Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Sunday, February 9, 2025

Perfect Hero Bab 79: Teman Baru || a Romance Novel by Vella Nine

 


Andre menghentikan mobilnya tepat di depan kantor Wijaya Group.

 

“Makasih ya, traktirannya!” tutur Yuna sambil melepas safety belt.

 

Andre menganggukkan kepala. Ia ikut melepas safety belt dan bergegas keluar dari mobil. Ia langsung berlari membukakan pintu untuk Yuna.

 

“Ah, kamu ini kayak apa aja. Aku bisa buka pintu mobil sendiri.”

 

Andre tersenyum sambil menatap Yuna yang masih berada di dalam mobil. “Laki-laki yang baik harus memperlakukan wanita dengan baik juga kan?” ucapnya sambil mengerdipkan mata.

 

“Good boy!” puji Yuna sambil mengacungkan jempolnya. Ia keluar dari dalam mobil.

 

Andre tersenyum dan langsung menutup pintu mobilnya. Ia menyentuh rambut Yuna untuk merapikan anak rambut yang sedikit berantakan.

 

Yuna langsung menepis tangan Andre dan mengusap kepalanya sendiri. “Aku masuk dulu!” pamit Yuna sambil bergegas pergi.

 

Andre tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.

 

Pemandangan Yuna dan Andre menarik beberapa pasang mata, terutama Bellina yang kebetulan juga ada di depan kantor tersebut. Ia merasa sangat senang karena bisa mendapatkan potret kemesraan Yuna dan Andre. Ia tersenyum penuh kemenangan.

 

“Mampus kamu, Yun!” celetuk Bellina sambil tersenyum menatap potret Andre dan Yuna yang terlihat sangat mesra.

 

 

 

BRUG ...!

 

Icha, gadis manis dari departemen proyek tak sengaja menabrak Bellina.

 

“Maaf, Bu!” tutur Icha sambil membereskan barang-barangnya yang terhambur di lantai.

 

“Jalan nggak lihat-lihat!” sentak Bellina sambil mengambil ponselnya yang jatuh ke lantai. “Kalo sampe hp-ku rusak, kamu harus gantiin!” seru Bellina sambil menyalakan kembali ponselnya yang mati.

 

“Maaf, Bu! Saya nggak sengaja,” tutur Icha.

 

“Makanya, jalan pake mata!” sentak Bellina sambil menoyor kepala Icha.

 

“Heh!? Kamu ini nggak punya perasaan ya!?” sentak Yuna sambil menepis tangan Bellina. “Jelas-jelas dia udah minta maaf. Kamu masih aja menindas dia!”

 

Icha hanya menundukkan kepala sambil memperbaiki posisi kacamatanya.

 

“Kamu nggak usah ikut campur urusan orang lain!” seru Bellina. “Lihat! Layar hp aku jadi retak kayak gini. Dia harus ganti rugi!”

 

“Maaf, Bu! Saya nggak sengaja. Na ... nanti ... saya ganti hp Ibu.”

 

“Heh!? Kamu itu kan orang kaya. Perkara hp retak aja udah marah-marah. Kayak orang susah aja nggak bisa beli hp baru. Kalo emang beneran kaya, harusnya kamu bisa dengan mudah ganti hp kamu tanpa harus marah-marah ke orang lain,” sahut Yuna.

 

“Kamu!?” Bellina menunjuk wajah Yuna sambil menatapnya penuh kebencian.

 

“Apa!?” Yuna balas mendelik ke arah Bellina. “Oh ... jangan-jangan kamu sekarang udah jatuh miskin? Apa si Lian itu sudah mencampakkan kamu? Atau kamu nggak berhasil dapetin harta kekayaan dia?”

 

Bellina menghentakkan kaki, ia makin kesal dengan ucapan Yuna. “Awas kamu ya! Aku bakal bikin perhitungan sama kamu!” ancam Bellina. “Kamu juga!” sentaknya sambil menatap Icha.

 

“Bikin aja! Mau perhitungan berapa pun aku jabanin!” sahut Yuna.

 

Bellina membuang wajah dan langsung bergegas pergi meninggalkan Yuna dan Icha.

 

“Huh!? Dasar Mak Lampir!” maki Yuna sambil mengepal tangan ke arah Bellina.

 

Yuna menoleh ke arah Icha yang berdiri di sampingnya. “Kamu nggak papa?”

 

Icha menganggukkan kepala. “Makasih ya, udah bantuin aku!”

 

“Ah, nggak papa. Dia itu emang harus dilawan. Kalo nggak, bakalan ngelunjak dan menindas orang lain terus. Oh ya, nama kamu siapa?” tanya Yuna.

 

“Namaku Alyssa, panggil Icha aja.”

 

“Oh ... namaku Ayuna, panggil Yuna!” ucap Yuna sambil tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Icha.

 

Icha tersenyum dan menyambut uluran tangan Yuna.

 

“Sini, aku bantu!” Yuna mengambil beberapa barang milik Icha.

 

“Eh!? Nggak usah! Aku bisa sendiri, kok.”

 

“Nggak papa. Lagian aku juga santai dan nggak bawa apa-apa,” sahut Yuna.

 

Icha tersenyum. “Makasih ya!” ucapnya dan bergegas melangkah memasuki kantor beriringan dengan langkah Yuna.

 

“Ruangan kamu di mana?” tanya Yuna.

 

“Ruang Departemen Proyek,” jawab Icha.

 

“Loh? Kita satu departemen?” tanya Yuna.

 

Icha menganggukkan kepala.

 

“Sorry ...! Baru masuk tadi pagi dan belum bisa ingat wajah-wajah orang kantor sini,” tutur Yuna meringis.

 

Icha tersenyum ke arah Yuna. “Nggak papa.”

 

“Hmm ... baguslah kalau kita satu divisi. Oh ya, si Belli itu suka menindas karyawan kantor sini juga?”

 

Icha menganggukkan kepala. “Bu Bellina istri direktur utama. Mana ada yang berani ngelawan dia. Cuma kamu, yang berani ngelawan dia. Kamu nggak takut dipecat?”

 

Yuna tertawa kecil. “Kalau mau dipecat ya pecat aja! Toh, aku juga cuma magang di sini.”

 

“Kamu juga masih magang?” tanya Icha.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Kamu juga karyawan magang?”

 

Icha menganggukkan kepala. “Aku nggak berani macam-macam karena aku masih magang di sini.”

 

“Hmm ... iya juga, sih. Kamu butuh banget ya pekerjaan ini?”

 

Icha menganggukkan kepala. “Kamu sendiri?”

 

“Mmh ... dibilang butuh, iya. Dibilang nggak butuh, ya nggak butuh banget, sih.”

 

Icha mengernyitkan dahi menatap Yuna.

 

Yuna meringis ke arah Icha. “Aku lebih suka di kantor lama. Huft, mungkin karena tempat ini masih kerasa asing. Lagian, proses perpindahan dari kantor cabang ke kantor pusat ini terlalu cepat. Aku bahkan belum menguasai banget pekerjaan di sana. Di sini, udah dikasih kerjaan yang baru,” cerocos Yuna.

 

“Bagus kan? Kamu jadi dapetin banyak ilmu dan pengalaman. Di kantor lama, kamu di departemen proyek juga?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku di departemen personalia.”

 

“Bagus.”

 

“Apanya yang bagus?”

 

“Yah, kamu jelas punya pengalaman lebih dan bisa mempelajari dua departemen sekaligus kan? Aku sudah di departemen proyek sejak awal. Sama sekali nggak paham dengan apa pun yang ada di departemen personalia.”

 

“Hehehe. Kamu bisa aja,” sahut Yuna sambil meringis.

 

“Kamu alumni mana?” tanya Icha.

 

“Melbourne,” jawab Yuna sambil melangkah masuk ke dalam ruangannya.

 

“Wow! Ternyata kamu lulusan dari luar negeri? Kenapa mau magang di sini?” tanya Icha.

 

“Rekomendasi dari kampusku.”

 

“Oh ... gitu ya? Gimana rasanya tinggal di luar negeri, Yun?” tanya Icha sambil meletakkan barang-barangnya ke atas meja dan merapikannya satu per satu.

 

“Sama aja kayak di sini.”

 

“Ah, nggak mungkin! Kehidupan di luar negeri pasti jauh berbeda kan? Di sana ... ada empat musim, secara kultural, kehidupannya juga pasti sangat berbeda dengan Indonesia.”

 

Yuna hanya tersenyum menatap Icha. “Yah, begitulah. Sulit dijelaskan dengan kata-kata.”

 

“Hehehe. Kalau kamu kuliah di luar negeri, pasti orang tua kamu kaya raya kan? Kenapa nggak magang di perusahaan besar yang ada di luar negeri juga?” tanya Icha.

 

Yuna langsung melirik ke langit-langit ruangan. “Iya, ya? Kenapa aku nggak magang di perusahaan luar negeri juga ya?” tanyanya sambil mengetuk-ngetuk dagunya. Ia langsung menatap Icha sambil tersenyum. “Mungkin, karena aku kuliahnya dapet beasiswa dan aku harus cepet-cepet balik ke Indonesia karena semua keluarga aku ada di sini.”

 

“Wah ...! Kamu kuliah karena beasiswa? Keren banget sih!? Pantes aja kamu cepet dipindahin ke kantor pusat. Otak kamu, pasti sudah terprogram dengan baik dan cerdas banget!”

 

“Apaan sih!? Emangnya robot?” sahut Yuna sambil menahan tawa.

 

“Yah ... cuma anak-anak cerdas yang bisa dapet beasiswa ke luar negeri. Kamu salah satunya.”

 

“Mmh ... aku ngerasa otakku pas-pasan banget. Aku dapet beasiswa bukan karena aku cerdas, tapi karena keberuntungan,” sahut Yuna sambil tertawa kecil.

 

Icha ikut tertawa menanggapi ucapan Yuna. “Memang ya, nggak ada yang bisa mengalahkan keberuntungan.”

 

“Hehehe. Kamu sendiri lulusan mana?” tanya Yuna.

 

“Aku? Cuma lulusan universitas lokal aja,” jawab Icha.

 

“Oh ya? Universitas mana?” tanya Yuna.

 

“Atmajaya.”

 

“Oh ....” Yuna manggut-manggut tanda mengerti.

 

Icha tersenyum menatap Yuna. Ia sangat mengagumi Yuna yang terlihat energik, bahkan tatapan matanya pun seolah berbicara tentang banyak kebahagiaan di dunia ini.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Perfect Hero Bab 78: Tetap Jadi Sahabat || a Romance Novel by Vella Nine

 


Yuna masih saja tidak peduli dengan Andre yang terus-menerus membicarakan hal buruk tentang Yeriko. Ia terus melahap makanan yang masih terhidang di atas meja dengan penuh semangat.

 

“Yun, apa kamu mau membatalkan pernikahan kamu? Aku bakal ganti semua yang udah Yeriko kasih ke kamu,” tutur Andre sambil menatap Yuna.

 

“Uhuk ... uhuk ...!” Yuna langsung meraih gelas air minum dan mengelap mulutnya menggunakan tisu.

 

“Pelan-pelan makannya!” pinta Andre sambil menepuk bahu Yuna.

 

Yuna menepis tangan Andre kesal. “Biarpun aku makannya pelan kayak siput, tetap aja bakalan keselek kalo denger kamu ngomong kayak gitu. Kamu ngomong pake otak apa nggak sih, Ndre!?” seru Yuna.

 

“Sorry Yun ...! Aku cuma ...”

 

“Cuma apa? Kamu pikir pernikahan itu buat main-main!?” sentak Yuna. “Kamu pikir pernikahanku sama Yeriko ini cuma lelucon, hah!?”

 

Andre menundukkan kepala. “Sorry ...! Aku Cuma pengen yang terbaik buat kamu. Aku tahu, kamu terpaksa menikah sama Yeriko karena ayah kamu. Aku pengen, kamu bisa terlepas dari Yeriko dan menjalani hidup normal.”

 

“Kamu nggak usah sok tahu, Ndre! Aku bahagia menjalani hidupku bareng Yeriko. Apanya yang nggak normal? Yang nggak normal itu otak kamu!” sahut Yuna kesal.

 

“Maaf ...!” ucap Andre lirih.

 

Yuna menatap kesal ke arah Andre yang terlihat pilu. Ia menghela napas. Andre memang sangat menyebalkan. Namun, ia sudah seperti saudara sendiri bagi Yuna. Sejak kecil, ia bergantung pada Andre dan selalu menganggap Andre sebagai kakaknya sendiri.

 

“Ndre, kita sudah kenal dari kita masih kecil. Jangan bikin hubungan kita jadi rumit. Aku sudah menganggap kamu sebagai kakak aku sendiri. Aku sayang sama kamu seperti aku sayang sama ayah dan keluarga aku. Kalau kamu masih pengen hubungan kita bail seperti dulu, tolong jangan ngomong kayak gini lagi!” pinta Yuna lembut.

 

Andre menatap Yuna sejenak dan menganggukkan kepala. “Tapi ... perasaanku nggak bisa terus berbohong. Aku beneran cinta sama kamu dan pengen miliki kamu, Yun.”

 

Yuna menghela napas sambil menatap Andre. “Kamu masih nggak paham apa yang aku omongin barusan?”

 

“Aku paham. Aku cuma pengen kamu tahu perasaanku. Aku nggak akan nyerah buat ngejar kamu.”

 

“Gila!” celetuk Yuna. Ia menghentikan makannya dan langsung bangkit dari tempat duduk.

 

“Yun ...!” tangan Andre langsung mencengkeram lengan Yuna agar tidak pergi dari hadapannya.

 

Yuna langsung menepis tangan Andre dan bergegas pergi.

 

Andre tak bisa tinggal diam. Ia langsung mengeluarkan beberapa lembar uang dan meletakkannya begitu saja ke atas meja, kemudian berlari mengejar Yuna yang sudah lebih dulu keluar dari restoran.

 

“Yun, maafin aku!” pinta Andre saat mendapati Yuna masih menunggu taksi lewat.

 

Yuna bergeming, pura-pura tak mendengar suara Andre.

 

“Yun ...!” Andre meraih kedua pundak Yuna dan membalikkan tubuh Yuna menghadap dirinya. “Please, maafin aku!”

 

Yuna hanya mengedipkan mata perlahan. Ia tidak punya keinginan untuk menanggapi Andre.

 

“Yun, aku tahu kalau ini bakal terjadi. Sejak dulu, aku selalu takut kehilangan kamu saat aku ngungkapin perasaanku. Anggap aja aku nggak pernah ngomong apa pun. Kita masih bisa bersahabat seperti dulu, kamu tetap menjadi adikku yang paling manis, gimana?” tanya Andre sambil tersenyum menatap Yuna.

 

Yuna tersenyum kecil. “Apa kamu bisa merestui hubunganku sama Yeriko?”

 

Andre menganggukkan kepala. “Selama dia bisa menjaga kamu dengan baik, aku akan bahagia melihat kamu sama dia. Tapi ... sekali aja dia bikin kamu nangis, aku bakal ngerebut kamu dari tangannya!” tegas Andre.

 

Yuna tersenyum menatap Andre. “Berjanjilah! Kamu akan hidup dengan baik dan tetap menjadi seperti yang dulu!” pinta Yuna sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

 

Andre mengangguk, ia menautkan kelingkingnya ke kelingking Yuna. Meski hatinya sangat sakit karena tidak bisa memiliki Yuna, ia tetap ingin berada di dekat Yuna, menikmati setiap lengkung bibir gadis itu. Sebab, tidak melihatnya sama sekali jauh lebih sakit daripada melihatnya bersama orang lain.

 

“Aku antar kamu balik ke kantor,” tutur Andre.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Andre bergegas mengambil mobilnya dan mengantar Yuna kembali ke tempat kerjanya.

 

“Gimana perkembangan ayah kamu?” tanya Andre saat berada dalam perjalanan.

 

“Masih gitu-gitu aja,” jawab Yuna pelan.

 

“Semoga cepat pulih seperti biasa!”

 

“Aamiin.”

 

“Oh ya, kenapa kamu pindah kantor?” tanya Andre.

 

Yuna mengedikkan bahunya. “Nggak tahu juga. Tiba-tiba aja dipindah ke kantor pusat.”

 

“Kantor yang lama itu kantor cabang?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Berarti, kinerja kamu bagus dong kalau sampai dipindah ke kantor pusat?” puji Andre.

 

“Semoga begitu,” jawab Yuna tak bersemangat.

 

“Kenapa nggak semangat gitu? Kantor yang baru nggak menyenangkan?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Semuanya menyenangkan. Cuma ... aku nggak mau ketemu sama Wilian aja.”

 

“Wilian siapa?”

 

“Mantanku. Sekarang, dia sudah jadi tunangannya Bellina. Mereka akan menikah dalam waktu dekat.”

 

“Mantan?” Andre mengernyitkan dahi.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Tujuh tahun lalu, waktu masih SMA, aku pacaran sama dia.”

 

“Oh ... kenapa putus?”

 

“Dia selingkuh sama Bellina waktu aku balik dari Melbourne.”

 

Andre mengernyitkan dahi. “Bellina itu kan kakak sepupu kamu. Gimana bisa dia tega ngambil pacar adiknya sendiri?”

 

Yuna tersenyum kecil. “Sudahlah. Nggak usah dibahas lagi!” pintanya. “Sekarang, kita udah hidup masing-masing. Aku juga sudah menikah dengan laki-laki yang jauh lebih baik dari dia. Mungkin, Tuhan memang ingin menunjukkan kalau Lian nggak baik buat aku.”

 

Andre tersenyum menatap Yuna yang terlihat sangat kuat. Ia bisa mengerti bagaimana Yuna mendapatkan penderitaan yang bertubi-tubi. Tapi gadis itu masih saja bisa tersenyum menghadapinya. “Yun, apa hatimu memang sekuat ini? Jika tidak, aku siap berbagi penderitaan denganmu,” bisik Andre dalam hati.

 

“Oh ya, kamu sendiri udah punya pacar berapa?” tanya Yuna.

 

“Pacar berapa? Emangnya aku kelihatan kayak playboy?”

 

Yuna terkekeh geli. “Bukan! Bukan! Aku salah nanya. Maksudnya, kamu udah pernah pacaran berapa kali?”

 

“Oh.” Andre menggelengkan kepala. “Belum pernah.”

 

“Halah, bohong!” sahut Yuna. “Cowok kayak kamu, nggak mungkin nggak pernah pacaran kan? Apalagi ... kamu juga lumayan ganteng dan kaya. Masa, nggak ada cewek yang mau sama kamu?” tanya Yuna sambil menatap wajah Andre.

 

Andre tersenyum ke arah Yuna. “Hmm ... ada banyak sih cewek yang suka sama aku. Tapi ... selama ini aku cuma mikirin satu cewek doang.”

 

“Oh ya? Siapa?”

 

“Kamu.” Andre tersenyum menatap Yuna.

 

“Nah, kan? Mulai lagi. Aku turun nih!” ancam Yuna.

 

“Hehehe. Nggak, nggak. Bercanda doang, Yun.”

 

“Kalo masih bahas soal perasaan mulu. Aku nggak mau kenal lagi sama kamu!” dengus Yuna.

 

“Iya. Sorry!”

 

Yuna menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia mengambil ponsel dan membaca pesan dari Yeriko. Ia selalu tersenyum setiap kali membaca pesan Yeriko yang penuh perhatian.

 

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

Perfect Hero Bab 77 : Affecting || a Romance Novel by Vella Nine

 


Yuna merasa sangat canggung menghadapi tatapan Andre yang tidak seperti biasanya. Ia merasa, kali ini Andre tak banyak bercanda dan lebih serius.

 

“Kamu nggak makan?” tanya Yuna sambil menyuap makanan menggunakan sumpit yang ada di tangannya.

 

Andre tersenyum kecil. Ia meraih sumpit yang ada di atas meja dan mulai mencicipi hidangan ala Jepang yang ada di hadapan mereka.

 

Sesekali Yuna menatap Andre yang terlihat lesu, tak seperti biasanya. “Kamu kenapa?”

 

“Eh!? Nggak papa.” Andre melanjutkan makannya perlahan. Ia terus melirik Yuna yang duduk di hadapannya. Ia menarik napas beberapa kali. Ada hal yang ingin ia ungkapkan namun tertahan di kerongkongannya.

 

Yuna terlihat sangat bersemangat menikmati hidangan yang ada di depannya. Ia bahkan memesan beberapa menu tambahan yang ia sukai.

 

“Yun ...!” panggil Andre lirih.

 

“Hmm ...,” sahut Yuna dengan mulut penuh makanan.

 

“Kamu ingat nggak, dulu kamu pernah ngasih aku sapu tangan gambar bunga yang kamu sulam sendiri?”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Masih ada?”

 

Andre menganggukkan kepala. “Aku selalu bawa ke mana pun.”

 

“Oh ya? Good!” Yuna mengacungkan jempolnya. “Kamu bilang, nggak suka gambar bunga. Aku Cuma bisa buat gambar itu doang. Kamu tahu, aku bikinnya susah payah. Kalau sampai kamu buang, persahabatan kita END!” tegas Yuna.

 

“Apa beneran bisa diakhiri?” tanya Andre.

 

“Eh!? Maksud kamu?”

 

“Aku mau ... hubungan kita bukan sekedar persahabatan, Yun. Dari dulu, aku suka sama kamu lebih dari sahabat, lebih dari saudara. Aku pengen jadi pendamping hidup kamu.”

 

Yuna melongo mendengar ucapan Andre. Ia mengerdipkan mata beberapa kali. Masih tak percaya dengan kalimat yang keluar  dari mulut Andre.

 

“Yun ...!” panggil Andre lirih. “Aku Cuma pengen tahu perasaan kamu ke aku. Apa kamu ...?”

 

“Kamu tahu aku sudah nikah. Kenapa masih bilang kayak gini?”

 

“Aku tahu. Aku cuma mau ngungkapin perasaanku. Nggak peduli gimana status kamu sekarang. Sekalipun kamu sudah nikah dan punya anak dari orang lain, aku tetep cinta sama kamu.”

 

“Jangan gila, Ndre! Ada banyak cewek di dunia ini. Kamu juga ganteng, berbakat dan kaya raya. Nggak susah buat dapetin cewek cantik dan kaya juga. Aku nggak punya apa-apa. Saat ini, aku cuma ayah dan suamiku.”

 

Andre menarik napas dalam-dalam. “Aku sudah tahu semuanya,” tuturnya lirih. “Seharusnya aku nggak ninggalin kamu di saat kamu terpuruk. Bukanya nemenin kamu, aku malah pindah ke luar negeri dan membiarkan kamu menjalani kesulitan seorang diri. Aku bener-bener ngerasa bersalah ...”

 

“Aku baik-baik aja,” sahut Yuna sambil menikmati makanannya.

 

“Saat aku balik dari Italia, orang yang pertama aku cari adalah kamu. Aku pergi ke rumah kamu yang dulu, tapi rumah itu sudah dijual dan ganti pemilik. Aku coba nyari ke rumah keluarga kamu, kamu juga nggak tinggal di sana. Aku hampir putus asa buat nyari kamu. Saat Tuhan menakdirkan kita bertemu, kamu justru sudah menikah dengan pria lain. Aku bener-bener benci sama diriku sendiri karena nggak bisa nemenin kamu di saat-saat paling sulit dalam hidup kamu.”

 

Yuna tidak menanggapi ucapan Andre. Ia tetap fokus menikmati makanannya dengan santai.

 

“Kenapa kamu harus pura-pura?” tanya Andre sambil menatap Yuna.

 

“Pura-pura apa?”

 

“Pura-pura bahagia. Aku tahu semua penderitaan yang kamu alami beberapa tahun belakangan ini. Kamu masih bilang kalau kamu baik-baik aja. Kamu nikah sama Yeriko juga karena terpaksa kan?”

 

Yuna tersenyum menatap Andre. “Nggak ada yang memaksa aku nikah sama dia. Aku mau nikah, karena aku memang suka sama dia.”

 

“Oh ya? Andai hari itu yang berdiri di sana adalah aku, apa kamu juga bakal bersedia nikah sama aku?”

 

“Maksud kamu?”

 

“Yeriko biayain semua perawatan ayah kamu dengan syarat kamu mau nikah sama dia kan? Kalau memang dia ikhlas nolong kamu, nggak seharusnya dia minta kamu jadi istrinya. Modus banget kan?”

 

Yuna menghela napas mendengar ucapan Andre. “Aku nggak punya pilihan lain. Lagian, aku juga sudah suka sama dia sejak awal kenal sama dia. Bukan dia yang manfaatin aku. Tapi, aku yang udah manfaatin dan ngambil keuntungan dari dia.”

 

“Yun, sudah sejauh ini dan kamu masih aja belain suami kamu. Dia nggak sebaik yang kamu pikirkan!” tutur Andre.

 

Yuna meletakkan sumpitnya. Ia melipat kedua tangan ke atas meja dan menatap Andre serius. “Apa kamu jauh lebih baik dari dia?” tanya Yuna kesal.

 

“Setidaknya, aku sudah kenal kamu sejak kecil. Ada masalah sama ayah kamu, harusnya kamu cari aku dan nggak perlu menikah dengan orang lain yang nggak kamu kenal kan?”

 

“Aku harus cari kamu ke mana? Lagipula, Yeriko memperlakukan aku dengan baik. Aku percaya sama dia!” tegas Yuna.

 

“Yun ...!” Andre menggenggam tangan Yuna. “Kita sudah berteman baik sejak kecil. Apa kamu nggak percaya sama aku?”

 

“Aku percaya sama kamu, juga percaya sama Yeriko,” jawab Yuna.

 

Andre menatap lekat ke arah Yuna. “Yun, dia bukan laki-laki sembarangan. Dia nikahin kamu, pasti ada maksud terselubung. Aku lihat, hampir semua media memberitakan sifat buruk Yeriko yang angkuh dan kejam. Apa kamu beneran akan menghabiskan sisa hidup kamu bersama orang yang seperti dia?”

 

Yuna tersenyum menatap Andre. “Aku udah tahu semuanya. Saat ini, aku merasa sangat bahagia menjadi istri Yeriko. Banyak hal yang orang lain tidak tahu tentang dia. Walau dia seorang pebisnis yang angkuh dan kejam, tapi dia sangat menyayangi keluarga dan istrinya. Kamu nggak perlu mengkhawatirkan aku! Aku selalu bahagia bareng dia.”

 

Andre menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia hampir putus asa menjelaskan pada Yuna. Ia ingin, Yuna bisa mengakhiri sandiwaranya.

 

“Yun ... apa kamu beneran cinta sama dia?” tanya Andre.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Apa dia juga cinta sama kamu?” tanya Andre lagi.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Banget!”

 

“Kamu tahu dari mana? Gimana kalau dia cuma pura-pura cinta dan mau manfaatin kamu doang?”

 

“Nggak mungkinlah,” sahut Yuna sambil tertawa kecil. “Aku ini nggak punya apa-apa. Apa yang mau dia ambil dari aku?”

 

Andre terdiam menatap Yuna. Ucapan Yuna ada benarnya juga. Tapi ... ia masih saja tidak bisa menerima pernikahan Yuna dan Yeriko yang terjadi begitu cepat.

 

Yuna tersenyum dan melanjutkan menikmati makanannya kembali. “Banyak orang yang mengatakan hal buruk tentang suamiku. Tapi, aku selalu melihat banyak kebaikan yang ada dalam dirinya.”

 

Andre mengangguk-anggukkan kepala. “Semoga saja dia selalu baik sama kamu!”

 

“Aamiin,” sahut Yuna bersemangat.

 

Andre tersenyum kecut. Ia tidak menyangka kalau Yuna sangat antusias terhadap Yeriko. Setiap kali Yuna menyebut nama Yeriko, matanya menggambarkan kebahagiaan yang sangat menyayat hatinya.

 

 

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas