Thursday, January 23, 2025

Bab 27 - Air Mata Mantan

 


“Tunggu!” seru Bellina.

 

Yuna langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Bellina.

 

“Kenapa lagi?” tanya Yuna.

 

“Mmh ... kamu nggak mau ngucapin selamat buat Lian?”

 

Yuna mengerutkan dahinya.

 

“Dia bakal jadi ayah dari keponakan kamu. Apa kamu bener-bener nggak punya rasa peduli?”

 

Yuna tersenyum menatap Lian dan Bellina. “Oh ... selamat ya, buat kalian yang sebentar lagi bakal jadi orang tua!” ucapnya dengan nada terpaksa.

 

“Makasih ...!” sahut Bellina sambil tersenyum manis. “Oh ya, kamu bisa nggak tinggal di rumahku beberapa hari buat bantuin aku nyiapin pernikahan?”

 

“Apa!? Aku nggak salah dengar? Suami kamu ini kan orang kaya, pake WO kenapa? Nggak perlu repot-repot minta bantuan aku kan?”

 

“Yun, kamu itu kan adik sepupu aku. Aku cuma bisa mengandalkan kamu buat ngurus WO pernikahan kami.” Bellina mendekat ke tubuh Yuna. “Ayolah! Please!” pintanya sambil meraih lengan Yuna.

 

Yuna menepis tangan Bellina dari lengannya.

 

Bellina memanfaatkan kesempatan ini, ia langsung menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai. “Aw ...!” teriaknya.

 

Yuna melebarkan kelopak matanya. Ia menoleh ke arah Lian, kemudian menatap Bellina yang tersungkur di hadapannya. “Kamu ...!?”

 

Lian langsung mendekati Bellina dan memeluk pundak gadis itu. “Yun, kalau kamu emang nggak mau bantuin, nggak harus kayak gini kan!?” sentak Lian.

 

“Apa!? Jelas-jelas dia yang pura-pura jatuh sendiri!” sahut Yuna.

 

Bellina pura-pura menangis di depan Lian. “Aku nggak tahu kenapa dia jahat banget sama aku. Dia sengaja dorong aku biar aku keguguran. Dia nggak senang karena aku hamil anak kamu,” ucap Bellina sambil tersedu.

 

Yuna semakin kesal dengan sikap Bellina.

 

Tangis Bellina semakin menjadi. Lian memeluk Bellina sambil menenangkan gadis itu.

 

Yuna mencebik ke arah Bellina dan berbalik meninggalkan mereka.

 

Lian langsung mengejar Yuna. Ia meraih tangan Yuna dan menarik paksa. “Minta maaf sama Bellina!” pintanya sambil menatap tajam ke arah Yuna.

 

“Ogah!” sahut Yuna.

 

Lian makin mencengkeram erat tangan Yuna. “Kamu sadar nggak? Apa yang kamu lakuin barusan, hampir membunuh anak aku!”

 

“Aku tuh nggak ngapa-ngapain!” sahut Ayuna. “Dia yang pura-pura jatuh sendiri. Toh, dia baik-baik aja kan?”

 

“Kamu!? Bener-bener mau bikin aku marah ya?”

 

“Marah aja! Aku nggak takut!”

 

“Yuna!” sentak Lian. “Kenapa kamu sekarang berubah kayak gini?”

 

“Apanya yang berubah?”

 

“Dulu ... kamu nggak sekasar dan sejahat ini.”

 

“Aku cuma membela diri karena aku nggak salah!” seru Yuna.

 

“Aku bukan Yuna yang dulu lagi!” tegas Yuna. “

 

“Yuna ...!?” Lian menatap lekat mata Yuna.

 

“Kamu yang buta, Lian. Kamu yang nggak bisa bedain mana orang yang baik dan mana orang yang cuma mau manfaatin kamu,” tutur Yuna dengan mata berkaca-kaca.

 

“Kamu bahkan nggak pernah menghargai hubungan kita selama tujuh tahun ini. Kamu sama sekali nggak ngerasa bersalah saat kamu selingkuh sama dia. Kalau sekarang aku berubah, nggak ada alasan lain yang bikin aku berubah kecuali kamu.” Yuna langsung berbalik dan bergegas pergi meninggalkan Lian dan Bellina.

 

“Cowok bego, masih bagus Yeriko ke mana-mana,” tutur Yuna dalam hati. Ia bergegas masuk ke dalam ruang kerjanya dan melanjutkan pekerjaannya.

 

“Abis berantem lagi sama Bu Belli?” tanya Selma yang melihat Yuna menekan-nekan pena di atas kertas.

 

“Siapa lagi yang suka ngajak aku berantem kalau bukan dia?” sahut Yuna kesal.

 

“Lima belas menit lagi istirahat makan siang. Mau nggak makan ice cream bareng? Katanya, makan ice cream bisa bikin mood lebih baik.”

 

Yuna menoleh ke arah Selma. Ia tersenyum menatap Selma. “Boleh. Biar aku yang traktir.”

 

Yuna, Bagus dan Selma bergegas merapikan meja kerja mereka dan keluar dari ruangan. Mereka langsung menuju ke salah satu kafe yang menjual aneka ice cream.

 

“Yun, kamu lulusan Melbourne kan?” tanya Selma sambil menikmati ice cream yang sudah mereka pesan.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Ceritain dong! Kehidupan di sana kayak gimana?”

 

“Sama aja kayak di sini,” jawab Yuna.

 

“Eh, kamu beneran lulusan Melbourne? Kok, nggak kelihatan ya? Biasanya ... anak-anak lulusan luar negeri itu ngomongnya sok inggris gitu.”

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Bagus. “Ada-ada aja kamu nih. Ya bicara sesuai tempat juga kan? Biar sekolahnya di luar negeri, aku loh tetep orang Indonesia. Nggak boleh ngelepas identitas gitu aja.”

 

“Bagus tuh.” Bagus manggut-manggut. “Berarti, masih bisa bahasa daerah?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Kenapa logat kamu nggak kayak orang jawa? Biasane kan medok gitu loh.”

 

“Kayak kamu?” sahut Selma.

 

Yuna tertawa kecil. “Yah, mungkin faktor lingkungan juga. Kan lingkungan sehari-hari udah lebih sering pakai bahasa nasional ketimbang bahasa daerah.”

 

“Iya. Dia juga sekolahnya di luar negeri, jadi udah nggak medok lagi!” sahut Selma.

 

“Lah, itu si Bayu sering aja ke luar negeri tapi logatnya tetep medok juga.”

 

“Bayu!?” Selma dan Yuna saling pandang. “Bayu siapa?”

 

“Bayu Skak, Youtuber itu loh,” jawab Bagus.

 

“Owalah ... kirain orang kantor sini. Malah Youtuber,” sahut Selma.

 

“Aku seneng nonton-nonton youtuber Indonesia gitu, kok.”

 

“Apalagi kalo youtubernya cantik-cantik, ya kan?” goda Selma.

 

Bagus tertawa kecil. “Eh, Yun ... kenapa kamu nggak bikin channel youtube juga? Kamu kan cantik, terus lulusan luar negeri pula. Pasti bakal punya banyak subscriber, Yun,” tutur Bagus penuh semangat.

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Bagus.

 

“Aku serius ini. Malah diketawain.”

 

“Iya, iya. Tapi ... aku ini udah nikah. Nggak bisa main-main youtube kayak gitu. Lagian, suamiku belum tentu ngizinin aku. Kalau aku jadi terkenal, kan repot urusannya,” sahut Yuna sambil tertawa kecil.

 

“Bukannya enak ya, Yun? Jadi youtuber kan banyak duit.”

 

“Banyak yang nyinyir juga. Aku mah nggak bakal kuat ngadepin komentar netizen. Enak gini aja kali. Hidup tenang dan damai.”

 

“Mmh ... iya juga sih? Apalagi kamu sering berantem sama Bu Belli. Bisa-bisa, dia nyerang kamu lewat medsos.”

 

Yuna tergelak mendengar ucapan Selma.

 

“Kenapa malah ketawa?”

 

“Nggak papa. Bayangan kalian itu ada-ada aja ya?”

 

“Eh, emangnya dia main medsos ya?” tanya Bagus.

 

“Dia siapa?”

 

“Bu Belli. Aku nggak tahu akun medsosnya dia.”

 

“Ngapain sih nanyain akunnya dia? Nggak penting banget!” sahut Selma.

 

“Penasaran aja. Akun medsos kamu apa, Yun?” tanya Bagus sambil menatap Yuna.

 

“Aku nggak main medsos,” jawab Yuna.

 

“Kenapa?”

 

“Nggak papa. Nggak tertarik aja.”

 

Bagus mengerutkan dahinya. “Masih ada ya orang yang nggak mau main medsos? Padahal, hampir semua orang di dunia ini suka loh main medsos. Posting semua hal yang mereka suka ke media sosial.”

 

“Ya, biar aja. Itu kan kehidupan mereka. Aku nggak suka posting kehidupan pribadiku ke medsos. Takut banyak yang ngiri, hahaha.”

 

Bayu dan Selma ikut tergelak mendengar ucapan Yuna.

 

Yuna tersenyum sambil menikmati ice cream yang ada di hadapannya. Perasaannya kini jauh lebih baik.

 

Walau Bellina terus menindasnya, ia tetap menyukai tempat kerjanya karena semua rekan kerja di departemennya juga sangat peduli dan menyayangi Yuna.

 

“Makasih ya!” tutur Yuna sambil menatap Bagus dan Selma.

 

“Makasih buat apa? Kita kali yang makasih karena kamu udah traktir makan ice cream,” sahut Selma.

 

“Karena kalian udah jadi rekan kerja yang baik. Kalau bukan karena kalian, mungkin aku nggak betah kerja di sini. Harus ngadepin si Mak Lampir itu setiap hari.”

 

“Hahaha.” Bagus dan Selma tergelak menanggapi ucapan Yuna.

 

Mereka melanjutkan makan ice cream sambil bercerita soal dunia kerja mereka. Yuna juga mengajak Bagus dan Selma makan siang bersama.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 


Bab 26 - Wanita Penjilat

 


Yuna berusaha menyelesaikan laporan Lili.

 

“Laporan siapa, Yun?” tanya Selma.

 

“Punya Lili.”

 

“Aneh. Kok, nyuruh kamu?”

 

Yuna mengedikkan bahunya.

 

“Yun, dipanggil Bu Belli,” tutur Bagus yang baru saja masuk ke dalam ruangan.

 

“Kenapa lagi sih?” gumam Yuna. Ia bangkit dari tempat duduk dan langsung keluar ruangan. Ia bergegas masuk ke ruangan Bellina.

 

“Yun, tolong fotocopy berkas ini ya!” pinta Bellina sambil menyodorkan beberapa map ke arah Yuna.

 

Yuna tidak menyahut. Ia langsung mengambil berkas dari tangan Bellina dan bergegas pergi.

 

“Eh, kerjaan yang aku kasih udah kelar apa belum?” tanya Lili saat berpapasan dengan Yuna.

 

“Belum.”

 

“Kenapa malah ngeluyur?”

 

“Aku disuruh fotocopy dokumennya Bellina.”

 

“Halah, alasan aja! Bilang aja kalo kamu mau caper kan?”

 

Yuna mengerutkan dahi menanggapi ucapan Lili. “Maksud kamu?”

 

“Emangnya, semua orang di kantor nggak tahu kalau kamu itu peliharaannya sugar daddy?”

 

Yuna tersenyum kesal. “Kayaknya, kamu paling tahu banget soal aku? Asal kamu tahu ya, aku nggak pernah deket sama Oom-Oom mana pun dan nggak nikah sama laki-laki tua yang udah kalian gosipkan itu!” tegas Yuna.

 

“Oh ya? Kalo kamu bukan peliharaannya sugar daddy, kenapa suami kamu itu nggak pernah turun dari mobil waktu antar kamu? Bilang aja kalo kamu malu, ketahuan nikah sama bapak-bapak.”

 

“Kamu tahu dari mana kalau aku peliharaannya sugar daddy? Punya bukti?”

 

“Buktinya, suami kamu itu nggak pernah muncul di depan umum.”

 

“Emangnya, kalo suami aku nggak pernah muncul di depan kalian, itu artinya aku nikah sama Oom-Oom?”

 

“Yah, bisa aja kan kamu malu buat nunjukkin suami kamu yang udah tua itu?”

 

“Sorry ya! Aku bukan malu buat nunjukkin suami aku. Aku cuma takut, kamu terpesona lihat ketampanan dia. Ntar kamu jadi pelakor kayak sahabat kamu yang nggak tahu diri itu!” dengus Yuna.

 

Lili mengigit bibirnya sendiri dengan erat sambil menatap ke arah Yuna. Tanganya mengepal erat, bersiap mendaratkan pukulan ke wajah Yuna.

 

Yuna langsung menangkap tangan Lili dan mendorong gadis itu sekuat tenaga hingga tersungkur di lantai.

 

“Aw ...!” seru Lili sambil menutup rok mininya yang robek.

 

Yuna tertawa kecil menatap rok Lili yang robek dan membuat pahanya bisa dinikmati semua orang.

 

Beberapa karyawan yang mendengar pertengkaran langsung keluar dan menertawakan Lili yang tersungkur di lantai.

 

“Kurang ajar! Awas kamu, Yun! Tunggu pembalasanku!” umpat Lili dalam hati.

 

“Ada apa ini?” tanya Bellina yang tiba-tiba muncul bersama Sofi.

 

Semua karyawan tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Bellina.

 

“Ini nih si anak magang sialan!” seru Lili. “Dia dorong aku sampe jatuh. Padahal, aku cuma nanyain laporan doang.”

 

Yuna memutar bola mata mendengar kebohongan Lili.

 

“Kamu itu ya, baru aja masuk kerja nggak nyampe seminggu udah bikin onar!” seru Bellina.

 

“Yang mulai duluan siapa?” balas Yuna. Ia berbalik. Enggan menghadapi Bellina yang kerap membuatnya berapi-api.

 

Yuna langsung melangkah menuju ruang fotocopy untuk menyalin semua dokumen yang diminta Bellina.

 

Usai menyalin semua dokumen, Yuna langsung bergegas keluar. Ia tertegun saat mendapati semua orang sedang mengerumuni Bellina.

 

“Selamat ya, Bu!”

 

“Selamat Bu!”

 

“Selamat Bu Belli, semoga sehat dan lancar sampai persalinan!”

 

“Wah ... selamat ya, Bu!”

 

“Akhirnya ... bakal jadi Nyonya Wijaya,” tutur Lili sumringah.

 

“Ada apa sih?” tanya Yuna pada karyawan yang sedang berkerumun.

 

“Bu Belli hamil.”

 

Yuna mengerutkan kening. Ia menerobos kerumunan dan menyambar selembar kertas dari tangan Bellina.

 

Yuna tertegun melihat surat dokter yang menyatakan kalau Bellina sedang hamil.

 

Bellina tersenyum sinis menatap Yuna. “Kenapa? Kamu cemburu karena sebentar lagi aku bakal punya anak dari Lian?”

 

Yuna tersenyum sinis. Ia melemparkan kertas tersebut ke arah Bellina. “Sorry ya! Aku nggak tertarik buat cemburu sama orang kayak kamu!”

 

“Ckckck, Ayuna ... Ayuna ... semua orang juga tahu kalau kamu sudah nikah sama laki-laki tua dan masih aja deketin tunangan aku,” ucap Bellina sambil tersenyum menatap Yuna.

 

“Heh!? Jangan sembarangan ya kalo ngomong! Tunangan kamu itu yang kegatalan!” dengus Yuna.

 

Bellina menaikkan kedua alisnya. Ia tersenyum sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Yuna. “Aku nggak akan ngebiarin kamu ngerebut posisiku sebagai Nyonya Lian. Karena kami akan segera menikah.”

 

Bibir Yuna terus bergerak mengikuti ucapan Bellina.

 

“Bodo amat! Kamu sama dia itu sama-sama murahan!” sahut Yuna.

 

Semua karyawan saling pandang mendengar ucapan Yuna. Mereka heran dengan keberanian Yuna menghadapi atasannya.

 

“Eh, semuanya dengerin!” pinta Bellina sambil menepuk kedua tangan, meminta perhatian dari semua orang. “Cewek di depan aku ini ... peliharaannya sugar daddy. Dia suka menggoda pria-pria yang banyak duit. Dia juga menggoda tunangan aku. Kalian semua harus berhati-hati. Karena bisa aja, kalian atau pacar kalian bakal jadi sasaran berikutnya.”

 

Semua orang saling pandang. Kemudian memandang Yuna sambil mencibir.

 

“Heh!? Jangan sembarangan ngomong kalo nggak punya bukti!” sentak Yuna. “Aku nggak akan ngambil Lian dari kamu. Lagian, Lian itu memang sebelumnya pacar aku. KAMU YANG NGEREBUT DIA DARI AKU!” teriak Yuna dengan mata berkaca-kaca.

 

“Hello ... kamu bangga hamil duluan sebelum nikah? Nggak tau malu!” dengus Yuna.

 

Semua karyawan saling pandang. Mereka mulai bersimpati pada Yuna dan mencibir Bellina.

 

“Bubar, yuk!” ajak salah seorang karyawan. Mereka mulai tidak tertarik dengan Bellina yang berusaha memfitnah Yuna terus-menerus.

 

Yuna tersenyum sinis ke arah Bellina. Ia merasa puas karena akhirnya semua orang mengetahui bagaimana Bellina yang sebenarnya.

 

“Inget ya, sekalipun kamu itu kakak sepupu aku. Aku nggak akan pernah ngebiarin kamu terus-terusan memfitnah dan menindas aku!” tegas Yuna sambil bergegas pergi meninggalkan Bellina.

 

“Aargh ...!” Bellina menghentakkan kaki melihat Yuna yang pergi begitu saja. “Awas kamu Yuna! Aku nggak akan ngebiarin kamu hiduo tenang!” serunya sambil mengepalkan tangan.

 

“Bell, kayaknya dia makin ngelunjak aja,” tutur Lili.

 

Bellina tersenyum. “Tenang aja! Sebentar lagi aku bakalan jadi bagian keluarga Wijaya Group. Aku bakal bikin hidup dia menderita!”

 

“Kalian balik kerja lagi!” pinta Bellina. Ia juga kembali ke ruang kerjanya dengan perasaan kesal.

 

Yuna bukan perempuan polos yang mudah untuk dihadapi.

 

“Aku tahu, Lian masih punya perasaan ke Yuna. Aku nggak bisa biarin dia kembali ke Yuna. Aku harus bikin Lian makin benci sama Yuna!” tutur Bellina sambil duduk di meja kerjanya. Memikirkan segala cara untuk membuat Yuna menderita.

 

Beberapa menit kemudian, Lian masuk ke dalam ruangan Bellina.

 

“Halo ... Sayang!” sapa Bellina dengan lembut. Ia langsung menghampiri Lian dan bergelayut manja di tubuh Lian.

 

Lian tersenyum sambil mengelus kepala Bellina dengan lembut.

 

“Aku punya kabar baik buat kamu,” tutur Bellina.

 

“Oh ya? Apa?” tanya Lian.

 

Bellina mengambil secarik kertas dari atas meja dan memberikannya pada Lian.

 

Lian tersenyum sambil meraih kertas tersebut. Wajahnya berubah seketika saat membaca isi surat dokter yang menyatakan kalau Bellina sedang hamil.

 

“Hamil?” batin Lian. Pikirannya tiba-tiba kosong. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Harus senang atau sedih?

 

“Kenapa? Kamu kok kayak nggak senang gitu? Ini anak kamu, Lian!” tutur Bellina sambil mengelus perutnya.

 

“Eh!? Aku bukan nggak senang. Masih nggak percaya aja kalau aku bakal jadi ayah.”

 

Bellina tersenyum sambil merangkul pundak Lian. “Bukankah ini bagus? Karena ada anak ini ... gimana kalau pernikahan kita dipercepat?”

 

“Percepat?” Lian mengerutkan keningnya.

 

Bellina menganggukkan kepala. “Kalau nggak dipercepat, perut aku bakal semakin membesar dan nggak akan bisa pakai gaun pengantin.”

 

“Oh ... Oke.”

 

“Makasih!” Bellina tersenyum sambil menyandarkan kepalanya ke dada Lian.

 

KREEK ...!

 

Terdengar pintu terbuka dan Yuna melangkah masuk ke dalam ruangan. Ia tertegun sejenak saat melihat Lian dan Bellina sedang berpelukan mesra.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. “Tenang, Yun! Kamu harus bersikap biasa aja. Jangan bikin mereka senang karena lihat kamu menderita!” batin Yuna.

 

“Eh, Yuna? Ada apa?” tanya Bellina sambil tersenyum.

 

Yuna tersenyum. Ia menghampiri Bellina dan menyodorkab berkas yang ada di tangannya. “Ini berkas yang Ibu minta,” ucapnya sambil tersenyum.

 

Yuna tak banyak bicara. Setelah Bellina mengambil dokumen dari tangannya, ia langsung berbalik dan melangkah pergi.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 25 - Sentuhan Cinta

 


Yeriko menggendong Yuna masuk ke dalam kamar. Ia meletakkan tubuh Yuna dengan hati-hati agar gadis itu tak terbangun.

 

Yeriko tersenyum kecil, ia mengecup kening Yuna dan melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

 

Yuna meliukkan tubuhnya. Tenggorokannya terasa sangat kering. Dengan berat hati, ia mengangkat tubuhnya dan turun dari tempat tidur.

 

Yuna melangkah perlahan menuruni anak tangga untuk mengambil air minum. Ia bergegas kembali ke kamar sambil membawa segelas air putih.

 

Di saat bersamaan, Yeriko keluar dari kamar mandi dalam keadaan telanjang bulat.

 

“Aargh ...!” teriak Yuna. Ia langsung membalikkan tubuhnya. “Kenapa telanjang sih!?”

 

“Eh!? Ada yang salah?” tanya Yeriko sambil menatap tubuhnya sendiri.

 

“Ya Tuhan ... gimana ini? Gimana kalau Yeriko minta aku buat ...?” Yuna mengerjapkan mata. Ia membayangkan dirinya bercinta dengan Yeriko di tempat tidur.

 

Yeriko tersenyum kecil. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil piyama untuk ia kenakan. Perlahan, ia melangkahkan kakinya mendekat ke arah Yuna yang masih berdiri sambil menghadap pintu kamar.

 

Jantung Yuna makin berdegup kencang saat kedua tangan Yeriko menyentuh pundaknya. “Oh ... God! Jangan sekarang!” pinta Yuna dalam hati.

 

“Tidur lagi yuk!” bisik Yeriko di telinga Yuna.

 

Yuna bergeming. Ia tak berani menggerakkan tubuhnya sedikit pun.

 

“Kenapa?” tanya Yeriko. Lengannya yang kekar langsung merengkuh tubuh Yuna dari belakang.

 

“Eh!? Nggak papa.” Yuna tak punya keberanian menunjukkan wajahnya yang merona merah.

 

Yeriko memutar tubuh Yuna perlahan menghadap ke arahanya. “Kita ini sudah nikah. Kenapa kamu masih secanggung ini?”

 

Yuna menatap wajah Yeriko tanpa berkedip. “A ... a ... aku ...” Yuna memejamkan mata. Ia tak sanggup berkata-kata melihat dada Yeriko yang terbuka.

 

Yeriko tersenyum kecil. Perlahan, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Yuna dan mengulum bibir mungil gadis itu.

 

Yuna tertegun sesaat, tapi ia terlarut menikmati ciuman Yeriko yang begitu hangat. Tangannya bergerak melingkar ke pundak Yeriko.

 

Yeriko langsung memeluk dan mengangkat tubuh Yuna. Berjalan perlahan dan membaringkan tubuh Yuna ke atas kasur tanpa melepas ciumannya.

 

Yuna langsung mendorong dada Yeriko saat tangan Yeriko masuk ke dalam bajunya.

 

“Kenapa?” Yeriko menatap Yuna.

 

Yuna tersenyum kecut. “Aku mau ke toilet. Kebelet.” Ia langsung bangkit dari tempat tidur dan berlari masuk ke dalam kamar mandi.

 

Yeriko menghela napas. Ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala menatap pintu kamar mandi. Ia merebahkan tubuhnya dan terlelap.

 

 

 

Keesokan harinya ...

 

“Yun, hari ini aku ada meeting di Jakarta. Kamu baik-baik di rumah. Kalau ada sesuatu, harus kabari aku secepatnya!” tutur Yeriko sambil memasang kancing kemeja di pergelangan tangannya.

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia membantu Yeriko mengenakan dasi. “Berapa hari di sana?” tanya Yuna.

 

“Jadwalnya cuma sehari. Nggak tahu kalau ada perubahan.”

 

“Hati-hati ya!” tutur Yuna.

 

Yeriko mengangguk. Ia tersenyum dan langsung mengecup bibir Yuna.

 

Yuna mengambil jas dan memakaikan di tubuh Yeriko.

 

“Kamu mau nitip apa?” tanya Yeriko.

 

Yuna menggelengkan kepala. “Cukup kamu aja!”

 

Yeriko tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya. Ia langsung merengkuh kepala Yuna ke dalam dadanya. Perasaannya sangat bahagia karena Yuna mulai memberikan perhatian kecil untuknya.

 

“Hari ini kerja?” tanya Yeriko sambil melepas pelukannya.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Kenapa?”

 

“Kalo nggak kerja, pengen bawa kamu,” jawab Yeriko sambil mencolek hidung Yuna.

 

“Iih ... kamu kan meeting. Buat apa bawa aku? Seandainya nggak kerja, aku juga nggak mau ikut,” tutur Yuna manja.

 

“Kenapa?” tanya Yeriko sambil tersenyum kecil.

 

“Palingan aku cuma disimpan di kamar hotel. Nggak mungkin ganggu kerjaan kamu kan?”

 

Yeriko tergelak. “Yah, kamu kan bisa jalan-jalan keliling kota Jakarta.”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Apa enaknya jalan-jalan sendirian sementara suami aku kerja?”

 

Yeriko tersenyum bangga menatap Yuna.

 

“Sarapan dulu, yuk!” ajak Yuna. Ia dan Yeriko bergegas turun ke bawah untuk sarapan bersama.

 

“Kamu naik taksi, nggak papa?” tanya Yeriko di sela-sela menikmati sarapannya bersama Yuna.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Ada uang?”

 

Yuna mengangguk.

 

Yeriko mengerutkan kening sambil menatap Yuna. “Aku nggak pernah ngasih kamu uang. Kamu punya uang dari mana? Bukannya baru mulai kerja?”

 

Yuna tertawa kecil. “Aku masih punya uang simpanan kali.”

 

“Kenapa kartu kredit yang aku kasih nggak dipakai?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Nggak tahu mau buat apa.”

 

Yeriko tersenyum kecil. Ia merogoh dompet dari dalam saku jasnya dan mengeluarkan kartu kredit dari dompet.

 

“Bawa aja! Siapa tahu kamu perlu sesuatu,” pinta Yeriko sambil menyodorkan kartu kredit ke hadapan Yuna.

 

“Tapi ...”

 

Yeriko menaikkan kedua alisnya, memberi isyarat agar Yuna tak menolak pemberiannya.

 

Yuna mengerucutkan bibirnya, ia meraih kartu kredit dari tangan Yeriko. “Aku nggak perlu pakai kartu kayak gini.”

 

“Siapa tahu, ada keperluan mendadak. Kamu nggak perlu repot lagi,” tutur Yeriko sambil menyeruput susu yang ada di depannya.

 

“Aku takut ...” tutur Yuna lirih.

 

“Takut kenapa?”

 

“Takut keenakan. Hehehe,” jawab Yuna sambil meringis.

 

Yeriko tersenyum kecil. “Kamu itu ... sekarang adalah Nyonya Yeri. Kartu itu no limit. Kamu bisa pakai untuk apa aja?”

 

“Eh!? Serius?” tanya Yuna sambil mengamati kartu yang ada di tangannya. “Apa bisa dipake buat jalan-jalan ke luar negeri?”

 

“Bisa banget!”

 

“Aargh ...!” Yuna berseru kegirangan. “Berarti bisa bulan madu ke luar negeri dong?” ucapnya sambil bertepuk tangan.

 

Yeriko mengangkat kedua alisnya.

 

“Ups, sorry! Cuma bercanda, kok.” Yuna langsung menutup mulut dan kembali menghabiskan makanannya.

 

Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna. “Kamu pengen ke luar negeri?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Bukannya tadi kamu bilang soal bulan madu ke luar negeri? Kalau aku bawa kamu ke luar negeri, apa kamu mau ngasih?” tanya Yeriko sambil menatap Yuna.

 

“Eh!? Ngasih apa?”

 

“Hmm ...”

 

“Pagi, Bos!” sapa Riyan yang langsung masuk ke dalam rumah.

 

“Hei, pagi! Udah sarapan?” balas Yuna sambil tersenyum.

 

Riyan menganggukkan kepala. “Wah ... Nyonya Muda makin cantik aja,” puji Riyan sambil menatap Yuna.

 

“Ah, kamu bisa aja. Mau minum?” tanya Yuna.

 

“Nggak usah. Kami harus berangkat secepatnya,” jawab Riyan sambil melirik arloji di pergelangan tangannya.

 

Yeriko segera mengelap mulutnya menggunakan tisu. “Aku berangkat dulu ya!” pamit Yeriko. Ia bangkit dari tempat duduk dan mengecup kening Yuna.

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Hati-hati di jalan!”

 

Yeriko mengangguk, ia bergegas keluar dari rumah bersama Riyan.

 

“Ternyata si Bos bisa romantis juga,” celetuk Riyan sambil menahan tawa.

 

Yeriko langsung menatap tajam ke arah Riyan.

 

Riyan tersenyum dan langsung berlari membukakan pintu mobil untuk Yeriko. Ia menghela napas lega saat bosnya sudah masuk ke dalam mobil. “Kirain bakal bersikap baik juga sama aku, tetap aja kayak singa,” gumamnya.

 

Riyan segera masuk ke mobil dan melajukan mobilnya menuju Bandara.

 

Sementara itu, Yuna berangkat menuju kantor menggunakan taksi. Ia terkejut saat sampai di ruangan kerjanya. Beberapa map sudah tertumpuk di atas meja.

 

“Ini apa?” tanya Yuna pada Selma.

 

Selma mengedikkan bahu.

 

Yuna meletakkan tasnya dan membuka map file satu per satu.

 

“Pak Tono, ini bukannya laporan bagian keuangan ya?” tanya Yuna. Ia menghampiri Pak Tono dan menunjukkan dokumen yang ada di tangannya.

 

“Iya.”

 

“Kenapa ada di atas mejaku? Siapa yang ngasih?”

 

“Nggak tahu juga. Waktu sampai kantor, berkasnya udah ada di situ.”

 

Yuna menghela napas. Ia terduduk lemas di kursi meja kerjanya. Ia tidak tahu harus bertanya pada siapa. Yuna segera bangkit dan membawa tumpukan file tersebut ke ruangan Bellina.

 

“Bel, ini laporan siapa yang ditumpuk di mejaku?” tanya Yuna.

 

“Oh ... itu laporan aku,” sahut Lili tanpa rasa bersalah.

 

“Kenapa ditaruh di mejaku?”

 

“Buat kamu kerjain lah.”

 

“Eh, ini bukan bagianku!”

 

“Terus? Bukannya kamu masih magang? Harus bisa ngerjain semuanya dong.”

 

Yuna merapatkan bibirnya menahan kesal.

 

“Kenapa? Mau marah?” tanya Lili. “Peraturan di sini, anak magang harus nurut perintah senior!”

 

“Heh! Tapi kita beda departemen. Aku bukan bagian keuangan. Kenapa harus ngurusin laporan kamu!?”

 

“Eh, emangnya anak magang udah punya jabatan?”

 

Yuna terdiam. Ia tak bisa menjawab pertanyaan dari Lili. Ia berbalik dan membawa laporan keuangan itu kembali ke meja kerjanya.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas