SISA CERITA ILUSI CINTA
Debur ombak di Pantai Kaltim Park menyapaku yang sedang duduk termenung seorang diri. Sepertinya mereka tahu jika aku sedang kesepian. Kuabaikan semilir angin yang menyapa rambut-rambutku. Karena mereka tak bersuara. Membuatku tak menyadari jika pasukan angin itu sedang mengajakku bercengkerama. Hingga gemuruh ombak, membangunkan kesadaranku.
Tepat di depan mataku, ratusan ombak sedang menari-nari indah. Mereka ramai, seolah sedang menghibur jiwaku yang sepi.
“Rin ...!”
Suara itu tiba-tiba menggema di telingaku. Suara yang tak asing lagi aku dengar. Tapi, aku menyadari jika ini hanya ilusi. Dia tidak akan hadir di sini meski hanya sekedar menyapa.
“Rina ...! Apa suaraku tidak lebih besar dari suara ombak?”
Aku langsung memutar tubuhku ke arah suara yang ada di belakangku. Sesungguhnya, aku tidak ingin melihat sebuah kenyataan jika semua yang aku dengar hanyalah ilusiku saja.
Tatapanku langsung tertuju pada seorang pria yang berdiri sekitar lima meter dari tempatku. Seluruh tubuhku membeku dan aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku masih tidak yakin jika sosok ini adalah sosok nyata. Aku pikir, semua hanya ada dalam khayalanku semata.
Akhir-akhir ini ... pikiranku kacau. Psikisku cukup terganggu. Aku harus pergi ke psikiater setiap dua minggu sekali untuk membuat keadaanku baik-baik saja. Entah kenapa ... sejak dia pergi tanpa pesan, duniaku seolah ikut menghilang.
“Kamu nggak kangen sama aku?” Pria itu merentangkan kedua tangannya. Berharap aku akan berlari ke arahnya dan memeluknya seperti biasa.
Sayangnya, aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Aku khawatir, dia hanyalah bayangan yang aku ciptakan sendiri karena kerinduan yang begitu mendalam. Setiap berlari ke arahnya, bayangan itu langsung menghilang entah ke mana.
Pria itu melangkah perlahan menghampiriku karena aku tak kunjung bereaksi. Lengannya yang kekar, terulur perlahan hingga ujung jemarinya menyentuh daguku. “Kenapa nggak senang aku datang?”
“Kamu cuma ilusi. Pergi!” teriakku. Aku benar-benar tidak tahan dengan bayangan pria ini. Dia kerap hadir sebagai bayangan dalam hari-hariku. Aku nyaris gila dibuatnya.
“Ini aku, Rizki. Aku datang buat kamu,” ucap pria itu dengan suara yang sangat jelas.
Aku menggeleng. “Nggak. Kamu bukan Rizki. Bukan!” Aku langsung berjongkok sambil menutup kedua telinga dengan telapak tanganku.
“Ini aku, Rin. Kamu kenapa?” tanya Rizki.
“Aaargh ...!” Aku berteriak histeris. Aku benci adegan seperti ini. Aku benci keadaan seperti ini.
Kenapa? Kenapa begitu sulit menyingkirkan pria ini dari pikiranku? Kenapa? Kenapa aku tidak sanggup menghapusnya dari ingatanku? Kenapa dia terus hadir menghantuiku?
Rizki adalah satu-satunya pria yang ingin aku hapus dari ingatanku. Dia satu-satunya orang yang ingin aku benci. Tapi aku selalu gagal melakukannya.
Dua tahun lalu, Rizki menghilang tanpa pesan setelah dia mengukir banyak kenangan indah bersamaku. Entah apa yang terjadi. Dia menghilang begitu saja dan aku tidak punya keberanian untuk mencarinya. Aku tidak berani menerima kenyataan jika dia sudah tidak mencintaiku lagi. Aku memilih untuk diam, menunggu, dan berharap keajaiban.
“Rin, kamu kenapa?” Suara Rizki tak kunjung menghilang dari hadapanku. Apakah kali ini dia benar-benar datang menemuiku?
Aku langsung membuka mataku kembali dan menatap pria yang juga berjongkok di hadapanku itu. “Ini beneran kamu?”
Rizki mengangguk sambil tersenyum. “Kamu baik-baik aja, kan?”
Aku menggeleng. Aku nggak bisa bilang baik-baik saja sejak dia meninggalkanku tanpa pesan. Bagaimana aku bisa baik-baik saja ketika aku tiba-tiba kehilangan arah hidupku. Semua hal yang pernah kita rencanakan bersama, tiba-tiba hanya jadi cerita kosong yang tak terlaksana.
“Maafkan aku, Rin!” ucap Rizki sembari mendekap tubuhku.
Hangat. Rasanya sangat hangat. Rasanya seperti pelukan nyata.
“Kenapa pergi tanpa pesan? Aku nggak tahu harus cari kamu ke mana,” bisikku sembari menitikan air mata.
“Maafkan aku, Rin. Ada hal yang nggak bisa aku ceritakan. Aku khawatir, akan membuatku sibuk memikirkanku. Kamu sudah terlalu baik. Aku nggak mau menyulitkan kamu lagi,” ucap Rizki lirih.
“Apa pun itu ... haruskah dengan cara seperti ini?” tanyaku lirih.
“Aku juga nggak punya cara lain. Aku cuma nggak mau kamu sedih kalau tahu kenyataannya.”
“Kamu nggak mau buat aku sedih, tapi kamu sudah buat aku mati,” sahutku. “Apa kamu tahu gimana tersiksanya hidupku tanpa kamu?”
“Maafin aku ...!” ucap Rizki sambil mengeratkan pelukannya.
“Aku sakit dan butuh waktu lama untuk sembuh. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku hanya akan muncul di hadapanmu ketika aku sehat. Karena aku tahu sifatmu. Kamu nggak akan tinggal diam melihat aku kesusahan,” ucap Rizki.
“Kamu sakit?” tanyaku sembari menatap lekat mata Rizki.
“Sekarang sudah sembuh,” ucap Rizki sambil tersenyum. Ia menggenggam tanganku dan membiarkan telapak tanganku menyentuh pipinya. “I miss you...”
Aku langsung menarik tanganku dari pipi Rizki. “Kalau kamu tidak membiarkan aku menemani masa sulitmu ... adakah orang lain di sana?”
“Kenapa kamu tanya kayak gini?” tanya Rizki. “Nggak pernah terpikir sedikitpun untuk mengkhianati cinta kita. Aku hanya sedang ...”
“Sedang memilih tidak ada aku dalam hidupmu?” sambarku.
“Bukan gitu, Rin. Aku Cuma nggak mau kamu terlibat dalam kesulitanku,” ucap Rizki lagi. “Aku cuma pengen bikin kamu bahagia. Nggak mau ngajak kamu susah.”
Aku tersenyum sinis. “Aku pikir, kita adalah dua manusia yang saling memahami. Ternyata tidak. Kamu bertahan dengan pemikiranmu sendiri, aku juga sama. Pernahkah kamu bayangkan gimana aku tanpa kamu? Aku yang tiba-tiba kehilangan teman bercerita, aku tiba-tiba kehilangan teman tertawa, aku tiba-tiba kehilangan teman untuk merancang masa depan, aku kehilangan arah hidup.”
“Rin, aku pikir kamu adalah wanita yang kuat dan aku ...”
“Aku bisa menjalani semuanya seorang diri?” tanyaku. “Ya, aku bisa. Kamu tahu, kapal yang dulu kita rancang untuk pergi bersama, sudah aku selesaikan. Aku hias begitu indah dengan penuh cinta. Saat kapal itu sudah siap berlayar, tiba-tiba nahkodanya menghilang entah ke mana. Saat ini, kapal itu sudah usang dan tenggelam. Bahkan, ikan-ikan pun enggan untuk tinggal di sana. Kamulah yang menghancurkan segalanya.”
“Rin, aku minta maaf! Bisakah kita ulang semuanya dari awal lagi?” tanya Rizki.
“Sekalipun kita berusaha mengulangnya, semuanya tidak akan sama lagi.”
“Gimana kalau kita mulai dari awal lagi?” tanya Rizki lagi.
“Tidak ada kata ‘mulai’ untuk kisah yang sudah terjadi,” sahutku.
Aku benar-benar tak mampu berpikir lagi. Sunggguh, aku merindukan pria ini, tapi aku juga terluka dalam karenanya. Aku baru saja ingin berdamai dan melepaskan semuanya. Tiba-tiba dia datang saat aku ingin mengahapus semua kisah yang pernah ada.
“Aku datang untuk memperbaiki hubungan kita. Aku sudah menyiapkan semuanya. Kamu nggak perlu lagi berlelah-lelah berjuang hidup sendirian.” Rizki berusaha meyakinkanku.
Aku tertawa kecil. Sungguh lucu jika ia mengatakan hal seperti ini, tapi dia membiarkan aku berjuang mati-matian selama dua tahun terakhir ini.
“Rizki, kamu adalah dokter ahli psikiatri. Kamu tahu persis seperti apa risiko pasien yang harus mengonsumsi obat anti-depresan setiap hari selama dua tahun. Aku sudah lelah. Aku pengen sembuh. Cara satu-satunya membuatku sembuh adalah menghapus semua hal tentang kita di masa lalu ... juga di masa depan,” ucapku sembari menahan rasa sesak di dada.
“Mungkin sudah ratusan pasien yang sembuh di tanganmu. Tapi kamu harus ingat kalau aku adalah satu-satunya orang yang jadi pasien karena kamu!” tegasku sembari melangkah pergi meninggalkan Rizki.
Sungguh, aku tidak tahan berlama-lama bercengkerama dengan ilusiku sendiri. Bisa jadi, yang sedang bicara denganku adalah orang yang aku ciptakan sendiri di pikiranku, sama seperti biasanya.
Entah dia Rizki sungguhan atau ilusi. Setidaknya, keinginanku untuk berbicara tentang perpisahan dengannya sudah terpenuhi. Aku sudah bisa melepaskan semuanya. Menghapus perlahan setiap cerita yang sudah terukir.
Setiap jengkal pasir yang kupijak di tempat ini adalah saksi bagaimana kisah kita terukir dan bagaimana usahaku menghapusnya. Aku ingin hidup dengan baik di masa depan. Meski harus sendirian, akan tetap aku jalani.
Terima kasih untuk semua cerita yang ada di antara kita. Semua tangis dan tawa telah kita lalui bersama meski dari tempat yang berbeda. Kita pernah jadi sepasang, tapi tak pernah bisa bersatu. Jika ada kehidupan selanjutnya, akan kumohon pada Tuhan agar kita tak lagi bertemu, sekalipun itu hanya ilusi.
© Copyright 2024
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menyebarkan cerita ini tanpa izin tertulis dari penulis.