Friday, January 24, 2025

Bab 32 - Memandikan si Kecil Kesayangan

 


Setelah dari dokter, Yuna dan Yeriko kembali ke kamar mereka.

 

“Kamu nggak papa nggak masuk kerja?” tanya Yuna.

 

“Nggak papa.”

 

Yuna tersenyum menatap Yeriko. Ia merasa bersalah karena telah membuat kekacauan dan membuat suaminya tidak pergi bekerja. Bahkan sampai sekarang, ia tidak mengetahui profesi suaminya itu. Melihatnya memiliki seorang asisten pribadi, setidaknya pekerjaan suaminya tidak terlalu buruk.

 

Yeriko mengambil tab miliknya. Ia menunjukkan beberapa video lucu pada Yuna untuk mengusir penat. Mereka terus tertawa bersama sambil menonton beberapa video lucu.

 

“Gila nih anak-anak! Masih kecil udah panggil Papa Mama. Anak-anak zaman sekarang ada-ada aja,” tutur Yuna sambil tertawa melihat video anak-anak SD yang sudah memiliki kekasih.

 

“Bukannya itu romantis?” sahut Yeriko.

 

Yuna tergelak. “Iya, romantis buat orang dewasa. Tapi kalau anak-anak kayak gini mah, bukan romantis, lucu!”

 

Yeriko ikut tertawa. Ia langsung berbaring di sebelah Yuna dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya. “Mmh ... gimana kalau kita bikin julukan juga?”

 

“Mmh ... boleh. Gimana kalau aku panggil kamu ... Papa Yeri?”

 

“Emangnya udah siap jadiin aku seorang Papa?” tanya Yeri sambil menempelkan dahinya ke dahi Yuna.

 

Tubuh Yuna langsung membeku, ia ingin mengucapkan sesuatu tapi tertahan di kerongkongannya. Ia tidak tahu apakah harus mengatakan iya atau tidak. Ia tak bisa menolak Yeriko, tapi juga belum siap untuk melangkah lebih jauh lagi.

 

“Kenapa diam?” tanya Yeriko sambil tersenyum.

 

“A ... aku ...” Yuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tidak bisa menyembunyikan pipinya yang merona merah saat Yeriko menatapnya begitu dekat. Di manik mata Yeriko, tergambar jelas bayangan wajahnya dan membuatnya semakin membeku.

 

“Mulai sekarang, aku panggil kamu Yuyun. Gimana?”

 

“Yuyun!?” Yuna mengerutkan bibir dan keningnya. “Jelek banget!” protesnya.

 

“Menurutku, bagus dan lucu. Kayak kamu,” tutur Yeriko sambil mencolek hidung Yuna dengan ujung ibu jarinya.

 

Yuna tersenyum bahagia, tanpa sadar ia meletakkan tangannya di pipi Yeriko. “Kalo gitu, mulai hari ini aku bakal panggil kamu Beruang Kutub.”

 

Yeriko langsung mendorong tubuh Yuna dan memalingkan wajahnya.

 

“Kenapa? Kok, marah?” tanya Yuna sambil menggoyang-goyangkan pundak Yeriko.

 

Yeriko melirik Yuna yang ada di sampingnya. “Kenapa Beruang Kutub?” tanyanya kesal. “Nggak ada nyambungnya sama sekali sama namaku!” protesnya.

 

“Beruang kutub itu kan lucu. Putih bersih, pemberani, kuat dan sangat sabar,” jawab Yuna sambil tersenyum. “Karena kamu adalah Beruang Kutub yang paling tampan dan selalu melindungi aku.”

 

Yeriko langsung menatap lekat wajah Yuna. Ia langsung mencium bibir Yuna tanpa mengatakan apa pun. Membuat Yuna terkejut, namun tetap menikmati ciuman manis dari Yeriko.

 

Tok ... tok ... tok ...!

 

Yuna dan Yeriko langsung menghentikan ciuman mereka saat terdengar ketukan pintu dari luar. Yeriko langsung bergegas turun dari tempat tidur dan membukakan pintu kamar.

 

“Makan siang untuk Mbak Yuna,” tutur Bibi War sambil menyodorkan nampan berisi makanan dan segelas susu untuk Yuna.

 

“Oke. Makasih, Bi!” tutur Yeriko sambil meraih nampan dari tangan Bibi War.

 

Bibi War menganggukkan kepala. Ia berusaha mengintip Yuna yang sedang berbaring di atas ranjangnya. “Mbak Yuna nggak papa?”

 

“Nggak papa. Cuma butuh istirahat sampai lukanya sembuh.”

 

“Mmh ... Bibi mau minta maaf karena nggak bisa menjaga Mbak Yuna dengan baik. Harusnya, tadi pagi Bibi nemenin Mbak Yuna masak. Bukannya malah pergi ke pasar dan ninggalin dia sendirian di dapur.

 

“Nggak papa, Bi. Ini cuma kecelakaan, kok. Bibi lanjutin aja kerjaan Bibi!” pinta Yeriko. Ia langsung menutup pintu kamar dan melangkah menghampiri Yuna.

 

“Kenapa ketus banget sama Bibi?” tanya Yuna.

 

“Ck.” Yeriko hanya berdecak. Ia masih merasa kesal dengan Bibi War karena membiarkan Yuna memasak sendirian dan mengalami kecelakaan.

 

Yuna meraih lengan Yeriko. “Jangan marahin Bibi War terus! Dia nggak salah, aku yang ngotot pengen masak buat kamu!” pinta Yuna dengan mata berkaca-kaca.

 

Yeriko menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia tidak tahan melihat wajah Yuna yang bersedih. Tiba-tiba, ia merasa sangat bersalah karena telah melampiaskan kekesalannya pada Bibi War.

 

“Aku nggak akan marah lagi sama Bibi. Tapi kamu jangan masak lagi! Kalau pengen makan sesuatu, tinggal bilang aja sama Bibi atau sama aku. Kalau Bibi nggak bisa bikin, kita bisa cari di luar.”

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

“Sekarang, makan dulu!” pinta Yeriko sambil duduk di sisi Yuna. Ia menyuapi Yuna makan dengan penuh kasih sayang sambil bercerita banyak hal.

 

Yeriko mempertanyakan soal pria tua yang pernah dijodohkan kepada Yuna.

 

Yuna langsung menceritakan semuanya kepada Yeriko. Ia sangat kesal dengan pria tua yang ingin mencelakainya itu. Yuna terus berbicara hingga ia tak sadar sudah menghabiskan makanannya.

 

Yeriko langsung mengambilkan obat untuk Yuna.

 

“Eh!? Makananku udah habis?” tanya Yuna.

 

Yeriko menganggukkan kepala. Ia menyodorkan segelas air putih agar Yuna segera meminum antibiotik yang diberikan oleh dokter.

 

Yuna tersenyum kecil. Ia meraih obat dan gelas dari tangan Yeriko dan langsung meminumnya. “Cerita butuh banyak energi juga ya? Aku nggak sadar kalau sudah ngabisin makananku,” celetuk Yuna.

 

Yeriko tersenyum. Ia mengambil salep dari dokter, kemudian menyingkap dress Yuna.

 

Yuna langsung menutup pahanya kembali dengan cepat.

 

Yeriko mengernyitkan dahi menatap Yuna. “Lukanya harus dikasih salep, biar cepet sembuh.”

 

“Biar aku pakai sendiri,” tutur Yuna sambil merebut obat salep dari tangan Yeriko. Walau Yeriko sudah seringkali melihat tubuhnya, ia tetap saja selalu gugup ketika Yeriko berada di dekatnya. Terlebih saat Yeriko memakaikan salep di pahanya. Bukan hanya membuatnya jantungnya berdebar kencang, tapi juga membuat seluruh darah di dalam tubuhnya membeku.

 

Yeriko langsung naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Yuna. Ia meraih remote AC dan mengurangi suhu ruangan agar lebih dingin.

 

Yuna tidak banyak bicara, ia memakai sendiri salep ke pahanya. Sesekali ia menoleh ke arah Yeriko yang sudah fokus dengan tablet yang ada di tangannya.

 

Karena tidak ada hal yang bisa ia lakukan, Yuna memilih berbaring dan menghabiskan waktunya di kamar untuk tidur siang. Sementara Yeriko, terus memantau pekerjaan kantor dari tablet yang ada di tangannya.

 

 

 

Menjelang sore, Yuna terbangun dari tidurnya dan berusaha turun dari ranjang.

 

“Mau ke mana?” tanya Yeriko.

 

“Eh!? Kamu masih di sini dari tadi sebelum aku tidur?”

 

Yeriko menganggukkan kepala. Ia meletakkan tab-nya ke atas meja dan turun dari tempat tidur. Perlahan, ia menghampiri Yuna dan merangkul gadis itu. “Mau ke kamar mandi?” tanyanya.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Tanpa pikir panjang, Yeriko langsung menggendong Yuna masuk ke dalam kamar mandi. “Kata dokter, lukamu belum boleh kena air. Biar aku bantu kamu mandi.”

 

“Hah!? Aku bisa kok mandi sendiri.”

 

Yeriko menatap tajam ke arah Yuna. Membuat nyali Yuna menciut dan tidak berani lagi menolak keinginan Yeriko.

 

Yeriko mengambil handuk dan ember kecil, kemudian mengisi ember tersebut dengan air hangat yang sudah otomatis keluar dari kran.

 

“Buka bajumu!” pinta Yeriko.

 

Yuna melepas pakaiannya perlahan.

 

“Semuanya!” pinta Yeriko sambil berjongkok di depan Yuna yang duduk di atas closet duduk.

 

Yuna bergeming. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Ia kini hanya mengenakan bra dan celana dalam. Ia khawatir kalau tubuhnya tidak cukup bagus untuk membuat Yeriko tertarik padanya.

 

Yeriko tak sabar melihat Yuna yang hanya diam di tempatnya. Ia langsung membantu Yuna melepas bra dan celana dalamnya. Kemudian, mulai mengelap tubuh Yuna perlahan menggunakan handuk hangat yang sudah ada di tangannya.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Bab 31 - Merawatmu

 


Yeriko dan Yuna duduk bersama di meja makan sembari menikmati mie instan buatan Yeriko.

 

“Nggak kerja?” tanya Yuna.

 

Yeriko menggelengkan kepala. Ia tidak mungkin pergi ke kantor sedangkan Yuna baru saja mengalami kecelakaan di dapur.

 

“Kenapa? Gara-gara aku lagi?” tanya Yuna sambil memasang wajah sedih.

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Istriku lagi sakit, gimana aku bisa meninggalkan dia sendirian?” ucapnya sembari mencubit dagu Yuna.

 

Yuna tersenyum kecil menatap Yeriko yang tersenyum di hadapannya. Di mata mereka, terpancar cahaya kebahagiaan yang setiap hari semakin berwarna. Yuna masih tidak mengerti kenapa Yeriko menikahinya dan menjadikannya seperti seorang ratu di rumah ini.

 

“Apa aku terlalu merepotkan?” tanya Yuna.

 

Yeriko menggelengkan kepala. Ia bangkit dari tempat duduk, membereskan meja makan dan meletakkan mangkuk kotornya ke tempat pencucian piring.

 

“Kamu tunggu di sini ya! Aku mandi sebentar. Kita periksa ke dokter,” tutur Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko bergegas melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya. Yuna juga ikut bangkit dari tempat duduk, membuat Yeriko akhirnya berhenti dan berbalik. “Mau ke mana?”

 

“Mau baring di sofa. Pegel duduk terus,” jawab Yuna sambil berusaha berdiri.

 

Yeriko langsung berlari ke arah Yuna. Kaki Yuna yang masih sakit membuatnya tak bisa berdiri seimbang. Yeriko langsung menggendong Yuna menuju sofa. “Jangan ke mana-mana lagi!” pintanya.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko langsung bergegas naik ke kamarnya untuk mandi. Usai mandi, ia langsung turun kembali dan menghampiri Yuna yang masih berbaring di sofa.

 

“Udah kelar mandinya? Cepet banget,” tanya Yuna.

 

Yeriko mengangguk. “Kalo lama-lama, bisa-bisa kamu banyak tingkah di sini.” Ia langsung mengangkat tubuh Yuna dan menggendongnya keluar rumah.

 

“Loh? Mbak Yuna kenapa? Kok, digendong?” tanya Bibi War saat Yeriko ingin keluar dan kebetulan Bibi War masuk ke dalam rumah.

 

“Bi, lain kali jangan suruh dia masak!”

 

“Yer, Bibi nggak nyuruh aku masak. Emang aku yang mau,” sahut Yuna.

 

Bibi War bingung melihat kedua majikannya. “Sebenarnya ada apa?”

 

“Yuna ketumpahan sup mendidih. Sekarang, aku mau bawa dia ke dokter. Lain kali, jangan biarin dia masak dan mengacaukan dapur!” pinta Yeriko dingin.

 

“Ma ... maaf, Mas. Bibi bener-bener nggak tahu ...” Bibi War belum menyelesaikan ucapannya, tapi Yeriko sudah bergegas pergi meninggalkannya.

 

Bibi War merasa sedih melihat Yuna yang terluka. Ia merasa sangat bersalah karena membiarkan Yuna di dapur sendirian. Ia juga tidak memastikan apakah majikannya itu bisa memasak dengan baik atau tidak.

 

Bibi War langsung bergegas ke dapur untuk melihat situasi dapurnya. Benar saja, panci sup sudah kosong dan tertumpuk di tempat pencucian piring. Semua sup yang tumpah, sudah dibuang ke tempat sampah dan lantai sudah dibersihkan dengan baik.

 

“Pasti Mas Yeri yang bersihin.” Bibi War menghela napas. “Baru kali ini dia nggak mau dengerin penjelasan Bibi. Sepertinya, Mas Yeri bener-bener marah,” gumamnya.

 

Beberapa menit kemudian, Yeriko dan Yuna sudah berada di dalam ruang pemeriksaan di sebuah rumah sakit swasta, tempat ayah Yuna juga mendapatkan perawatan.

 

“Kena air panasnya kapan?” tanya dokter yang memeriksa Yuna.

 

“Tadi pagi, Dok.”

 

“Kalau baru kena, mungkin akan terasa sangat panas dan memerah. Setelahnya akan melepuh, biarkan sampai kempes sendiri ya! Saya kasih salep supaya lukanya bisa cepat sembuh dan nggak berbekas.”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Tadi, udah kena air ya?” tanya dokter tersebut.

 

“Nggak,” jawab Yeriko. Sementara Yuna menganggukkan kepala. Yeriko langsung menatap ke arah Yuna sambil mengernyitkan dahinya.

 

Yuna meringis ke arah Yeriko. “Tadi udah aku siram pakai air kran karena panas banget.”

 

Yeriko menghela napas mendengar pernyataan Yuna.

 

“Nggak papa. Kalau lukanya belum sembuh, jangan kena air dulu ya!” pinta dokter sambil tersenyum ramah ke arah Yuna.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Iya, Bu Dokter. Makasih!”

 

“Saya kasih antibiotik juga ya,” tutur dokter tersebut sambil menuliskan resep obat untuk Yuna.

 

Usai mendapatkan resep, Yuna dan Yeriko keluar dari ruang pemeriksaan.

 

“Aku nebus obat dulu ya!”  ucap Yeriko sambil mendorong kursi roda yang dikenakan oleh Yuna.

 

Yuna langsung menahan lengan Yeriko.

 

“Kenapa?”

 

“Antar aku ketemu Ayah ya!” pintanya.

 

Yeriko menganggukkan kepala. Ia mendorong kursi roda dan membawa Yuna ke ruangan ayahnya. Setelahnya, ia langsung bergegas menebus obat untuk Yuna.

 

Yuna tersenyum saat mendapati ayahnya sedang terlelap di tempat tidurnya. Melihat kondisi ayahnya saat ini, ia merasa lebih baik dari yang sebelumnya. Ayahnya, benar-benar mendapatkan perawatan terbaik. Wajahnya yang sudah menua, tetap terlihat segar.

 

Yuna meraih telapak tangan ayahnya dan menggenggamnya. “Ayah ... hari ini Yuna dateng sama suami Yuna. Dia memperlakukan Yuna dengan sangat baik. Dia juga sudah ngasih perawatan terbaik untuk Ayah. Ayah harus sembuh ya!” tutur Yuna sambil meletakkan punggung tangan Adjie ke pipinya.

 

Sekalipun bibir mungil itu tersenyum manis, namun air mata tetap menetes dari sudut-sudut matanya. Perasaannya saat ini sulit dijelaskan dengan kata-kata. Ia merasa sangat bahagia, terharu dan juga rindu dengan tawa ayahnya sejak sebelas tahun yang lalu.

 

Beberapa menit kemudian, Yeriko masuk ke dalam ruang rawat ayah Yuna. Ia langsung menghampiri Yuna dan menggenggam pundak Yuna dengan lembut.

 

Yuna menengadahkan kepalanya, ia tersenyum menatap Yeriko yang berdiri di belakangnya.

 

“Makasih ya, udah kasih perawatan terbaik buat ayah,” tutur Yuna.

 

Yeriko mengangguk kecil. “Dokter bilang, Ayah masih harus menjalani terapi secara intensif. Aku harap, beliau bisa sembuh lebih cepat.”

 

Yuna menganggukkan kepala. Mereka berpamitan pada Adjie yang masih terlelap, kemudian bergegas keluar dari rumah sakit.

 

Yeriko tak membiarkan Yuna berjalan seorang diri. Sejak masuk rumah sakit, ia telah membuat banyak mata memandangnya karena ia selalu menggendong Yuna dengan mesra. Sama seperti ketika turun dari mobil, Yeriko juga menggendong Yuna untuk masuk ke dalam mobilnya.

 

“Mau makan apa?” tanya Yeriko saat mereka sudah berada dalam perjalanan pulang ke rumah.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Makan di rumah aja.”

 

“Kenapa? Nggak mau makan di luar? Ada restoran yang makanannya enak banget.”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Makan di rumah aja. Aku pusing, mau cepet-cepet istirahat.”

 

“Oh ... oke.”

 

Yuna langsung merogoh tas dan mencari ponsel di dalamnya. “Aku lupa, belum hubungi atasanku buat izin kerja.” Yuna langsung menelepon Bellina untuk meminta izin.

 

“Halo ... kenapa nggak masuk kerja?” tanya Bellina begitu panggilan telepon Yuna tersambung.

 

Yuna nyengir mendengar pertanyaan dari Bellina. “Aku izin dulu nggak bisa masuk kerja karena sakit.”

 

“Halah ... alesan aja! Paling cuma-cuma pusing dikit doang. Nggak usah manja, deh!” sahut Bellina.

 

“Serius, Bel. Aku abis kecelakaan.”

 

“Kenapa nggak mati aja sekalian!?” sahut Bellina.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa Bellina terus menerus membencinya. “Badanku cuma ketumpahan air panas, nggak akan mati,” sahut Yuna pelan.

 

“Oh ... mau izin sampai kapan?”

 

“Sampai sembuh, nanti aku kirim surat dokternya.”

 

“Oke. Oh ya, aku ada kabar baik buat kamu.”

 

“Apa?”

 

“Aku udah dipromosikan buat naik jabatan ke kantor pusat. Bakal ketemu sama Lian lebih intens lagi!” seru Bellina.

 

Yuna tersenyum kecut. “Selamat ya!” ucapnya terpaksa. Ia langsung mematikan teleponnya. Mendengar pernyataan Bellina, membuatnya semakin membenci Lian. Ia semakin tidak respek dengan sikap Lian yang sudah mengangkat jabatan Bellina karena hubungan mereka.

 

“Kenapa? Bos kamu nggak kasih izin?” tanya Yeriko.

 

“Kasih, kok.”

 

“Kenapa murung?”

 

“Nggak papa,” jawab Yuna sambil tersenyum.

 

Yeriko membalas senyuman Yuna. Ia bergegas melajukan mobilnya menuju ke rumahnya. Sekalipun Yuna tidak mengatakan apa pun, ia bisa melihat kalau ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh gadis itu. Ia harap, Yuna bisa menceritakan semua masalah yang sedang ia hadapi, berbagi cerita bersamanya.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

Bab 30 - Kekacauan Dapur yang Panas

 


Lamat-lamat, terdengar suara adzan subuh dari masjid yang tak jauh dari rumah. Yuna langsung membuka mata, ia tersenyum menatap wajah Yeriko yang masih terlelap di sisinya. Yuna langsung bangun dan menyingkap selimut dari tubuhnya.

 

“Mau ke mana?” tanya Yeriko sambil menahan lengan Yuna.

 

Yuna menoleh ke arah Yeriko yang masih memejamkan mata. Kemudian, membuka matanya perlahan.

 

“Udah subuh, mau sholat dulu.”

 

“Nanti aja sholatnya, masih lama waktunya.” Yeriko langsung menarik Yuna ke dalam pelukannya.

 

“Tapi ...”

 

“Lima belas menit aja. Aku masih masih ngantuk banget.” Yeriko mengeratkan pelukannya.

 

Yuna menghela napas. Ia tak bisa menolak. Karena ia sudah tak mengantuk lagi. Yuna asyik memandangi wajah Yeriko yang masih terlelap.

 

Yuna tersenyum sambil mengusap pipi Yeriko dengan lembut.

 

Yeriko membuka mata sejenak dan mengecup bibir Yuna. Kemudian melanjutkan tidurnya kembali.

 

Beberapa menit kemudian, Yuna melepaskan rangkulan tangan Yeriko perlahan agar tidak membangunkan suaminya. Ia turun dari ranjang dengan hati-hati, kemudian bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya.

 

Usai mandi dan sholat, Yuna langsung turun dari kamarnya. Ia melihat Bibi War sedang di dapur.

 

“Bi, pagi ini biar aku yang masak ya!” pinta Yuna.

 

“Nggak usah, Mbak. Biar Bibi aja yang masak.”

 

“Bi ... jangan bikin aku ngerasa bersalah setiap hari karena nggak bisa masak buat suamiku sendiri,” tutur Yuna, ia sengaja memasang wajah muram untuk membuat Bibi War mengasihaninya.

 

Bibi War tersenyum menatap Yuna. “Ya sudah kalau memang maunya seperti itu.”

 

Yuna tersenyum lebar menatap Bibi War. “Makasih, Bi!”

 

“Kalau gitu, Bibi pergi ke pasar dulu ya!”

 

Yuna menganggukkan kepala. Ia mulai sibuk menyiapkan bahan-bahan yang akan ia masak. Kali ini, ia ingin membuatkan sup spesial untuk suaminya. Ia harap, Yeriko akan menyukainya ketika sudah bangun tidur.

 

Beberapa menit kemudian, sup buatan Yuna pun jadi. Ia mencicipi sup buatannya untuk memastikan rasanya sudah sesuai dengan yang ia inginkan. Yuna langsung mematikan kompor. Ia mengambil mangkuk berukuran besar, kemudian mengangkat panci sup untuk ia tuangkan ke dalam mangkuk.

 

“AAARGH ...!” teriak Yuna saat panci yang ia pegang terlepas dan menyiram bagian bawah tubuhnya.

 

Yeriko yang masih terlelap langsung terbangun begitu mendengar suara teriakan Yuna diiringi dengan suara barang yang jatuh ke lantai dari arah dapurnya. Ia langsung melompat dari atas ranjang dan bergegas keluar dari kamar. Dengan cepat, Yeriko menghampiri Yuna yang sedang mengibaskan air panas dari celananya.\

 

“Kamu kenapa!?” Yeriko panik saat melihat dapurnya kacau. Panci sup sudah berserakan di lantai bersama dengan isinya.

 

Mata Yuna berkaca-kaca saat Yeriko menghampirinya. “Aku nggak sengaja. Sup yang aku masak tumpah,” tutur Yuna sambil terisak.

 

“Biar aja. Kamu nggak papa?” tanya Yeriko sambil menyentuh semua tubuh Yuna.

 

Yuna tak menjawab, ia hanya menangis. Ia merasa dirinya sangat kacau. Pertama kalinya ingin membuatkan sarapan untuk Yeriko, malah membuat kekacauan.

 

“Badan kamu kena air panas?” tanya Yeriko saat menyentuh bagian paha Yuna yang basah.

 

Yuna mengangguk pelan.

 

Yeriko langsung membuka kancing celana Yuna dan menurunkannya sampai ke lutut. “Astaga! Ini parah banget!” serunya saat melihat kedua paha Yuna yang memerah terkena air sup yang mendidih.

 

Yeriko langsung menggendong Yuna dan membaringkannya di sofa. Ia bergegas mencari kotak obat.

 

Air mata Yuna terus mengalir. Ia merasa kecewa dengan dirinya sendiri. “Kenapa aku sepayah ini? Benar-benar istri yang nggak berguna,” gumamnya sambil menutup wajah dan menangis sejadi-jadinya.

 

“Udah ... jangan nangis! Aku kasih obat,” tutur Yeriko sambil menghampiri Yuna dan duduk di samping gadis itu.

 

Yuna tak menghiraukan, ia terus menutup wajahnya karena malu pada Yeriko dan juga kecewa pada dirinya sendiri.

 

Yeriko mengambil salep kulit untuk luka bakar. Ia mengoleskan salep itu dengan lembut ke permukaan paha Yuna yang memerah.

 

“Aku nggak pernah nyuruh kamu masak. Lagipula ada Bibi War. Kenapa malah masak sendiri?” tanya Yeriko.

 

Yuna menurunkan tangannya perlahan. “Aku pengen masak buat kamu,” jawabnya lirih.

 

“Lain kali, nggak perlu masak lagi! Kalau Bibi War nggak bisa datang buat masak, lebih baik kita delivery aja.”

 

Air mata Yuna kembali menetes.

 

“Udah, jangan nangis! Jelek banget kalo nangis,” tutur Yeriko sambil mengusap air mata Yuna dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya masih mengoleskan salep ke paha Yuna.

 

“Aku payah banget. Aku nggak bisa jadi istri yang−” Yuna menghentikan ucapannya saat jari telunjuk Yeriko sudah menempel di bibirnya.

 

“Kamu sudah jadi istri yang paling aku sayangi di dunia ini. Kamu nggak perlu ngelakuin apa pun buat aku!” bisik Yeriko.

 

Yuna sangat terharu mendengar ucapan Yeriko. Ia merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Hanya saja, ia tetap merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Ia ingin menjadi seorang istri yang berguna dan bisa membahagiakan suaminya. Tidak mengandalkan orang lain dalam menghidangkan masakan untuk suaminya.

 

“Kamu ada rok?” tanya Yeriko.

 

“Di kamar.”

 

Yeriko langsung melepas celana Yuna. Ia bangkit dari tempat duduk. Memberikan bantal sofa untuk menutupi pahanya, kemudian mengambil pakaian ganti untuk Yuna.

 

Setelah mengambil pakaian, Yeriko langsung bergegas turun dan menemui Yuna kembali.

 

“Pakai ini aja dulu!” pinta Yeriko sambil menunjukkan mini dress berwarna peach dengan motif bunga dandelion.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Kaos kamu juga basah, lepas sekalian. Aku bantu!” pinta Yeriko sambil memegang bagian bawah kaos Yuna yang basah.

 

“Di sini?” tanya Yuna malu-malu.

 

“Emang kenapa? Di sini cuma ada kita berdua. Oh ya, Bibi War ke mana ya?”

 

“Ke pasar,” jawab Yuna.

 

“Oh. Ya udah, ganti baju dulu!” pinta Yeriko. Ia langsung menarik kaos Yuna ke atas tubuhnya.

 

“Aku bisa lepas sendiri,” tutur Yuna sambil menahan lengan Yeriko.

 

Yeriko tersenyum kecil. Ia membiarkan Yuna melepas kaosnya sendiri.

 

“Celana dalam kamu basah nggak?” tanya Yeriko.

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Aku udah bawain turun juga,” tutur Yeriko sambil menunjuk celana dalam yang ia letakkan bersama dress Yuna.

 

Yuna tersenyum. “Nggak papa. Nanti kan bisa dibawa ke atas lagi.”

 

Yeriko tersenyum kecil dan melangkah pergi.

 

“Mau ke mana?”

 

“Masak,” jawab Yeriko.

 

Yuna mengerucutkan bibirnya.

 

“Kenapa?” tanya Yeriko.

 

“Aku bener-bener istri yang payah!” tutur Yuna sambil memasang wajah masam.

 

Yeriko tersenyum kecil. Ia melangkah mendekati Yuna dan mengecup bibir manis gadis itu. “Kamu masih sakit. Duduk manis dan jangan rewel!” pinta Yeriko sambil mengelus ujung kepala Yuna. Ia bergegas ke dapur untuk membuat mie instan.

 

Yeriko bersiul-siul sambil memasak di dapur. Ia juga membersihkan tumpahan sup ayam yang dibuat oleh Yuna.

 

Yuna bisa melihat Yeriko yang terlihat ceria saat memasak untuknya. Ia mengendus aroma mie instan yang menggugah selera.

 

Beberapa menit kemudian, Yeriko kembali sambil membawa dua mangkuk mie.

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Aku suapin!” pintanya.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku bisa makan sendiri.”

 

“Kamu masih sakit.”

 

“Yang sakit kan pahaku aja. Tangan sama mulutku masih sehat,” sahut Yuna.

 

Yeriko tersenyum kecil. “Kalau gitu, kita makan di meja makan aja!”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko langsung mengangkat dua mangkuk mie instan tersebut menuju meja makan. “Diam di sini!” pintanya saat melihat Yuna bergerak dan menurunkan kakinya.

 

Yuna langsung menghentikan gerakannya. Setelah Yeriko meletakkan dua mangkuk mie ke atas meja makan. Ia langsung menggendong tubuh Yuna, memindahkannya dari sofa ke salah satu kursi di meja makan.

 

Yuna terus tersenyum menatap Yeriko yang penuh perhatian terhadapnya. Ia tak pernah mendapatkan perhatian seperti ini sebelumnya. Bahkan dari Lian, cowok yang sudah menjadi pacarnya selama tujuh tahun.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas