Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Sunday, February 9, 2025

Perfect Hero Bab 67: Pelayanan Istimewa

 


Pagi-pagi sekali, Yuna dibuat terkejut karena ada banyak pelayan di rumahnya saat ia menuruni anak tangga.

 

“Bi, mereka ini siapa?” tanya Yuna kebingungan. Ia langsung menghampiri Bibi War yang sedang memasak di dapur.

 

“Mereka semua anak buahnya ibu,” jawab Bibi War.

 

“Ibu? Ibu mertua maksudnya?”

 

Bibi War menganggukkan kepala.

 

“Kenapa mereka ada di sini?”

 

“Bibi nggak tahu.”

 

Yuna menghela napas. Ia segera berlari menaiki anak tangga kembali ke kamarnya.

 

“Beruang ...!” serunya sambil membuka pintu kamar.

 

Yeriko mengernyitkan dahi sambil menatap Yuna. “Kenapa?”

 

“Kenapa ada banyak orang di rumah kita?”

 

“Banyak orang? Siapa?”

 

“Mama kamu ngirim banyak anak buah ke rumah ini. Di bawah, ada banyak pelayan dan penjaga. Apa aku ini tawanan sampai harus dijagain sama orang sebanyak itu?” cerocos Yuna.

 

Yeriko tertawa kecil. Ia kembali menatap cermin sambil merapikan pakaiannya.

 

“Kok, malah ketawa sih!?” dengus Yuna makin kesal.

 

Yeriko menghela napas lemas. “Aku juga nggak bisa ngelawan Mama. Kamu ngomong sendiri aja sama Mama!”

 

“Aku!?” Yuna mengerucutkan bibirnya. “Aku mana berani protes sama mama kamu.”

 

“Ya udah, kita ikutin aja apa maunya mama. Nanti, kalau suasananya sudah enakan, kita ngomong sama mama dan kembalikan mereka semua ke rumah mama.”

 

“Beneran ya!?”

 

“Iya, Sayangku!” sahut Yeriko sambil mencubit hidung Yuna.

 

“Kamu tahu nggak kenapa tiba-tiba mama kamu ngirim banyak pelayan ke rumah ini? Bukannya Bibi War aja sudah cukup?”

 

Yeriko mengedikkan bahunya. “Mungkin, dia pengen menjaga kamu.”

 

“Aku!?” Yuna menunjuk dirinya sendiri. “Apa sebelumnya, dia juga pernah seperti ini?”

 

“Ini pertama kalinya.”

 

“Huft ... aku bener-bener kayak di penjara kalau kayak gini. Aku jadi nggak bebas mau ngapa-ngapain.”

 

“Mama sudah biasa dengan banyak pelayan. Mereka pelayan yang terlatih dan terbaik. Kamu cukup menerima saja apa yang diinginkan mama.”

 

“Iya. Tapi kenapa harus tiba-tiba kayak gini dan nggak tanya dulu apakah kita butuh banyak pelayan atau nggak?” Yuna terduduk lemas di atas tempat tidur.

 

“Mama pasti sedang merencanakan sesuatu. Kemarin, dia ke sini dan tahu kalau kamu sakit.”

 

“Terus?”

 

“Sepertinya Bibi War ngasih tahu masalah kita dan Mama pasti khawatir sama kamu. Dia jauh lebih sayang sama kamu daripada sama anaknya sendiri.”

 

“Apa hubungannya aku sakit dan pelayan sebanyak itu?”

 

Yeriko menghela napas. “Jelas-jelas mama nggak percaya sama aku dan dia mengutus banyak anak buahnya di rumah ini buat melayani dan menjaga kamu.”

 

“Apa mereka juga akan berdiri di depan kamar kita terus-menerus?”

 

“Mereka akan nurut sama perintah kamu.”

 

“Serius?”

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

“Hmm ...” Yuna memutar bola matanya. “Kalau gitu ...” Yuna langsung melompat dari tempat tidur dan bergegas keluar kamar.

 

Yeriko mengernyitkan dahi, ia ikut melangkah santai di belakang Yuna.

 

“Perhatian semuanya! Kumpul dan baris di depanku!” seru Yuna sambil menepuk tangannya.

 

Semua anak buah Rullyta langsung berkumpul dan berbaris rapi di depan anak tangga.

 

Yuna menghitung jumlah anak buah yang dikirim mama mertuanya. “Satu ... dua ... tiga ... dua puluh.” Ia melongo melihat anak buah yang begitu banyak.

 

“Yer, gaji mereka sebulannya berapa?” bisik Yuna pada Yeriko.

 

“Tiga jutaan,” jawab Yeriko sambil berbisik.

 

Yuna membelalakkan matanya. Ia mengerjap begitu mendengar nilai yang disebutkan oleh Yeriko. Artinya, keluarga Yeriko sudah mengeluarkan uang puluhan bahkan ratusan juta hanya untuk membayar pelayan di rumah mereka.

 

“Pelayan sebanyak ini, apa bukan pemborosan?” bisik Yuna di telinga Yeriko.

 

Yeriko mengedikkan bahunya.

 

“Huft ... orang kaya memang senang banget buang-buang duit,” gumam Yuna.

 

“Ehem ...!” Yuna berdehem sambil mengangkat dagunya lebih tinggi agar terlihat lebih berwibawa. “Sejak kapan kalian masuk ke rumah ini?” tanya Yuna.

 

“Tadi pagi,” jawab semua pelayan serentak.

 

“Siapa yang nyuruh kalian ke sini?”

 

“Nyonya Besar,” jawab mereka serentak.

 

“Kompak banget,” celetuk Yuna lirih sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

“Kalian ke sini untuk apa?”

 

“Melayani dan menjaga Nyonya Muda,” jawab mereka serentak.

 

“Hah!?” Yuna mengernyitkan dahi menatap semua pelayan yang ada di depannya. “Sebanyak ini?”

 

Semuanya mengangguk serentak.

 

Yuna berpikir sejenak. “Oke. Aku mau pergi kerja. Kalian bisa ngumpul di belakang aja?”

 

Semua pelayan saling pandang.

 

“Rumah ini terlalu sempit. Buat kami berdua aja sudah sempit banget. Apalagi ditambah dua puluh orang pelayan.”

 

Yeriko langsung menoleh ke arah Yuna. “Apa rumah ini masih kurang besar? Ukuran rumah ini sudah 350 meter persegi dan dua lantai, Yun. Apa aku perlu luasin rumah ini lagi jadi satu hektar?”

 

“Iih ...!” Yuna melotot ke arah Yeriko. “Kamu nggak paham banget sih maksud aku?” dengus Yuna berbisik.

 

Yeriko menatap tajam ke arah Yuna. “Rumah seluas ini masih aja kamu bilang sempit,” tuturnya kesal.

 

Yuna menghela napas sambil menundukkan kepala. Ia menepuk dahinya sendiri. “Malah salah paham,” gumamnya lirih.

 

“Kalian tetap di sini!” pinta Yeriko. “Layani semua kebutuhan Nyonya Muda! Jangan sampai bikin dia marah!”

 

“Baik, Tuan!” jawab semua pelayan serentak.

 

“Eh, kalo aku marah sama mereka, apa bisa bikin mereka pergi dari rumah ini?” tanya Yuna berbisik.

 

Yeriko menarik napas panjang sambil merapikan dasinya. Ia langsung melangkah menuju meja makan.

 

Yuna mengerucutkan bibirnya. Ia kesal karena Yeriko tidak ikut membelanya dan membiarkan banyak pelayan berkeliaran di dalam rumah mereka. Ia ikut melangkah menuju meja makan.

 

Beberapa pelayan langsung melayani Yuna dan Yeriko dengan cepat. Yuna terus mengerutkan bibirnya sambil menusuk-nusuk daging yang ada di atas piringnya dengan kasar.

 

Yeriko menghela napas melihat sikap Yuna. “Bersikap manislah sama mereka! Nggak semua orang bisa dapet fasilitas istimewa dari mertua.”

 

Yuna memonyongkan bibir bawahnya. “Aku nggak suka dikasih fasilitas berlebihan kayak gini. Apa nggak bisa kalau biasa-biasa aja?”

 

“Kamu sudah jadi Nyonya Muda di keluarga Hadikusuma. Semua fasilitas yang ada harus kamu terima!” tegas Yeriko.

 

Yuna makin kesal. Ia melahap makanan yang ada di piringnya dengan kasar dan penuh kekesalan.

 

Yeriko hanya tersenyum kecil melihat ekspresi wajah Yuna. Walau Yuna tak menyukainya, tapi ia tetap setuju dengan mamanya yang ingin memberikan fasilitas terbaik untuk Yuna. Ia seringkali bertentangan dengan mamanya. Tapi soal Yuna, sepertinya mereka sama-sama menjadikan gadis kecil lucu yang ada di hadapannya sebagai prioritas di keluarga mereka.

 

“Besok acara pertunangan sepupu kamu dan mantan kamu. Kamu mau datang?” tanya Yeriko.

 

“Eh!? Kok tahu?” tanya Yuna. Ia mengingat jelas kalau sudah membuang undangan pertunangan Bellina ke tempat sampah saat Bellina memberikan untuknya.

 

“Kemarin, ada undangan dikirim ke kantor.”

 

“Mereka juga ngundang kamu?” tanya Yuna sambil mengernyitkan dahinya.

 

Yeriko menganggukkan kepala. “Gimana? Mau datang atau nggak?”

 

Yuna tertunduk lesu. “Nggak tahu, aku bingung.”

 

“Bingung kenapa? Karena ini acara pertunangan mantan pacar kamu? Kamu masih sayang sama dia?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Justru karena tunangannya mantan, aku nggak punya keinginan buat dateng. Tapi ... nggak enak juga kalo nggak dateng karena dia tunangan sama sepupu aku.”

 

“Sepupu kamu yang kejam itu?”

 

Yuna terdiam. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Ia juga masih belum bisa memutuskan akan datang ke pesta pertunangan Lian atau tidak. “Menurut kamu, dateng atau nggak?”

 

“Lebih baik kita datang,” jawab Yeriko. Ia membisikkan sesuatu ke telinga Yuna.

 

Mata Yuna langsung berbinar begitu mendengar bisikan dari Yeriko. Ia akhirnya menjadi bersemangat untuk datang ke acara pertunangan Lian dan Bellina.

 

“Gimana?” tanya Yeriko.

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Lebih baik begitu. Aku pengen lihat gimana mereka menghadapi kita.”

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna yang kembali bersemangat. Ia segera menghabiskan sarapannya dan mengantar Yuna pergi ke kantor seperti biasa.

 

“Ntar sore, kamu jemput aku, kan?” tanya Yuna saat mereka sudah sampai di depan kantor Yuna.

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

“Awas nggak jemput! Aku nggak mau kamu nyuruh orang lain lagi buat jemput aku!” tegas Yuna.

 

“Iya, Sayangku!” sahut Yeriko sambil menjepit hidung Yuna.

 

Yuna tersenyum sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Yeriko. “Cium dulu!” pintanya.

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

Ekspresi wajah Yuna seketika berubah murung.

 

Yeriko tersenyum kecil dan langsung mengulum bibir Yuna.

 

Yuna tersenyum senang setelah mendapat ciuman hangat dari suaminya.

 

“Kamu ... sekarang sudah mulai agresif ya!?” dengus Yeriko.

 

“Biar aja!” sahut Yuna sambil membuka pintu mobil dan bergegas keluar. Ia melenggang penuh bahagia memasuki gedung kantornya.

 

 

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

Saturday, February 8, 2025

Kenapa Mamak Bapak Bercerai?

 


"Ma, kenapa Mamak dan Bapak bercerai?"

“Mak, kenapa Mamak Bapak bercerai?” Pertanyaan itulah yang pertama kali muncul dari bibir putri kecilku saat dia mengetahui aku dan ayahnya bercerai. Aku tidak menyangka jika di usianya yang baru 6 tahun dia bisa melontarkan pertanyaan seperti itu.
“Mbak Pii tahu dari mana kalau Mamak dan Bapak bercerai?” tanyaku balik. Sebab, aku tidak pernah mengungkapkan perihal perceraianku pada puteriku. Dia masih terlalu dini untuk menanggung semua beban mental dari perpecahan rumah tanggaku.
Livia terdiam. Tapi dapat kutangkap jika raut wajahnya sangat terluka dan kecewa. Sebagai seorang anak, tentunya dia ingin dekat dengan ibu bapaknya.
Aku berusaha mengajaknya bermain saja agar pikirannya teralihkan pada hal lain.
Beberapa waktu kemudian, aku menyadari jika aku telah melakukan sebuah kesalahan. Aku melihat sebuah dokumen terbuka di atas meja kerjaku.
“Oh, mungkin ini yang membuat Livia tiba-tiba mempertanyakan soal perceraianku dan bapaknya,” batinku sembari menatap dokumen bertuliskan ‘AKTA CERAI’ yang berada di atas meja. Seingatku, dokumen ini sudah aku simpan dengan baik bersana dokumen-dokumen lain. Apakah aku sempat mengeluarkannya? Atau aku lupa?
Hmm ... apa pun itu, aku sudah tidak sanggup untuk mengingatnya lagi. Aku terlalu sibuk memikirkan cara untuk bertahan hidup dan menghidupi kedua anakku.
“Mak, Kenapa Mamak dan Bapak bercerai?” Kalimat itu terlontar kembali dari bibir puteriku saat dia sedang makan. Sementara aku menyuapi adiknya lagi yang baru berusia 1,5 tahun.
Aku terdiam sejenak sambil mengambil napas perlahan. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semua yang terjadi pada puteri kecilku.
“Suatu saat nanti, Mbak Pii akan mengerti kalau mamak dan bapak sudah nggak bisa hidup sama-sama lagi. Mbak Pii sama adek nggak usah takut! Mamak bakal bahagiain kalian, kok. Bapak juga akan tetap sayang sama kalian dari jauh. Mbak Pii dan adek juga harus tetap sayang sama Bapak, ya!” jawabku sambil tersenyum manis.
“Tapi Mbak Pii pengen sama Bapak, sama Mama juga!” rengek Livia dengan mata berkaca-kaca.
Sungguh, bulir-bulir air mata Livia seperti sebuah paku yang sedang menusuk-nusuk sanubariku. Tapi aku sudah mengambil keputusan dan mempertimbangkannya sangat matang dalam waktu yang cukup lama. Aku tidak akan pernah kembali ke masa lalu yang menyakitiku dan membuatku sangat tersiksa. Aku memilih untuk berjuang sendiri meski aku tidak sedang sendiri.
“Kalau pengen sama Bapak, nanti Mamak suruh Bapak jemput Mbak Pii, ya!” ucapku sambil tersenyum manis.
“Tapi sama Mamak, sama Adek juga!”
“Nggak bisa, Sayang. Mamak kan harus cari uang. Adek juga masih ASI. Nggak boleh jauh-jauh dari Mamak,” ucapku.
Mata Livia kembali berkaca-kaca. Hampir setiap hari ia meminta ayahnya kembali ke rumah ini, rumah yang aku bangun sendiri dengan darah dan air mata untuk keluarga kecilku. Sedang suamiku saat itu, hanya menjadi penonton atas perjuangan yang aku lakukan seorang diri.
“Nak, kamu jangan sedih terus, ya! Suatu saat kalian berdua akan mengerti kenapa Mamak dan Bapak harus berpisah. Kami berpisah karena kami sayang sama kalian dan masa depan kalian. Yang penting, Mbak Pii dan adek bisa jadi anak yang pinter nantinya. Nanti, Mbak Pii akan tahu dengan sendirnya,” ucapku pada Livia, puteri kecilku yang kerap aku panggil Mbak Pii supaya adiknya terbiasa mendengar sapaan itu.
Tak butuh waktu lama. Tak sampai satu tahun, Livia akhirnya mengerti kenapa aku dan bapaknya harus berpisah. Beberapa kali Livia menginap di rumah orang tua bapaknya saat liburan sekolah. Bahkan, dia sempat merengek minta lanjut sekolah SD di kota Balikpapan.
Tapi pada akhirnya, rumah paling nyaman bagi anak-anak adalah ibunya. Livia akhirnya melanjutkan sekolahnya di desa, meski semua fasilitas masih apa adanya. Yang penting, bisa sekolah dulu.
Usai resmi masuk sekolah dasar, kemampuan berpikir puteriku cukup tajam dan kritis. Ia kemudian bisa memahami bagaimana sifat dan sikap sang ayah yang sebenarnya. Hingga sampai di titik dia tidak mau lagi berkunjung ke rumah bapaknya, meski kami sering ke kota Balikpapan.
Puteriku tak lagi mempertanyakan kenapa Mamak dan bapaknya bercerai. Ia mulai mengerti bahwa hal terbaik dalam keluarga kecil kita adalah berjuang tanpa seorang ayah yang toxic.
Kenapa kami harus bercerai?
Tentunya karena ingin memberikan yang terbaik bagi kesehatan jiwa dan rumah tangga kami. Aku telah memutuskan untuk membesarkan kedua anakku tanpa seorang ayah. Maka, aku yang akan bekerja keras menghidupi dan membahagiakan mereka hingga mereka tidak pernah mempertanyakan sosok ayah dalam perjalanan hidup mereka..






Perfect Hero Bab 66: Pria-Pria Pengejarmu | a Romance Novel by Vella Nine

 


Andre melihat-lihat foto masa kecilnya bersama dengan Yuna. Setiap potret yang tergambar, mengingatkan banyak hal tentang kebersamaannya dengan Yuna.

 

“Dulu, kamu imut dan cantik. Sekarang, kamu jauh lebih cantik dan lucu,” ucap Andre sambil tersenyum menatap potret masa lalunya bersama Yuna.

 

Tatapan mata Andre berhenti pada potret di taman bermain, saat ia dan Yuna membuat istana pasir. Mereka berperan menjadi raja dan ratu di istana pasir. Di dalam potret tersebut, terlihat jelas Yuna kecil sedang mencium pipi Andre kecil.

 

“Yun, apa kamu masih ingat kalau kita pernah menjadi raja dan ratu di istana pasir? Aku pengen, kamu tetap jadi ratu di istana yang aku bangun.”

 

Andre meraih map berwarna hijau yang ada di sampingnya. Ia langsung membaca informasi penyelidikan tentang kehidupan Yuna beberapa tahun belakangan ini.

 

Andre tertegun melihat begitu banyak penderitaan yang telah dialami oleh Yuna. “Yun, aku bener-bener nggak tahu kalau kamu sudah mengalami banyak kesulitan selama ini. Aku benar-benar tidak berguna. Membiarkan kamu menerima banyak penderitaan dan memilih menikah dengan orang lain untuk membiayai rumah sakit ayah kamu.”

 

Andre mengerutkan wajahnya mengingat wajah Yeriko. “Kamu udah maksa Yuna menikah sama kamu?” tanyanya pada bayangan Yeriko yang semu. “Bener-bener pria yang licik!”

 

Andre menundukkan kepala saat mengingat wajah Yuna yang begitu bahagia menceritakan pernikahan dan suaminya. “Yun, sebenarnya kamu menikah karena mencintai laki-laki itu atau karena terpaksa? Aku terlambat datang. Andai aku nggak pergi, mungkin bisa bersama kamu selamanya,” tuturnya sambil tersenyum.

 

“Aargh ...!” teriak Andre sambil menendang meja dan menjambak rambutnya sendiri. Pikirannya sangat kacau. Apa pun tentang Yuna, membuatnya tidak bisa berpikir dengan baik. Ia membenci dirinya sendiri, juga tak rela Yuna menjadi milik orang lain.

 

“Aku harus bisa bikin kamu kembali sama aku!” tegas Andre pada dirinya sendiri.

 

Di saat yang sama, Lian terus mondar-mandir di ruangannya saat mendengar kabar dari asistennya kalau Yuna tidak masuk kerja karena sakit. Perasaannya makin tak karuan. Ingin sekali menemui gadis itu, tapi kini ia sudah menjadi istri orang lain. Bagaimana bisa ia menerobos masuk ke dalam rumah tangga Yuna dan Yeriko.

 

“Ran ... Rani!” teriak Lian memanggil asistennya.

 

Rani langsung masuk ke dalam ruangan Lian. “Ada apa, Pak?”

 

“Gimana kabarnya Yuna?”

 

“Kan saya udah bilang tadi pagi kalau dia sakit.”

 

“Sekarang masih sakit?”

 

“Nggak tahu, Pak.”

 

“Kenapa nggak tahu?”

 

Rani mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Lian.

 

“Eh, maksud aku ... kamu nggak ada hubungi dia lagi? Dia dirawat di rumah sakit atau nggak?”

 

“Oh ... sebentar, Pak.” Rani keluar dari ruangan Lian dan kembali menelepon nomor Yuna.

 

Lian mondar-mandir sambil menunggu kabar Yuna. Ia langsung menoleh ke arah pintu begitu pintu itu terbuka. “Gimana, Ran?”

 

“Handphone-nya nggak aktif, Pak.”

 

Lian menghela napas kesal. “Ya sudah. Balik ke ruang kerjamu lagi!” perintah Lian.

 

Lian memijat keningnya dan langsung duduk di kursi. “Yuna ... kamu bener-bener bikin aku khawatir. Kamu sakit apa?” Lian terus bertanya-tanya dalam hati. Ia tidak bisa bekerja dengan tenang. Ia berusaha menelepon Yuna tapi nomor Yuna tetap tidak aktif.

 

“Aargh ...!” teriak Lian sambil melempar ponselnya karena kesal. Ia tak lagi peduli dengan ponselnya yang sudah tergeletak di lantai dan menjadi beberapa bagian. Ia sangat kesal karena Yuna tak lagi memberinya kesempatan untuk bisa masuk kembali ke dalam hatinya.

 

 

 

Di rumah Yeriko ...

 

Yuna terbangun dari tidurnya. Ia merasa tubuhnya sudah lebih baik. Ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan waktu pukul 13.00 WIB. Ia langsung mencari ponselnya di atas meja. “Kok mati?” Yuna mengerutkan kening dan langsung menyalakan ponselnya.

 

Saat ponselnya baru saja menyala, di layar ponselnya langsung ada panggilan masuk dari kantornya.

 

“Halo ...!” sapa Yuna begitu ia menjawab panggilan telepon.

 

“Halo ... Mbak Yuna masih sakit?”

 

“Iya. Kenapa?”

 

“Nggak papa. Tadi, Pak Lian meminta saya untuk memastikan keadaan Mbak Yuna.”

 

“Oh ... aku udah enakan, kok. Cuma demam. Besok udah masuk kerja.”

 

“Oke, Mbak. Cepet sembuh ya! Oh ya, ini Mbak Yuna dirawat di rumah atau di rumah sakit?”

 

“Di rumah.”

 

“Baiklah. Biar saya sampaikan ke Pak Lian.”

 

“Oke. Sampaikan maafku karena nggak bisa masuk kerja hari ini.”

 

“Iya, Mbak. Selamat istirahat. Maaf, mengganggu.”

 

“He-em.”

 

Rani langsung mematikan panggilan teleponnya.

 

Yuna menghela napas lega karena pihak kantornya sudah mengetahui kalau ia tidak bisa masuk kerja karena sakit.

 

Yuna menyempatkan membaca dan membalas chat dari sahabatnya, Jheni. Ia tersenyum kecil sembari mengirimkan pesan godaan pada Jheni untuk segera menikah.

 

( You still have all of my ... You still have all of my ... You still have all of my heart ...)

 

Baru saja Yuna meletakkan ponselnya, nada panggilan telepon membuatnya kembali meraih ponselnya.

 

Yuna mengernyitkan dahi melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Yuna menggigit bibirnya. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi Andre. Ia baru saja berbaikan dengan Yeriko.

 

Yuna ragu-ragu menjawab panggilan telepon dari Andre. Ia membiarkan panggilan telepon tersebut mati begitu saja. Panggilan kedua, Yuna baru menjawab telepon dari Andre.

 

“Halo ... kenapa Ndre?” tanya Yuna pura-pura ceria.

 

“Nggak papa. Kamu lagi di kantor atau nggak?”

 

“Nggak. Aku di rumah.”

 

“Nggak kerja?”

 

“Lagi nggak enak badan, Ndre.”

 

“Kamu sakit?”

 

“He-em. Cuma demam, kok. Sekarang udah enakan.”

 

“Kok bisa sampai demam? Kemarin nggak ada hujan, nggak mungkin karena kehujanan kan?”

 

“Nggaklah. Aku cuma kecapean dan kurang tidur. Semalam, aku ketiduran di dalam bathtub.”

 

“Kamu nih ada-ada aja, Yun. Aku jenguk kamu boleh nggak?” tanya Andre.

 

“Hah!?”

 

“Kenapa?”

 

“Aku udah baik-baik aja. Cuma demam biasa. Udah sehat ini. Nggak perlu dijenguk. Kayak apa aja.”

 

“Yah, sebagai teman ... nggak ada salahnya kan aku peduli?”

 

“Iya. Tapi aku udah baik-baik aja, kok. Besok juga udah masuk kerja lagi.”

 

“Oh ... mmh ... Yun!” panggil Andre lirih.

 

“Ya. Kenapa lagi?”

 

“Apa kamu menikah karena beneran mencintai suami kamu?”

 

“He-em,” sahut Yuna sambil menganggukkan kepalanya.

 

“Apa dia juga cinta sama kamu?”

 

“Banget! Dia itu tampan, penyayang dan peduli banget sama aku.”

 

“Kenapa kamu bisa sampai kecapean?”

 

“Mmh ...”

 

“Jujur, Yun!” pinta Andre. “Kamu menikah dengan Yeriko. Semua orang di kota ini kenal siapa Yeriko Sanjaya Hadikusuma. Dia laki-laki yang terkenal sangat kaya. Kalau dia beneran sayang sama kamu. Kenapa dia membiarkan kamu bekerja sampai kecapean?”

 

Yuna menghela napas mendengar pertanyaan Andre. “Ndre, aku kerja karena keinginanku sendiri. Awalnya, dia sempat ngelarang aku buat kerja. Tapi ... aku bener-bener bosan di dalam rumah sendirian. Apa kamu tega lihat aku mati kesepian?”

 

“Hahaha.” Andre tergelak mendengar ucapan Yuna.

 

“Andre! Kamu bener-bener seneng kalau lihat aku menderita!?” dengus Yuna.

 

“Hahaha. Lebih seneng lagi kalau kamu jadi janda,” sahut Andre sambil tertawa.

 

“Jahat banget, sih!?” celetuk Yuna sambil mengerucutkan bibirnya.

 

“Bercanda, Yun. Gitu aja baperan!”

 

“Bercandanya nggak lucu!” seru Yuna. Ia langsung menoleh ke arah pintu kamar yang terbuka. “Eh, udah dulu ya! Ada suamiku datang. Bye-Bye!”

 

Yuna tersenyum menatap Yeriko yang masuk ke kamarnya sambil membawa nampan berisi bubur dan obat untuk Yuna.

 

“Telepon sama siapa?” tanya Yeriko.

 

“Andre yang telepon.”

 

“Oh.”

 

Yuna mengerutkan dahinya. “Kamu nggak marah lagi?” tanya Yuna sambil mengamati wajah Yeriko.

 

Yeriko menggelengkan kepala. “Makan dulu! Habis makan langsung minum obat,” pintanya.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko tersenyum dan mulai menyuapi Yuna. “Andre ngomong apa aja?” tanyanya.

 

“Nggak ngomong apa-apa. Cuma ngolokin doang,” jawab Yuna.

 

“Ngolokin?” Yeriko mengernyitkan dahinya.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Dia itu emang kelihatan ganteng dan sok cool. Tapi, nggak ada yang tahu kalau dia usil dan ngeselin banget. Kayak kutu, pengen banget aku pites-pites!” ucap Yuna geram.

 

Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna. Ia merasa lebih baik Yuna banyak bicara seperti ini ketimbang melihat wanita kesayangannya itu terbaring lemah di atas tempat tidur. “Masih lebih baik melihatmu bercerita tentang pria lain daripada melihatmu terbaring lemah di atas tempat tidur,” bisik Yeriko sambil menyuapkan makanan ke mulut Yuna.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas