Thursday, January 23, 2025

Bab 8 - My Hero is My Passion

 


Yuna memejamkan mata, terbayang semua penderitaan yang telah ia alami. Ibu dan ayahnya yang kecelakaan sebelas tahun lalu. Wajah Lian yang mengkhianatinya. Ayah yang masih terbaring tak berdaya di rumah sakit.

 

“Nggak! Aku nggak boleh nyerah gitu aja! Aku nggak akan menghabiskan sisa hidupku sama tua bangka ini!” Yuna langsung membuka mata.

 

Lukman tersenyum penuh gairah menatap Yuna.

 

Tanpa pikir panjang, Yuna langsung mencakar Lukman dengan kuku-kuku panjangnya.

 

“Aargh ...!” Lukman mengerang, menahan rasa sakit di lehernya.

 

Yuna langsung mendorong tubuh Lukman dan melompat dari atas ranjang tidur.

 

“Kurang ajar! Dasar perempuan sundel!” seru Lukman sambil mengejar Yuna.

 

Yuna terus memberontak. “Aku nggak akan nyerah gitu aja, Bajingan Tua!” teriaknya.

 

Lukman makin naik pitam. Ia langsung menampar pipi Yuna.

 

Yuna terdiam saat tamparan keras menghantam wajahnya. Ia hanya bisa merintih kesakitan.

 

Lukman tergelak melihat Yuna yang bergeming bersandar di dinding. “Akhirnya kamu nyerah juga, hah!? Ia menekan tubuh Yuna dan menanggalkan jas milik Yuna.

 

Yuna menundukkan kepala. Tangannya berusaha meraih botok anggur saat Lukman mengendus bahunya.

 

BUG ...!

 

Yuna mengayunkan botol anggur sekuat tenaga ke kepala Lukman.

 

Lukman langsung tersungkur di lantai.

 

Yuna segera berlari keluar dari kamar untuk menyelamatkan diri. Ia tak lagi peduli dengan sesuatu yang akan terjadi besok.

 

BRUG ...!” Yuna menabrak seorang pria bertubuh tinggi saat ia berhasil keluar dari kamar hotel.

 

“Kamu ...?” Yuna mengerutkan dahi menatap wajah pria itu.

 

“Pak Yeri, tolong aku!” Yuna menarik lengan Yeriko. Tubuhnya gemetar dan matanya basah.

 

“Pak? Emangnya aku kelihatan udah tua banget?” sahut Yeri.

 

“Ya, terserah aja. Aku butuh bantuan kamu. Please!” Yuna memohon.

 

Yeriko mengerutkan kening menatap mata Yuna yang sayu.

 

“Please! Save me!” bisik Yuna sambil menengadahkan kepala menatap Yeriko. Ia memijat kepalanya terasa berdenyut.

 

“Kamu nggak lagi akting kan?” tanya Yeriko sambil menatap lengan Yuna yang sudah bersandar di dadanya.

 

Yuna menggeleng pelan. “Bajingan tua itu ngasih obat di minuman aku.” Suara Yuna hampir tak terdengar.

 

Yeriko mengangkat kedua alisnya. Ia langsung merangkul Yuna dan memapah gadis itu perlahan.

 

“Berhenti!” teriak Direktur Lukman.

 

Yeriko menghentikan langkahnya dan berbalik menatap lelaki tua yang mengenakan kemeja tanpa dikancing.

 

“Jangan berani ikut campur urusanku! Serahin gadis itu!” pinta Direktur Lukman.

 

Yeriko menatap dingin ke arah Lukman tanpa mengatakan apa pun.

 

Yuna semakin gemetar. Gigi-giginya saling bertautan. Ia bersembunyi di balik tubuh Yeriko.

 

“Dia milikku!” sahut Yeriko.

 

“Nggak mungkin! Aku sudah beli dia dengan harga mahal untuk malam ini. Dasar perempuan jalang! Kamu bakal ngerasain akibatnya kalau berani ngelawan aku!” seru Lukman.

 

Yuna menggelengkan kepala. Dari sudut matanya, keluar tetesan air mata penderitaan.

 

“Aku nggak terima uang dari kamu sepeser pun. Harusnya kamu tiduri nenek sihir itu! Dia yang udah ambil uang dari kamu!” seru Yuna.

 

“Kamu ...!?” Lukman menunjuk tubuh Yuna. Ia makin naik pitam mendengar ucapan Yuna. “Berani-beraninya kamu ngelawan aku!” Ia berusaha menerobos tubuh Yeriko dan menarik lengan Yuna.

 

“Lepasin!” teriak Yuna yang masih setengah sadar.

 

Yeriko mencengkeram lengan Lukman. “Jangan sentuh dia sedikit pun!” Ia langsung memutar lengan Lukman dan menendang perut laki-laki tua itu.

 

Lukman tersungkur di lantai. “Bedebah kalian! Aku pasti balas apa yang kalian lakukan hari ini! Dan kamu ...!” Lukman menunjuk Yuna. “Aku nggak akan ngelepasin kamu! Kamu bakal tahu akibatnya!” ancamnya.

 

Yeriko tersenyum sinis menatap Lukman. “Kita lihat, siapa yang akan berlutut dengan siapa!?”

 

“Pak ...!” Angga, Manager Hotel langsung menghampiri Yeriko. Ia berbisik ke telinga Yeriko.

 

“Bawa pergi dari sini. Jangan biarkan dia masuk ke hotel ini lagi!”

 

Angga menganggukkan kepala. Ia memerintahkan anak buahnya untuk mengusir Direktur Lukman.

 

“Aku pasti balas apa yang sudah kalian lakukan hari ini!” teriak Lukman. Lukman semakin kesal karena diperlakukan sangat rendah oleh Yeriko. Bahkan, pemuda itu mampu mengusirnya keluar dari hotel.

 

Yeriko tersenyum kecil menatap kepergian Lukman yang digandeng oleh dua satpam hotel. Ia berbalik dan menatap Yuna.

 

“Kamu baik-baik aja?” tanya Yeriko sambil menyentuh pundak Yuna.

 

Yuna menepiskan tangan Yeriko. Perasaannya semakin tak karuan. Ia menyandarkan tubuhnya sejenak di dinding. Kemudian berjalan merayap agar tubuhnya tidak terjatuh. Kepalanya semakin pusing dan tubuhnya semakin panas.

 

Yeriko mengikuti langkah Yuna dari belakang. Tangannya siap siaga menangkap tubuh Yuna yang terhuyung.

 

Yuna menghentikan langkahnya.  Ia menoleh ke arah Yeriko yang berdiri di sebelahnya.

 

“Aku antar kamu pulang. Rumah kamu di mana?” tanya Yeriko.

 

Yuna tersenyum menatap Yeriko. “Bawa aku!” pintanya dengan tatapan sayu.

 

Yunq merasa tubuhnya semakin panas. “Aargh ...!” teriak Yuna sambil merobek pakaiannya sendiri.

 

Yeriko membelalakkan matanya saat melihat Yuna yang tiba-tiba merobek pakaiannya sendiri. “Obatnya mulai bereaksi?” gumamnya.

 

Yeriko melepas jasnya dan menutup tubuh Yuna.

 

Yuna langsung menjatuhkan jas Yeriko. “Panas!” Ia mendorong tubuh Yeriko sampai bersandar ke dinding.

 

Yeriko menelan ludah saat Yuna menatapnya begitu dekat.

 

“Kamu ganteng banget!” tutur Yuna sambil menangkup wajah Yeriko. “Mau nemenin aku malam ini?” Yuna mengendus leher Yeriko.

 

Yeriko langsung menahan pundak Yuna dan menjauhkan tubuhnya. Ia balik menekan tubuh Yuna ke dinding. “Jangan banyak tingkah!” serunya.

 

Yeriko menundukkan tubuhnya untuk mengambil jas yang dijatuhkan oleh Yuna.

 

Yuna terus bertingkah dan sangat agresif.

 

Yeriko berusaha keras memakaikan jasnya ke tubuh Yuna.

 

“Panas!” teriak Yuna berusaha menarik jas dari tubuhnya.

 

“Kamu mau telanjang di depaj semua orang!?” seru Yeriko kesal.

 

Yuna tersenyum kecil. Tangannya langsung menarik tengkuk Yeriko dan menciumnya.

 

“Kamu gila ya!” seru Yeriko sambil mendorong tubuh Yuna. Ia menghela napas sejenak. “Nggak ada gunanya berdebat sama cewek yang lagi dikendalikan sama obat,” celetuknya kesal.

 

“Mmh ...!” Yuna terus menarik tubuh Yeriko dan bergelayut manja.

 

“Huft ... orang itu ngasih kamu obat apa sih? Kenapa sampe seagresif ini?”

 

“Hah!?” Yuna tidak bisa mendengar dengan baik ucapan Yeriko. “Kamu mau nemenin aku kan?” tanyanya sambil menarik dasi Yeriko dan menciumnya lagi.

 

Yeriko menarik napas dalam-dalam. Ia laki-laki normal, hanya saja berusaha menahan diri untuk tidak memanfaatkan Yuna. “Kalau dia kayak gini terus, apa aku bisa tahan?” batinnya.

 

“Heh!? Kenapa diem aja? Apa aku nggak menarik?” tanya Yuna. Ia berusaha melepas kancing jasnya.

 

Yeriko menggelengkan kepala. Ia langsung memeluk tubuh Yuna agar tidak semakin bertingkah.

 

Yuna tersenyum sambil meniup telinga Yeriko.

 

Yeriko terdiam saat Yuna meniup telinganya beberapa kali. Angin kecil yang berhembus di telinganya langsung merasuk ke dalam jantungnya. Mengalir ke seluruh darahnya dan membuat Yeriko tak bisa menahan diri. Ia langsung melumat bibir Yuna yang basah.

 

Yuna begitu bergairah karena pengaruh obat.

 

Yeriko tersadar dan menghentikan ciumannya. Ia langsung memeluk Yuna dan membawanya turun.

 

Yeriko merogoh ponsel dan langsung menelepon asistennya. “Yan, kita pulang sekarang! Aku tunggu di lobi.”

 

“Siap, Bos!”

 

Yeriko langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia masuk ke dalam lift, membawa Yuna turun ke lobi hotel.

 

“Bos, ada apa ini? Dia kenapa lagi?” tanya Riyan sambil menatap Yuna yang sudah mengenakan jas milik bosnya itu.

 

“Kita pulang sekarang!” sahut Yeriko.

 

Riyan menganggukkan kepala. Ia meraih lengan Yuna untuk membantu memapah gadis itu.

 

Yeriko membelalakkan matanya dan langsung menepis lengan Riyan. “Siapa yang suruh kamu sentuh dia!?” sentaknya.

 

“Eh!?” Riyan melongo. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Biasanya Bos nggak mau ngurusin perempuan dan nyerahin ke aku? Kenapa hari ini?” gumam Riyan dalam hati. Ia tersenyum senang melihat bosnya yang memperlakukan Yuna secara spesial.

 

Riyan bergegas keluar dari lobi dan membukakan pintu mobil untuk atasannya.

 

Yeriko langsung membawa Yuna masuk ke dalam mobil.

 

“Cepet jalannya!” pinta Yeriko.

 

Riyan menganggukkan kepala. Ia bergegas melajukan mobilnya.

 

Yeriko memeluk tubuh Yuna sangat erat agar tidak bertingkah lagi di dalam mobil.

 

“Kenapa panas banget?” gumam Yuna sambil melepas kancing jasnya.

 

Yeriko menahan tangan Yuna dan memperbaiki kancing jas yang sudah terlepas. Membuatnya bisa melihat dada Yuna yang indah.

 

“Yan, full-in AC-nya!” seru Yeriko.

 

Riyan langsung mengerjakan yanh diperintahkan bosnya tanpa banyak bertanya.

 

Yuna mendorong tubuh Yeriko ke sudut mobil dan menaiki tubuh Yeriko.

 

Riyan melirik dua orang di belakangnya melalui spion sambil menahan tawa.

 

“Aargh ...!” Yeriko berusaha menyingkirkan Yuna dari tubuhnya.

 

Yuna terhuyung. Ia menarik dasi Yeriko. Mereka berciuman tanpa sengaja. Namun, birahi yang sedang menguasai Yuna membuatnya mencium Yeriko dengan liar.

 

Yeriko tak bisa menahan diri. Ia menggenggam tangan Yuna agar tak semakin bertingkah. Kemudian, balas melumat bibir Yuna selama beberapa menit sampai gadis itu bisa merasakan kepuasan dan berhenti bertingkah agresif.

 

 

 

(( Bersambung ... ))

Terima kasih sudah menjadi sahabat bercerita. Jangan lupa ajak author berinteraksi lewat kolom komentar supaya author nggak merasa kesepian terus. Meski jarang dibalas, tapi selalu dibaca dan  jadi moodbooster buat author, loh.

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

Bab 7 - Si Tua Cabul

 


Yuna menatap tubuhnya di cermin. Tante Melan memaksanya memakai gaun yang menyedihkan. Gaun putih transparan dan seksi itu terpaksa ia kenakan karena keinginan Melan. Melan telah mempersiapkan gaun khusus untuk Yuna.

 

“Yun, kamu yakin?” tanya Jheni sambil menggenggam pundak Yuna.

 

“Aku nggak punya pilihan lain,” jawab Yuna.

 

Jheni tersenyum. “Jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa, kamu harus kabari aku secepatnya!”

 

Yuna mengangguk. Ia meraih tas tangan berwarna cokelat susu yang senada dengan warna sepatunya dan bergegas menuju Shangri-La Hotel.

 

 Langkah Yuna begitu berat saat melihat tulisan ‘Jamoo’ di hadapannya. Kakinya seperti dirantai dengan beban puluhan kilogram. Ia tak ingin melangkah masuk ke tempat itu. Tapi, wajah ayahnya yang terbaring di rumah sakit membuatnya harus menemui laki-laki tua yang tak ingin ia temui.

 

Yuna melangkah perlahan memasuki ruang restoran. Ia langsung menghampiri Melan yang sudah menunggunya bersama laki-laki setengah baya.

 

“Halo ... Sayang! Akhirnya kamu datang juga,” tutur Melan. Ia menyambut Yuna dengan hangat. Mencium kedua pipi Yuna dan tersenyum manis.

 

Yuna tersenyum kecut menanggapi sapaan Melan.

 

“Oh ya, ini Direktur Lukman yang Tante ceritain ke kamu.”

 

Lukman menatap Yuna tanpa berkedip. “Sangat manis dan menggoda,” bisiknya dalam hati.

 

Yuna tersenyum sambil mengangguk sopan ke arah Lukman. “Ini sih lebih cocok jadi ayahku,” batin Yuna. Ia tetap mencoba terus tersenyum untuk menutupi rasa kesalnya.

 

Lukman bangkit dan menghampiri Yuna. “Halo ... cantik!” sapa Lukman sambil menyolek dagu Yuna.

 

Yuna langsung menepis tangan Lukman dengan kasar.

 

Lukman tersenyum kecil. “Kamu tahu kenapa kamu ada di sini? Tetap jadi gadis yang manis dan penurut atau kamu akan ada dalam masalah?” bisik Lukman sambil menyentuh kedua pundak Yuna.

 

Yuna merasa tangan Lukman sangat menjijikkan ketika menyentuh pundaknya yang terbuka. Ia berusaha menahan diri, memilih tersenyum manis dan menyingkirkan tangan Lukman dari pundaknya dengan lembut.

 

Yuna langsung duduk di kursi dan memilih menu makanan mahal dalam jumlah banyak.

 

“Yun, kamu bisa jaga sikap kamu?” bisik Melan di telinga Yuna. “Kamu pesen makanan banyak banget. Apa kamu nggak bisa nggak bikin ulah?”

 

Yuna tidak menyahut ucapan tantenya.

 

“Ingat Ayah kamu! Kalau sampai rencana pernikahan ini gagal, kamu tahu akibatnya,” bisik Melan di telinga Yuna.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari terburuk dalam hidupnya.

 

Lukman tersenyum menatap Yuna. Ia sangat senang dengan Yuna yang sangat cantik dan menggoda. Tubuhnya yang mulus, menciptakan khayalan nakal di pikiran Lukman. Keinginan untuk menguasai gadis itu semakin besar.

 

“Kalian mau jus jeruk?” tanya Lukman.

 

“Tentu kami nggak akan menolak pemberian dari Direktur Lukman,” jawab Melan sambil tersenyum.

 

Yuna ikut tersenyum kecil menatap Melan yang bersikap sangat manis. “Sumpah ya, ini nenek sihir bener-bener menjijikkan!” umpat Yuna dalam hati.

 

Lukman bangkit dan mengambil beberapa gelas jus jeruk. Ia menambahkan cairan yang mengandung zat aktif protodiocsin ke dalam jus jeruk milik Yuna.

 

Lukman tersenyum manis sambil menyuguhkan jus jeruk di hadapan Yuna.

 

Yuna membalas senyuman Lukman. Ia menatap jus jeruk di hadapannya dan melanjutkan makannya kembali.

 

Yuna memilih meneguk bir yang ada di hadapannya. “Minum sedikit aja nggak bakal bikin aku mabuk,” tuturnya dalam hati.

 

Lukman terus menatap Yuna yang sedang makan. Ia sangat berharap kalau Yuna segera meminum jus jeruk yang ia hidangkan.

 

“Oh ya, kapan pernikahan bisa segera dilangsungkan?” tanya Lukman sambil menatap Melan.

 

“Secepatnya, lebih cepat lebih baik,” jawab Melan.

 

“Gimana kalau besok?” tanya Lukman sambil menatap Yuna penuh birahi.

 

“Uhuk ... uhuk ...!” Yuna buru-buru meminum jus jeruk yang ada di hadapannya karena tersedak.

 

“Yuna, pelan-pelan dong!” pinta Melan lembut.

 

Lukman tersenyum penuh kemenangan melihat Yuna yang tanpa sadar menenggak jus jeruk yang telah ia beri obat perangsang. Ia menatap Melan sambil mengerdipkan matanya.

 

“Mmh ... Tante sudah kenyang dan harus segera pulang,” pamit Melan. “Kalian lanjutkan makan malamnya dengan baik!” pintanya. Ia meraih tas tangannya dan bangkit.

 

“Aku antar sampai depan!” pinta Lukman. Ia ikut berdiri dan mengiringi langkah Melan ke luar restoran.

 

Yuna menatap kesal ke arah Melan dan Lukman. “Kenapa nggak kalian berdua aja yang merit? Bukannya si Maleficent itu yang gila duit!” celetuknya kesal.

 

“Terima kasih untuk makan malamnya,” tutur Melan dengan sopan.

 

“Nggak perlu sungkan!”

 

“Maaf kalau sikap Yuna sedikit kurang sopan. Dia masih sangat muda dan emosinya tidak stabil.”

 

“Nggak masalah. Aku suka wanita muda dengan emosi yang tinggi. Bukankah itu lebih menggairahkan?”

 

“Ah, Anda bisa saja.”

 

Lukman tersenyum ke arah Melan. “Aku sudah kirim uang sembilan ratus juta ke rekening kamu. Kamu tahu kan apa gantinya?”

 

Melan menganggukkan kepala.

 

“Mulai malam ini, Yuna sepenuhnya milikku. Aku bakal ambil dia jadi istriku dan aku mau ngetes dia malam ini juga,” tutur Lukman serius.

 

Melan menganggukkan kepala sambil tersenyum. Melan segera melangkah pergi saat taksi yang ia pesan sudah tiba.

 

Lukman tersenyum penuh kemenangan. Ia bergegas menghampiri Yuna yang terkulai lemah di atas meja.

 

“Kamu kenapa?” tanya Lukman.

 

“Kepalaku tiba-tiba pusing,” jawab Yuna lemas.

 

“Kamu sakit? Aku antar kamu ke dokter,” tutur Lukman pura-pura panik.

 

Yuna mengangkat kepala. Ia meraih jas putih miliknya yang disandarkan di kursi.

 

Perlahan, Lukman memapah Yuna yang sudah lemah tak berdaya.

 

Yuna menatap ke sekeliling saat baru keluar dari pintu lift. Ia baru menyadari kalau Lukman bukan ingin membawanya ke rumah sakit atau klinik. Tapi ingin membawanya masuk ke dalam kamar hotel.

 

“Kamu mau bawa aku ke mana?” tanya Yuna. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan Lukman.

 

“Aku sudah bayar mahal untuk malam ini. Mari kita bersenang-senang!” sahut Lukman sambil tertawa.

 

“Bitch!” Yuna langsung meludah ke wajah Lukman. Ia membalikkan badan dan melangkah pergi.

 

Lukman naik pitam saat Yuna menolak dirinya. Ia langsung menarik lengan Yuna kembali dan menyeret gadis itu.

 

“Lepasin!” teriak Yuna.

 

“Aku nggak akan lepasin kamu!” sahut Lukman.

 

Yuna terus memberontak, berusaha melepas genggaman tangan Lukman yang begitu erat.

 

Lukman membuka salah satu pintu kamar hotel dan menyeret Yuna masuk ke dalam.

 

Sekuat tenaga, Yuna mempertahankan tubuhnya agar tidak masuk ke dalam kamar. Telapak kakinya bertahan di sisi pintu dan berusaha menarik diri agar tak sampai masuk ke dalam kamar.

 

PLAK ...!

 

Telapak tangan Lukman menampar Yuna yang terus memberontak.

 

Yuna merasa sekelilingnya tiba-tiba menjadi gelap saat tangan Lukman mendarat di pipinya.

 

Lukman langsung menangkap tubuh Yuna yang terkulai lemas dan membawanya ke dalam kamar. Ia menjatuhkan tubuh Yuna ke atas ranjang.

 

“Kamu mau apa?” tanya Yuna lirih. Ia berusaha mempertahankan kesadarannya.

 

“Hahaha. Kamu masih tanya aku mau apa? Jelas-jelas aku mau kamu. Aku sudah bayar satu milyar ke tante kamu. Dia sudah jual kamu ke aku. Aku bakal bikin kamu mengabdi sama aku ... selamanya!” tegas Lukman.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Ia masih sedikit sadar. Ia terus memberontak saat Lukman menaiki tubuhnya dan menggenggam lengan Yuna sangat erat.

 

“Lepasin aku, Bajingan Tua!” teriak Yuna.

 

“Aku nggak akan lepasin kamu!” tegas Lukman.

 

“Aaargh ...!” Yuna terus berteriak dan memberontak sekuat tenaga.

 

Lukman meringis saat perutnya tiba-tiba mulas. “Bener-bener nggak bisa diajak kompromi!” celetuknya. Ia langsung bangkit dari tubuh Yuna.

 

“Kamu jangan macam-macam kalau masih mau hidup!” ancam Lukman. Ia bergegas masuk ke kamar mandi, ia tak bisa menahan buang air besar.

 

Yuna menghela napas lega. Perlahan ia bangkit sambil memijat kepalanya yang berdenyut. Yuna turun dari ranjang dan berjalan merayap di dinding.

 

“Kenapa kepalaku pusing banget?” gumam Yuna sambil terus melangkah.

 

Ia melihat pintu kamar yang sudah berjarak tiga meter dari tempatnya berdiri. Tapi ... semakin lama ia melihat pintu kamar itu semakin menjauh.

 

Yuna tak menyerah, meski pandangannya tidak baik. Ia akhirnya mampu meraih gagang pintu.

 

“Heh!? Mau ke mana?” Lukman yang baru keluar dari kamar mandi langsung menyeret tubuh Yuna kembali.

 

“Lepasin!” teriak Yuna.

 

“Aku nggak akan lepasin kamu, Nona Manis!” tegas Lukman sambil membanting tubuh Yuna ke atas kasur.

 

Yuna tersenyum sinis. Ia tahu, hidupnya akan berakhir malam ini. Tidak akan ada orang yang menolongnya saat ini. “God! Save me!” bisik Yuna dalam hati.

 

 

 

(( Bersambung ... ))

Terima kasih yang udah setia membaca sampai di sini. Jangan lupa share dan dukung terus author, yak! Hargai kerja keras author dalam berkarya dengan membeli bab berbayar atau membaca sampai selesai karya-karya gratisannya di blog ini.

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Wednesday, January 22, 2025

Bab 6 - Dear Dad

 


Perlahan, Yuna membuka pintu kamar. Ia mendapati wanita setengah baya berdiri di depan pintu.

 

“Pagi, Mbak! Sarapan sudah saya siapkan di bawah.”

 

Bibi War membalikkan tubuh dan melangkah pergi.

 

“Apa semalam ...?” Yuna mengintip tubuhnya yang hanya dibalut piyama dan tidak mengenakan pakaian dalam.

 

“Oh ... semalam Bibi yang mengganti pakaian. Karena pakaian Mbaknya basah. Sudah Bibi cuci dan keringkan. Kalau cuaca bagus, dua jam lagi udah kering.”

 

Yuna menarik napas lega. “Baguslah!” celetuknya.

 

Bibi War tersenyum dan melangkah kembali.

 

Yuna langsung turun ke ruang makan begitu selesai mengganti pakaiannya.

 

Ia duduk di kursi meja makan, tepat berhadapan dengan Yeriko yang tidak menyapanya sama sekali.

 

Yuna menarik napas. “Kenapa harus ketemu cowok sedingin ini?” batin Yuna. “Gimana caranya ngajak dia ngomong?”

 

“Makasih banyak karena udah ngerawat aku. Aku ...”

 

“Cepat pergi dari sini kalo udah selesai makan!” pinta Yeriko.

 

Yuna membuka mulutnya lebar. Suaranya tertahan dengan sikap dingin Yeriko. “Aku udah berusaha bersikap lembut banget. Kamu malah bikin aku emosi!” batinnya sambil mengepal tangan.

 

“Nggak usah akting lagi di depanku! Kamu pikir, cara kayak gini bakal menarik perhatianku, hah!?”

 

Yuna memukul meja dan bangkit dari duduknya. “Kamu ...!?” Yuna menunjuk Yeriko sambil mengerutkan hidungnya.

 

Yeriko mengangkat satu alisnya sambil menatap Yuna.

 

“Dasar cowok nggak tahu diri! Aku udah baik-baik sama kamu. Udah minta maaf, udah bilang makasih dan kamu masih nuduh aku lagi akting!? Bener-bener nggak punya perasaan!” teriak Yuna.

 

Yuna pun bangkit. Sejenak ia tersenyum ke arah Bi War, ia mengangguk dan bergegas keluar dari rumah Yeriko.

 

Yuna tidak tahu harus pergi ke mana. Ia hanya tinggal menumpang di rumah Jheni sejak kembali dari Melbourne dan belum mencari tempat tinggal.

 

Yuna memutuskan untuk menemui ayahnya yang sedang dirawat di rumah sakit.

 

Sesampainya di rumah sakit, Yuna menatap wajah ayahnya yang terbaring lemah.

 

“Ayah ... sudah sebelas tahun ayah melewati waktu di sini. Ayah harus sembuh,” bisik Yuna sambil mencium punggung tangan ayahnya.

 

“Ayuna ...!” panggil Adjie dalam kegelapan. Ia bisa mendengar suara Yuna dengan baik. Namun ia tak mampu membuka mata dan menggerakkan sebagian tubuhnya.

 

“Ayah ... Yuna udah pulang dari Melbourne. Selama kuliah di sana, Yuna hidup dengan baik. Punya teman-teman yang baik dan menyayangi Yuna.”

 

“Ayah pasti kesepian karena di sini sendirian ya? Tapi ... aku lihat semua perawat di sini cantik-cantik. Ayah pasti suka dikelilingi sama perawat yang cantik kan?” Yuna terus mengajak ayahnya berbicara sekalipun ia tahu kalau ayahnya tak akan membalas ucapannya. Tapi ia percaya, ayahnya akan mendengarkan setiap kalimat yang terucap dari bibirnya.

 

“Ayah harus sembuh ya! Cuma Ayah satu-satunya harta paling berharga yang Yuna punya di dunia ini.”

 

Yuna menoleh ke arah pintu yang tiba-tiba terbuka. Tiga orang perawat masuk ke dalam ruangan dan menghampiri Yuna.

 

“Ini tunggakan tagihan yang harus kamu bayar secepatnya!” Seorang perawat menyodorkan tumpukan kertas ke arah Yuna.

 

Yuna bangkit dari duduk dan meraih kertas-kertas tagihan biaya perawatan ayahnya. “Aku punya uang dari mana buat bayar tagihan sebanyak ini?” batin Yuna sambil menatap tumpukan kertas di tangannya.

 

“Kamu tahu, biaya perawatan ayah kamu nggak sedikit. Kalau nggak bayar hari ini juga, kami terpaksa harus mengeluarkan ayahmu dari rumah sakit.”

 

“Apa!?” Yuna membelalakkan matanya. Ia menatap tubuh Adjie yang terbaring lemah di ranjang. “Suster, kasih aku waktu buat nyelesaikan ini semua!” Yuna memohon sambil menitikan air mata. “Aku nggak mungkin membiarkan Ayah keluar dari rumah sakit dalam keadaan seperti ini.”

 

“Tunggakan kamu sudah terlalu banyak. Kami tidak bisa menunggu lagi!” sahut salah seorang perawat dengan ketus.

 

Perawat yang berbicara dengan Yuna memberikan isyarat pada perawat lain untuk mengeluarkan barang-barang dari dalam ruang rawat ayah Yuna.

 

“Suster, jangan!” pinta Yuna terus memohon. Ia menjatuhkan tubuhnya sambil memeluk kaki perawat tersebut agar tidak mengeluarkan ayahnya dari ruang perawatan. “Aku mohon, suster! Kasihani kami! Kasihan Ayah ... aku janji, bakal secepatnya melunasi biaya rumah sakit,” pinta Yuna sambil menangis.

 

Perawat yang ada di ruangan itu tidak mempedulikan Yuna yang menangis histeris. Yuna terus memeluk tubuh ayahnya. Ia tetap ingin mempertahankan ayahnya agar tetap mendapat perawatan seperti sebelumnya.

 

Yuna semakin merasa sakit saat perawat mulai melepas peralatan medis dari tubuh ayahnya. “Nggak! Ayah harus tetap hidup. Ayah harus tetap mendapat perawatan!” bisik Yuna dalam hati sambil menangis.

 

Yuna buru-buru mengambil ponsel dari dalam tas tangannya dan langsung menelepon Tante Melan.

 

“Halo ... Sayang. Apa kabar?” sahut Melan begitu panggilan telepon Yuna tersambung.

 

“Tante, aku mohon jangan hentikan biaya pengobatan Ayah!” pinta Yuna tanpa basa-basi.

 

Melan tersenyum kecil. “Kamu sudah sadar? Asal kamu nurut sama Tante, Tante akan bayar semua biaya pengobatan ayah kamu!”

 

Yuna menelan ludah. “Iya. Aku janji bakal nuruti semua keinginan Tante.”

 

“Oke. Malam ini kita ke Shangri-La buat nemuin Direktur Lukman. Kamu harus nikah sama dia!”

 

 “Oke.” Yuna menganggukkan kepala. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding dan terduduk lemas.

 

Beberapa menit kemudian, Direktur rumah sakit masuk ke dalam ruangan.

 

“Ada apa ini?” tanya Direktur rumah sakit saat melihat alat medis di tubuh ayah Yuna sudah dilepas.

 

“Anu ... Pak ...” sahut perawat dengan suara bergetar.

 

“Pasang lagi! Kembalikan semuanya seperti semula!” perintah Dokter Rahmat, Direktur rumah sakit tempat ayah Yuna dirawat.

 

Yuna mengusap air mata menggunakan punggung lengannya dan langsung bangkit dari lantai. Ia menghampiri Dokter Rahmat. “Makasih, Dok!”

 

Dokter Rahmat tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Kami minta maaf untuk hal ini. Seharusnya, nggak ada kejadian seperti ini. Semua biaya pengobatan ayah kamu sudah dilunasi oleh Ibu Melan.”

 

Yuna menganggukkan kepala. Ia melirik ayahnya dan bisa bernapas lega saat alat-alat medis yang menopang hidup ayahnya kembali terpasang.

 

“Jaga ayahmu dengan baik dan hiduplah dengan baik!” tutur Dokter Rahmat sambil menepuk pundak Yuna. Ia bergegas keluar dari ruangan.

 

Yuna tersenyum menatap kepergian Dokter Rahmat. Ia berbalik dan menatap sinis ke arah perawat yang sedang menyusun barang-barang di ruang rawat ayahnya.

 

“Pergi dari sini!” pinta Yuna.

 

Tiga orang perawat itu langsung menoleh ke arah Yuna.

 

“Aku bilang, PERGI DARI SINI!” teriak Yuna. Ia tidak tahan melihat tiga perawat itu berada di dalam ruang rawat ayahnya. Hatinya terasa ngilu mengingat kejadian yang terjadi beberapa menit lalu.

 

Ketiga perawat itu langsung bergegas keluar dari ruang rawat ayah Yuna.

 

Yuna menghela napas. Ia terduduk lemas di kursi, tepat di sebelah ranjang ayahnya.

 

“Ayah ... Ayah akan baik-baik aja!” tutur Yuna sambil menggenggam tangan ayahnya. “Aku bakal ngelakuin apa pun buat Ayah. Ayah cepet sembuh ya!” pinta Yuna.

 

Yuna mengusap lembut pipi ayahnya. “Ayah, aku pergi dulu!” pamit Yuna. “Banyak hal yang harus aku lakukan di luar sana. Aku akan hidup dengan baik. Ayah nggak perlu khawatir. Puteri kecilmu, sekarang sudah tumbuh dewasa. Ayah juga harus hidup dengan baik demi aku.” Yuna mencium kening ayahnya.

 

Yuna merasakan hatinya begitu tersayat saat bibirnya menyentuh kening ayahnya. Matanya perih, ia berusaha membendung air matanya agar tidak jatuh membasahi pipi ayahnya.

 

Adjie tak bisa merespon apa pun yang dilakukan oleh puterinya. Ia tak bisa lagi mendengar suara puterinya setelah pintu ruangan tertutup. Hanya air mata yang mengalir dari kedua matanya. Ia terlalu lemah, tak berdaya melakukan apa pun untuk puteri kesayangannya.

 

Yuna berjalan lunglai menyusuri koridor rumah sakit. “Aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku nggak tahu gimana menjalani hidup setelah ini,” tutur Yuna lirih.

 

Pikiran Yuna tak karuan. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Jheni.

 

Beberapa menit kemudian, Yuna sudah sampai di rumah Jheni.

 

“Yun, kamu kenapa?” tanya Jheni saat menyambut Yuna yang berwajah murung.

 

Yuna tak langsung menjawab. Ia merebahkan tubuhnya ke atas sofa.

 

“Ada apa? Cerita dong!” pinta Jheni, ia langsung duduk di sebelah Yuna.

 

“Tante Melan maksa aku nikah sama si Tua Bangka itu,” jawab Yuna lirih.

 

“What!? Kamu nerima?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Yuna! Kamu itu cantik. Kamu bisa dapetin suami yang jauh lebih baik. Kenapa kamu mau disuruh nikah sama Oom-Oom yang nggak jelas itu!” seru Jheni.

 

“Karena Ayah ...” Yuna tak sanggup melanjutkan ucapannya.

 

Jheni menarik napas dalam-dalam. Ia memahami kondisi sahabatnya saat ini. Ia tak sanggup berkata-kata, hanya bisa merangkul Yuna dan memeluk tubuh gadis itu.

 

 

 

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya! Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas