Thursday, January 23, 2025

Bab 11 - Pernikahan Kilat

 


Yeriko menyentuh kedua pundak Yuna dan mengajaknya pergi.

 

“Tapi ...” Yuna menoleh ke arah ayahnya. Kursi roda yang ia pegang sudah berpindah ke tangan Riyan.

 

“Riyan bakal ngurus ayah kamu dengan baik. Percayalah!” tutur Yeriko sambil mengajak Yuna keluar dari rumah sakit.

 

Yuna terus menoleh ke belakang sambil melangkahkan kakinya. Ia terus menatap wajah ayahnya yang semakin lama semakin menjauh.

 

Yeriko mengelus pundak Yuna. Mengajaknya masuk ke dalam mobil dan membawa gadis itu ke restoran western yang ada di pusat kota.

 

Yuna dan Yeriko tak saling bicara sampai makanan terhidang di atas meja.

 

“Makanlah!”

 

Yuna mengangguk dan makan dengan lahap.

 

Yuna menatap Yeriko yang terlihat sangat elegan saat makan. “Kenapa dia tetep ganteng banget di saat seperti ini?” batinnya.

 

Yeriko berhenti makan saat Yuna menatap dirinya.

 

Yuna langsung menundukkan kepala dan melanjutkan melahap steak di hadapannya.

 

“Kamu mau nikah sama aku?” tanya Yeriko.

 

“Uhuk...! Uhuk…!” seketika Yuna tersedak.

 

“Eh..?” Yeriko panik lalu memberikan air kepada Yuna.

 

“Mmh ... aku ngerasa nggak pantas buat jadi istri kamu. Aku ini nggak tinggi, nggak cantik, nggak punya apa-apa. Aku cuma cewek gelandangan yang nggak punya tempat tinggal. Aku bahkan dibuang gitu aja sama pacarku setelah aku kembali. Dan Ayah ...” Yuna menundukkan kepalanya.

 

“Aku udah tahu semuanya.”

 

Yuna langsung mengangkat wajahnya menatap Yeriko. “Maksudnya?”

 

“Aku udah dapet informasi tentang kamu dalam beberapa tahun belakangan ini.”

 

“Hah!? Dasar cowok nggak punya kerjaan!” seru Yuna kesal.

 

“Sampai kapan kamu mau menghadapi masalah kamu sendiri? Setelah menikah, aku bakal bantu kamu menyelesaikan semuanya sampai tuntas.”

 

“Tapi ...”

 

“Bukannya kamu bilang kalau mau balas budi sama aku karena aku udah nolong kamu?”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Apa harus jadi istri kamu?”

 

Yeriko menganggukkan kepala. “Aku nggak butuh yang lain.”

 

“Kenapa?”

 

Yeriko mengangkat kedua alisnya.

 

“Kenapa harus aku?” tanya Yuna lagi.

 

Yeriko menarik napas dalam-dalam. “Karena kamu udah masuk ke dalam kehidupan aku. Bikin Mama Rully suka sama kamu, Bibi War suka sama kamu, Riyan juga suka sama kamu dan ... rumah itu menyukai kehadiran kamu.”

 

Mata Yuna berbinar menatap Yeriko. Pipinya menghangat hingga tak bisa menyembunyikan rona merah yang muncul dengan sendirinya. Tanpa sadar, ia tersenyum menatap Yeriko.

 

“Aku janji bakal bikin ayah kamu dapet perawatan terbaik dan melindungi kamu. Semua masalah yang kamu hadapi, bakal aku selesain semua masalah kamu dan bikin kamu bahagia. Asal kamu mau jadi istri aku.

 

Yuna berpikir sejenak. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak menyukai Yeriko, tapi juga tidak ingin menolaknya.

 

“Gimana?”

 

“Kasih aku waktu, aku pikir-pikir dulu!” pinta Yuna.

 

“Oke. Lima menit,” sahut Yeriko sambil melirik arloji di tangannya.

 

“Hah!? Kamu gila ya!”

 

Yeriko tersenyum menatap Yuna. “Pikirkan ayah kamu yang lagi butuh pengobatan.”

 

Yuna menggigit bibir bawahnya.

 

“Waktunya habis,” tutur Yeriko. Ia melirik jam tangannya. Baru satu menit ia memberikan kesempatan Yuna untuk berpikir.

 

“Cepet banget!” batin Yuna sambil menatap Yeriko.

 

“Gimana?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Aku nggak dengar apa-apa.”

 

“Aku mau,” ucap Yuna lirih sambil menundukkan kepalanya.

 

“Mau apa?” tanya Yeriko lagi.

 

“Aku mau jadi istri kamu,” jawab Yuna secepat kilat.

 

Yeriko tersenyum. “Nah, gitu dong! Aku cuma butuh perempuan yang nggak nyebelin dan rewel. Jangan bertingkah seperti anak kecil di depanku!”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

Yeriko merogoh ponsel di sakunya dan mengirimkan beberapa pesan untuk Riyan dan dua sahabatnya.

 

Yuna bangkit dari tempat duduk setelah menyelesaikan makannya.

 

“Mau ke mana?”

 

“Aku pamit pulang dulu! Makasih untuk traktirannya. Nanti, aku bakal traktir kamu kalau aku sudah dapet kerjaan dan dapet gaji,” tutur Yuna sambil tersenyum. Ia berbalik dan melangkah pergi.

 

Yeriko langsung menarik lengan Yuna, menahannya agar tidak pergi.

 

“Kenapa?” tanya Yuna sambil menatap tangan Yeriko yang mencengkeram pergelangan tangannya.

 

“Ikut aku!”

 

“Ke mana?”

 

Yeriko tak menjawab. Setelah membayar semua makanannya, ia langsung membawa Yuna masuk kembali ke dalam mobil.

 

Beberapa menit kemudian, Yeriko memarkirkan mobilnya di halaman rumah sakit. Sudah ada Riyan di sana.

 

 “Lutfi sama Chandra udah datang?” tanya Yeriko.

 

“Masih dalam perjalanan, jawab Riyan.

 

“Ini ada apa sih?” tanya Yuna dalam hati. Ia tidak tahu apa yang ingin dilakukan oleh Yeriko. “Bukannya cuma mau jenguk ayah? Kenapa sesibuk ini?”

 

Penghulunya ada kan?” tanya Yeriko.

 

Riyan menganggukkan kepala. “Sudah di perjalanan juga.”

 

“Bagus. Di mana ruangannya?”

 

Riyan bergegas mengajak Yeriko dan Yuna menyusuri koridor rumah sakit dan memasuki salah satu ruang rawat VVIP.

 

Yuna mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruangan dengan ukuran delapan kali delapan meter itu cukup luas dengan fasilitas lengkap dan mewah, juga perawat pribadi yang selalu merawat ayahnya dengan baik.

 

“Ruangannya gede dan nyaman banget. Aku seneng banget ayah bisa dapet perawatan sebagus ini,” tutur Yuna dalam hati sambil menatap wajah Yeriko. “Kenapa dia mau lakuin ini buat kami?” batin Yuna.

 

Yeriko menghampiri Adjie yang terbaring di atas ranjangnya. “Oom ... hari ini saya datang untuk menikahi putri Oom. Saya bersedia menerima dia apa adanya dan membahagiakan dia seumur hidup.”

 

Yuna terkejut mendengar ucapan Yeriko. Tanpa terasa, ia meneteskan air mata. Ia merasa sangat beruntung bisa mengenal Yeriko. Pria yang begitu dewasa, siap melindunginya. “Kenapa kamu lakuin ini buat wanita yang baru kamu kenal beberapa hari yang lalu?” batinnya.

 

“Suster, bantu Pak Adjie duduk di kursi rodanya.”

 

Dua orang perawat yang menjaga menganggukkan kepala dan membantu Pak Adjie turun dari ranjang dan duduk di kursi roda.

 

Yuna menoleh ke arah pintu ruangan yang terbuka. Dua pria tampan masuk ke dalam ruangan.

 

“Hei ...! Kenapa manggil kita ke sini?” tanya Lutfi yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Sementara, Chandra hanya tersenyum kecil di belakangnya.

 

“Aku butuh bantuan kalian,” jawab Yeriko.

 

“Bantuan apa?” tanya Lutfi sambil menatap gadis yang berdiri di belakang Yeriko.

 

Belum sempat menjawab, Riyan masuk ke dalam ruangan bersama seorang ustadz. “Bos, penghulunya sudah datang,” ucapnya sambil menatap Yeriko.

 

“Pak, ini bos saya yang minta Bapak kemari,” tutur Riyan pada ustadz yang berdiri di sebelahnya.

 

Lutfi dan Chandra saling pandang. “KUA!?”

 

Yeriko tersenyum menatap kedua sahabatnya. “Aku minta kalian jadi saksi pernikahan aku hari ini.”

 

Lutfi membelalakkan mata, ia memandang Chandra yang ada di sebelahnya. “Chan, tampar aku!” pintanya.

 

Chandra menaikkan kedua alisnya.

 

“Ini bukan mimpi kan?” tanya Lutfi lagi.

 

“Kayaknya mimpi,” jawab Chandra.

 

PLAK ...!!!

 

“Bukan mimpi!”

 

Chandra menggelengkan kepala.

 

Yeriko dan Yuna menahan tawa melihat sikap Lutfi dan Chandra yang sedang berdebat.

 

“Berkas yang diperlukan sudah disiapkan?” tanya Ustadz yang bersama Riyan.

 

“Sudah, Pak.” Riyan mengajak ustadz tersebut duduk di sofa sambil mengisi berkas yang diperlukan untuk mendaftarkan pernikahan mereka secara resmi ke Pengadilan Agama.

 

Yuna menghampiri Yeriko. “Kamu dapet dokumen pribadi aku dari mana?” bisiknya.

 

Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna.

 

Yuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia melangkah menghampiri lemari kecil yang ada di sisi ranjang pasien. Ia teringat kalau dokumen keluarganya ada bersama ayahnya.

 

“Lumayan pintar,” celetuk Yuna dalam hati.

 

“Nyonya Muda, ini untuk akad nikah,” tutur Riyan sambil menyodorkan selendang putih ke arah Yuna.

 

Yuna tersenyum sambil mengangguk. “Makasih,” tuturnya sambil meraih selendang yang diulurkan oleh Riyan.

 

Riyan tersenyum, ia meminta perawat untuk membawa Adjie ke hadapan meja kecil yang akan digunakan sebagai tempat untuk melakukan akad nikah.

 

Akad nikah pun berjalan dengan lancer. Meskipun kilat, semuanya terlihat Bahagia.

 

“Selamat ya, Yer!” ucap Lutfi begitu proses akad nikah selesai dengan hikmat.

 

Yeriko tersenyum. Ia merasa sangat lega karena akhirnya bisa melewati suasana yang paling menegangkan dalam hidupnya.

 

Lutfi tertawa kecil. Ia menatap Yuna yang berdiri di sebelah Yeriko. “Kakak Ipar, kami pulang dulu! Selamat menikmati malam pengantin baru.”

 

Yuna tersenyum kecil. Pipinya bersemu merah karena malu.

 

Yeriko langsung menyubit lengan Lutfi. “Jangan godain Kakak Iparmu!” dengusnya.

 

“Kami pulang dulu!” pamit Chandra.

 

Yeriko dan Yuna menganggukkan kepala.

 

Lutfi dan Chandra bergegas keluar dari ruang rawat ayah Yuna.

 

Yuna dan Yeriko saling pandang, kemudian sama-sama tersenyum bahagia.

 

Yuna berbalik, ia melangkah mendekati ayahnya yang masih duduk di kursi roda.

 

“Ayah ... sekarang Yuna nggak sendirian. Ada seseorang yang akan mendampingi Yuna dalam suka dan duka. Ayah nggak perlu khawatir. Ayah juga harus sembuh ya!” tutur Yuna sambil menitikan air mata. Ia mencium punggung tangan ayahnya dan langsung memeluk ayahnya dengan erat.

 

Adjie dapat melihat dan mendengar semua hal yang terjadi. Namun, ia tak bisa membalas pelukan hangat putrinya. Ingin sekali, ia bisa menggerakkan tangan dan memeluk puteri kesayangannya itu.

 

Yuna melepas pelukannya perlahan. Ia menatap Yeriko yang berdiri di sebelahnya.

 

Yeriko berlutut di hadapan Adjie. “Ayah ... mulai hari ini, aku adalah anakmu juga. Aku akan selalu mencintai dan melindungi Ayuna. Ayah tidak perlu khawatir. Aku akan memberikan kehidupan yang terbaik untuk kalian.”

 

Yeriko mencium punggung tangan Adjie dan bangkit. “Suster, tolong kembalikan Pak Adjie ke tempat tidurnya!” perintah Yeriko.

 

Dua suster yang ada di ruangan itu mengangguk dan mengikuti perintah dari Yeriko.

 

Yeriko menoleh ke arah Yuna dan mengajak gadis itu keluar dari ruang rawat.

 

Yuna melangkah perlahan menyusuri koridor rumah sakit. “Secepat ini dunia berubah? Beberapa jam yang lalu aku masih lajang. Dan sekarang sudah jadi istri orang lain saat keluar dari pintu rumah sakit ini,” batinnya dalam hati.

 

 

(( Bersambung ... ))


 

 

 

 

 

 

 

 


Bab 10 - Hubungan yang Menjijikkan

 


“Uhuk ... uhuk ...!” Yuna langsung meneguk air putih yang ada di depannya.

 

“Mmh ... apa Tante nggak keberatan kalau perempuan yang disukai Yeri adalah perempuan yang nggak jelas asal-usulnya?”

 

“Yeriko nggak mungkin milih perempuan sembarangan buat jadi pasangan hidupnya. Dia itu selektif banget. Mama pasti setuju siapa aja pilihan dia. Asal dia bahagia, Mama juga ikut bahagia.”

 

Yuna tersenyum menatap Rullyta.

 

“Eits, satu lagi! Jangan panggil Tante!” pintanya. “Call me, Mama Rully!”

 

Yuna tertawa kecil. “Iya, lupa Tante. Eh, maksudnya ... Mama Rully.”

 

Mereka asyik bercengkerama sambil menikmati hidangan bersama.

 

Sementara, Yeriko bersama Riyan di ruang kerja pribadinya.

 

“Data yang aku minta sudah ada?” tanya Yeriko.

 

“Sudah, Bos. Ini!” Riyan langsung menyodorkan sebuah map ke hadapan Yeriko.

 

Yeriko sibuk membuka map itu dan membacanya dengan saksama.

 

“Aku mau mandi dulu. Setelah ini kita ke rumah sakit, ujar Yeriko lalu menutup map itu.

 

“Ngapain Bos? Bos sakit?”

 

Yeriko menghela napas menatap Riyan. “Kita lihat kondisi ayahnya.”

 

“Oh.” Riyan mengangguk-anggukkan kepala.

 

Yeriko bangkit dari kursinya dan melangkah pergi.

 

“Eh, Bos ... semalam gimana?”

 

“Apanya?” Yeriko mengerutkan dahi menatap Riyan.

 

“Itu ...” Riyan mematukkan kedua ujung jari-jemarinya.

 

“Anak kecil mau tau aja!” sahut Yeriko sambil mengetuk kepala Riyan.

 

“Aha ... sukses, Bos!?” ucapnya sambil mengacungkan jempol.

 

Yeriko hanya tersenyum kecil sambil melangkah pergi meninggalkan ruang kerjanya dan bergegas mandi.

 

Riyan ikut tersenyum bahagia. “Akhirnya ... bakal ada nyonya muda di rumah ini. Aku harus deketin nyonya supaya Bos Yeri nggak berani menindas aku,” gumam Riyan. Ia keluar dari ruang kerja Yeriko, menuruni anak tangga dan menghampiri Yuna yang sedang makan bersama dengan Rullyta.

 

“Hei ... Yan, udah makan?”

 

“Sudah, Nyonya.”

 

“Hmm ... Mama nggak suka dipanggil Nyonya. Kamu terlalu sopan. Panggil Mama Rully! Oke!?”

 

Riyan nyengir ke arah Rullyta. Meski Rullyta sudah menganggapnya seperti anak sendiri, namun ia tetap sungkan dengan nyonya besar pemilik rumah ini.

 

Setelah mandi, Yeriko menyesap kopi yang dibuatkan oleh Bibi War. Ia termenung sambil memikirkan ucapan mamanya.

 

“Mama dan kakek sama-sama menyebalkan,” celetuknya sambil memutar-mutar cangkir yang ada di tangannya. “Gadis itu ...” Yeriko tersenyum kecil setiap kali mengingat pertemuannya dengan Yuna. Ia membalikkan tubuhnya saat mendengar langkah kaki yang berisik.

 

“Mau ke mana?” tanya Yeriko.

 

“Mau pulang,” jawab Yuna.

 

“Kamu punya rumah?” tanya Yeriko sambil bangkit dari duduk dan menghampiri Yuna.

 

“Eh!? Apa aku kelihatan kayak gelandangan yang nggak punya rumah?” sahut Yuna kesal.

 

Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna. “Kamu sering keliaran di luar sampai tengah malam. Bahkan sudah nginap di rumah ini sampai dua kali. Aku nggak nemuin alamat rumah di tas kamu. Hp-mu juga nggak pernah bunyi. Apa nggak ada yang nyari keberadaan kamu kalau nggak pulang sama sekali?”

 

“Eh!?” Yuna gelagapan mendengar pertanyaan dari Yeriko. “Kamu ...!? Bongkar-bongkar tas aku!?” seru Yuna.

 

Yeriko tersenyum kecil. “Kamu pikir, aku mau nampung cewek kayak kamu di rumah ini kalo tahu alamat rumah kamu di mana?”

 

Yuna mengerucutkan bibirnya. “Aku emang belum punya tempat tinggal sekarang. Masih numpang di rumah Jheni. Tapi bukan berarti aku ini gelandangan,” tutur Yuna dalam hati.

 

“Kamu bisa tinggal di rumah ini sampai ...” Ucapan Yeriko terhenti saat ponselnya tiba-tiba berdering. Ia langsung meraih ponsel dan mengangkat panggilan telepon dari sahabatnya.

 

“Kenapa? Sekarang? Oke. Kita ketemu di sana.” Yeriko langsung mematikan sambungan telepon.

 

“Mau pergi?” tanya Yuna.

 

“He-em.” Yeriko mengangguk pelan.

 

Yuna tersenyum ke arah Yeriko. “Kalo gitu, aku juga pamit pulang. Makasih sudah nolongin aku. Aku pasti nggak lupa balas budi ke kamu.”

 

Yeriko tersenyum kecil sambil mengedarkan pandangannya. “Riyan ...!” teriaknya.

 

“Kenapa, Bos?”

 

“Ikut aku sekarang!”

 

Riyan menganggukkan kepala. Ia mengeluarkan permainan di ponselnya dan bergegas mengikuti langkah Yeriko.

 

Yuna keluar dari rumah villa milik Yeriko dan langsung menuju rumah sakit tempat ayahnya dirawat.

 

“Aku udah bikin masalah semalam. Nenek sihir itu pasti bakal bikin ayah dalam bahaya.” Yuna mempercepat langkahnya menyusuri koridor rumah sakit.

 

Benar saja, Yuna harus menghadapi situasi seperti kemarin lagi.

 

“Suster, tolong jangan usir ayahku dari sini!” pinta Yuna. Ia tidak tahu lagi harus meminta tolong pada siapa. Tantenya pasti sangat marah karena dia melarikan diri dan tidak mau menyerahkan dirinya pada laki-laki tua pilihan tantenya.

 

“Ayah ...!” Yuna berlari menghampiri tubuh ayahnya yang terbaring di atas ranjang. “Ayah nggak perlu khawatir, Yuna bakal kasih perawatan terbaik buat ayah. Rumah sakit ini payah!” tutur Yuna sambil menangis. Ia mencoba menghibur diri sendiri dan orang yang paling ia sayangi di dunia ini.

 

“Hari ini cerah banget! Sangat menyenangkan bisa lihat anak yang nggak tahu diri ini dalam kesulitan.”

 

Yuna memejamkan mata, menahan sakit dan emosi yang hampir meletus dari dadanya saat mendengar suara Bellina di belakangnya.

 

“Kasihan banget, sih. Udah nggak punya apa-apa. Bahkan ayahnya yang lagi lumpuh aja dikorbankan karena keegoisanmu. Kalo kamu nurut sama Mama. Semua ini nggak bakal terjadi. Ayah kamu tetap bisa dapet perawatan dengan baik.”

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. Ia mengunci mulutnya rapat-rapat untuk menghindari perdebatan dengan Bellina.

 

“Kenapa? Kamu masih ngarepin Lian? Jangan harap bisa ngerebut Lian dari tanganku!” bisik Bellina.

 

“Pergi dari sini!” pinta Yuna.

 

“Kamu ngusir aku?”

 

“Aku bilang, PERGI DARI SINI!” teriak Yuna.

 

“Aku nggak akan pergi,” sahut Bellina sambil tersenyum sinis.

 

“Kamu nggak perlu pamer hubunganmu ke aku! Makin pamer, kamu makin menjijikkan! Pelacur nggak laku!”

 

“Apa kamu bilang!?” Bellina melotot menatap Yuna.

 

“Pelacur nggak laku!” sahut Yuna sambil membulatkan matanya ke arah Bellina.

 

“Kamu ...!? Berani-beraninya ...!” Bellina mengangkat telapak tangannya dan bersiap menampar Yuna.

 

Dengan cepat, Yuna menangkap pergelangan tangan Bellina. “Aku nggak akan ngebiarin kamu menindas aku terus-terusan. Kamu pikir, aku nggak bisa apa-apa, hah!?”

 

Bellina menatap kesal ke arah Yuna. Pandangannya kemudian tertuju pada pintu di belakang Yuna yang tiba-tiba terbuka. Ia pura-pura menjatuhkan dirinya ke lantai dan menangis.

 

Yuna mengerutkan kening melihat Bellina yang tiba-tiba tersungkur di hadapannya.

 

“Kamu nggak papa?” tanya Lian yang tiba-tiba muncul dan langsung mengangkat tubuh Bellina.

 

Dia marah-marah dan dorong aku. Padahal, aku ke sini bermaksud baik, pengen jengukin ayahnya yang lagi sakit. Aku nggak nyangka kalau Yuna memperlakukan aku seperti ini,” tutur Bellina sambil menangis.

 

Yuna mengerutkan kening menatap Bellina. “Heh!? Kamu jangan pura-pura baik di depan Lian , ya!” ancamnya.

 

“Sayang, kamu lihat sendiri kan. Dia kasar banget sama aku,” tutur Bellina sambil menatap Lian yang merangkul tubuhnya.

 

“Sumpah ya, kamu pinter banget akting. Jelas-jelas kamu yang jatuhin diri kamu sendiri!”

 

“Hiks ... hiks ... aku tahu kamu masih nggak rela kalau aku sama Lian. Tapi jangan fitnah aku kayak gini, Yun. Aku minta maaf sama kamu ... aku sama sekali nggak bermaksud ngerebut Lian dari kamu. Kami saling mencintai, tolong kamu restui hubungan kami!” Bellina meraih lengan Yuna perlahan.

 

Yuna langsung menepis tangan Bellina dengan kasar.

 

“Yun, dia itu bermaksud baik sama kamu! Udah minta maaf sama kamu. Aku nggak habis pikir, kenapa kamu bisa sejahat ini jadi cewek? Bener-bener nggak punya perasaan!” maki Lian sambil menatap Yuna.

 

“Apa kamu bilang? Jelas-jelas dia yang jahat dan licik. Kamu aja yang buta!”

 

“Aku nggak akan tertipu sama wajah cantik kamu itu. Hatimu nggak sebagus wajahmu.”

 

“Heh!? Kamu kira perek di sebelahmu ini cewek baik-baik, hah!?” seru Yuna.

 

“Jangan pernah ngatain Bellina di depan aku atau aku bakal bikin kamu nggak bisa ngomong selamanya!” ancam Lian.

 

“Coba aja! Aku nggak takut!”

 

Lian makin naik pitam. Ia mengangkat telapak tangannya dan bersiap menampar Yuna.

 

“Tampar aja! Tampar!” seru Yuna sambil menyodorkan pipinya ke arah Lian.

 

Tangan Lian bergetar saat menatap mata Yuna. Bayangan masa lalunya bersama Yuna berkelebat di pelupuk mata dan membuatnya tak berdaya. Senyum, canda tawa dan masalah yang pernah mereka hadapi bersama.

 

“Kenapa? Nggak berani!?” tanya Yuna sambil menatap Lian.

 

Lian melipat jari-jemari dan menurunkan tangannya. Ia menarik lengan Bellina perlahan. “Kita pergi dari sini!” pintanya. “Nggak ada gunanya ngeladenin dia.” Ia bergegas membawa Bellina keluar dari ruangan.

 

Yuna menarik napas sambil memejamkan mata agar air matanya tidak terjatuh. Ia menghampiri ayahnya yang duduk di kursi roda tanpa bisa bergerak sedikit pun.

 

Yuna menatap mata sambil mengusap pipi ayahnya. “Ayah, semua akan baik-baik aja!” tuturnya sambil tersenyum. “Yuna bakal bawa ayah pergi ke rumah sakit yang lebih baik. Ayah harus sembuh,” tuturnya. Ia meraih kedua telapak tangan ayahnya. Menggenggamnya erat dan mencium punggung tangan ayahnya.

 

Yuna bangkit, perlahan ia mendorong kursi roda ayahnya, menyusuri koridor rumah sakit. Air matanya menetes, ia tak berdaya melakukan apa pun. Ia tidak tahu harus membawa ayah ke mana.

 

“Yun, kamu kenapa?” tanya Yeriko yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

 

Yuna menghentikan langkahnya. Ia menengadahkan kepala menatap Yeriko. Ia tersenyum sambil mengusap air matanya. “Nggak papa.”

 

“Ini ... ayah kamu?” tanya Yeriko sambil menatap Adjie yang duduk di kursi roda.

 

Adjie hanya bisa membuka matanya. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya dan terus terbaring di ranjang rumah sakit. Kini, ia lumpuh setelah kecelakaan yang merenggut nyawa istrinya sebelas tahun lalu..

 

“Yan, tolong kamu urus masalah ini!” pinta Yeriko sambil menoleh ke arah Riyan.

 

“Siap, Bos!”

 

 

(( Bersambung ... ))

Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

Bab 9 - Kepergok Tidur Bareng

 


“Bos, mau dibantu?” tanya Riyan saat ia sudah selesai memarkirkan mobilnya di halaman villa milik Yeriko.

 

“Kamu langsung pulang aja!” perintah Yeriko sambil merangkulkan lengan Yuna ke pundaknya.

 

Riyan tertawa kecil. “Siap, Bos!”

 

Yeriko menggendong Yuna naik ke kamarnya. Ia langsung meletakkan tubuh Yuna perlahan ke atas kasur.

 

Ia baru melangkah, namun Yuna mencengkeram lengannya.

 

“Belum sembuh juga?” Yeriko mengernyitkan dahi menatap Yuna.

 

Yuna merangkul leher Yeriko, menarik cowok itu ke dalam pelukannya. Perlahan, Yuna menempelkan bibirnya ke bibir Yeriko.

 

Yeriko tak bisa menolak ciuman Yuna yang penuh gairah. Mereka terus berguling di atas kasur seirama dengan sentuhan lembut di bibir mereka.

 

Yuna semakin liar menguasai Yeriko. Ia melepas jas Yeriko yang masih tersemat di tubuhnya.

 

Yeriko bisa melihat dengan leluasa dada Yuna yang mulus.

 

Yuna melepas gaun dan bra miliknya. Ia duduk di atas tubuh Yeriko. Tangannya mulai bertingkah dan melepas kancing kemeja Yeriko satu per satu.

 

Yeriko menahan lengan Yuna. “Yun, stop!” serunya. “Aku ini laki-laki normal. Sekalipun aku bernafsu, aku nggak akan melakukannya tanpa cinta.”

 

Yeriko makin kesal. Ia menggendong tubuh Yuna dan memasukkannya ke dalam bath tube lalu mengisinya dengan air hangat.

 

Yeriko duduk di sisi bath tube saat melihat Yuna mulai tenang.

 

“Bagus. Lebih baik kamu tidur di sini semalaman dan jangan ganggu tidurku!” Yeriko bangkit dan bergegas keluar dari kamar mandi.

 

Yeriko melepas kemejanya. Berganti pakaian dan pergi tidur.

 

Beberapa menit di atas kasur. Ia tetap tak bisa memejamkan mata. Ia menoleh ke arah pintu kamar mandi yang terbuka.

 

Tapi, dia bisa mati kedinginan kalau berendam sampai pagi.”

 

“Huft ... perempuan ini bener-bener merepotkan!” Yeriko turun dari ranjang. Ia masuk ke kamar mandi, menatap Yuna yang sudah tertidur di dalam bath tube.

 

Yeriko tak tahan lagi. Ia membuka pembuangan air dan mengangkat tubuh Yuna dari dalam bath tube. Yeriko menggendong Yuna keluar dari kamar mandi. Meletakkan Yuna ke atas kasur dan menutupinya dengan selimut.

 

Keesokan harinya ...

 

Matahari sudah meninggi. Namun Yuna dan Yeriko masih terlelap di dalam kamar.

 

Yuna memijat kepalanya saat mendengar suara nyanyian burung dan kokok ayam. Ia juga mendengar suara manusia yang berkegiatan dengan benda-benda di sekitarnya.

 

Perlahan, Yuna membuka mata.

 

“Aargh ...! Kenapa aku bisa di sini? Baju aku mana?” teriak Yuna saat mendapati Yeriko sudah tidur di sebelahnya. Ia langsung bangkit dari tempat tidur sambil menutupi tubuhnya dengan selimut.

 

Yeriko langsung membuka mata dan duduk sambil menatap Yuna.

 

“Eh, kamu nggak ingat apa yang sudah kamu lakuin semalaman?”

 

Yuna mengerutkan hidungnya menatap Yeriko.  “Bilang sama aku, kita ngapain aja semalam?” seru Yuna.

 

“Tidur,” jawab Yeriko santai tanpa membuka mata.

 

“Beneran cuma tidur? Kenapa kamu lepasin semua bajuku? Kamu sengaja mau manfaatin aku dan ngambil keuntungan dari aku, hah!?”

 

Yeriko menganggukkan kepala. “Tubuh kamu sama sekali nggak menarik.”

 

“Berarti ... aku masih perawan?”

 

Yeriko mengangguk.

 

Yuna turun dari ranjang lalu mengambil bra dan gaunnya yang tergeletak di lantai.

 

“Huft ... ini udah nggak bisa dipake,” gumamnya sambil mengangkat gaun yang sudah robek parah. Ia memakai bra miliknya, melirik lemari pakaian Yeriko yang ukurannya empat kali dari lemari pakaian miliknya.

 

Yuna langsung berlari dan membuka lemari Yeriko. Ia mengambil kaos putih lengan pendek dan celana pendek milik Yeriko.

 

Yeriko tertawa kecil melihat Yuna yang memakai pakaiannya. Tubuhnya yang mungil, tenggelam dalam baju milik Yeriko.

 

“Kenapa ketawa? Ada yang lucu?”

 

Yeriko menggelengkan kepala dan turun dari ranjang. Ia bergegas ke kamar mandi untuk mencuci wajah dan menggosok giginya.

 

“Ini sudah jam sepuluh pagi, kenapa kamu masih di rumah? Kamu bener-bener pengangguran ya?”

 

Yeriko membersihkan mulutnya dan keluar dari kamar mandi kemudian mengikuti langkah Yeriko keluar dari kamar.

 

“Beneran kan kita semalam nggak ngapa-ngapain?” tanya Yuna sambil menaiki anak tangga.

 

“Kamu pikir aja sendiri, semalam kamu ngapain aja?”

 

Yuna mengetuk kepalanya. “Aku bener-bener minta maaf. Aku tahu semalam udah kelewatan. Aku nggak tahu kalau nenek sihir itu udah ngejebak aku dan mau jual aku sama bajingan tua itu.”

 

Yeriko menghentikan langkahnya.

 

“Kenapa?” tanya Yuna. Ia berdiri satu tangga di bawah Yeriko sambil menatap cowok bertubuh tinggi di hadapannya itu.

 

Yeriko bergeming. Tatapan tertuju pada sosok wanita yang duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu tersenyum menatap Yeriko dan Yuna.

 

“Kenapa?” tanya Yuna sambil memutar tubuhnya dan mendapati wanita cantik yang duduk di sofa.

 

“Dia siapa?” bisik Yuna.

 

“Mamaku,” jawab Yeriko sambil menggenggam kedua pundak Yuna dan mengajak gadis itu turun menemui mamanya.

 

“Aku harus bilang apa?” bisik Yuna. Wajahnya merona dan tangannya gemetaran. Ia takut mendapat makian dari mama Yeriko. Seorang gadis, tidak seharusnya menginap di rumah laki-laki yang baru dikenalnya.

 

Rullyta menahan tawa melihat tubuh Yuna yang mungil mengenakan baju pria yang kebesaran. Tubuhnya hampir tenggelam ditelan oleh baju anaknya yang bertubuh tinggi.

 

Yuna tersenyum sambil menghampiri Rullyta, mama Yeriko. “Pagi, Tante ...!” sapa Yuna canggung.

 

“Pagi ...!” balas Rullyta sambil tersenyum ke arah Yuna. Kemudian ia menatap puteranya yang berdiri di sebelah Yuna.

 

“Selama ini kamu nggak mau dijodohkan karena udah punya pilihan sendiri? Kenapa nggak bilang ke Mama kalau sudah punya pacar? Kalo tahu, Mama nggak perlu repot-repot mikirin jodoh buat anak Mama lagi.”

 

“Eh!? Kami nggak pacaran, Tante,” sergah Yuna.

 

Rullyta tersenyum sambil menyentuh lembut pundak Yuna. “Nggak usah sungkan sama Tante! Kalau bukan pacar, Yeri nggak mungkin bawa kamu nginap di rumah ini kan? Oh ya, nama kamu siapa?”

 

Yuna tersenyum kecut menatap Rullyta. “Fristi Ayuna Linandar. Panggil Yuna aja, Tante.”

 

“Oh ... nama yang cantik, kayak orangnya,” puji Rullyta sambil menyolek dagu Yuna.

 

Yuna tersenyum manis sambil mengangguk hormat.

 

“Aku mamanya Yeri. Panggil aja Mama Rully!”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Baik, Tante.”

 

Rullyta mengerutkan keningnya. “Tante!?”

 

“Eh, oh, eh ... Baik, Mama Rully.” Yuna meralat ucapannya dan tersenyum manis.

 

“Ma, jangan bikin dia malu kayak gini!” pinta Yeriko. “Kami nggak ada hubungan apa pun.”

 

“Kamu pikir Mama akan percaya gitu aja!?” sahut Rullyta.

 

“Kami memang nggak punya hubungan apa-apa. Cuma temen!” sahut Yeriko.

 

“Temen? Seumur hidup, kamu nggak pernah bawa temen perempuan ke dalam rumah.”

 

“Nggak ada gunanya kami terus mengelak. Biar gimana pun, Mama udah tahu kalau kami keluar dari kamar yang sama,” batin Yeriko.

 

Yeriko tersenyum menatap Rullyta. Ia merangkul pundak Yuna. “Gimana? Mama suka?”

 

Rullyta menganggukkan kepala sambil tersenyum. “Suka. Cantik dan manis,” jawabnya sambil menatap Yuna.

 

Yeriko tersenyum. “Kalo gitu, kami naik dulu!” pamitnya.

 

“Eh!?” Yuna menengadahkan kepala menatap Yeriko.

 

“Kamu mau tinggalin Mama sendirian? Mama masih mau ngobrol sama Yuna,” tutur Rullyta. Ia meraih lengan Yuna. “Kamu tahu, Yeriko nggak pernah mau pacaran selama ini. Katanya, wanita itu merepotkan. Dia belum tahu rasanya jatuh cinta dan dicintai sama wanita. Kamu pasti bisa bikin dia sayang banget sama kamu.”

 

“Ma ...!” sergah Yeriko. Ia tidak suka jika mamanya banyak membicarakan tentang dirinya.

 

Rullyta tersenyum ke arah Yeriko.

 

Yeriko membalas senyuman mamanya dan merangkul Yuna menaiki anak tangga.

 

Yuna terus menoleh ke arah Rullyta. Ia merasa bersalah karena meninggalkan orang tua Yeriko begitu saja.

 

“Heh!? Mama belum selesai ngomong!” seru Rullyta.

 

“Kami belum mandi. Kami mandi dulu. Lanjutin nanti di meja makan!” balas Yeriko tanpa menoleh.

 

Rullyta menghela napas. Ia tersenyum lega karena akhirnya putera kesayangannya itu sudah memiliki pacar. I harap, Yeriko bisa menikahi Yuna secepatnya.

 

“Nggak enak sama mama kamu kalo ditinggal gitu aja,” bisik Yuna.

 

“Udah. Nggak usah banyak cerita! Mending kamu mandi dulu sana!” perintah Yeriko saat mereka sudah ada di depan pintu kamar.

 

“Tapi ...”

 

Yeriko menaikkan kedua alis menatap Yuna. “Kenapa?”

 

“Aku nggak punya baju ganti.”

 

“Aku udah suruh orang buat nyiapin baju buat kamu.”

 

“Siapa?”

 

“Nggak usah banyak nanya! Buruan mandi!” Yeriko mendorong Yuna masuk ke dalam kamar. Ia berbalik dan melangkah pergi.

 

Sementara Yuna bergegas mandi. Usai mandi, Yuna menemukan satu set pakaian, lengkap dengan pakaian dalam yang sudah tergeletak di atas ranjang.

 

“Wah ... bagus banget! Kainnya juga bagus. Kayaknya ini mahal, deh.” Yuna langsung mengenakan pakaiannya dengan gembira.

 

“Kelihatannya sih dingin banget. Tapi, seleranya cukup bagus,” tutur Yuna sambil menatap tubuhnya di depan cermin.

 

Yuna bergegas turun dan menemui Rullyta yang menunggunya di meja makan.

 

“Udah selesai mandinya?” tanya Rullyta.

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia mulai canggung karena tak ada Yeriko di meja makan.

 

“Ayo, makan!” ajak Rullyta.

 

“Mmh ... Yeri ke mana?”

 

“Udah, nggak usah hirauin si Yeriko. Tadi Riyan datang, kayaknya dia sibuk di ruang kerjanya.”

 

“Kalo nggak ada dia, kita bisa leluasa cerita,” tutur Rullyta pelan.

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Rullyta. Ia mulai nyaman karena Rullyta sangat ramah terhadapnya.

 

“Ceritain ke Mama, dong! Gimana si Yeri yang dingin itu bisa jatuh cinta sama kamu?”

 

(( Bersambung ... ))



 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas