Friday, January 24, 2025

Bab 35 - Kehangatan di Kala Hujan

 


Yuna merapikan meja kerjanya begitu jam kerja usai. Ia langsung meraih tas dan bergegas keluar dari ruang kerjanya.

 

“Yuna!” panggil Sofi saat melihat Yuna keluar dari ruang kerja.

 

Yuna langsung berbalik, menoleh ke arah Sofi yang memanggilnya. “Kenapa?”

 

“Dipanggil Bellina ke ruangannya.”

 

Yuna mengernyitkan dahi menatap Sofi. “Mau ngapain? Bukannya ini sudah di luar jam kerja?”

 

Sofi mengedikkan bahunya.

 

Yuna langsung melangkahkan kaki menuju ke ruang kerja Bellina. Ia merasa dirinya sudah sangat lelah. Yuna menarik napas dalam-dalam sambil memegang gagang pintu ruangan Bellina.

 

Yuna membuka pintu ruangan Bellina perlahan dan masuk ke dalam ruang kerja Bellina.

 

“Yun, laporan yang tadi mana ya?” tanya Bellina.

 

“Laporan yang mana?” tanya Yuna.

 

“Yang tadi siang aku kasih ke kamu. Yang di dalam map hijau.”

 

“Hah!? Bukannya kamu bilang itu catatan laporan yang nggak dipakai? Udah aku masukin ke penghancur kertas.”

 

“Apa? Bukannya yang dibuang yang di map merah doang? Kamu perhatiin nggak sih kalau dikasih perintah!?” sentak Bellina.

 

Yuna meringis menatap Bellina. “Aku udah perhatiin jelas banget. Kamu bilang begitu.”

 

“Kamu yang nggak konsen kerja!” sentak Bellina. “Catatan itu penting banget buat meeting sama klien. Kamu harus balikin seperti semula!”

 

“Hah!? Gimana caranya?” tanya Yuna.

 

“Ya mikir, dong! Kamu susun lagi atau gimana gitu? Aku nggak mau tahu. Catatan itu harus dibalikin ke aku hari ini juga karena besok pagi harus meeting sama atasan. Kalau sampe bahan presentasi aku itu hilang, kamu yang harus tanggung jawab!” tegas Bellina.

 

Yuna tertunduk lesu. Ia langsung berbalik dan melangkahkan kakinya yang begitu berat untuk keluar dari ruangan Bellina.

 

Bellina tersenyum sinis saat Yuna sudah keluar dari ruang kerjanya. “Rasain! Makan tuh kertas!” umpatnya lirih.

 

Yuna langsung melangkah masuk ke ruangannya. Ia tak bersemangat saat membuka mesin penghancur kertas. “Oh God! Help Me!” bisiknya sambil mengeluarkan tumpukan kertas yang sudah terpotong kecil-kecil.

 

Yuna duduk di lantai keramik yang dingin dan mulai menyusun puzzle kertas satu per satu.

 

“Aha ... ini dia!” seru Yuna saat sudah menemukan catatan laporan yang dimaksud oleh Bellina. Ia langsung bangkit, mengambil kertas HVS dan lem untuk menempelkan laporan yang sudah tak bisa kembali utuh seperti semula.

 

Dengan hati-hati, Yuna mencari potongan kertas yang lainnya dan mulai menempelkan satu per satu.

 

Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama ‘Beruang Kutub’ tertera di layar.

 

“Halo ...!” sapa Yuna.

 

“Halo ... kamu di mana? Belum pulang kerja?”

 

“Belum. Aku masih harus lembur,” jawab Yuna.

 

“Sampai jam berapa?”

 

“Belum tahu. Kenapa?”

 

“Aku mau jemput kamu.”

 

“Nanti aku telepon kalau sudah selesai kerjaanku,” tutur Yuna sambil tersenyum.

 

“Oke. Mau aku antarin makanan?”

 

“Nggak usah. Aku bisa pesen makanan sendiri,” jawab Yuna.

 

“Ya udah kalo gitu. Jaga diri baik-baik! Jangan sampai larut malam! Bos kamu nggak menindas kamu kan?”

 

“Nggak. Semuanya baik-baik aja, kok. Aku langsung pulang kalau kerjaanku bisa selesai lebih cepat.”

 

“Oke. Aku tutup teleponnya. Jangan lupa makan!”

 

“Siap Bos!” Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko langsung mematikan panggilan teleponnya.

 

Yuna menundukkan kepala. Ia merasa sangat payah karena harus menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menyusun kertas-kertas kecil yang menyiksa dirinya.

 

Yuna menghela napas. Sesekali ia memijat pundak dan pinggangnya yang terasa pegal.

 

Cuaca semakin dingin dan gelap malam makin mencekam. Yuna melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB.

 

“Akhirnya ... kelar juga!” seru Yuna bangkit sambil meliukkan tubuhnya. Ia bersendawa beberapa kali dan baru menyadari kalau ia belum makan apa pun.

 

Yuna meraih ponsel yang ada di atas meja dan bermaksud menelepon Yeriko. “Hah!? Batrai aku habis?” serunya sambil mengetuk-ngetuk ponsel ke atas meja kerjanya.

 

Yuna merebahkan tubuhnya ke atas kursi. “Bener-bener hari yang sial!” celetuknya. Ia langsung meraih tas dan bergegas keluar dari ruang kerjanya.

 

Waktu tak bisa dihentikan begitu saja, semakin larut malam. Di luar, rintik hujan semakin deras. Yuna menahan hembusan angin malam yang hampir membuat tubuhnya membeku. Ia tak bisa menelepon Yeriko. Ia hanya bisa menunggu Yeriko di depan kantornya.

 

Di saat yang sama, perasaan Yeriko semakin gelisah. Waktu semakin larut dan Yuna belum juga meneleponnya. Ia mengintip ke luar jendela. Di luar rumah turun hujan deras disertai petir dan angin kencang.

 

Yeriko tidak tahan menunggu lagi. Ia menelepon nomor Yuna berkali-kali tapi tidak bisa terhubung. Perasaannya semakin tidak karuan. Ia menyambar jas panjang miliknya dan bergegas turun dari kamar.

 

Ia bergegas keluar dari rumah dan melajukan mobilnya ke kantor Yuna.

 

Yeriko buru-buru keluar dari mobil begitu melihat Yuna berdiri di depan kantor sambil mengusap lengannya beberapa kali. Tubuhnya mulai gemetar karena angin malam dan rintik hujan yang menyentuh kulitnya.

 

“Kenapa nggak nelpon?” tanya Yeriko. Ia langsung melepas jas miliknya dan memakaikan ke tubuh Yuna.

 

“Batrai hp-ku habis,” jawab Yuna sambil menatap Yeriko yang sudah berdiri di depannya.

 

“Dingin?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko langsung merengkuh tubuh Yuna ke dalam pelukannya. “Aku hangatin kamu sebentar.”

 

Yuna menyandarkan kepalanya ke dada Yeriko dan memeluk tubuh suaminya dengan erat. “Makasih,” ucapnya hampir tak terdengar.

 

“Sudah makan?” tanya Yeriko sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Yuna.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku terlalu fokus sama kerjaanku sampai lupa makan dan lupa waktu,” ucapnya sambil tersenyum.

 

“Lain kali, nggak boleh kayak gini lagi! Kamu lembur sendirian?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Kenapa bos kamu lebih kejam dari aku? Ngebiarin kamu lembur sendirian kayak gini?”

 

“Semuanya juga salahku. Kalau aku nggak bikin kesalahan, aku nggak harus lembur sampai larut malam kayak gini.”

 

“Sudahlah. Kita bahas di rumah aja. Di sini dingin banget. Kita pulang sekarang!” Yeriko merangkul Yuna dan membawanya masuk ke dalam mobil.

 

“Hatchiim ...!” Yuna bersin beberapa kali di dalam mobil saat perjalanan pulang ke rumah.

 

Yeriko tidak tahan melihat Yuna. Ia menyentuh kening Yuna menggunakan punggung tangannya. Yeriko langsung menambah kecepatan mobilnya meski di luar hujan deras dan jalanan sangat licin.

 

“Beruangku, nggak usah buru-buru! Cuaca lagi nggak bagus,” tutur Yuna.

 

“Sampai di rumah lebih cepat lebih baik,” sahut Yeriko.

 

Yuna terdiam. Ia merapatkan jas yang menutupi tubuhnya. Tubuhnya gemetar menahan dingin yang masih melekat di kulitnya.

 

“Masih dingin?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko langsung menepikan mobilnya perlahan.

 

“Kenapa berhenti di sini? Rumah kita sudah dekat.”

 

Yeriko menggosong kedua telapak tangannya dan menempelkannya ke pipi Yuna.

 

“Masih dingin?” tanya Yeriko.

 

Yuna tertegun menatap wajah Yeriko yang begitu dekat. Sinar mata Yeriko benar-benar membuat tubuhnya semakin membeku. Yuna tak bisa menahan perasaannya dan langsung mencium bibir Yeriko yang hanya berjarak lima sentimeter dari bibirnya.

 

Yeriko terkejut ketika Yuna tiba-tiba menciumnya. Tanpa banyak berpikir, ia langsung membalas ciuman Yuna penuh kehangatan dan memeluk erat tubuh gadis itu.

 

Perlahan, pipi Yuna mulai menghangat. Kehangatan itu bisa ia rasakan menjalar ke seluruh tubuhnya seirama dengan ciuman hangat dari bibir Yeriko. Cara alamiah yang paling efektif untuk menghangatkan tubuh adalah dengan ciuman hangat.

 

“Sorry ...!” Yuna langsung menarik tubuhnya saat ia mulai tak bisa mengendalikan pernapasannya sendiri.

 

Yeriko tersenyum kecil. Ia bergegas melajukan kembali mobilnya menuju rumahnya.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

Bab 34 - Raja Iblis Berdarah Dingin

 


Yuna kembali bekerja seperti biasa setelah luka di pahanya perlahan sembuh dan bisa berjalan normal seperti biasa. Ia beraktivitas di kantornya seperti biasa, harus menghadapi Bellina yang selalu menindas dirinya.

 

Baru beberapa menit Yuna duduk di meja kerjanya, Bellina sudah memanggil ia ke ruangannya. Yuna menghela napas dan bergegas pergi menuju ruangan Bellina.

 

“Ada apa?” tanya Yuna begitu ia masuk ke dalam ruangan Bellina.

 

“Tolong kamu urus berkas ini. Satu bendel kamu file-kan, yang satunya lagi dihancurkan karena itu catatan yang nggak terpakai!” perintah Bellina sambil memberikan tumpukan map ke tangan Yuna.

 

Yuna menatap Bellina sambil mengerutkan bibirnya. Ia sangat kesal dengan perlakuan Bellina kepadanya. Tapi, ia sendiri tidak bisa menolak pekerjaan dari atasannya itu.

 

“Kenapa? Nggak mau ngerjain? Udah dua hari kamu nggak masuk. Wajar kalo kerjaan numpuk.”

 

Yuna memutar bola mata dan berbalik. Ia bergegas keluar dari ruangan Bellina dan kembali ke ruangannya.

 

“Yun, disuruh ngapain sama Bu Belli?” tanya Selma.

 

“Suruh file-kan berkas ini. Oh ya, mesin penghancur kertas di mana ya?” tanya Yuna

 

“Tuh!” Selma menunjuk mesin penghancur kertas yang ada di pojok ruangan.

 

Yuna langsung menghampiri mesin tersebut dan memasukkan satu per satu lembaran kertas yang sudah tidak terpakai lagi.

 

“Yun, bentar lagi istirahat. Ngantin yuk!”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Aku rapiin file sebentar.”

 

Selma menganggukkan kepala. Bagus juga ikut merapikan meja kerjanya. Setelah Yuna merapikan file miliknya, mereka bergegas pergi ke kantin.

 

Di kantin, terjadi kehebohan yang ikut menarik perhatian Yuna. Pasalnya, televisi yang ada di kantin menunjukkan potret Direktur Lukmantoro, pria tua yang ingin membeli Yuna lewat tangan tantenya.

 

“Eh, Lihat! Jaya Agung diakuisisi sama Galaxy Group,” tutur Selma.

 

“Itu berita beneran? Aku pikir, cuma wacana,” tutur Bagus.

 

“Emang kenapa?” tanya Yuna yang masih belum bisa memahami pembicaraan mereka.

 

“Galaxy Group itu salah satu group perusahaan terbesar di Indonesia. Dia sering banget bikin perusahaan lain bangkrut dan ngambil alih semua aset-asetnya,” jelas Selma.

 

Yuna mengernyitkan dahi sejenak. Kemudian tersenyum gembira karena akhirnya pria tua mata keranjang itu bisa mendapat balasan yang setimpal. Ia merasa sangat senang jika perusahaan milik pria itu bangkrut.

 

“Kenapa malah senyum-senyum?” Selma menyenggol lengan Yuna.

 

“Eh!? Nggak papa. Apa itu artinya kalau perusahaan dia sudah bangkrut?”

 

Selma menganggukkan kepala. “Sekarang, Jaya Agung sudah resmi jadi anak perusahaan Galaxy Group. Sudah pasti, posisi direktur Lukmantoro bakal tersingkir.”

 

“Bagus deh kalo gitu,” sahut Yuna sambil tersenyum senang.

 

“Kok, bagus? Kamu kenal sama Direktur Lukman?” tanya Selma.

 

Yuna menggelengkan kepala. Ia melanjutkan melahap makanannya untuk mengalihkan perhatian Selma.

 

Di meja sebelah mereka juga membicarakan berita yang sama. Bahkan mereka membicarakan soal Direktur Utama Galaxy Group yang terkesan kejam dan berdarah dingin.

 

“Ckckck. Jaya Agung bener-bener diambil alih. Dirut GG memang bener-bener Raja Iblis berdarah dingin,” tutur seorang pria yang duduk di meja belakang Yuna.

 

“Bener banget! Nggak ada satu pun perusahaan yang berani menghadapi GG. Apalagi Raja Iblis itu. Semua orang bisa dibuat bangkrut dalam sekejap sama dia.”

 

“Dia bener-bener punya kekuasaan yang besar. Pantes aja banyak yang takut sama dia.”

 

Seisi kantin terus membicarakan Direktur Utama Galaxy Group. Yuna sendiri tidak mengetahui sama sekali kalau si Raja Iblis Berdarah Dingin adalah Yeriko, suaminya.

 

Bellina tiba-tiba menghampiri Yuna yang sedang asyik melahap sandwich. “Tolong ambilin aku air, dong!” pintanya.

 

Yuna melongo menatap Bellina yang tiba-tiba duduk di hadapannya, tepat di samping bagus.

 

“Kenapa diam? Aku udah haus banget nih.”

 

“Ambil sendiri kenapa?” sahut Yuna dengan mulut penuh makanan.

 

“Kamu mau ngelawan perintah atasan, hah!?”

 

“Kamu itu atasanku kalau jam kerja. Ini kan jam istirahat. Kalau mau minum, ya tinggal pesen aja dan ambil sendiri!” sahut Yuna.

 

“Kamu ...!? Udah mulai berani ngelawan aku? Kamu nggak tahu aku ini siapa? Aku bisa aja bikin kamu keluar dari perusahaan ini sekarang juga!”

 

“Coba aja!” sahut Yuna santai.

 

“Heh!?” sentak Bellina sambil memukul meja di depannya. “Kamu masuk perusahaan ini karena Lian kan? Lian itu calon suamiku. Sebentar lagi, kita bakal nikah. Jangan harap bisa deketin Lian!”

 

Yuna tersenyum sinis ke arah Bellina. Ia sama sekali tidak bersemangat memperdebatkan Lian di hadapan semua orang.

 

“Malah senyum-senyum? Kamu beneran mau ngerebut Lian?”

 

“Nggak minat!” celetuk Yuna tanpa memandang wajah Bellina.

 

“Kalo nggak minat, kenapa kamu masuk ke perusahaan ini? Pasti modus kan?” tanya Bellina.

 

Yuna menghela napas. “Kalo modus, itu bukan karena Lian. Tapi karena hal lain. Lagian, aku ini udah nikah. Sama sekali nggak tertarik sama Lian lagi.”

 

“Kamu nikah sama laki-laki yang nggak kamu kenal. Kamu pasti nggak cinta sama dia kan? Kamu masih ada rasa sama Lian, makanya kamu sengaja datang ke sini buat ambil Lian dari aku?”

 

“Kamu sadar nggak sih kalau kamu yang udah ambil Lian dari aku?”

 

“Lian itu nggak beneran cinta sama kamu!” seru Bellina.

 

“Terserah ya! Yang jelas, semua orang tahu kalau aku yang jadi pacarnya Lian selama tujuh tahun ini dan kamu cuma wanita simpanan yang nggak tahu diri!”

 

Bellina naik pitam mendengar ucapan Yuna. Ia langsung mengangkat tangan untuk memukul Yuna. Tapi, Yuna langsung menahan lengan Bellina dengan cepat.

 

Yuna menatap sinis ke arah Bellina. Ia mendorong Bellina ke kursi dan membuat Bellina semakin geram terhadapnya.

 

Selma dan Bagus hanya menatap dua bersaudara yang sedang berdebat. Mereka tak punya keberanian untuk ikut campur. Begitu juga dengan karyawan yang lain. Semua orang tahu kalau Bellina adalah calon istri Lian, direktur utama Wijaya Group yang merupakan bos besar mereka.

 

“Kamu bener-bener suka mengacau makan siang orang ya? Atau ... kamu juga pengen aku telen mentah-mentah!” ancam Yuna. Ia langsung berbalik dan meninggalkan Bellina.

 

Bellina menghentakkan kakinya ke lantai. “Kenapa aku selalu kalah dari kamu?” batinnya. “Aku nggak akan ngelepasin kamu gitu aja. Tunggu pembalasanku!” tuturnya semakin kesal.

 

“Sumpah ya! Mak Lampir satu itu suka banget cari gara-gara sama aku,” celetuk Yuna kesal.

 

“Ckckck, masalah cinta memang sering bikin orang buta,” sahut Bagus yang mengiringi langkah Yuna bersama Selma.

 

“Eh, aku nggak buta ya!” tegas Yuna. “Dia tuh yang buta!”

 

“Ya, aku kan emang ngomongin dia,” sahut Bagus.

 

“Ya. Bagus-bagus!” Yuna manggut-manggut.

 

Yuna berbelok ke arah toilet, sedangkan Selma dan Bagus langsung kembali ke ruang kerja mereka.

 

Ponsel Yuna tiba-tiba berdering. Yuna langsung merogoh ponselnya yang berdering. Ia mendesah kesal saat melihat nama ‘Maleficent’ yang tertera di layar ponselnya. Dengan berat hati, ia langsung menjawab panggilan telepon dari tantenya.

 

“Halo ...!” sapa Yuna sambil memejamkan sebelah matanya.

 

“Kamu di mana?” tanya Melan tanpa basa-basi.

 

“Di kantor,” jawab Yuna.

 

“Bantu Tante mempersiapkan acara pernikahan untuk Bellina dan Wilian. Minggu ini, temenin Tante ketemu sama salah satu Wedding Organizer.”

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. 

 

“Kenapa diam? Kamu nggak mau bantu pernikahan kakak kamu sendiri?” tanya Melan.

 

“Iya. Aku bantu. Nanti kirim aja alamatnya ke aku!” pinta Yuna.

 

“Nah, gitu dong! Itu baru ponakan yang baik. Jangan sampai melupakan jasa Oom dan Tantemu!”

 

“Iya.” Yuna menganggukkan kepala.

 

“Oke. Selamat bekerja!” Melan langsung mematikan panggilan teleponnya.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. Jauh dalam lubuk hatinya, ia tidak ingin terlibat apa pun yang berhubungan dengan Lian. Setiap kali melihat cowok itu, hatinya begitu tersayat. Terlebih lagi saat melihatnya bersama Bellina, dua orang yang telah yang mengkhianatinya.

 

 ((Bersambung…))

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 33 - Rencana Bulan Madu

 


Usai membersihkan seluruh tubuh Yuna, Yeriko langsung menggendong kembali dan membawanya ke atas tempat tidur.

 

“Kamu cuma punya baju ini?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Yang lain masih kotor. Mungkin masih dicuci sama Bibi.”

 

“Bibi tiap hari nyuci. Nggak mungkin numpuk pakaian kotor. Andai ada yang kotor, mungkin Cuma satu atau dua setel.”

 

Yuna bergeming. Ia menarik selimut untuk menutup tubuhnya yang terlihat mulus tanpa sehelai kain. Ia hanya menundukkan kepala. Tidak tahu harus mengatakan apa pada suaminya.

 

“Yuyun, aku udah kasih kamu kartu kredit. Kamu bisa pakai buat beli pakaian sebanyak yang kamu mau. Kenapa masih nggak mau pakai kartu itu?” tanya Yeriko sambil melangkah mendekati Yuna.

 

Yuna menggigit jemarinya sendiri mendengar pertanyaan Yeriko. “Aku pengen usaha sendiri,” jawab Yuna lirih.

 

Yeriko menghela napas. “Jangan menyulitkan diri sendiri! Aku ini suami kamu. Nyonya Yeri nggak boleh terlihat buruk di mata siapa pun. Aku bukan suami yang nggak bisa memenuhi kebutuhan istri!” Yeriko menyodorkan piyama milik Yuna.

 

Yuna mengangguk dan menerima piyama itu perlahan. Yuna langsung memakai piyama sambil sesekali melirik Yeriko yang ada di depannya.

 

“Yang ini, nggak mau dipakai?” tanya Yeriko sambil mengangkat bra milik Yuna.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Kalau malam, lebih baik nggak pake BH waktu tidur. Biar bisa bernapas.”

 

“Apanya yang bernapas?” tanya Yeriko sambil tertawa kecil.

 

“Kulitnya. Kulit juga butuh bernapas,” jawab Yuna.

 

“Oh.” Yeriko tersenyum kecil.

 

“Kenapa senyum-senyum?” tanya Yuna sambil memakai celananya.

 

“Nggak papa. Kamu mau makan apa?” tanya Yeriko.

 

“Mmh ... makan buah aja deh kalo ada. Udah malam gini, nggak baik makan makanan berat. Ntar cepet gemuk.”

 

Yeriko tergelak mendengar ucapan Yuna. “Biasanya juga makan banyak!” sahutnya. “Aku turun dulu kalo gitu. Jangan ke mana-mana ya!” pinta Yeriko.

 

Yuna mengangguk sambil tertawa kecil melihat Yeriko yang buru-buru keluar dari kamarnya.

 

Beberapa menit kemudian, Yeriko kembali ke dalam kamar. Yuna sudah terlelap dalam mimpi. Ia tak lagi bisa mendengar dan melihat apa yang dilakukan Yeriko di sisinya. Jiwanya sudah terbang ke alam mimpi, memimpikan sesuatu yang indah bersama orang yang kini mulai masuk dalam hatinya secara perlahan.

 

Melihat Yuna yang sudah terlelap, Yeriko langsung berpindah ke ruang kerjanya. Ia melakukan panggilan video call dengan Riyan, asisten pribadinya.

 

“Halo ... Bos!” sapa Riyan.

 

Yeriko mengangguk. “Masih di kantor?”

 

“Iya.”

 

“Gimana proses akuisisi perusahaan Jaya Agung?” tanya Yeriko.

 

“Sudah beres, Bos. Besok pagi, Jaya Agung akan resmi menjadi anak perusahaan Galaxy Group.”

 

“Bagus. Gimana agenda hari ini? Nggak ada masalah kan?”

 

Riyan menggelengkan kepala. “Semua jadwal meeting hari ini, sudah saya geser besok.”

 

“Oke.” Yeriko langsung mematikan panggilan videonya. Ia kembali melakukan panggilan video call dengan sahabatnya, Chandra dan Lutfi.

 

“Halo, Bro! Tumben vidcall?” tanya Lutfi tanpa basa-basi.

 

Yeriko tersenyum kecil.

 

“Ke sini leh!” pinta Lutfi. “Kita lagi di Bar.”

 

“Istriku lagi sakit.”

 

“Kakak Ipar sakit? Sakit apa?” tanya Lutfi.

 

Yeriko langsung menceritakan perihal kecelakaan kecil yang terjadi pada Yuna. Lutfi dan Chandra mendengarkan dengan seksama.

 

“Chan, kamu tahu Direktur Lukman dari PT. Jaya Agung?” tanya Yeriko.

 

“Nggak kenal-kenal deket banget sih. Tapi tahu, kenapa?”

 

“Dia pernah ganggu istriku waktu kami belum nikah. Besok pagi, aku bakal bikin dia bangkrut.”

 

Chandra tersenyum kecil mendengar ucapan Yeriko. Ia sudah tahu dengan sifat sahabatnya yang satu ini. Memiliki kuasa besar dan berdarah dingin. Ia tidak akan membiarkan orang-orang jahat di sekelilingnya bisa hidup dengan tenang. Terlebih orang yang telah menyakiti orang-orang terdekatnya.

 

“Wah ... parah! Mau kamu apain orang itu?” tanya Lutfi.

 

Yeriko tersenyum penuh kesombongan. “Lihat aja besok!”

 

“Eh, kamu belum bulan madu kan?” tanya Lutfi.

 

“Kenapa? Mau ngasih hadiah bulan madu?” tanya Yeriko.

 

Lutfi menganggukkan kepala. “Villaku di Uluwatu keren, Yer. Cocok buat bulan madu.”

 

“Belum ada waktu,” sahut Yeriko.

 

“Astaga! Kalo kamu sibuk terus, gimana bisa bahagiain Kakak Ipar?” tanya Lutfi.

 

“Dia juga kerja, Lut.”

 

“Duitmu kan udah banyak. Kenapa istrimu masih dibiarin kerja? Aku pikir, dia nggak akan kekurangan walau setiap hari shopping-shopping,” tutur Lutfi.

 

Yeriko tertawa kecil. Ia baru menyadari kalau Yuna adalah wanita yang istimewa. Dengan kekayaan yang ia miliki, seharusnya Yuna tidak perlu bekerja. Ia bisa menggunakan harta Yeriko untuk bersenang-senang.

 

Tapi, Yuna memilih untuk tetap bekerja. Bahkan kartu kredit yang diberikan oleh Yeriko, belum pernah digunakan oleh Yuna.

 

“Kenapa malah senyum-senyum sendiri?” tanya Lutfi dan Chandra.

 

Yeriko tersenyum kecil. “Kakak Ipar kalian itu memang beda. Dia bahkan nggak pernah pakai kartu kredit yang aku kasih. Sore tadi, aku baru sadar kalau dia cuma punya beberapa lembar pakaian ganti. Dia bahkan nggak pernah minta dibelikan pakaian baru.”

 

“Hah!? Serius? Dia sesederhana itu? Wah ... kalo gitu, duitmu makin nggak habis-habis!” seru Lutfi.

 

Yeriko tertawa kecil. “Aku ngerasa bersalah. Aku pengen ngasih kejutan buat dia. Kamu bantu aku ya!”

 

“Bantu apa?” tanya Lutfi.

 

“Carikan tempat liburan yang enak, di Luar Negeri.”

 

“Katanya kamu sibuk, Yer?” tanya Lutfi.

 

“Nanti, aku atur jadwalku, juga nyesuaikan jadwal kerjanya Yuna.”

 

“Oh gitu? Oke, deh. Kamu mau liburan ke mana?” tanya Lutfi.

 

“Yang bagus ke mana?”

 

“Semua tempat bagus-bagus. Kakak Ipar sukanya ke negara mana?”

 

“Mmh ... dia nggak pernah ngomong mau ke mana.”

 

“Melbourne gimana? Dia kan dari sana. Pasti lah bakal rindu suasana di sana.”

 

“Iya juga ya?” Yeriko menimbang-nimbang ucapan Lutfi. “Nanti, kamu kirim aja referensi tempat yang bagus buat bawa Yuna liburan!” pintanya.

 

“Siap!” sahut Lutfi.

 

“Chan, hubunganmu sama Amara gimana?” tanya Yeriko. “Kapan nikahnya?”

 

Lutfi tergelak mendengar pertanyaan Yeriko.

 

Chandra langsung menyenggol lengan Lutfi.

 

“Kenapa ketawa?” tanya Yeriko.

 

“Payah si Chandra. Udah punya tunangan cantik, nggak juga dinikah-nikahin. Lihat Yeriko! Baru seminggu kenal sama Yuna langsung nikah.”

 

“Daripada jomlo terus!” sahut Chandra.

 

Lutfi gelagapan mendengar ucapan Chandra. Ia ingin membela diri, tapi tidak tahu harus mengatakan apa.

 

Yeriko tertawa kecil melihat Lutfi dan Chandra dari layar ponselnya.

 

“Heh!? Nggak usah ikut ngetawain!” sahut Lutfi sambil menatap kesal ke arah Yeriko. “Eh, Kakak Ipar mana?”

 

“Udah tidur,” jawab Yeriko yang masih menyisakan tawanya.

 

“Jam segini udah tidur? Tengah malam pasti bangun kan?” tanya Lutfi.

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Hah!? Kalo tidur terus, kapan bikin keponakan buat aku?”

 

“Minta sama Chandra!” sahut Yeriko sambil menahan tawa.

 

Lutfi dan Chandra saling pandang.

 

“Udah dulu ya! Aku mau tidur dulu. Kasihan Yuna tidur sendirian. Ntar kedinginan nggak ada yang peluk!” pamit Yeriko sambil menutup panggilan videonya.

 

Yeriko tersenyum kecil. Ia mematikan laptop miliknya dan melangkah keluar dari ruang kerja pribadinya. Ia langsung masuk ke kamar, naik ke tempat tidur sambil menatap wajah cantik Yuna.

 

Aroma tubuh Yuna yang semerbak membuatnya tidak tahan untuk tidak mencium gadis itu. Yeriko mengecup kening Yuna. Ia memeluk pinggang Yuna, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan ikut terlarut dalam mimpi.

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas