Thursday, January 23, 2025

Bab 13 - Perawatan Terbaik

 


Usai berbelanja dan makan bersama. Yuna mengajak Jheni untuk mengunjungi ayahnya.

 

“Ayah kamu dirawat di mana? Bukannya ada di lantai bawah ya?” tanya Jheni.

 

“Udah dipindahin ke VVIP,” jawab Yuna sambil melangkah menuju ruang rawat ayahnya.

 

“Kamu beruntung banget sih. Punya suami ganteng dan perhatian banget. Aku nggak sabar pengen kenalan sama suami baru kamu itu.”

 

Yuna tersenyum dan langsung membuka pintu ruang VVIP tempat ayahnya dirawat.

 

Yuna mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruangan ini sudah bersih dan rapi. Tidak ada perawat yang berjaga dan juga tidak ada ayahnya di sana.

 

“Ayah ke mana!?” Yuna panik dan bergegas keluar dari ruangan. Ia mencari dokter yang bertugas merawat ayahnya.

 

“Kenapa, Yun?” tanya Jheni sambil mengikuti langkah Yuna.

 

“Ayah aku nggak ada, Jhen!” seru Yuna.

 

“Mungkin ada pemeriksaan di ruangan lain.”

 

“Nggak mungkin.” Yuna terus berjalan menuju ruang dokter yang merawat ayahnya.

 

Tanpa mengetuk pintu, Yuna langsung masuk ke dalam ruangan dokter.

 

Dokter yang sedang sibuk memeriksa berkas medis, menengadahkan kepala menatap Yuna.

 

“Dokter, ayah aku ke mana?” tanya Yuna dengan napas tersengal.

 

“Ayah kamu? Pak Adjie?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Sudah dipindahkan.”

 

“Dipindahkan ke mana?”

 

“Ke Rumah Sakit Siloam.”

 

“Kenapa dipindahin? Kenapa nggak kasih tahu aku dulu? Aku ini anaknya, Dok!” seru Yuna kesal.

 

“Sabar, Yun!” ucap Jheni lirih sambil mengusap pundak Yuna.

 

Yuna langsung menyingkirkan tangan Jheni.

 

“Siapa yang pindahin ayah?” tanya Yuna.

 

“Menantunya.”

 

“Yeriko?”

 

Dokter menganggukkan kepala. “Di sana, fasilitasnya lebih lengkap dan lebih baik dari rumah sakit ini. Suami kamu berusaha memberikan perawatan terbaik untuk ayah kamu. Kamu sangat beruntung.”

 

Yuna terdiam sesaat. “Kenapa dia nggak bilang ke aku dulu kalo mau mindahin ayah?” bisiknya dalam hati.

 

“Mmh ... makasih untuk informasinya, Dokter. Maaf karena udah bersikap nggak sopan. Tadi, aku terlalu panik. Maaf!” ucap Yuna sambil membungkukkan badanya.

 

“Nggak masalah. Sebaiknya kamu temui ayah kamu di rumah sakit yang baru.”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Permisi, Dokter!”

 

“Permisi, Dok!” Jheni juga ikut berpamitan.

 

Mereka berdua bergegas pergi ke Siloam Hospital.

 

Sesampainya di rumah sakit, Yuna langsung menghampiri meja resepsionis.

 

“Ada yang bisa kami bantu?” sapa petugas resepsionis dengan ramah.

 

“Apa ada pasien yang namanya Adjie Linandar?” tanya Yuna.

 

“Sebentar, saya cek dulu ya!” tutur petugas resepsionis tersebut sambil terus tersenyum.

 

Yuna menganggukkan kepala sambil menunggu selama beberapa detik.

 

“Ada, Mbak.”

 

“Di ruangan mana sekarang?”

 

“Beliau ada di ruang VVIP 1.”

 

Yuna dan Jheni bergegas mencari ruang VVIP 1. Mereka langsung masuk ke dalam ruangan begitu menemukan ruangan yang dimaksud.

 

“Yun, ini kamar gedenya kayak rumahku,” celetuk Jheni saat masuk ke dalam ruangan.

 

Yuna tak menyahut, kakinya melangkah perlahan menghampiri ayahnya yang terbaring di atas tempat tidur. Ia tersenyum melihat ayahnya yang terlelap.

 

Yuna berbalik dan mengajak Jheni duduk di sofa. “Ayah lagi tidur,” tuturnya.

 

“Yun, suami kamu kaya banget ya?” tanya Jheni.

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

Jheni tertawa kecil menatap Yuna. “Kamu tuh aneh. Nikah sama cowok yang kamu sendiri nggak tahu asal-usulnya gimana. Kalo dia nggak kaya, dia nggak mungkin pindahin ayah kamu ke sini. Setahu aku, biaya perawatan di sini mahal banget. Apalagi ini VVIP room.”

 

“Aku nggak tahu, Jhen. Waktu itu, aku bener-bener nggak tahu harus bawa ayah ke mana. Dia cuma bilang, bakal ngasih perawatan terbaik buat ayah. Aku sama sekali nggak nyangka kalau dia bisa sehebat ini.”

 

“Itu artinya ... dia cinta banget sama kamu. Kalo nggak, nggak mungkin kan dia kasih fasilitas mewah buat ayah kamu?”

 

Yuna tertegun dan langsung menatap Jheni.

 

“Kenapa?” Jheni mengerutkan kening menatap Yuna.

 

“Kami baru kenal seminggu yang lalu. Nggak mungkin dia cinta sama aku. Lagian, sikapnya dingin banget kayak beruang kutub.”

 

“Hah!? Terus gimana kalian bisa nikah?”

 

“Aku kan udah bilang kalau aku mau nikah sama dia karena ayah.”

 

“Kalau cuma karena ayah, harusnya kamu sudah nikah sama direktur tua yang dijodohin sama tante kamu itu kan?”

 

Yuna terdiam mendengar ucapan Jheni. “Bener juga, kenapa aku mau nikah sama Yeriko?” batinnya bertanya-tanya.

 

“Kamu suka sama dia juga kan?”

 

“Mmh ...”

 

“Udah, deh. Ngaku aja! Ganteng mana, dia atau Lian?”

 

“Iih ... ngapain sih bawa-bawa nama Lian segala!?” sahut Yuna.

 

Jheni terkekeh melihat Yuna. “Jawab!”

 

“Mmh ... ganteng Yeriko, sih.”

 

“Nah ... kan!? Kamu pasti jatuh cinta pada pandangan pertama ya?”

 

“Mmh ... kamu haus nggak? Mau aku ambilkan minum?” tanya Yuna mengalihkan pembicaraan.

 

“Nggak usah menghindar!” seru Jheni.

 

Yuna menghela napas. “Jhen, kamu tuh kalo udah nanya kayak wartawan aja. Kenapa nggak kerja jadi wartawan sekalian, sih!?”

 

“Karena kamu nggak ceritain semuanya secara detil. Harusnya, kamu cerita dari awal pertama kalian kenal dan apa aja yang udah kalian lakuin?”

 

“Jhen, kita kenal baru seminggu dan kita nggak ngapa-ngapain. Kenalnya juga nggak sengaja. Aku bahkan baru tahu nama aslinya waktu ijab kabul.”

 

Jheni melebarkan kelopak matanya. “Hmm ... oke, karena kalian emang baru kenal. Pernikahan kilat ini pasti belum banyak punya cerita. Tapi ... mulai besok kamu harus ceritain semua yang terjadi sama kamu tanpa terkecuali.”

 

“Idih ... kepo banget! Mau denger juga cerita main di ranjang?” sahut Yuna.

 

“Udah ada rencana, Yun?” tanya Jheni makin penasaran.

 

Yuna langsung mengetuk dahi Jheni. “Sembarangan!”

 

“Kalian kan udah sah jadi suami istri. Nggak ada yang salah kan?”

 

“Mmh ... iya juga sih. Tapi ... aku belum terbiasa sama status yang tiba-tiba kayak gini.”

 

“Terus, rencana kamu selanjutnya apa?”

 

“Belum tahu.”

 

“Sudah sejauh ini kamu belum tahu mau ngelakuin apa?”

 

“Kenapa emangnya?”

 

“Yah, setidaknya kamu berterima kasih sama suami kamu karena udah ngasih perawatan yang terbaik buat ayah kamu. Dan juga ... kamu nggak mau tinggal sama dia?”

 

Yuna tersenyum kecil. “Yah, nggak mungkin aku tinggal di rumah kamu terus kan?”

 

“Nggak papa kali. Aku seneng kok, kamu mau tinggal di rumah aku.”

 

“Biar gimana pun, aku udah jadi istrinya Yeriko. Riyan dan Bibi War pasti bakal mempertanyakan hubungan kami kalau kami nggak tinggal sama-sama.”

 

“Jadi, mulai kapan kamu bakal tinggal sama dia?”

 

“Secepatnya.”

 

Jheni langsung memeluk tubuh Yuna. “Aku beneran bakal kehilangan kamu,” tuturnya pelan.

 

Yuna tersenyum. “Aku nggak ke mana-mana, Jhen. Cuma di rumah suami aku. Kita masih bisa ketemu setiap hari.”

 

Jheni melepas pelukannya dan mengusap pipinya yang basah. “Janji ya! Kamu harus sering-sering main ke rumah aku!”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Kamu juga harus sering main ke rumah kami, gimana?”

 

“Dengan senang hati,” jawab Jheni. “Sekarang juga, gimana? Aku pengen lihat suami kamu.”

 

“Jangan sekarang!” pinta Yuna.

 

“Kenapa?” Jheni mengerucutkan bibirnya.

 

“Dia belum jinak,” jawab Yuna.

 

Jheni menahan tawa. “Kamu kira dia apaan? Pake acara dijinakin segala?”

 

“Beruang Kutub itu, selain dingin juga buas banget. Kamu mau ditelan mentah-mentah sama dia?”

 

“Kamu sendiri gimana?”

 

“Aku sih aman-aman aja. Kamu tahu kan kalau aku ini kuat.”

 

Jheni terkekeh menatap Yuna. “Oke. Oke. Tapi ... someday, kamu harus kenalin dia ke aku.”

 

“Pasti!” sahut Yuna.

 

“Mmh ... aku balik dulu ya! Soalnya, aku ada janji mau ketemu sama seseorang.”

 

“Siapa?” tanya Yuna.

 

“Kepo ih! Ada, deh.”

 

“Iih ... mulai main rahasia-rahasiaan ya!?” dengus Yuna.

 

Jheni tersenyum kecil. “Nggak, kok. Ada janji mau makan malam bareng temen-temen kantor.”

 

“Oh ...”

 

“Aku pamit dulu ya!”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Aku juga mau balik.”

 

“Ke rumah aku?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Aku langsung ke rumah villa Yeriko.”

 

“Ciyeee ... pengantin baru ... yang udah nggak tahan mau ‘ehem-ehem’,” goda Jheni.

 

“Apaan sih!?” sahut Yuna, ia tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya. Ucapan Jheni membuatnya tersipu malu.

 

Jheni tertawa kecil. Ia bangkit dari duduk dan bergegas meninggalkan Yuna.

 

Yuna tersenyum. Ia melihat keadaan ayahnya selama beberapa menit dan segera kembali ke rumah Yeriko.

 

(( Bersambung ... ))

Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

Bab 12 - Be a Wife

 


“Kenapa?” tanya Yeriko yang menyadari kalau Yuna berjalan sambil melamun.

 

“Eh!?” Yuna langsung menoleh ke arah Yeriko. “Nggak papa. Aku cuma belum terbiasa aja. Aku nggak tahu harus ngapain setelah ini. Aku nggak tahu gimana caranya jadi istri ...”

 

“Kamu nggak perlu mikirin apa-apa. Cukup berdiri di samping aku dan terus tersenyum!” pinta Yeriko.

 

Yuna tersenyum menanggapi ucapan Yeriko.

 

“Nah, gitu dong! Istriku makin cantik kalau senyum kayak gini,” tuturnya sambil mengusap dagu Yuna.

 

Yuna hanya tersenyum canggung menanggapi ucapan Yeriko.

 

Yeriko menggenggam jemari Yuna dan mengajaknya masuk ke dalam mobil. “Yuk, pulang.”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko memasangkan safety belt ke tubuh Yuna. Setelah ia memasang safety belt ke tubuhnya, ia langsung menyalakan mesin mobil dan bergegas melajukan mobilnya menuju rumah villa miliknya.

 

Sesampainya di rumah, makanan sudah terhidang di meja makan.

 

“Bibi War ke mana?” tanya Yuna.

 

Yeriko mengedikkan bahunya. “Mungkin lagi keluar. Kita makan dulu, yuk!”

 

“Nggak mandi dulu? Aku belum mandi seharian.”

 

“Makanannya keburu dingin. Mending kita makan dulu, abis ini mandi. Gimana?”

 

Yuna mengangguk. Ia duduk di meja makan bersama dengan Yeriko. Yuna mengambil piring dan nasi untuk Yeriko. “Mau lauk apa?” tanyanya.

 

“Apa aja yang kamu kasih, aku makan.”

 

Yuna tersenyum kecil. Ia mengambil sepotong ayam goreng dan tumis kangkung, lalu memberikannya pada Yeriko.

 

Yeriko tersenyum. “Makasih!”

 

Yuna mengangguk. Ia segera mengambil piring dan mengisi dengan makanan yang ia suka.

 

Yuna langsung menghentikan suapan pertamanya. “Kenapa nggak pedas?” gumamnya.

 

“Aku nggak suka makanan pedas. Bibi nggak pernah masak pedas buat aku.”

 

“Oh ya?” Yuna bangkit dari duduknya.

 

“Mau ke mana?” seru Yeriko.

 

“Aku bikin sambal dulu,” sahut Yuna sambil melangkah menuju dapur. Ia bergegas membuat sambal dan kembali ke meja makan.

 

“Kamu suka sambal?” tanya Yeriko.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Nggak sakit perut?”

 

Yuna menggelengkan kepala.

 

Yeriko nyengir saat melihat Yuna menumpahkan sambal ke atas makanannya. “Yun, makan pedas berlebihan nggak baik buat kesehatan.”

 

“Ini nggak pedes banget, kok. Aku kasih tomat. Mau nyobain?”

 

Yeriko menggelengkan kepala.

 

“Huh! Cemen!”

 

“Apa kamu bilang?”

 

“Cemen!” sahut Yuna menegaskan.

 

“Bukan cemen. Aku jaga kesehatan aja.”

 

Mereka pun tertawa. Setelah itu, masing-masing sibuk dengan makanannya sendiri.

 

“Cepet habisin makannnya! Aku mandi duluan.”

 

“Eh!? Kamu udah selesai?” tanya Yuna sambil menatap piring Yeriko yang masih berisi makanan.

 

“Udah kenyang.”

 

“Belum habis makanannya,” sahut Yuna.

 

Yeriko tak menghiraukan dan tetap bangkit dari duduknya.

 

Yuna langsung menarik lengan Yeriko. “Kata orang, nggak baik nyia-nyiain makanan. Abisin dulu makanannya!” pinta Yuna.

 

“Oke,” jawab Yeriko datar.

 

Yeriko menghela napas dan kembali duduk di kursinya. “Kenapa sih, aku nggak bisa marah sama cewek ini?” gumamnya dalam hati.

 

Yuna tersenyum senang karena Yeriko mau menuruti keinginannya.

 

***

 

 

 

“Hai, Jhen!” sapa Yuna yang sudah berdiri di depan pintu kamar Jheni.

 

“Astaga! Kamu kayak hantu aja. Ngilang tiba-tiba, muncul juga tiba-tiba,” tutur Jheni sambil memegang dadanya. Ia sangat terkejut dengan kehadiran Yuna saat ia baru saja bangun dan membuka pintu kamarnya.

 

Yuna meringis dan langsung masuk ke kamar Jheni.

 

“Jalan yuk!” ajak Yuna.

 

“Ke mana?”

 

“Mmh ... shopping?”

 

“Aku lagi bokek.”

 

“Aku traktir.”

 

“Emang punya duit?”

 

Yuna melirik ke langit-langit sambil tersenyum.

 

“Aha ... aku ingat. Terakhir kali kamu pergi. Kamu mau nikah sama direktur kaya raya yang dijodohin sama kamu itu kan? Kamu udah beneran nikah sama dia dan sekarang punya uang banyak?”

 

“Sembarangan!”

 

“Terus!?” Jheni mengernyitkan dahi. “Sejak malam itu, kita belum ketemu dan kamu nggak pernah hubungi aku. Aku kira, kamu udah jadi istri muda Oom-Oom itu.”

 

Yuna tersenyum. “Nanti aku ceritain! Mandi gih! Aku tunggu.”

 

Jheni bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

 

Setelah Jheni selesai mandi dan berganti pakaian, mereka bergegas menuju salah satu mall yang ada di pusat kota.

 

“Yun, kamu beneran punya uang?” tanya Jheni setelah mereka keluar dari salah satu toko pakaian.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Uang dari mana?”

 

“Mmh ... sebenarnya ini uang tabungan aku.”

 

“Kamu gila ya! Uang tabungan kamu pake buat belanja kayak gini?”

 

“Nggak papa. Santai aja!” Yuna mengerdipkan mata ke arah Jheni.

 

“Aku jadi nggak enak sama kamu.”

 

“Nggak perlu sungkan. Anggap aja ini uang sewa selama aku tinggal di rumah kamu.”

 

“Aku nggak pernah minta kamu buat bayar sewa, Yun.”

 

Yuna tersenyum. “Aku yang nggak enak sama kamu karena selalu makan dan tidur numpang di rumah kamu. Kalau kamu nolak pemberianku, aku nggak mau tinggal di rumah kamu lagi!” Yuna melipat kedua tangan dan pura-pura marah.

 

“Iya, iya. Makasih ya!” Jheni langsung merangkul tubuh Yuna.

 

Yuna tersenyum senang. “Nah, gitu dong! Cari makan yuk! Sambil cerita-cerita.”

 

Jheni menganggukkan kepala. Mereka masuk ke salah satu restoran yang ada di pusat perbelanjaan tersebut.

 

“Kamu mau makan apa?” tanya Yuna.

 

“Ikut sama kamu aja, deh. Ditraktir gini.”

 

Yuna tertawa kecil. “Ya nggak gitu juga kali. Kalo kamu pengen makan yang lain juga nggak papa.”

 

“Samain aja! Toh, selera kita juga sama.”

 

Yuna tersenyum dan langsung memesan makanan.

 

“Jhen, aku mau ngasih tau kamu sesuatu,” tutur Yuna sambil menatap Jheni.

 

“Apa?” Jheni sangat antusias mendengar ucapan Yuna.

 

“Mmh ... kemarin ... kemarin aku ...”

 

Jheni mengerutkan kening, ia tak sabar menunggu Yuna bercerita. “Kenapa?” tanya Jheni.

 

Yuna tersenyum menatap Jheni. “Kemarin aku ... udah nikah.”

 

“What!? Nikah sama siapa?”

 

“Sama ... cowok yang aku kenal beberapa hari lalu.”

 

“Apa!? Kamu udah gila ya!?”

 

“Aku tahu aku gila. Tapi ... aku juga nggak bisa nolak cowok itu. Dia ...” Yuna menghentikan ucapannya saat Melan tiba-tiba sudah berdiri di depannya.

 

“Anak nggak tahu diri. Bukannya ayah kamu lagi lumpuh? Kamu malah bersenang-senang di sini,” tutur Melan sambil menatap Yuna.

 

Yuna hanya diam. Ia pura-pura tidak mendengar ucapan Melan.

 

“Ma, mungkin dia nggak sempat mikirin ayahnya karena sibuk jual diri. Lihat aja! Dapet uang dari mana buat belanja dan makan di tempat yang bagus kayak gini. Jangan-jangan, udah jadi istri simpanan,” celetuk Bellina.

 

Yuna bangkit sambil menatap Bellina. “Sekalipun aku nggak punya uang. Aku masih punya harga diri. Lagian, aku terlalu mahal buat jual diri. Tanya aja sama mama kamu, berapa uang yang dia dapat buat jual aku ke Bajingan Tua itu!?” tutur Yuna sambil membelalakkan matanya ke arah Bellina.

 

“Kamu ... berani-beraninya ...!” Melan menatap Yuna penuh amarah.

 

Yuna tersenyum sinis. “Kalian itu sama-sama murahan! Cocok banget, sih. Satunya germo, satunya pelacur!”

 

“Jangan sembarangan kalo ngomong!” seru Melan sambil menjambak rambut Yuna.

 

Yuna mengerutkan hidung, menahan rambutnya yang terasa sakit karena Melan menariknya begitu kuat.

 

“Kalo kamu berani macem-macem, aku bakal bikin ayah kamu makin menderita!” ancam Melan. “Bahkan, aku bisa bikin kamu nggak bisa lihat dia lagi selamanya!”

 

“Aargh ...!” Yuna langsung menepis tangan Melan dengan kasar. “Aku nggak akan biarin Tante menyentuh ayah biar cuma sedikit aja!” ancam Yuna balik.

 

“Kamu ...!? Bener-bener nggak tahu diri! Kamu nggak mikir kalo biaya pengobatan ayah kamu itu mahal banget. Kamu bisa bayar pake apa?”

 

“Aku bakal bayar semuanya nanti!” sahut Yuna.

 

Melan tersenyum sinis. “Kamu itu udah nggak punya apa-apa lagi. Kamu pikir, bisa ngelunasi hutang-hutang kamu?”

 

“Aku pasti ngelunasi semua hutangku dengan cara yang halal. Nggak harus menjual diriku ke germo kayak kamu!?”

 

Melan makin naik pitam mendengar ucapan Yuna.

 

“Yun, udahlah. Nggak usah diladenin lagi!” bisik Jheni sambil menarik ujung jemari Yuna.

 

“Ma, kita pergi aja!” bisik Bellina sambil menarik lengan mamanya menjauh dari Yuna.

 

“Awas kamu ya!” ancam Melan sebelum akhirnya pergi meninggalkan Yuna.

 

“Masa bodoh!” sahut Yuna tanpa suara. Ia kembali duduk di kursinya.

 

“Tante kamu itu bener-bener nggak punya perasaan ya?” tutur Jheni.

 

“Ngeselin banget!” celetuk Yuna.

 

“Aku salut deh sama kamu. Bisa ngelawan dia sampe segitunya.”

 

“Orang kayak dia itu emang harus dilawan. Dikira aku bakal diam aja? Aku nggak bakal nyerah gitu aja.”

 

Jheni tersenyum sambil mengacungkan dua jempolnya.

 

Yuna tersenyum menatap Jheni.

 

“Eh, kamu belum lanjutin ceritanya,” tutur Jheni.

 

“Cerita apaaan?”

 

“Yang tadi.”

 

“Yang tadi apa ya?”

 

“Nggak usah pura-pura lupa!” dengus Jheni.

 

“Duh, kayaknya aku beneran lupa,” sahut Yuna sambil memijat keningnya.

 

“Yuna!” seru Jheni geram.

 

Yuna terkekeh melihat wajah Jheni.

 

“Cepet cerita!” pintanya.

 

Yuna menoleh ke arah pelayan dan mengambil makanan yang ia pesan. “Makan dulu!” pinta Yuna pada Jheni.

 

“Kamu ngulur-ngulur waktu buat cerita aja!” ucap Jheni kesal.

 

Yuna tersenyum kecil menatap Jheni. “Iya ... aku ceritain. Dengerin baik-baik ya!”

 

Jheni mengangguk. Ia melipat kedua tangannya di atas meja dan memasang telinganya dengan baik.

 

“Semalam, aku nikah sama cowok yang udah nolongin aku beberapa hari belakangan ini. Aku nggak bisa nolak dia. Aku punya hutang budi yang besar banget dan nggak tahu harus balas pakai apa. Dia cuma minta, aku jadi istrinya.”

 

“Kamu setuju?”

 

Yuna mengangguk. “Semalam, dia nikahin aku di depan ayah.”

 

“Serius?”

 

“Di rumah sakit?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“So sweet banget, sih!” seru Jheni.

 

(( Bersambung ... ))

 Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas