Thursday, January 23, 2025

Bab 19 - Masih Canggung

 


Sinar mentari kembali menyapa Yuna di pagi hari. Sinar hangat menyentuh pipi Yuna yang lembut. Yuna tersenyum sambil memejamkan mata. Ia merasa sangat nyaman dan enggan beranjak dari tempat tidurnya.

 

Tiba-tiba, Yuna membuka mata dan melebarkan kelopak matanya. Ia menatap jendela kamar yang tirainya perlahan bergerak terbuka.

 

“Jam berapa ini?” Yuna langsung menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Ia baru menyadari kalau tirai kamarnya selalu terbuka secara otomatis.

 

“Duh, aku kesiangan lagi.” Yuna langsung turun dari tempat tidur. Ia buru-buru merapikan tempat tidur.

 

“Beres. Tinggal mandi.” Yuna berbalik dan langsung menabrak Yeriko yang baru saja kembali dari lari pagi.

 

“Baru bangun?” tanya Yeriko.

 

“Hehehe.” Yuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

Yeriko langsung melepas t-shirt yang dia kenakan.

 

Yuna langsung mengerjapkan mata dan berbalik. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. “Kenapa lepas baju di sini sih?” gumam Yuna.

 

Yeriko tersenyum kecil. “Kamu lucu banget sih? Kita udah nikah. Emangnya nggak boleh buka baju depan istri sendiri?”

 

“Eh!? Bu … bu … bukan gitu. A … a … ak … u … aku …” Yuna kesal dengan dirinya sendiri. Ia tak bisa menutupi rasa gugup yang menyelimuti hatinya.

 

Yeriko semakin senang melihat ekspresi Yuna yang canggung. Ia langsung memeluk Yuna dari belakang.

 

Yuna membelalakkan matanya. Ia tak bisa menahan degup jantungnya yang semakin kencang. “Astaga! Jantungku bisa copot dari tempatnya kalo kayak gini,” batin Yuna.

 

Yeriko tersenyum kecil melihat pipi Yuna yang mulai merona. “Kamu belum mandi?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

“Kenapa jam segini belum mandi. Nunggu aku mandiin?” bisik Yeriko.

 

“Eh!?” Yuna menggelengkan kepalanya. Ia langsung melepas lengan Yeriko dan berlari ke kamar mandi dengan wajah yang memerah.

 

“Mandinya cepet! Aku mau mandi juga!” teriak Yeriko dari balik pintu kamar mandi.

 

Yuna langsung menoleh ke arah pintu. “Iya. Sebentar lagi selesai,” sahutnya.

 

Yuna bergegas melepas pakaiannya dan langsung mandi.

 

Beberapa menit kemudian, Yuna keluar dari kamar mandi. Ia melirik Yeriko yang masih bersandar di sisi pintu dan masih bertelanjang dada.

 

“Ganti baju! Tunggu aku di bawah!” perintah Yeriko sambil masuk ke dalam kamar mandi.

 

Yuna menganggukkan kepala. Ia bergegas mengganti pakaiannya. Kemudian turun ke lantai bawah.

 

“Pagi, Bi!” sapa Yuna.

 

“Pagi ... sudah bangun?” tanya Bibi War sambil menyusun sarapan pagi di atas meja.

 

Yuna menganggukkan kepala. “Aku bantu, ya!”

 

Bibi War tersenyum menatap Yuna yang terlihat ceria dan bersemangat menyiapkan sarapan pagi.

 

“Ini ... kopi buat Yeriko?” tanya Yuna.

 

Bibi War menganggukkan kepala.

 

“Taruh sini aja, Bi! Aku ganti susu aja ya!”

 

“Tapi, Mbak. Nanti Mas Yeri marah sama Bibi kalo nggak dibikinin kopi.”

 

Yuna tersenyum menanggapi ucapan Bibi War. “Bilang aja aku yang ganti. Aku mau lihat, dia marahnya kayak apa?”

 

“Ah, Mbak Yuna bisa aja. Mas Yeri kalo marah serem banget!”

 

“Oh ya?”

 

“Iya. Kayak singa.”

 

Yuna tergelak sambil membuat dua gelas susu. “Nanti aku jinakin.”

 

“Ah, Mbak Yuna bisa aja. Kalo deket Mbak Yuna, dia jadi kayak kelinci. Penurut dan banyak senyum.”

 

“Oh ya? Emangnya dia jarang senyum, Bi?”

 

“Jarang. Bibi yang udah lama ngerawat Mas Yeri dari kecil aja jarang banget lihat dia senyum. Sebulan sekali belum tentu. Semenjak kenal sama Mbak Yuna, dia banyak berubah.”

 

“Oh ya? Apa aja yang berubah?” tanya Yuna penasaran.

 

“Ya itu ... yang tadi. Jadi sering senyum dan ... biasanya si Riyan udah ke sini pagi-pagi banget buat jemput Mas Yeri ke kantor. Akhir-akhir ini, dia bawa mobil sendiri dan antar jemput Mbak Yuna juga. Mendadak jadi supir pribadi,” bisik Bibi War.

 

Yuna tergelak mendengar ucapan Bibi War. “Ah, Bibi bisa aja.”

 

Bibi War terkekeh. “Sst ...! Mas Yeri udah turun. Jangan bilang kalau Bibi bocorin rahasianya ya!”

 

Yuna mengangguk sambil tersenyum. Ia membawa dua gelas susu ke atas meja makan.

 

Yeriko duduk di salah satu kursi dan Yuna duduk di sebelahnya. Ia mengernyitkan dahi melihat segelas susu yang ada di hadapannya.

 

“Kopiku mana?” tanya Yeriko.

 

Yuna tersenyum menatap Yeriko. “Aku ganti pakai susu. Lebih sehat buat kamu.”

 

“Oh.” Yeriko langsung mengambil gelas susu dan menyesapnya.

 

“Kenapa?” tanya Yuna saat melihat ekspresi wajah Yeriko yang kurang senang.

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Pagi-pagi minum susu enak juga. Apalagi kalau ...” Yeriko menatap dada Yuna.

 

Yuna langsung menutupi dadanya. “Nggak usah macem-macem!” dengusnya.

 

Yeriko tertawa kecil.

 

“Dasar mesum,” celetuk Yuna.

 

“Apa?”

 

“Eh, nggak papa,” jawab Yuna meringis.

 

Yeriko mendekatkan wajahnya ke wajah Yuna. “Aku ini suami kamu. Kamu tega ngatain aku mesum? Bukannya ... seharusnya kamu memang melayani suami kamu dengan baik?”

 

Yuna melebarkan kelopak matanya. “Ta ... ta .. tapi ... aku ...”

 

Yeriko tersenyum kecil dan mengecup bibir Yuna.

 

Yuna balas tersenyum. “Kamu selalu memperlakukan aku begitu manis. Gimana aku bisa nolak?” bisiknya dalam hati sambil menggigit bibir bawahnya.

 

“Kenapa ngelamun? Nggak mau sarapan?” tanya Yeriko sambil menyuap makanan ke mulutnya.

 

“Eh!?” Yuna gelagapan dan langsung ikut menikmati sarapan pagi bersama dengan Yeriko. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sarapan pagi yang begitu manis dan indah.

 

Yeriko, bukan pria yang mudah mengatakan cinta. Namun, sikapnya terhadap Yuna telah menunjukkan kalau ia sangat mencintai gadis itu. Sekalipun ia tak pernah mengatakannya.

 

Usai sarapan pagi. Yeriko mengantar Yuna pergi ke tempat kerjanya.

 

“Yang semalam udah kamu pelajari?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Apa yang kamu ingat?”

 

“Eh!?” Yuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku ketiduran ...” lanjutnya lirih.

 

Yeriko tersenyum kecil sambil menatap wajah Yuna yang duduk di sampingnya.

 

“Gimana kamu menghadapi atasan kamu?” tanya Yeriko.

 

Yuna menghela napas. “Entahlah,” jawabnya tak bersemangat.

 

Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna. Ia mulai menjelaskan tentang pekerjaan yang ia hadapi di kantornya.

 

“Kamu kemarin tanya soal perhitungan BPJS Ketenagakerjaan kan?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Semua perusahaan peraturannya pasti sama. 5.74% ditanggung perusahaan, 2% ditanggung pekerja untuk JHT-nya.”

 

Yuna mengangguk-anggukkan kepala. Ia mengambil notes dan pena dari dalam tasnya.

 

“Persentasenya diambil dari gaji bruto atau netto?” tanya Yuna.

 

“Tergantung kebijakan perusahaan.”

 

“Maksudnya?”

 

“Setiap perusahaan punya kebijakan yang berbeda untuk pelaporan upah karyawannya. Yang wajar, gaji pokok ditambah lembur dan tunjangan. Agak ribet ngerjainnya karena upahnya pasti berubah setiap bulan setiap karyawannya. Yang paling mudah, laporkan gaji pokoknya saja karena perubahan upahnya nggak setiap bulan.”

 

Yuna mengangguk-anggukkan kepala.

 

Yeriko kembali menjelaskan soal sistem BPJS Kesehatan dan perpajakan yang harus dikerjakan di perusahaannya.

 

Yuna menatap Yeriko dengan mata berbinar. Ia merasa sangat hangat dan semakin mengagumi Yeriko.

 

“Kenapa malah lihatin aku kayak gitu?” tanya Yeriko.

 

“Nggak papa. Pengen lihatin aja.” Yuna menopang dagu dengan punggung tangannya sambil menatap Yeriko.

 

Yeriko tersenyum sambil mengusap ujung kepala Yuna. “Sudah sampai,” ucapnya sambil menghentikan mobilnya di depan kantor PT. Raya Wijaya.

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia masih menatap Yeriko yang duduk di sampingnya. “Nggak nyangka, aku punya bakal punya suami yang ganteng, pinter dan perhatian banget. Kayak mimpi yang jadi kenyataan. Bener-bener pangeran berkuda putih yang mengagumkan,” batin Yuna.

 

Yeriko melambaikan tangannya ke wajah Yuna. “Hei ... kenapa malah ngelamun!?”

 

“Eh ... oh ... eh ... sudah sampai ya?” Yuna gelagapan dan langsung melepas safety belt miliknya.

 

Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna.

 

“Makasih ya, udah anterin aku!” tutur Yuna sambil membuka pintu mobil.

 

Yeriko menganggukkan kepala. “Selamat bekerja!”

 

Yuna menganggukkan kepala. Ia berhenti bergerak dan berbalik menatap Yeriko.

 

“Ada apa lagi?”

 

Yuna menyondongkan tubuhnya ke arah Yeriko dan mencium pipi cowok itu. Dengan cepat, ia langsung keluar dari mobil Yeriko. Menutup kembali pintu mobil mobil Yeriko.

 

Yuna melambaikan tangan saat Yeriko mulai menjalankan mobilnya kembali meninggalkan halaman kantor Yuna.

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya! Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Bab 18 - Everything for You

 


“Kalian sudah menikah, banyaklah saling bicara,” ujar Bibi War sambil meletakkan secangkir kopi untuk Yeriko.

 

“Makasih, Bi!” ucap Yeriko. Ia tersenyum menatap Yuna.

 

“Mau makan sekarang? Biar Bibi siapin.”

 

“Udah laper?” tanya Yeriko sambil menatap Yuna.

 

Yuna hanya meringis menanggapi pertanyaan Yeriko. Ia langsung memegang perutnya yang tiba-tiba berbunyi.

 

“Siapin sekarang, Bi!” pinta Yeriko.

 

Bibi War menganggukkan kepala dan bergegas menyiapkan makanan untuk Yuna dan Yeriko.

 

“Kenapa design rumah ini monoton banget?” tanya Yuna.

 

“Kamu maunya seperti apa?”

 

“Mmh ... mungkin bisa lebih ceria kalau dipasang wallpaper gambar mawar warna pink,” tutur Yuna.

 

Yeriko tertawa kecil. “Boleh.”

 

“Hah!? Serius?”

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

Yuna menahan tawa. “Eh, serius? Dia nggak marah kalau tiba-tiba rumahnya berubah jadi nuansa pink?” tanyanya dalam hati.

 

“Mmh ... aku juga nggak mau sprei kamar warna putih atau abu-abu. Kalau diganti gambar princess gimana?”

 

Yeriko mengangguk.

 

Yuna mengernyitkan dahi menatap Yeriko. “Kamu nggak keberatan?”

 

Yeriko menggelengkan kepala. “Sejak masuk rumah ini, kamu adalah nyonya di rumah. Kamu boleh lakuin apa aja yang kamu suka,” ucapnya sambil menyolek hidung Yuna yang mungil.

 

Yuna tersipu, ia tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. “Makasih ...!” Yuna langsung memeluk Yeriko.

 

Yeriko tersenyum, ia menarik tubuh Yuna ke pangkuannya.

 

“Eh!?” Yuna tertegun menatap Yeriko.

 

Yeriko tersenyum, ia langsung mengulum bibir Yuna yang manis. Ia bisa ikut merasakan sup jahe yang baru saja diminum oleh Yuna.

 

Bibi War menghentikan langkahnya saat melihat Yuna dan Yeriko sedang asyik berciuman. Ia tersenyum bahagia melihat kemesraan keduanya.

 

Yuna langsung mendorong dada Yeriko begitu menyadari Bibi War berdiri di dekat mereka.

 

Yeriko mengangkat kedua alis. Ia menoleh ke arah pandangan Yuna. “Oh ... Bibi, kenapa?”

 

“Makanannya sudah siap,” jawab Bibi War sambil menahan senyum.

 

“Oke.” Yeriko menganggukkan kepala.

 

Yuna tersenyum sambil menundukkan kepalanya. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.

 

“Hei, kenapa?” tanya Yeriko sambil mendekatkan wajahnya.

 

“Malu sama Bibi,” jawab Yuna lirih.

 

Yeriko tertawa kecil. “Malu kenapa? Kamu kan istri aku.”

 

Yuna menurunkan tangannya perlahan. “Iya ... tapi ...”

 

Yeriko mengecup bibir Yuna dan menarik lengannya, membawanya pergi ke meja makan untuk makan bersama.

 

“Gimana kerjaan kamu hari ini?” tanya Yeriko sambil menikmati makan malam bersama.

 

“Mmh ... sangat melelahkan.”

 

“Kenapa?”

 

“Banyak banget yang harus dikerjain.”

 

Yeriko mengangkat kedua alisnya. “Bukannya kamu baru mulai kerja?”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Atasanku langsung ngasih tugas banyak banget. Kayaknya dia ada dendam pribadi sama aku.”

 

Yeriko tertawa kecil.

 

“Kenapa ketawa?”

 

“Bukannya baru mulai kerja? Dendam pribadi gimana?”

 

Yuna mengedikkan bahu. “Mungkin aja dia iri sama aku karena aku lebih cantik dari dia,” tutur Yuna bergurau.

 

“Hahaha.” Yeriko tergelak mendengar pernyataan Yuna.

 

Yuna mencebik ke arah Yeriko. “Ketawamu ngolok!”

 

Yeriko terkekeh. “Nggak, kok. Kamu emang yang paling cantik.”

 

“Gombal!” sahut Yuna. Pipinya menghangat mendengar Yeriko memujinya.

 

“Kalo kamu nggak cantik, aku nggak bakal pilih kamu jadi istriku,” tutur Yeriko.

 

“Oh ... jadi, suka sama aku karena cantiknya doang!?” dengus Yuna.

 

Yeriko tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

Jujur banget nih cowok,” celetuk Yuna dalam hatinya.

 

“Mmh ... aku kan masih dalam masa percobaan. Ada tugas banyak dari kantor dan aku nggak ngerti,” tutur Yuna sambil memainkan sendok makannya.

 

“Nggak usah sedih! Nanti aku bantu.”

 

“Serius?” tanya Yuna dengan mata berbinar.

 

Yeriko menganggukkan kepala.

 

Usai makan malam bersama, Yeriko dan Yuna naik ke ruang kerja yang ada di sebelah kamar Yeriko.

 

Dengan sabar, Yeriko menjelaskan beberapa pekerjaan yang ditunjukkan Yuna.

 

“Paham nggak?” tanya Yeriko setelah selesai menjelaskan.

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

Yeriko menghela napas. Ia tidak tahu kenapa Yuna begitu sulit memahami penjelasannnya.

 

Yuna tidak fokus menerima penjelasan materi dari Yeriko. Ia sibuk menatap wajah cowok itu dan terus mengagumi setiap senti bagian tubuhnya.

 

“Udah ganteng, pinter ...” gumam Yuna dalam hati.

 

“Eh, pantes aja nggak paham-paham. Kamu ngelamun terus!” Yeriko mengetuk dahi Yuna.

 

“Eh!?” Yuna menyentuh dahinya sendiri.

 

Yeriko bangkit dari sofa. Ia mencari beberapa berkas yang tersusun rapi di lemari yang ada di belakang meja kerjanya. Yeriko mengambil satu jilid dokumen dan memberikannya pada Yuna.

 

“Ini apa?” Yuna mengernyitkan dahinya.

 

“Baca!”

 

Yuna mengerutkan bibirnya sambil menatap berkas yang ada di tangannya.

 

“Itu dokumen perhitungan BPJS, Tunjangan Karyawan dan Perpajakan. Kamu bisa pakai itu sebagai acuan perhitungan laporan kamu.”

 

Yuna menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Aku pusing!” serunya sambil menutup wajahnya dengan berkas yang ada di tangannya.

 

Yeriko tertawa kecil. “Kamu, dijelasin langsung nggak fokus. Pelajari sendiri! Kalau ada yang bingung, tanya aja! Aku mau ngecek laporanku dulu!” Yeriko melangkah menuju meja kerja dan membuka laptop miliknya.

 

Yuna membuka dokumen dari halaman pertama dan membacanya. Ia mulai merasa bosan, deretan tulisan yang ada di atas kertas tiba-tiba melayang ke mana-mana dan membuatnya menguap beberapa kali. Ia tak lagi fokus mempelajari berkas yang diberikan Yeriko.

 

Yuna menguap beberapa kali, sampai akhirnya terlelap di sofa.

 

Yeriko menggelengkan kepala menatap Yuna yang sudah tertidur. Ia segera menyelesaikan pekerjaannya. Kemudian bangkit dari meja kerja dan menghampiri Yuna yang sudah terlelap di atas sofa.

 

Yeriko menatap wajah Yuna selama beberapa menit. “Kamu makin cantik kalau lagi tidur kayak gini.” Ia mengelus lembut pipi Yuna yang lembut.

 

Yeriko menghela napas sejenak dan menggendong tubuh Yuna. Membawanya keluar dari ruang kerja dan masuk ke dalam kamar.

 

Yeriko meletakkan tubuh Yuna ke atas tempat tidur dengan hati-hati agar tidak membuat Yuna terbangun. Yeriko ikut berbaring di samping Yuna sambil menatap lekat gadis cantik yang sedang bersamanya itu.

 

Yeriko mendekatkan wajahnya ke wajah Yuna. Tanpa sadar, ia mencium bibir Yuna yang mungil. Yeriko menarik perlahan baju Yuna hingga ia bisa melihat belahan dada Yuna yang begitu menggoda birahinya. Yeriko mendekatkan bibirnya dan mengecup dada Yuna yang mulus.

 

Yeriko menghentikan gerakannya saat mendengar nada dering ‘Sencha’ yang keluar dari ponselnya.

 

“Siapa sih yang telepon malam-malam gini?” Yeriko langsung menyambar ponsel dari atas meja. Ia menatap nama ‘Lutfi. A Villa’ di ponselnya.

 

“Halo ...!” sapa Yeriko.

 

“Hei ... pengantin baru! Lagi apa malam-malam gini?”

 

“Tidur.”

 

“Tidur? Udah enak-enak?”

 

“Enak-enak apanya?”

 

“Halah ... nggak usah pura-pura polos! Gimana rasanya jadi pengantin baru?” tanya Lutfi.

 

“Hmm ... enak.”

 

“Enak ya? Udah ada yang nemenin tidur?”

 

Yeriko tertawa kecil menanggapi ucapan Lutfi.

 

“Eh, semalam main berapa kali?” tanya Lutfi.

 

“Main apaan?”

 

“Hadeh, jangan pura-pura nggak tahu!”

 

Yeriko tertawa kecil menanggapi ucapan Lutfi.

 

“Mana suaranya istri kamu?”

 

“Udah tidur.”

 

“Jam segini udah tidur? Udah ngasih jatah apa belum? Hihihi.”

 

“Nggak usah iseng!”

 

“Yee ... kalian kan pengantin baru. Aku mau belajar dulu sama kamu. Nanti kalo udah nikah, aku bisa praktekkan dengan baik.”

 

“Aku nggak tega ganggu dia tidur.”

 

“Hahaha.”

 

“Kenapa ketawa?”

 

“Jadi, kalian belum ngapa-ngapain selama nikah?”

 

“Belum.”

 

“Payah!”

 

Yeriko tak menyahut.

 

“Harusnya, sebagai istri inisiatif dong ngasih jatah buat suami biar suaminya semangat cari uang. Hahaha.”

 

“Jangan gitu! Biar gimana pun, dia itu kakak ipar kalian. Jangan sekali-sekali bikin dia jadi minder dan menindas dia ya! Aku bakal bikin perhitungan sama kalian kalo berani macem-macem!”

 

Lutfi tergelak mendengar ucapan Yeriko. “Siap Kaka!”

 

“Kalian di mana malam-malam gini?”

 

“Di Bar. Kenapa?”

 

“Sama Chandra?”

 

“Iya. Kenapa?”

 

“Nggak papa.”

 

“Udah, kamu nikmati aja waktu-waktu jadi pengantin baru. Buruan di-eksekusi lah! Kalah sama cewek bar,” tutur Lutfi.

 

“Jangan samain Yuna sama cewek bar!” tegas Yeriko.

 

“Hahaha. Iya, iya.”

 

Yeriko langsung menutup telepon. Ia melirik Yuna yang sudah terlelap di sebelahnya. Ia tersenyum, memejamkan mata dan ikut terlelap.

 

 

(( Bersambung ... ))

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas