lutfi.

 

“Jadi, dia yang udah bikin aku jadi kayak gini?” tanya Refina sambil meneteskan air mata.

 

“Ref …!” Lutfi ingin menghampiri Refina. Namun, langkahnya tertahan saat melihat ekspresi wajah Yeriko.

 

“Sekarang aku nggak bisa apa-apa. Kakiku bener-bener nggak bisa digerakin. Aku ini penari dan aku nggak mau karirku hancur karena aku lumpuh,” tutur Refina makin terisak.

 

Yeriko menarik napas sambil memejamkan matanya perlahan. “Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya soal masalah ini.”

 

“Yer …! Aku kangen sama kamu.” Refina mencoba meraih tangan Yeriko.

 

Yeriko melangkah mendekati Refina agar gadis itu tidak terjatuh dari ranjangnya.

 

Refina tersenyum menatap Yeriko. Ia sangat merindukan wajah tampan yang pernah mengisi hari-harinya. Ia sengaja kembali ke Indonesia demi Yeriko. Walau ia mendengar rumor kalau Yeriko sudah menikah, ia ingin memastikan apakah rumor itu benar atau tidak.

 

“Yer, apa bener kalau kamu sudah nikah?” tanya Refina.

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

Air mata Refina langsung menetes saat mengetahui kenyataan pahit yang harus ia alami. “Apa aku ... sudah nggak ada di hatimu lagi?”

 

Yeriko bergeming. Ia hanya menelan ludah mendengar pertanyaan dari Refina.

 

“Ref, kamu lagi sakit. Sebaiknya kamu istirahat!” sela Lutfi.

 

“Kamu juga ikut benci sama aku?” tanya Refina melihat tatapan Lutfi yang dingin.

 

Lutfi tersenyum sinis. “Aku nggak punya alasan buat benci kamu. Aku cuma nggak mau sahabatku kembali sedih karena masa lalu yang menyakitkan.”

 

Refina tersenyum kecut. “Aku tahu, aku banyak salah sama kalian. Tapi, apa bener-bener udah nggak ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya?” tanyanya sambil menggenggam tangan Yeriko.

 

Yeriko tersenyum kecil. Ia melepas jemari tangan Refina satu persatu dari pergelangan tangannya. “Aku sudah ngelupain semuanya. Kamu sudah nggak ada lagi di masa lalu atau pun di masa depanku.” Yeriko langsung berbalik dan melangkah pergi.

 

“Yeriko ...!” seru Refina.

 

Yeriko menghentikan langkahnya kembali.

 

Refina tersenyum kecil. Ia tahu, Yeriko tidak akan berbuat kejam terhadap dirinya. Ia merasa, dirinya masih ada di dalam hati Yeriko.

 

“Kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya!” pinta Refina.

 

Yeriko menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Ia merasa tidak perlu mendengarkan penjelasan apa pun dari mulut Refina.

 

“Please! Sekali ini aja!” pinta Refina dengan nada lemah. Ia menatap Lutfi yang masih berdiri di hadapannya. “Lut, izinin aku buat ngobrol berdua aja sama Yeriko!”

 

Lutfi mendesah dan langsung bergegas keluar dari ruangan Refina.

 

“Yeriko ...!” panggil Refina lirih.

 

“Bicara secepatnya!” pinta Yeriko sambil membelakangi Refina.

 

“Aku nggak bisa bicara keras-keras. Kamu ke sini!” pinta Refina.

 

Yeriko menghela napas dan berbalik. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang Refina. Wajahnya tetap saja acuh tak acuh dan tidak ingin menatap Refina sedikit pun.

 

“Yer, aku minta maaf!” tutur Refina dengan nada lemah. “Aku tahu, aku sudah salah. Aku mau kita balik kayak dulu lagi.” Refina mencoba meraih tangan Yeriko. “Kamu nggak bener-bener menghapus aku dari hati kamu kan?”

 

“Aku udah lupain semuanya,” jawab Yeriko dingin. Ia teringat wajah Refina tiga tahun silam yang mencampakkan dirinya dengan kejam. Kini, ia tidak akan lagi tertipu dengan wajah cantik yang sangat tempramental itu.

 

“Yer ...!” Mata Refina berkaca-kaca. “Aku janji akan memperbaiki semuanya. Aku bener-bener nyesel sama apa yang udah aku lakuin ke kamu. Aku ... pergi ke Paris cuma pengen mengejar impianku menjadi seorang Ballerina profesional. Aku nggak bermaksud buat ninggalin kamu.”

 

Yeriko tersenyum sinis. Ia melepaskan tangan Refina. “Sudah terlambat buat menyesali perbuatan kamu. Tiga tahun lalu, kamu bahkan nggak menghiraukan aku saat aku berlutut di hadapan kamu. Sekarang, aku sudah melupakan semuanya. Aku sudah memiliki wanita yang tulus menyayangiku apa adanya.”

 

“Yer, maafin aku ...! Saat itu, aku bener-bener nggak berpikir jauh tentang hubungan kita. Aku terlalu ambisius sampai mengabaikan kamu. Sampai saat ini, aku nggak pernah bisa melupakan kamu sedikit pun. Please ...! Kita balik kayak dulu lagi!”

 

“Aku sudah nikah,” sahut Yeriko dingin.

 

“Aku mau nunggu kamu sampai kapan pun. Aku nggak akan ngelepasin kamu gitu aja. Please, Yer! Aku mau jadi istri kedua kamu asal bisa selalu ada di deket kamu.”

 

“Kamu udah gila ya!” seru Yeriko makin kesal.

 

“Iya. Aku emang udah gila!” sahut Refina. “Aku gila karena kamu. Aku udah gila karena selama ini aku selalu diselimuti rasa bersalah. Aku mau memperbaiki semuanya. Aku mau ... kita kembali kayak dulu lagi. Kamu bisa ceraikan Yuna ...”

 

Yeriko langsung bangkit dari tempat duduknya. “Apa yang pernah terjadi di antara kita, itu cuma masa lalu. Nggak akan pernah berubah jadi masa depan. Sudah ada wanita lain yang ada di masa depan aku. Aku nggak akan mengkhianati dia!” tegas Yeriko.

 

Refina menggigit bibirnya sendiri. “Please, jangan tinggalin aku!” pintanya dengan nada lemah.

 

“Sorry ...! Aku harus pulang,” sahut Yeriko sambil tersenyum. “Istriku sudah nunggu di rumah.”

 

“Yer ...!” Refina berusaha meraih ujung jemari Yeriko untuk menahannya. Tubuhnya terlalu lemah untuk mencegah Yeriko meninggalkannya.

 

Yeriko berbalik dan bergegas pergi meninggalkan Refina yang terisak seorang diri di dalam ruang rawatnya.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

Perfect Hero Bab 98 : Perasaan Tersembunyi || a Romance Novel by Vella Nine

 


Yuna langsung pergi ke rumah Jheni begitu ia pulang kerja. Ia menatap pintu rumah Jheni yang tidak tertutup rapat. Ia langsung membuka pintu dan masuk ke dalam rumah sahabatnya itu.

 

Yuna tertegun melihat kondisi rumah Jheni yang berantakan. Ia mengedarkan pandangannya dan mendapati Jheni sedang terduduk di pojok ruangan. Ia langsung berlari menghampiri Jheni yang terisak di sudut ruangan. Suaranya hampir habis dan nyaris tak terdengar.

 

“Jhen, kamu baik-baik aja?” tanya Yuna. Ia langsung memeluk Jheni sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia mengira kalau Jheni baru saja mengalami perompakan di rumahnya.

 

Jheni semakin terisak di pelukan Yuna.

 

“Jhen, rumah kamu habis kerampokan?” tanya Yuna bingung melihat semuanya berantakan.

 

Jheni menggelengkan kepala.

 

“Terus?”

 

“Huaaa ....!” tangis Jheni makin menjadi.

 

“Jhen, sebenarnya ada apa?” tanya Yuna sambil menangkup pipi Jheni.

 

“Aku ... aku ... aku benci sama diriku sendiri!” sahut Jheni makin terisak.

 

“Jhen, jangan nangis lagi!” pinta Yuna. “Cerita dulu ke aku! Sebenarnya ada apa?”

 

Jheni menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan perasaannya.

 

Yuna menatap Jheni serius dan menunggu Jheni menceritakan semua masalahnya.

 

“Aku udah cerita sama kamu semalam kalau aku suka sama cowok yang udah punya tunangan.”

 

Yuna mendesah kecil. “Masih soal yang semalam? Apa kamu bener-bener suka sama dia?”

 

Jheni menganggukkan kepala.

 

“Aku nggak bisa komen, Jhen. Kamu sahabatku, nggak ada salahnya kamu  mengejar cinta. Tapi, sebagai perempuan ...” Yuna terdiam sejenak sambil menatap Jheni. “Aku juga nggak setuju kalau kamu menghancurkan hubungan orang lain.”

 

“Aku tahu, Yun. Ini sebabnya aku benci sama diriku sendiri. Aku nggak tahu sejak kapan perasaan ini muncul. Sejak kita makan bareng dan ketemu sama tunangannya, saat itu juga aku merasa sangat sakit. Kami, selalu dipertemukan tanpa sengaja dan aku semakin kagum sama dia.”

 

Yuna menghela napas. “Lebih baik kamu lupain cowok itu!” pinta Yuna. “Mungkin ini Cuma perasaan kagum, bukan cinta.”

 

“Tapi, Yun ... perasaanku makin sakit saat aku tahu dia kecelakaan. Aku pengen jenguk dia, tapi aku nggak punya keberanian. Chandra, terlalu baik buat aku.”

 

Yuna tertegun saat mendengar nama cowok yang disebutkan oleh Jheni. “Chandra?” tanyanya sambil mengerutkan dahi.

 

Jheni mengangguk kecil.

 

Yuna tersenyum sambil menatap Jheni. “Aku pikir, kamj suka sama cowok mana,” celetuk Yuna sambil bangkit. Ia mulai merapikan barang-barang Jheni yang berhamburan.

 

“Kenapa malah ketawa?” tanya Jheni bingung.

 

“Kalau Chandra itu cowok yang kamu suka, aku bakal dukung kamu buat ngerebut dia dari Amara,” jawab Yuna santai.

 

“Eh!? Kenapa gitu?” tanya Jheni.

 

“Karena Amara itu jahat banget. Nggak cocok sama Chandra yang alim. Dia terlalu liar dan suka selingkuh!” jawab Yuna berapi-api.

 

“Kamu tahu dari mana?”

 

“Yeriko yang cerita ke aku. Katanya, Amara itu udah beberapa kali selingkuh. Tapi, Chandra masih aja maafin dia. Padahal, Chandra itu ganteng dan baik hati. Cowok kayak dia, masih aja diselingkuhi.”

 

“Tunangan dia separah itu?”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Dia kecelakaan juga karena tunangannya yang gila itu. Beberapa hari lalu, Yeriko nunjukin foto perselingkuhan Amara sama cowok lain. Kali ini, hati Chandra bener-bener terpukul.”

 

“Mmh ... pantes aja beberapa hari ini dia sering murung. Aku juga sering nemuin dia mabuk di pinggir jalan.”

 

“Yah, mungkin karena dia udah putus asa sama sikap tunanganya itu.”

 

“Apa Chandra masih mempertahankan hubungannya?”

 

Yuna mengedikkan bahu. “Aku nggak tahu juga. Sampai sekarang, aku belum dapetin kabar detilnya.”

 

Jheni mendesah kecil. Ia merasa dirinya tetap tidak pantas untuk Chandra. “Sekalipun dia udah putus sama Amara. Aku nggak mungkin bisa bersatu sama dia.”

 

“Why?”

 

“Karena di hatinya Chandra cuma ada Amara. Aku nggak mungkin punya tempat di hatinya.”

 

“Jangan pesimis gitu dong! Aku pasti dukung kamu, kok.”

 

Jheni tersenyum ke arah Yuna.

 

“Nah, gitu dong! Senyum kayak gini lebih cantik,” puji Yuna sambil merapikan rambut Jheni.

 

“Yun, tapi kamu harus janji sama aku ya!” pinta Jheni sambil menggenggan jemari tangan Yuna. “Jangan sampai Chandra tahu kalau aku suka sama dia!”

 

“Kenapa?”

 

“Aku takut kalau dia nggak suka sama aku dan malah menjauh dari aku. Saat ini, aku cuma pengen deket sama dia walau sebatas teman.”

 

“Huft, kenapa cinta itu bisa serumit ini? Jhen, saat ini Chandra lagi terpuruk banget. Dia butuh support orang-orang terdekatnya. Bukan cuma butuh support, dia juga butuh cinta baru untuk bisa terlepas dari masa lalu dia,” tutur Yuna.

 

“Mmh ... apa pantas kalau aku ngejar dia?”

 

Yuna tersenyum kecil. “Saat ini, cinta nggak pandang siapa yang mengejar atau suka duluan. Yang paling penting adalah berusaha dan berjuang tanpa menyerah buat orang yang kita cintai. Mungkin, perasaan kamu ke Chandra saat ini masih sebatas kagum. Tapi, setelah kamu berjuang mendekatinya ... kamu baru akan tahu, itu cinta atau bukan.”

 

Jheni menarik napas dalam-dalam. “Oke. Kalau gitu ... mulai hari ini aku bakal ngejar Chandra dan berjuang sampai titik darah penghabisan!” tegasnya berapi-api.

 

Yuna tertawa kecil. Ia senang melihat Jheni sudah kembali ceria.

 

“Kamu bantu aku ya!” pinta Jheni.

 

“Bantu apa?”

 

“Bantu comblangin aku sama Chandra!”

 

“Hahaha. Mau bayar aku berapa?”

 

“Idih, tega bener sama temen sendiri minta bayaran,” sahut Jheni kesal. “Chandra itu sahabatnya suami kamu. Bisa speak-speak dia buat bantuin aku deket sama Chandra.”

 

“Mmh ...” Yuna mengetuk-ngetuk dagunya.

 

“Yun ... ayolah!” pinta Jheni sambil menggoyang-goyangkan lengan Yuna.

 

“Mmh ... aku nggak yakin kalau suami aku mau jadi mak comblang.”

 

Jheni mengerucutkan bibirnya.

 

“Kamu tenang aja! Kalau jodoh nggak bakal ke mana. Gimana kalau kita jenguk dia di rumah sakit?”

 

“Sekarang?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Oke. Aku mandi dulu!” pamit Jheni sambil bergegas pergi. Namin lengannya ditahan oleh Yuna. “Kenapa?”

 

“Mmm ... tuh!” Yuna menunjuk seisi ruangan yang berantakan dengan dagunya.

 

Jheni tersenyum nyengir.

 

“Beresin dulu, baru pergi mandi!” perintah Yuna.

 

“Nanti aja lah. Aku bisa beres-beres kalau udah kelar jenguk Chandra.”

 

“Alesan! Kalo kamu nggak mau beresin, aku nggak mau temenin kamu ke rumah sakit.”

 

“Siap bos!” sahut Jheni sambil memberi hormat bak seorang prajurit. Ia mulai merapikan isi rumahnya, tentunya dibantu oleh Yuna.

 

“Jhen, di sini masih ada bajuku atau nggak?” tanya Yuna.

 

“Cek aja di lemari! Kayaknya masih ada. Kenapa?”

 

“Aku mau mandi di sini sekalian.”

 

“Iya. Mandi aja!”

 

“Oke.” Yuna langsung melenggang masuk ke kamar Jheni.

 

“Heh!? Belum kelar bantuin beresinnya!” seru Jheni kesal. “Gitu nyuruh aku beres-beres dulu. Sekalinya malah dia yang mau buru-buru mandi,” gumamnya.

 

Jheni segera menyelesaikan pekerjaanya  membereskan rumah. Setelahnya ia pergi mandi dan bersiap untuk menjenguk Chandra di rumah sakit. Perasaannya kini lebih baik. “Aku bakal buktiin kalau aku jauh lebih baik dari tunangan kamu itu!” tegas Jheni dalam hati..

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas