Friday, January 24, 2025

Bab 29 - Tak Biasa Tanpamu

 




Chandra sedang menikmati makan malam bersama dua wanita cantik saat Amara datang menghampirinya.

 

“Chan, kamu di sini nggak sendiri?” tanya Amara sambil melirik dua wanita yang ada di hadapan Chandra.

 

Chandra menggelengkan kepala.

 

“Kenapa kamu nyuruh aku datang?”

 

“Aku nggak nyuruh. Kamu sendiri yang mau ke sini kan?”

 

“Kamu gila ya! Aku ini tunangan kamu dan kamu seenaknya aja makan sama cewek lain. Nggak bilang pula sama aku. Buat apa aku datang ke sini? Kalo tahu kamu lagi sama perempuan lain, nggak bakalan aku mau nemuin kamu di sini,” cerocos Amara.

 

“Amara ... kamu tenang dulu!” pinta Chandra dengan lembut.

 

“Tenang gimana!?” seru Amara kesal.

 

Amara menatap tajam ke arah Yuna dan Jheni yang ada di depannya. “Perempuan gatel! Bisa nggak, nggak ganggu tunangan orang!?”

 

Yuna langsung membelalakkan matanya menatap Amara.

 

Chandra yang melihat reaksi Yuna, langsung menarik lengan Amara menjauh dari meja makan. “Kamu bisa bersikap baik nggak?”

 

Amara melipat kedua tangannya di depan dada. “Baik gimana? Siapa dua perempuan itu?”

 

“Yang pakai kemeja putih itu namanya Ayuna, istrinya Yeriko. Yang satu lagi, sahabatnya Yuna.”

 

Amara mengerutkan keningnya menatap Chandra. “Kamu mau selingkuh sama istrinya temen kamu sendiri?”

 

“Ck, bukan! Bukan gitu. Jadi gini, aku tadi nabrak mobilnya Jheni. Kami harus berurusan ke kantor polisi dan Yuna yang sudah menyelamatkan kami. Jadi, aku ajak mereka makan malam sekalian. Kebetulan, mereka juga belum makan.”

 

“Bener?” tanya Amara sambil menatap Chandra.

 

“Bener!” sahut Chandra sambil mengacungkan ibu jari dan jari tengahnya sejajar dengan kening.

 

“Ya udah. Kalo gitu, aku pulang dulu!” pamit Amara.

 

“Loh? Nggak mau makan dulu?” tanya Chandra.

 

Amara menggelengkan kepala. “Udah nggak nafsu makan. Kamu urus dua perempuan itu! Jangan sampe aku lihat kamu jalan sama mereka lagi!”

 

Chandra mengangguk sambil tersenyum kecil.

 

Amara menatap sinis ke arah Yuna dan Jheni, kemudian bergegas pergi meninggalkan restoran.

 

Chandra kembali ke meja makan, menghampiri Yuna dan Jheni yang baru saja menghabiskan makanannya.

 

“Kenapa dia pergi?” tanya Yuna.

 

Chandra mengedikkan bahunya.

 

“Aneh banget,” celetuk Jheni.

 

“Apa dia cemburu?” tanya Yuna.

 

“Sepertinya begitu. Kalian udah mau pulang?”

 

Yuna menganggukkan kepala sambil memakai tasnya. “Makasih ya! Udah traktir kita makan malam.”

 

Chandra menganggukkan kepala. “Aku antar kalian.”

 

Yuna menoleh ke arah Jheni yang duduk di sampingnya. “Mmh .. nggak usah deh! Kami naik taksi aja!”

 

“Ada tumpangan gratis, kenapa harus naik taksi? Aku bayar dulu! Tunggu ya!” Chandra bangkit dari tempat duduknya dan bergegas menuju kasir.

 

“Jhen, kamu ngerasa nggak sih kalau ada yang aneh sama hubungan Chandra dan Amara?” bisik Yuna di telinga Jheni.

 

Jheni menggelengkan kepala, namun pandangannya tak beralih pada sosok Chandra yang sedang berdiri di depan kasir.

 

“Mereka itu tunangan, tapi sama sekali nggak romantis. Aku lihat, si Amara itu judes banget,” bisik Yuna.

 

“Sst ...! Dia datang!” Jheni langsung menyela ucapan Yuna saat melihat Chandra sudah kembali menghampiri mereka.

 

Chandra langsung mengantar Yuna dan Jheni. Sepanjang perjalanan, Yuna dan Jheni tidak saling bicara.

 

“Yun, aku minta maaf soal tadi!” tutur Chandra.

 

“Soal apa?” tanya Yuna pura-pura tidak tahu.

 

“Soal Amara. Dia memang kayak gitu. Aku minta maaf banget sama sikapnya dia yang kurang bersahabat sama kalian.”

 

Yuna dan Jheni hanya tersenyum menanggapi permintaan maaf dari Chandra. Mereka tidak begitu memperdulikan soal Amara yang tiba-tiba bersikap ketus terhadap mereka.

 

“Kalian nggak mau maafin?” tanya Chandra lagi, karena dua wanita yang ada di belakangnya tak kunjung merespon permintaan maafnya. “Aku ... mewakili Amara sebagai tunanganku, bener-bener minta maaf sama kalian.”

 

Yuna tersenyum. “Udah, lupain aja!” sahutnya.

 

Chandra menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. “Makasih, Yun! Aku bakal kasih tahu dia supaya bisa bersikap baik dengan orang lain.”

 

Yuna tersenyum kecut. Ia merasa kalau hubungan Chandra dan Amara tidak terlihat sehat. Ia ingin sekali memberi saran kepada Chandra. Tapi, melihat sikap Chandra yang dingin, membuatnya memilih untuk bungkam.

 

Usai mengantar Jheni pulang, Chandra langsung mengantar Yuna kembali ke rumah Yeriko.

 

“Makasih ya!” tutur Yuna saat ia turun dari mobil Chandra. “Sorry ...! Nggak bisa nyuruh kamu masuk, soalnya nggak ada suamiku.”

 

Chandra tersenyum kecil menatap Yuna. “Iya. Santai aja lagi! Aku pulang dulu ya!” pamit Chandra sambil menutup kaca mobilnya dan bergegas pergi meninggalkan Yuna.

 

Yuna tersenyum kecil. Ia berbalik dan langsung melenggang masuk ke dalam rumahnya.

 

Yuna langsung naik ke kamar dan pergi mandi. Setelah hampir satu jam berada di dalam kamar mandi, ia langsung keluar dan mengenakan piyama.

 

Yuna duduk bersandar di atas tempat tidur. Ia memutar-mutar ponselnya, menunggu pesan dari Yeriko.

 

“Kok, nggak ada kabarnya sih? Apa aku harus nelpon duluan?” gumam Yuna. “Kalo aku yang telepon, takut ganggu kerjaan dia. Kalo dia masih di ruang meeting, gimana?”

 

Yuna menarik selimut menutupi tubuhnya. Ia menatap bantal kosong yang ada di sampingnya. Beberapa hari belakangan, selalu ada Yeriko yang terlelap di sampingnya. Malam ini, Yuna benar-benar gelisah karena harus tidur sendirian. Terlebih, Yeriko tak memberi kabar kepadanya.

 

Yuna membolak-balikkan tubuhnya seperti kue serabi. “Kenapa sih susah banget buat tidur?” celetuknya kesal.

 

Yuna meraih buku di atas meja. Baru saja membaca empat paragraf, mulut Yuna sudah terbuka lebar karena mengantuk.

 

“Kenapa kamu bisa baca buku kayak gini sih? Bener-bener membosankan dan bikin ngantuk,” tutur Yuna. Ia merebahkan kepalanya ke atas bantal. Setelah menguap beberapa kali, akhirnya ia tertidur juga.

 

Tepat pukul 01.00 dini hari, Yeriko masuk ke dalam kamar. Ia langsung meletakkan tas kerja ke atas sofa. Melepas dasi dan jasnya. Kemudian menghampiri istrinya yang sudah tertidur lelap.

 

Yeriko tersenyum, ia mengelus lembut rambut Yuna sembari menatap wajah cantik Yuna. Ujung jemari tangannya berpindah ke pipi Yuna yang lembut. Setiap kali melihat wajah polos Yuna, ia selalu tersenyum.

 

Wajah istrinya, seperti sebuah booster yang mengobati semua rasa lelah dan penat yang ia rasakan setiap pulang bekerja.

 

“Aku nggak pernah merasa sebahagia ini setiap pulang kerja. Ada yang selalu aku rindukan setiap kali aku melangkah keluar dari rumah ini.” Yeriko mencium bibir Yuna penuh kasih sayang.

 

Yuna langsung membuka mata saat menyadari bibirnya terhisap.

 

Yeriko langsung menghentikan ciumannya. “Sorry ...! Udah ganggu tidur kamu. Tidur lagi!” pintanya sambil tersenyum.

 

“Kamu baru pulang?”

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

Yuna langsung menoleh ke arah jam dinding yang ada di kamarnya. “Selarut ini? Kenapa nggak nginap di sana aja?”

 

“Karena sekarang, ada yang selalu aku rindukan dari rumah ini.” Yeriko tersenyum menatap Yuna.

 

“Apa?”

 

“Kamu,” jawab Yeriko lembut. Ia langsung mengecup bibir Yuna.

 

Yuna tersenyum. Ia langsung merangkul pundak Yeriko dan membalas ciuman suaminya penuh kehangatan.

 

Yeriko langsung menekan tubuh Yuna dan berbaring di atasnya. Ia membalas ciuman Yuna penuh gairah.

 

Yuna hampir kehabisan napas, tubuhnya semakin membeku saat Yeriko mengecup dadanya yang mulus.

 

Tangan Yeriko yang kekar, perlahan masuk ke dalam baju Yuna. Ia menyentuh bagian terlembut dari tubuh Yuna.

 

Yuna tak bisa menahan diri, ia mendesah lirih membuat Yeriko semakin bergairah menunjukkan sisi pria sejatinya.

 

“Kamu mulai nafsu?” bisik Yeriko di telinga Yuna. Ia mengeluarkan tangannya dari dalam baju Yuna.

 

Yuna tertegun. Ia tak menyangka kalau Yeriko tidak ingin melangkah lebih jauh lagi.

 

“Aku capek banget malam ini. Lebih baik kita tidur,” tutur Yeriko sambil memeluk kepala Yuna ke dadanya.

 

Wajah Yuna memerah. Jantungnya berdebar sangat kencang. Ia memejamkan mata sambil tersenyum bahagia dalam pelukan Yeriko.

 

Yeriko mengelus lembut pundak Yuna sambil memejamkan mata. Mereka pun terlelap dan terus berpelukan hingga pagi menjelang.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Thursday, January 23, 2025

Bab 28 - Tabrakan

 


Tok ... tok ... tok ...!

 

Yuna mengetuk pintu rumah Jheni. Ia langsung pergi ke rumah sahabatnya itu setelah pulang kerja. Beberapa menit berlalu, tak ada respon sama sekali.

 

“Jhen, Jheni ...!” panggil Yuna sambil mengetuk pintu.

 

“Masa jam segini belum pulang kerja sih?” gumam Yuna sambil melihat jam yang ada di ponselnya.

 

Yuna membuka kunci layar ponsel dan langsung menelepon Jheni.

 

“Jhen, kamu di mana? Aku di depan rumah kamu nih,” tutur Yuna begitu panggilan teleponnya tersambung.

 

“Aku di kantor polisi, Yun.”

 

“Hah!? Ngapain?”

 

“Tabrakan,” jawab Jheni.

 

“What!? Kamu nggak papa, kan?” Yuna berbalik dan bergegas keluar.

 

“Nggak papa, sih. Tapi ...”

 

“Aku ke sana sekarang,” tutur Yuna sambil menghentikan taksi yang kebetulan melintas.

 

“Ke mana, Mbak?”

 

“Kantor Polisi ya, Pak!” pinta Yuna.

 

Supir taksi tersebut menganggukkan kepala dan langsung melajukan taksinya menuju kantor polisi.

 

Sesampainya di depan kantor polisi, Yuna langsung membayar taksi dan berlari keluar menuju halaman kantor kepolisian.

 

Yuna mengedarkan pandangannya, mencari sosok Jheni di kursi ruang tunggu.

 

“Yuna!?” Jheni menyambut kedatangan Yuna dengan mata berbinar.

 

Yuna tersenyum menatap Jheni. Pandangannya beralih pada pria yang duduk di sebelah Jheni. “Chandra!?”

 

“Yuna? Kamu kok di sini?”

 

“Jheni ini sahabat aku. Kalian kenapa?”

 

“Dia nabrak mobil aku, Yun!” seru Jheni sambil menunjuk wajah Chandra.

 

“Enak aja main tuduh sembarangan. Kamu yang ngerem mendadak!” sahut Chandra.

 

“Heh!? Aku udah pasang lampu sein sebelum berhenti. Kamu aja yang ngelengos nggak lihat jalan!”

 

Yuna dan salah satu petugas polisi menatap Jheni dan Chandra yang sedang berdebat.

 

“Sudah! Sudah! Jangan berantem lagi!” Petugas polisi menyela perdebatan mereka.

 

“Pak, saya ini nggak salah. Dia yang nabrak saya. Bisa aja kan dia lagi main handphone atau lihat ke arah yang lain, makanya dia nggak tahu kalau saya mau menepi!” tutur Jheni.

 

“Dia bohong, Pak! Nggak ada pasang lampu sein, langsung berhenti mendadak,” sahut Chandra.

 

“Di lokasi kejadian, ada CCTV nggak?” tanya Yuna.

 

“NGGAK!” sentak Jheni dan Chandra bersamaan.

 

Yuna mengangkat kedua alisnya.

 

“Mmh ... gini aja, deh. Kalian kan sahabat aku, gimana kalau kita selesaikan secara kekeluargaan aja?”

 

“Nggak mau, Yun. Itu mobil kantor. Dia nggak mau ganti rugi,” sahut Jheni.

 

“Chandra!?” Yuna tersenyum manis ke arah Chandra.

 

“Iya, iya. Aku ganti,” jawab Chandra.

 

Yuna tersenyum. “Nah, gitu dong!”

 

“Coba dari tadi, kek! Nggak perlu kan kita berdebat sampe ke kantor polisi kayak gini!” sahut Jheni kesal.

 

Chandra tak menyahut ucapan Jheni.

 

“Mmh ... Pak, apa kami sudah boleh pulang?”

 

“Boleh. Tanda tangan ini dulu!”  pinta petugas polisi tersebut.

 

Yuna langsung mengambil pena dan menandatangani berkas yang ada di atas meja tanpa membaca isinya.

 

“Ayo, pulang!” ajak Yuna sambil merangkul lengan Jheni.

 

Jheni, Chandra dan Yuna keluar dari kantor polisi bersama-sama.

 

“Kamu ke sini naik apa?” tanya Chandra sambil menatap Yuna.

 

“Naik taksi.”

 

“Ikut mobilku aja. Aku antar kalian pulang!”

 

Jheni membuang wajahnya. Ia sama sekali tidak ingin melihat wajah Chandra yang menyebalkan.

 

Chandra tersenyum kecil. “Aku minta maaf! Aku bakal suruh orang bengkel ambil mobilmu buat diperbaiki.”

 

“Jhen, udahlah. Lupain kejadian hari ini! Kamu itu sahabat aku, Chandra juga sahabatnya Yeriko. Kalian sama-sama sahabat kami. Jangan berantem lagi ya!”

 

Jheni memonyongkan bibirnya.

 

“Chandra udah minta maaf ke kamu. Jangan kayak gitu dong mukanya! Jelek tau!” tutur Yuna sambil mencubit kedua pipi Jheni.

 

Jheni melirik ke arah Chandra. “Ini cowok ganteng juga. Kenapa ngeselin, sih!?” celetuknya dalam hati.

 

“Oke. Aku maafin! Untung aja kamu ganteng. Kalo nggak, aku nggak bakal maafin kamu seumur hidup!” dengus Jheni ke arah Chandra.

 

Chandra tersenyum. Ia mengajak Yuna dan Jheni masuk ke dalam mobilnya.

 

“Yuna, kamu sudah makan?” tanya Chandra saat mereka sudah di perjalanan.

 

“Belum. Pulang kerja langsung ke rumah Jheni. Rencananya mau ngajak makan hot pot. Eh, dianya malah di kantor polisi.”

 

“Kita makan dulu yuk!” ajak Chandra. “Di deket sini, ada restoran seafood yang enak.”

 

“Boleh.” Yuna menganggukkan kepala.

 

Jheni mengerutkan keningnya. “Kenapa kamu baik banget kalau sama Yuna? Beda banget sama tadi waktu di kantor polisi,” tanya Jheni.

 

Chandra tersenyum kecil. “Yuna itu Kakak Ipar kami. Jelas kami baik sama dia. Lah, kamu? Siapa?”

 

Jheni mengerutkan hidungnya. Menatap kesal ke arah Chandra.

 

“Jhen, udah deh! Chandra itu baik, kamu juga baik. Kalian cuma salah paham aja.” Yuna menatap tajam ke arah Jheni.

 

Jheni melipat kedua tangan dan wajahnya, kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi.

 

Beberapa menit kemudian, Chandra memarkirkan mobilnya di depan salah satu restoran seafood ternama.

 

“Astaga! Ini restoran mahal, Yun,” bisik Jheni di telinga Yuna.

 

Yuna tersenyum. Ia mengajak Jheni keluar dari mobil dan mengikuti langkah Chandra.

 

“Kalian mau makan apa?” tanya Chandra saat mereka sudah duduk di salah satu meja makan.

 

“Aku mau udang goreng aja.”

 

“Kamu?” tanya Chandra sambil menatap Jheni.

 

“Eh!? Samain sama Yuna aja.”

 

“Minumnya jus mangga?” tanya Chandra sambil menatap Yuna.

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

“Kamu mau minum apa?” tanya Chandra menatap Jheni.

 

“Samain aja sama Yuna,” jawab Jheni.

 

Chandra tersenyum. Ia memanggil pelayan dan memesan beberapa makanan.

 

“Yeriko masih di Jakarta?” tanya Chandra sambil menatap Yuna.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Berapa lama di sana?”

 

“Bilangnya sih sehari aja.”

 

“Nginap di sana?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Katanya, mau langsung pulang kalau udah kelar meeting.”

 

Chandra manggut-manggut. “Kalian berdua, udah lama temenan?”

 

“Dari kecil,” jawab Jheni.

 

“Oh.” Chandra menatap pelayan yang sedang menyusun makanan di atas meja makan mereka.

 

“Ayo, makan!” ajak Chandra.

 

Jheni dan Yuna mengangguk. Mereka menikmati makan malam bersama sambil bercerita.

 

Jheni terus menatap wajah Chandra. “Lagi makan aja kelihatan elegan banget nih cowok,” tuturnya dalam hati.

 

“Kamu sama suaminya Yuna, udah lama temenan?”

 

Chandra mengangguk. “Dari kecil juga.”

 

“Oh ... ganteng mana? Kamu atau dia?” tanya Jheni penasaran.

 

Chandra menatap Yuna yang duduk di samping Jheni. “Tanya aja ke dia!”

 

“Ganteng suamiku lah!” sahut Yuna.

 

Chandra tertawa kecil menatap Yuna.

 

Jheni langsung menatap Yuna sambil menopang pelipis dengan tangannya. “Serius!?”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Kalo ganteng dia. Aku nikahnya sama dia!”

 

Jheni tergelak mendengar ucapan Chandra. Sementara Chandra hanya tersenyum kecil mendengar candaan Yuna dan Jheni.

 

“Yun, aku kan nggak pernah lihat suami kamu. Aku jadi penasaran dia gantengnya kayak gimana. Chandra aja udah ganteng tingkat dewa gini. Gimana sama suami kamu ya?” tanya Jheni.

 

“Sepuluh kali lipat lebih ganteng dari Chandra,” sahut Yuna bangga.

 

Jheni tertawa kecil. “Serius?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Eh, kamu sudah punya pacar?” tanya Jheni tanpa banyak basa-basi.

 

“Eh!?” Chandra langsung menatap Jheni. “Kenapa?”

 

“Nggak papa. Tanya aja. Cowok ganteng kayak kamu kan nggak mungkin nggak punya pacar. Pacarnya pasti cantik,” tutur Jheni.

 

Chandra tersenyum kecil. Ia langsung merogoh saku jas saat ponselnya tiba-tiba berbunyi.

 

“Halo ...! Iya. Aku di restoran seafood, tempat biasa. Mau ke sini? Oke.” Chandra langsung menutup teleponnya.

 

“Siapa?” tanya Yuna penasaran.

 

“Tunanganku,” jawab Chandra santai. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas.

 

Jheni menghela napas. “Yah, nggak punya kesempatan buat deketin cowok ganteng, dong?” batinnya dalam hati. “Ternyata ... udah punya tunangan.”

 

Jheni tersenyum kecut menatap Chandra yang duduk di hadapannya. Awalnya, ia terpesona dengan ketampanan dan sosok Chandra yang berwibawa. Tapi, setelah mendengar Chandra sudah memiliki tunangan, nyalinya langsung menciut.

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya! Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga.

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas