Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Monday, February 10, 2025

Perfect Hero Bab 90: Pelanggan yang Panas

 


Mobil Yeriko terparkir tepat di depan gedung Balai Budaya, salah satu gedung kesenian milik pemerintah kota.

 

Yeriko turun dari mobil, membukakan pintu untuk Yuna dan menggandeng Yuna bak seorang ratu yang baru turun dari kereta kencana.

 

“Kenapa berlebihan banget sih?” bisik Yuna menanggapi perlakuan Yeriko yang membuat semua mata tertuju pada mereka.

 

“Kamu ini Nyonya Ye, apanya yang berlebihan? Harus jadi pusat perhatian yang mengagumkan, bukan memalukan,” balas Yeriko berbisik.

 

Yuna tersenyum kecil. Ia mengikuti langkah Yeriko sambil merangkul lengan suaminya itu.

 

“Kalau aku bisa menangin karya seni Abah Nasirun, aku bisa dapet keuntungan yang sangat besar,” bisik Yeriko.

 

Yuna tersenyum, ia mengedarkan pandangannya dengan sikap yang elegan. Hatinya ingin berteriak melihat karya seni yang terpajang di dalam ruangan tersebut. Namun statusnya sebagai Nyonya Ye, harus membuatnya bersikap elegan dan tidak boleh mempermalukan suaminya di depan semua orang.

 

“Yun ...!” panggil Lian sembari melangkah menghampiri Yuna dan Yeriko yang masih bergandengan tangan.

 

“Ya,” balas Yuna sambil tersenyum manis ke arah Lian.

 

“Kamu ingat tugas kamu kan?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Kalo gitu, kamu harus sama aku malam ini!” pinta Lian.

 

Yuna langsung menoleh ke arah Yeriko yang ada di sampingnya. Yeriko mengisyaratkan amarahnya. Ia menatap tajam ke arah Lian dan tidak merelakan Yuna bersama dengan Lian.

 

Lian membalas tatapan Yeriko penuh amarah. Ia mengerti kalau Yeriko tidak merelakan Yuna bersamanya. “Dia dateng sebagai karyawan aku!” tegas Lian.

 

Yeriko tersenyum kecil. “Dia juga datang sebagai istriku!”

 

Lian menghela napas. Ia menatap Yuna yang berdiri di depannya. “Kamu pilih mana? Suami atau karir kamu?”

 

Yuna langsung mendelik mendengar pertanyaan Lian. “Kamu ...!? Nyuruh aku milih antara suami dan karir? Jelas aku pilih suamiku!” dengus Yuna.

 

Lian semakin emosi mendengar pernyataan dari Yuna.

 

“Ikuti dia!” bisik Yeriko di telinga Yuna sambil melepaskan tangan Yuna dari lengannya. “Ingat, jangan pernah pergi dari pandanganku!”

 

Yuna tersenyum ke arah Yeriko. Ia mengangguk dan langsung menghampiri Lian.

 

Lian dan Yuna berjalan beriringan. Lian tersenyum puas karena akhirnya bisa membuat Yuna berada di sisinya. Sementara Yeriko terus mengamati Yuna dari kejauhan.

 

“Kenapa kamu selalu menjadi orang lain saat bareng Yeriko?” tanya Lian lirih.

 

“Maksud kamu?”

 

Lian tersenyum kecil. “Aku tahu, kamu punya selera seni yang tinggi dan pastinya pernah mengenal salah satu seniman yang ada di tempat ini.”

 

Yuna menghela napas mendengar ucapan Lian. “Punya selera seni, bukan berarti harus mengenal semua seniman kan?”

 

“Ya, ya, ya. Tapi … sikap kamu kali ini terlalu elegan. Lihat!” Lian menunjuk salah satu seniman yang berada di ruangan tersebut. Seorang seniman pahat dan bonsai asal Pulau Dewata. “Kamu tahu kan namanya dia siapa?”

 

Yuna melongo dan membelalakkan matanya menatap wajah seorang seniman senior yang telah menggeluti dunia seni paling tinggi di dunia. Siapa sangka kalau pertemuan pertamanya dengan seniman asal Pulau Dewata itu adalah ketika ia menjalani studi di Australia.

 

“Gedemerta?” Yuna berbisik. Ia sangat mengagumi sosoknya. Meski tidak begitu terkenal di Indonesia, namun ia adalah seniman yang disegani dunia karena karya-karyanya yang sangat indah dan rumit.

 

“Hai ...!” sapa Andre saat melihat Yuna bersama dengan Lian.

 

“Hai, Ndre!” balas Yuna sambil tersenyum manis. “Kamu di sini juga, Ndre?”

 

Andre menganggukkan kepala. Ia menatap Yuna dan Lian bergantian. Kemudian, ia juga menatap Yeriko yang berdiri tak jauh dari mereka.

 

Tatapan Yeriko terlihat sangat berbahaya. Terlebih saat melihat istrinya didekati oleh dua pria sekaligus.

 

Lian tersenyum, ia mengajak Yuna duduk di kursi paling depan.

 

Yeriko tak mau kalah, ia juga langsung duduk di samping Yuna. Membuat Yuna diapit oleh Lian dan Yeriko. Andre ikut duduk di samping Yeriko. Mereka terlihat sangat elegan. Tidak banyak berbicara dan hanya menunggu acara berlangsung.

 

Yuna tersenyum, ia meraih jemari tangan Yeriko dan menggenggamnya erat.

 

“Yun, kamu nggak mau nemuin I Nyoman Gedemerta itu?” tanya Lian.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Dia maestro, nggak mungkin ingat sama aku.”

 

Yeriko meremas jemari tangan Yuna. “Kamu kenal dengan beberapa seniman?” tanya Yeriko sambil mengernyitkan dahinya.

 

“Nggak kenal. Cuma tahu aja.”

 

“Kemarin kamu bilang nggak pernah denger nama Abah Nasirun?”

 

“Emang nggak pernah denger. Yah, nggak semua seniman aku tahu. Waktu itu, kebetulan aja aku dateng ke acara pameran bonsai di Melbourne dan ketemu sama Gedemerta.”

 

“Oh …”

 

Lian tertawa kecil mendengar pembicaraan Yuna dan Yeriko.

 

Yeriko langsung mengernyitkan dahi sambil menoleh ke arah Lian.

 

“Ternyata … suami kamu nggak bener-bener tahu keseharian dan hobi kamu seperti apa?” tanya Lian sambil tertawa menatap Yuna.

 

Yuna tersenyum kecil. “Dia nggak perlu tahu masa laluku seperti apa. Karena yang dia kasih ke aku adalah masa depan.”

 

Lian tersenyum kecut mendengar ucapan Yuna. Ia langsung mengerutkan bibirnya dan mendesah kesal.

 

Yeriko sangat kagum mendengar pernyataan Yuna. Ia menatap Yuna lekat. Membuat istrinya tersenyum manis ke arahnya. Tanpa banyak bicara, Yeriko langsung mengecup kening Yuna. Hal ini membuat Lian dan Andre semakin kesal dengan kemesraan Yuna dan Yeriko.

 

 

 

Beberapa menit kemudian, terdengar suara MC yang membuka acara pelelangan tersebut. Acara dibuka dengan menampilkan kesenian tarian daerah dan teater cerita rakyat “Rama Sinta”.

 

Yuna sangat menikmati pertunjukan seni yang disuguhkan oleh panitia penyelenggara. Terlebih, ada kisah cinta ‘Rama Sinta’ yang sangat menyentuh hati.

 

Pembawa acara mulai membuka acara pelelangan dengan mengeluarkan barang-barang kecil terlebih dahulu. Semua orang terlihat sangat riuh memberikan penawaran harga.

 

Pada sesi terakhir, Abah Nasirun muncul sambil membawa sebuah karya terbaik yang akan menjadi penentu siapa pemenang pelelangan kali ini.

 

“Hasil karya ini berjudul “Sail on The Galaxy”. Kita akan buka dengan harga berapa, Abah Nasirun?” Suara pembawa acara menggelegar ke seluruh ruangan.

 

“Karya ini ... akan saya buka dengan harga sepuluh juta rupiah,” jawab Abah Nasirun sambil memamerkan karyanya di atas panggung.

 

“What!? Sepuluh juta?” celetuk Yuna melongo.

 

“Oke. Kita buka dengan harga sepuluh juta rupiah!” seru pembawa acara. “Siapa yang berani menawar lebih tinggi dari sepuluh juta rupiah?”

 

“Tiga puluh juta!” Seorang pengusaha di kursi paling belakang  mulai memberikan penawaran.

 

“Lima Puluh Juta!” Yeriko mengangkat tangannya.

 

“Oke. Lima puluh juta rupiah. Ada yang berani dengan harga yang lebih tinggi lagi?”

 

“Delapan puluh juta!” sahut Andre yang duduk di sebelah Yeriko.

 

Yeriko tersenyum sinis ke arah Andre.

 

Andre terus tersenyum sambil mengerdipkan mata ke arah Yuna.

 

Lian yang melihat sikap Andre, semakin kesal dan ingin mengalahkan dua pria yang ada di dekatnya itu. Ia langsung mengangkat tangannya. “Seratus juta!” serunya.

 

“Wow ...! Seratus Juta? Ada yang berani menawar lebih tinggi lagi?”

 

“Seratus dua puluh juta!” seru Yeriko sambil mengangkat tangannya.

 

Lian dan Andre langsung menoleh ke arah Yeriko. Hati mereka semakin panas dan tidak mau kalah dari Yeriko.

 

“Seratus tiga puluh juta!” sahut Andre.

 

“Seratus tiga puluh lima juta!” seru Lian sambil menatap kesal ke arah Andre dan Yeriko.

 

“Seratus lima puluh juta!” seru Yeriko.

 

“Seratus enam puluh juta!” sahut Andre tak mau kalah.

 

“Seratus enam puluh lima juta!” sahut Lian.

 

Andre menatap sengit ke arah Lian. “Seratus tujuh puluh juta!”

 

“Dua ratus juta!” sahut Lian penuh emosi.

 

Yeriko tersenyum kecil sambil merapikan jasnya. Ia menoleh ke arah Andre yang juga tersenyum ke arahnya.

 

“Wow ...! Dua ratus juta. Ada yang berani ngasih penawaran lebih tinggi lagi?” tanya pembawa acara.

 

Lian menoleh ke seluruh ruangan. Semua orang bergeming. Tak ada lagi yang memberikan penawaran lebih tinggi. Ia tersenyum penuh kemenangan.

 

Yuna tersenyum setelah menyaksikan perdebatan yang sangat menegangkan.

 

“Oke. Kami hitung sampai sepuluh. Kalau tidak ada penawaran lagi, maka lukisan ini akan menjadi milik Wilian Wijaya, Direktur dari Wijaya Group!” seru pembawa acara.

 

Setelah menghitung dari angka sepuluh ke angka satu, tak ada satu pun yang memberikan penawaran lagi. Hasil Karya Abah Nasirun kini resmi menjadi milik Wilian.

 

Wilian merasa sangat puas karena bisa mengalahkan Yeriko. Namun, ia kemudian menyadari kalau Yeriko dan Andre sepertinya sedang mempermainkan dirinya. Membuatnya mendapatkan lukisan dengan harga yang sangat tinggi.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

Perfect Hero Bab 89 : Gaun Pesta

 



“Jhen, kamu di mana? Temenin aku ke butik bisa?” tanya Yuna lewat panggilan telepon.

 

“Jam berapa?”

 

“Sekarang.”

 

“Hah!? Kenapa mendadak banget sih?”

 

“Iish ... aku tuh dari kemarin nggak kepikiran.”

 

“Gak kepikiran gimana?”

 

“Yeriko ngajak aku ke acara pelelangan ntar malam. Si Andre juga sempat ngajak. Trus, Lian nyuruh aku juga datang sebagai perwakilan perusahaan. Aku belum punya gaun formal buat acara ntar malam, Jhen. Malu kan kalo pake gaun itu-itu aja. Apalagi suamiku selalu jadi sorotan banyak orang.”

 

Jheni tertawa mendengar ucapan Yuna.

 

“Kenapa malah ketawa?”

 

“Hehehe. Nggak papa. Resiko jadi istrinya orang kaya. Penampilan aja kudu diatur. Apa kabar Yuna lima tahun lalu? Yang kalo pakai baju suka ngasal.”

 

“Iih ... nggak usah ngolok deh!” sahut Yuna. “Kalo aku sendiri sih nggak masalah. Aku cuma takut kalau ... bikin Yeriko malu.”

 

“Mmh ... iya. I know that. Kalo gitu, aku tunggu kamu di rumah.”

 

“Kamu yang ke sini aja gimana?”

 

“Ke mana?”

 

“Aku masih di kantor. Lima belas menit lagi baru pulang. Kamu naik taksi ke sini. Abis itu kita berangkat bareng. Aku nggak punya banyak waktu, Jhen.”

 

“Hmm ... oke.”

 

“Uuch ... Thank you so much Sayang akooh ... I Love you ... emmuach!”

 

“Hadeh ... kalo ada maunya aja baru sayang-sayang,” sahut Jheni.

 

Yuna meringis dan langsung mengakhiri pembicaraannya dengan Jheni. Ia mengirimkan pesan pada Yeriko untuk tidak pergi menjemputnya. Beberapa menit kemudian, ia dan Jheni sudah berada dalam salah satu butik.

 

Karena waktunya tak banyak. Yuna tidak banyak memilih. Ia hanya meminta rekomendasi dari pemilik butik dan sahabatnya. Usai memilih satu gaun terbaiknya, ia langsung bergegas pulang ke rumah.

 

“Sore, Bi!” sapa Yuna pada Bibi War yang sedang menyiram tanaman di halaman rumah.

 

“Sore juga,” sahut Bibi War sambil tersenyum manis.

 

“Suamiku udah pulang, Bi?”

 

“Sudah. Tumben pulangnya nggak bareng, berantem lagi?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku masih ada urusan mendadak. Aku yang minta dia buat nggak jemput.”

 

“Oh ...”

 

Yuna tersenyum dan bergegas masuk ke dalam rumah. Ia melenggang dengan senang hati masuk ke kamarnya dan mendapati suaminya baru saja selesai mandi.

 

“Mmh ... yang udah wangi,” tutur Yuna sambil mengendus udara di dalam kamarnya. Ia langsung meletakkan paper bag ke atas meja dan melepas sepatunya.

 

Yeriko tersenyum kecil dan langsung menarik Yuna.

 

Yuna tertegun melihat dada Yeriko yang telanjang.

 

“Kenapa nggak mau dijemput?” tanya Yeriko.

 

“Eh!? Aku masih mampir belanja dulu.”

 

“Belanja apaan?”

 

“Ada, deh.”

 

“Belanja aja pakai rahasia-rahasiaan,” tutur Yeriko sambil mencubit hidung Yuna. “Oh ya, aku udah siapin pakaian buat acara malam ini,” lanjutnya sambil melirik box yang ada di atas tempat tidur.

 

Yuna langsung menoleh ke arab box yang dilirik Yeriko. Ia melepaskan dirinya dari pelukan Yeriko dan menghampiri box tersebut. Ia tertegun melihat gaun dan sepasang sepatu yang ada dalam box tersebut.

 

“Kenapa nggak bilang kalau sudah nyiapin gaun buat aku?” tanya Yuna sambil mengangkat gaun dan mengamatinya. Ia tersenyum melihat gaun selutut berwarna hitam dengan gradasi biru tua dan hiasan kristal swarovski yang indah.

 

“Bukannya ini udah bilang?” tanya Yeriko sambil melangkah menuju lemari untuk mengganti pakaiannya.

 

Yuna memutar bola matanya. “Maksudnya ... sebelum kamu beli pakaian ini, kamu bilang dulu ke aku!” pintanya.

 

Yeriko mengernyitkan dahi. “Kamu nggak suka? Kalo nggak suka, nggak usah dipakai!”

 

“Suka banget, kok.” Yuna tersenyum sambil memeluk gaun pemberian Yeriko. “Aku mandi dulu kalo gitu,” lanjutnya. Ia meletakkan kembali gaun tersebut ke dalam box dan bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

 

Yeriko tersenyum kecil melihat rona bahagia yang terpancar dari wajah Yuna. Ia melanjutkan mengenakan pakaiannya. Saat ia memakai arloji, matanya tertuju pada paper bag yang bertuliskan nama toko pakaian yang tak asing baginya.

 

Yeriko melangkah perlahan dan membuka paper bag tersebut. Ia menatap gaun pesta berwarna peach yang ada di dalamnya. Bibirnya menyunggingkan senyum. Ia langsung meraih paper bag tersebut dan meletakkannya di samping kotak gaun yang ia beli.

 

Beberapa menit kemudian, Yeriko sudah siap dengan setelan jas warna navy.

 

“Kamu abis beli baju juga?” tanya Yeriko saat Yuna sudah keluar dari kamar mandi. Ia duduk di tepi ranjang sambil menatap Yuna.

 

“Eh!?” Yuna meringis sambil menatap Yeriko. “Sorry ...! Aku nggak tahu kalau kamu udah siapin pakaian buat aku. Acara kali ini pasti penting banget dan aku nggak mau bikin kamu malu.” Yuna langsung meraih paper bag yang ada di samping Yeriko dan menyimpannya ke dalam lemari.

 

“Kenapa nggak dipakai?”

 

“Bisa dipakai lain kali,” jawab Yuna sambil tersenyum. Ia segera memakai pakaian yang diberikan Yeriko.

 

Usai berpakaian dan merias diri, mereka segera berangkat ke acara pelelangan yang diselenggarakan di gedung kesenian milik pemerintah kota.

 

“Beruang, kenapa acara pelelangan ini penting banget?” tanya Yuna saat mereka sudah ada di perjalanan.

 

“Karena acara pelelangan ini berhubungan dengan proyek pengembangan pemerintah di wilayah kekuasaan yang penting dan sangat menguntungkan,” jelas Yeriko sambil tersenyum.

 

“Oh ... jadi, acara ini sebenarnya untuk rebutan tender?”

 

“Mmh ... nggak begitu pengaruh ke tender. Tapi pengaruh sama kredibilitas perusahaan.”

 

“Oh ya?”

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

“Huft, sebenarnya ... aku sama sekali nggak berminat buat mewakili perusahaan ke acara ini. Aku harus gimana saat sampai sana? Sama kamu atau sama Lian?”

 

Yeriko tersenyum sambil mengelus punggung tangan Yuna. “Kamu ikuti saja keinginan perusahaan kamu. Kamu boleh sama Lian sebatas kepentingan kerja. Asalkan kamu jangan pernah pergi dari pandanganku!” pinta Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala sambil tersenyum bahagia. Ia merangkul lengan Yeriko dan bersandar di bahu suaminya itu.

 

“Yan, tugas yang aku kasih kemarin, sudah sampai di mana perkembangannya?” tanya Yeriko.

 

“Baru empat puluh persen, Bos.”

 

“Lambat banget?”

 

“Bos kan baru ngasih kemarin. Ada sedikit kendala dan bikin lambat. Prediksiku, lusa sudah kelar seratus persen.”

 

“Oke.” Yeriko manggut-manggut.

 

 

 

TING!

 

Yuna langsung merogoh ponsel di dalam tas tanganya dan membaca pesan dari tantenya.

 

“Nggak mau bantuin?” tanya Yeriko yang ikut membaca pesan di ponsel Yuna.

 

Yuna mengedikkan bahunya. “Lagian, Mama Rully minta kita persiapin pesta pernikahan juga kan? Jadi, aku punya alasan buat nolak keinginan Tante Melan. Lagian, si Lian itu kan duitnya banyak. Tinggal pilih satu WO dan semuanya bisa diselesaikan. Alasan aja nih Maleficent mau ngerjain aku.”

 

Yeriko tersenyum sambil mengusap ujung kepala Yuna. “Apa pun yang akan kamu hadapi, aku akan selalu di samping kamu.”

 

“Beneran?” tanya Yuna sambil menengadahkan kepala menatap Yeriko.

 

Yeriko mengangguk, ia langsung mengecup bibir Yuna.

 

Riyan melirik majikannya lewat spion depan dan tersenyum. Ia merasa sangat bahagia melihat bosnya yang kini banyak berubah, sangat lembut dan bertoleransi setelah mengenal Yuna.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 


Sunday, February 9, 2025

Perfect Hero Bab 88 : Negosiasi Hubungan || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Mmh ... acara ntar malam gimana ya? Aku ... nggak dikasih izin pulang cepet sore ini. Lian maksa aku harus hadir ke acara pelelangan itu atas nama perusahaan. Gimana dong?” tanya Yuna sambil menikmati makan siangnya.

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Dateng aja atas nama perusahaan kamu!”

 

“Nggak papa?” Yuna melongo menatap Yeriko.

 

Yeriko mengangguk. “Tapi ... kita tetep berangkat bareng.”

 

Yuna mengangguk.

 

“Kenapa dia nggak bawa tunangannya?” tanya Yeriko.

 

Yuna mengedikkan bahu. “Entahlah. Aneh banget tuh dia. Alasannya sih karena Bellina Manager Personalia dan nggak ada hubungannya sama departemen proyek.”

 

Yeriko manggut-manggut. “Masuk akal.”

 

“Tapi ... kamu sendiri aja bisa bawa aku yang nggak ada hubungannya sama sekali sama perusahaan. Kenapa dia nggak mau bawa Bellina ya?”

 

Yeriko mengedikkan kepala. “Ikuti aja apa maunya!”

 

Yuna menatap lekat mata Yeriko. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh suaminya itu. Namun dari sorot matanya, ia bisa menyadari kalau Yeriko sedang berusaha mempertimbangkan seseorang di acara pelelangan malam nanti.

 

“Oh ya, ada hal lain yang mau aku sampaikan,” tutur Yeriko.

 

“Apa itu?”

 

“Mama Rully nelpon beberapa hari belakangan ini dan mendesak kita untuk ...”

 

“Punya anak?” sela Yuna.

 

Yeriko tertawa kecil.

 

“Beruang ... kita baru sebulan menikah. Gimana caranya bisa tahu aku sudah hamil atau belum? Gimana caranya biar Mama Rully nggak terus-menerus mendesak kita buat ngasih dia cucu?” cerocos Yuna.

 

Yeriko hanya tersenyum kecil menatap Yuna. “Ini bukan soal anak.”

 

“Yuna menghela napas lega. “Kalo gitu, soal apa?”

 

“Soal pernikahan kita.”

 

Yuna mengernyitkan dahi menatap Yeriko.

 

“Dia minta kita bikin pesta pernikahan.”

 

“Pesta pernikahan?” Yuna menatap Yeriko dengan mata berbinar.

 

Yeriko menganggukkan kepala sambil tersenyum. “Menurut kamu gimana?”

 

“Mmh ... kalau aku sih mau-mau aja. Pesta pernikahan itu kan impian semua wanita. Aku juga pengen punya pesta pernikahan yang indah dan berkesan seumur hidupku.”

 

Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna yang masih makan dengan lahap. Melihat rona bahagia yang terpancar dari wajah Yuna, membuatnya selalu ingin memberikan yang terbaik untuk istrinya itu.

 

Usai makan siang bersama, Yeriko mengantar Yuna kembali ke kantornya.

 

Saat di perjalanan, ponsel Yuna berdering. Ia langsung menatap layar ponsel dan enggan untuk menjawab panggilan telepon dari Lian.

 

Yeriko mengintip nama yang tertera di layar ponsel Yuna. “Kenapa nggak diangkat?” tanyanya.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. “Dia ini ... pasti masih mau nyuruh aku dateng ke acara pelelangan ntar malam.”

 

Yeriko tersenyum kecil. “Angkat aja!” pintanya. “Bilang aja kalau kamu bakal pergi ke acara itu nanti malam!”

 

Yuna menganggukkan kepala. Ia segera menjawab panggilan telepon dari Lian.

 

“Halo ...!” sapa Yuna begitu ia menggeser ikon answer di layar ponselnya.

 

“Halo ...! Kamu di mana?” tanya Lian tanpa basa-basi.

 

“Baru kelar makan siang. Kenapa?”

 

“Buruan balik ke kantor!” pinta Lian.

 

“Iya. Ini juga lagi di jalan mau balik ke kantor.”

 

“Di kantor ada kantin. Kenapa kamu selalu menghabiskan waktu buat makan di luar terus?”

 

“Aku udah ada janji sama suamiku.”

 

“Ngabis-ngabisin waktu aja,” celetuk Lian. “Ntar malam jadi kan ke acara pelelangan?”

 

“Iya, Bos!” sahut Yuna kesal.

 

“Nanti aku jemput kamu jam tujuh.”

 

“Nggak usah! Aku pergi sama suamiku,” sahut Yuna.

 

“Suami kamu ada di acara pelelangan itu juga?” tanya Lian.

 

“He-em. Kenapa?”

 

“Yun, kamu itu karyawan aku. Gimana bisa kamu perginya sama Yeriko. Jelas-jelas dia salah satu pesaing perusahaan kita. Kamu sengaja mau bikin kacau dan gagalin proyek perusahaan kita?”

 

“Li, aku nggak ngerti apa maksud kamu. Kamu cuma minta aku datang sebagai perwakilan perusahaan kan? Bukan harus berangkat ke sana bareng kamu?”

 

“Ta .. ta .. tapi ...”

 

“Aku tetep ke sana bareng suamiku!” tegas Yuna. “Kalau kamu nggak setuju, aku nggak akan datang ke acara nanti malam sebagai perwakilan perusahaan. Aku akan datang sebagai Nyonya Ye!”

 

“Oke. Kalau emang kamu maunya begitu. Kamu boleh berangkat bareng Yeriko. Tapi setelah sampai di sana, kamu harus dampingi aku!”

 

“Iya,” jawab Yuna sambil memasang wajah cuek.

 

“Oke. Aku tunggu ntar malam!” tutur Lian sambil mematikan panggilan teleponnya.

 

Yuna langsung menghela napas lega begitu panggilan telepon Lian berakhir.

 

“Kenapa?” tanya Yeriko sambil menoleh ke arah Yuna.

 

“Masih yang tadi. Maksa aku pergi ke acara ntar malam,” jawab Yuna tak bersemangat.

 

Yeriko tersenyum sambil mengusap ujung kepala Yuna. “Nggak usah murung gitu!” pintanya lirih. “Kita masih bisa berangkat bareng dan di sana bareng, kan? Ikuti saja agenda perusahaan kamu supaya Lian bisa memenangkan tender.”

 

“Kamu ...!?” Yuna mengernyitkan dahinya menatap Yeriko. “Bukannya ini juga salah satu proyek perusahaan kamu? Kalau enggak, nggak mungkin kamu dateng juga.”

 

Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna. “Kita lihat nanti!” ucapnya sambil mengerdipkan mata. Ia langsung memutar setirnya memasuki halaman kantor Yuna.

 

“Makasih ya, traktiran makan siangnya!” ucap Yuna sambil membuka pintu mobil.

 

“Cuma makasih doang?”

 

Yuna langsung menoleh ke arah Yeriko sambil tersenyum. Ia langsung mengecup pipi Yeriko.

 

Yeriko tersenyum. Ia menarik tengkuk Yuna dan melumat bibir istrinya yang mungil. Rasa lobster masih bisa ia rasakan dari mulut Yuna.

 

Yuna tersenyum bahagia sambil menatap wajah Yeriko.

 

“Jam berapa pulangnya?” tanya Yeriko.

 

“Nanti aku kabarin. Kalau bisa kabur lebih cepat, aku pulang naik taksi aja,” jawab Yuna meringis.

 

“Mulai nakal ya!?” dengus Yeriko. “Kalau kerja di kantor aku, bakalan aku ikat karyawan yang bandel kayak kamu,” lanjutnya sambil mengetuk dahi Yuna.

 

Yuna mengelus dahinya perlahan sambil memonyongkan bibir. “Itu sebabnya aku nggak mau kerja di kantor kamu,” ucapnya sambil menjulurkan lidah.

 

Yeriko tertawa kecil. “Buruan masuk kantor. Ntar bos kamu itu makin cemburu kalau kamu lama-lama di dalam mobil sama aku.”

 

“Apa haknya dia cemburu?” sahut Yuna. Ia langsung membuka pintu mobil dan keluar dari mobil Yeriko.

 

Yeriko tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya menatap istrinya yang melenggang memasuki kantornya.

 

Di lobi kantor, Bellina dan Lian terlihat sedang bersama. Yuna yang baru masuk, tidak menghiraukan keberadaan mereka berdua. Ia tetap cuek dan langsung menuju lift.

 

Lian terus menatap tubuh Yuna sampai gadis itu menghilang di balik pintu lift.

 

“Sayang, dari tadi kamu sibuk terus. Kita makan di luar yuk!” ajak Bellina sambil bergelayut manja.

 

“Ini udah masuk jam kerja lagi. Kalau kamu mau makan, makan aja!”

 

“Kamu nggak makan?”

 

“Udah.”

 

“Makan di mana?”

 

“Delivery.”

 

Bellina menatap kesal ke arah Lian. Ia merasa, perhatian Lian mulai beralih pada Yuna.

 

“Kenapa sih kamu lebih milih Yuna yang dampingi kamu nanti malam?” tanya Bellina. “Bukannya dia istrinya Yeriko dan pastinya Yeriko juga hadir di acara itu. Dia bukan pengusaha sembarangan.”

 

Lian tersenyum sinis. “Justru karena dia istrinya Yeriko. Aku pengen manfaatin Yuna dan menjatuhkan harga diri Yeriko di depan semua orang.”

 

Bellina mengernyitkan dahi menatap Lian. “Aku nggak nyangka kalau kamu punya ide sekeji itu?” tanyanya sambil tersenyum.

 

Lian tersenyum sinis sambil menatap Bellina. Ia memiliki rencana sendiri. Selain untuk kepentingan bisnisnya, ia juga punya kepentingan pribadi di hatinya.

 

Bellina tersenyum puas karena Lian memiliki motif pribadi untuk mempersulit hidup Yuna.

 

Beberapa karyawan yang ada di sana menatap Lian dan Bellina, mereka mulai membicarakan Lian.

 

“Eh, coba lihat! Si Bos itu cocok nggak sih sama Bu Belli?”

 

“Mmh ... aku lihat sih nggak ada serasinya sama sekali. Masih serasi sama aku.”

 

“Jangan ngaco! Bos Lian nggak mungkin suka sama karyawan biasa kayak kamu!”

 

“Bisa aja, kan? Buktinya ..  dia care sama Yuna.”

 

“Iya juga ya? Tapi ... Ayuna itu memang cantik. Wajar aja kalo Bos Lian suka sama dia.”

 

“Heh!? Jangan nge-gosip sembarangan! Belum tentu Bos Lian suka sama Yuna.”

 

“Trus? Kenapa dia care banget sana Yuna? Aku lihat, gerak-geriknya juga beda. Apalagi kalo udah lihat Yuna. Auranya itu beda banget.”

 

“Aura apaan?”

 

”Aura Kasih!”

 

“Hahaha.”

 

“Kalo menurut kalian, cocok yang mana? Lian-Bellina atau Lian-Ayuna?”

 

“Yah ... kalo dari fisik, cocok sama Ayuna. Mmh ... Ayuna juga baik. Nggak judes kayak Bu Belli itu.”

 

Desas-desus tentang hubungan Lian menjadi pembicaraan karyawan di kantornya. Mereka merasa kalau Bellina tidak cocok menjadi pasangan untuk Lian.

 

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas