Rasanya, sudah sangat lama aku tidak menganalisa kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Selama beberapa tahun belakangan ini, aku hanya memperhatikan semua kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah. Tapi, udah gatel banget pengen bersuara tentang bagaimana sistem kebijakan pemerintah yang semakin hari semakin menyengsarakan dan membodohi rakyat sendiri.
Salah satu hal yang membuat aku tertarik untuk membahasnya adalah berita yang dirilis oleh media Tempo pada 12 Februari 2024 pukul 23.00 tentang kenaikan harga beras premium.
Beras Mahal, Erick Thohir: Seluruh Dunia Juga Naik, Makanya Pemerintah Hadir dengan Bansos
Saya percaya, Tempo bukanlah media kaleng-kaleng. Setiap berita yang dirilis oleh Tempo memiliki kredibilitas yang baik dan mampu dipertanggungjawabkan fakta di lapangannya. Oleh karenanya, aku selalu tertarik untuk membaca informasi di media nasional ini.
Kenapa tiba-tiba aku pengen bahas? Karena aku adalah anak seorang petani dan pembahasan kali ini ada hubungannya dengan beras yang menjadi satu-satunya hasil produksi bagi petani di Indonesia.
Mahalnya harga beras, solusinya bansos, sudah tepat, kah?
Menurut data informasi yang ada, harga beras premium mencapai Rp 15.750 per kilogram sedangkan beras bulog mencapai Rp 10.900 per kilogram.
(Sumber: https://bisnis.tempo.co/read/1832666/diminta-turunkan-margin-penjualan-beras-aprindo-bayar-dulu-dong-rafaksi)
Kenaikan harga beras ini, seharusnya berdampak pada kesejahteraan petani yang ada di Indonesia. Kenyataannya, petani di Indonesia tidak merasakan kesejahteraannya karena harga pupuk dan racun yang sangat tinggi, sehingga petani harus mengeluarkan biaya yang besar untuk produksi, belum lagi ketika harus dihadapkan dengan gagal panen karena faktor iklim, hama atau bencana. Hal ini, kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar dalam pikiranku.
Erick Thohir, sebagai seorang menteri, memberikan jawaban yang tidak memberikan solusi terhadap apa yang dikeluhkan oleh masyarakat. Padahal, beliau adalah seorang menteri yang kapasitas kecerdasannya tentu sangat baik. Namun, kenapa kemudian menjadi bodoh ketika ia berada di bawah kekuasaan Presiden Jokowi?
Kenapa aku bilang bodoh? Karena seharusnya pemikiran dia lebih luas dari aku yang cuma lulusan SMA dan tidak memiliki pengalaman dalam hal kepemimpinan negara. Aku hanya seorang ibu rumah tangga yang setiap hari duduk di rumah, tapi aku punya akses informasi yang luas dan mataku terbuka untuk melihat semua hal dari berbagai perspektif, sehingga aku bisa menganalisa setiap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, begitu juga dengan perubahan kepemimpinan negara beserta kebijakan-kebijakannya.
Aku masih belum paham, kenapa pemerintah selalu menjawab solusi permasalahan dengan BANSOS?
Semakin ke sini, aku merasa ini adalah bagian dari propaganda pemerintah untuk mengendalikan sebagian kecil rakyatnya. Tapi itu semua tidak memberikan solusi atas permasalahan secara keseluruhan.
Kita bisa analisa dari pernyataan Erick Thohir tentang Bansos yang diberikan kepada 22 Juta keluarga sebanyak 10 kilogram. Aku rasa, 10 kilogram ini tidak didistribusikan setiap bulan.
Mari kita pakai perhitungan berdasarkan data!
Indonesia memiliki jumlah penduduk sebanyak 270.203.917 jiwa sesuai data sensus BPS pada tahun 2020. Kalau 22 juta keluarga yang mendapatkan bansos 10 kilogram, artinya hanya 8,15% penduduk Indonesia yang mendapatkan bansos. Lalu, bagaimana dengan 81,5% masyarakat Indonesia yang harus tercekik dengan harga beras mahal?
Kalau dilihat datanya, distribusi bansos itu sangat kecil jika dibandingkan oleh jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan. Artinya, target penerima bansos memang ditujukan kepada penduduk lansia, anak yatim-piatu, gelandangan dan difable. Kategori penduduk yang menerima bansos adalah penduduk yang sudah tidak bisa mencari nafkah lagi. Sementara, dari data BPS yang ada, jumlah penduduk berusia di atas 50 tahun sudah lebih dari 22 juta jiwa. Artinya, bansos yang disalurkan oleh pemerintah adalah kewajiban negara untuk menjamin kehidupan mereka sesuai dengan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi "Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara."
Jadi, berdasarkan data di atas, bansos bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah kenaikan harga beras. Harga beras, sama sekali tidak ada hubungannya dengan bansos karena bansos memang sudah menjadi kewajiban negara sesuai undang-undang.
Lalu, apa peran negara untuk mengatasi masalah ini?
Presiden, memiliki banyak menteri-menteri yang memegang posisi strategis. Jika semua menterinya bisa bekerjasama dengan baik, maka harga beras di Indonesia bisa dikendalikan oleh pemerintah. Pangan adalah salah satu ketahanan nasional yang perlu dijaga. Jika harganya terus naik, maka itu adalah bentuk kegagalan dari kinerja kabinet-kabinet di bawah pimpinan presiden.
Untuk melakukan perencanaan yang baik, kita butuh imajinasi. Maka, kita harus membuka mata dari banyak sisi.
Aku mau kasih gambaran, tentang bagaimana proses kebijakan pemerintah bisa berjalan dengan baik dan bisa mengendalikan harga pangan di Indonesia.
Mari kita lihat dulu, menteri-menteri yang ada di kabinet Presiden Jokowi dan seharusnya memiliki peran dalam pertahanan pangan nasional!
Selanjutnya, pada 28 April 2021, Presiden Joko Widodo melantik dua menteri kabinet berdasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 72/P Tahun 2021 tentang Pembentukan dan Pengubahan Kementerian serta Pengangkatan Beberapa Menteri Negara Kabinet Indonesia Maju Periode Tahun 2019-2024. Melalui pengubahan terbaru ini, Kepala Negara sekaligus memperkenalkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Investasi.
( Sumber: https://www.presidenri.go.id/)
Potret-potret di atas adalah deretan menteri yang sepertinya memiliki peranan penting dalam pengendalian harga-harga pangan di Indonesia, terutama beras sebagai kebutuhan pokok masyarakatnya.
Dalam hal pengadaan beras, Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan seharusnya yang menjadi sorotan utama masalah ini. Lalu, kenapa Erick Thohir justru yang mengklarifikasi soal kenaikan harga beras? Apa hubungannya? Tentu ada hubungannya. Semua menteri yang aku kutip di atas, ada hubungannya dengan pengendalian kenaikan harga beras di Indonesia.
Menurutku, 11 menteri ini sudah sangat seksi jika mereka bisa bekerja sama dengan baik untuk mengendalikan kebutuhan pangan sebagai salah satu ketahanan nasional.
Aku mau mulai dari dasar dulu. Yakni, Bapak Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan. Visi dari Pertahanan ialah “Terwujudnya indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong”. Salah satu misinya ialah mewujudkan keamanan sosial yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim dan mencerminkan kepribadian indonesia sebagai negara kepulauan.
Kata-kata yang aku garis bawahi memiliki makna kemandirian ekonomi, dasar utamanya ialah kemandirian pangan itu sendiri. Bagaimana Pertahanan Keamanan bisa berjalan dengan baik jika prajuritnya kelaparan? Jadi, Menteri Pertahanan memiliki peran yang sangat besar untuk mengintervensi menteri-menteri lainnya dalam hal pertahanan pangan. Termasuk pengendalian harga beras, ketersediaan lahan pertanian, akses permodalan untuk petani, penyediaan pupuk dan racun yang mudah, dan lain-lain.
Setelah Menteri Pertahanan, ada Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional yang dijabat oleh Suharso Monoarfa. Kementerian ini tentunya ikut bertanggung jawab dalam perencanaan penyediaan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Ketersediaan lahan, fasilitas penunjang pertanian dan pertanian modern menjadi bagian dari tugas kementerian ini. Berikan fasilitas-fasilitas teknologi modern kepada petani-petani Indonesia yang teknologi itu dihasilkan dari mahasiswa-mahasiswa lulusan teknologi pertanian. Semua perencanaan ketersediaan pangan, menjadi tugas dari kementerian ini yang kemudian akan dijalankan oleh menteri-menteri lainnya sebagai pelaksana.
Kemudian, ada Menteri Agraria dan Tata Ruang yang dijabat oleh Hadi Tjahjanto. Salah satu fungsi kementerian ini ialah:
- Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata ruang, infrastruktur keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan, penataan agraria/pertanahan, pengadaan tanah, pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah, serta penanganan masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang, dan tanah;
Artinya, pengadaan lahan pertanian yang memadai bagi masyarakat, seharusnya menjadi tanggung jawab dari Menteri Agraria. Menteri Agraria seharusnya menyediakan lahan yang mudah dan luas bagi petani untuk mengembangkan pertaniannya. Bukan menyingkirkan para petani dari tanahnya untuk dibangun pabrik-pabrik yang dikuasai oleh beberapa kelompok elite negeri ini. Petani adalah profesi yang suci dan perlu proses yang panjang. Jika petani-petani di Indonesia difasilitasi oleh negara dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia memiliki sumber pangan yang sangat besar dan mampu memenuhi kebutuhan 270 juta jiwa penduduk Indonesia. Menteri Agraria bertanggung jawab untuk mengadakan lahan seluas-luasnya bagi petani-petani di seluruh Indonesia.
Setelah Menteri Agraria dan Tata Ruang berhasil menyediakan lahan pertanian yang mudah dan luas, maka saatnya Menteri Pertanian bekerja. Saat ini, Menteri Pertanian dijabat oleh Andi Amran Sulaiman. Untuk tugas dan fungsinya, sepertinya semua orang sudah tahu dan sudah jelas. Menteri Pertanian bertanggung jawab pada semua proses pertanian. Menyalurkan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh para petani. Menyediakan pupuk yang mudah dan murah. Meningkatkan kualitas hasil pertanian. Serta memberikan jaminan atas kegagalan panen yang disebabkan oleh faktor alam. Kegagalan panen para petani, sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara agar ketahanan pangan bisa terus terjaga.
Indonesia memiliki wilayah pertanian yang luas. Dari data BPS, ada sekitar 10,2 juta hektar lahan produksi padi dengan capaian produksi sebesar 30,90 juta ton per tahunnya. (Sumber: https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2023/10/16/2037/luas-panen-dan-produksi-padi-di-indonesia-2023--angka-sementara-.html ).
Jika 270 juta jiwa itu mengonsumsi beras maksimal 0,25kg setiap harinya. Maka, dibutuhkan 67.500 ton beras per hari. 67.500 ton x 30 hari = 2.025.000 ton kebutuhan per bulan. Jika dikalikan setahun, maka kebutuhan beras masyarakat Indonesia adalah 24,3 juta ton per tahunnya. Tentunya, nilai ini belum ditambah dengan adanya WNA yang tinggal dan mengonsumsi pangan di Indonesia. Artiya, 30,9 juta ton produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat tetap, sehingga pemerintah masih harus melakukan impor beras untuk memenuhi kebutuhan, bukannya meningkatkan jumlah produksi dan kualitas beras dalam negeri. Tentunya, peran kementerian pertanian akan selalu menjadi sorotan dalam hal ini.
Apakah peran Menteri Agraria dan Menteri Pertanian dalam meningkatkan ketersediaan lahan dan kualitas pertanian di Indonesia sudah berjalan dengan baik?
Setelah Menteri Pertanian, aku mau bahas soal tupoksi Menteri Investasi. Dan aku baru tahu kalau ternyata di kabinet Jokowi ada 2 menteri yang ada hubungannya dengan investasi. Yakni, Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi) dan Bahlil Lahadalia (Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal). Kita punya 2 menteri yang begitu seksi dalam bidang investasi. Lalu, kenapa harga beras masih sangat tinggi? Jika negara memiliki investasi dalam perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan pertanian, tentunya pemerintah juga mendapatkan keuntungan di perusahaan-perusahaan itu. Aku masih belum paham ke mana arah investasi ini. Karena seharusnya, mereka juga bisa terlibat dalam investasi agribisnis, bukan hanya komoditi sawit, tapi juga padi dan lain-lain. Bukankah akan lebih cepat perekonomiannya jika negara bisa membantu permodalan usaha para petani?
Menteri Investasi tentunya tidak bisa lepas dari peran Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Menteri Koperasi dan UKM dijabat oleh Teten Masduki. Menteri koperasi memiliki peranan yang sangat seksi dan bisa bersentuhan langsung dengan masyarakat petani. Menteri Koperasi bisa memberikan akses permodalan kepada petani, juga berperan sebagai penyalur kebutuhan pangan kepada masyarakat. Kementerian ini bisa turun ke lapangan langsung untuk mengumpulkan hasil panen dan mendistribusikan kepada masyarakat. Jika posisi ini bisa dipegang langsung oleh negara, tentunya negara bisa memberikan subsidi dan mengendalikan harga pasar. Jadi, negara bisa mengambil alih dalam menentukan harga pasar, tanpa merugikan pengusaha lain. Pengusaha akan tetap dengan usahanya dan negara hadir sebagai pendamping untuk menutupi kekurangan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Kemudian, yang terakhir ada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Airlangga Hartanto), Menteri Perdagangan (Zulkifli Hasan) dan Menteri BUMN (Erick Thohir). Aku jadikan mereka dalam satu pembahasan karena tiga menteri ini akan selalu berkaitan. Ketika Menteri Agraria dan Menteri Pertanian berhasil menjalankan tugasnya dengan baik, maka ketiga menteri ini berperan penting dalam penjualan produk-produk pertanian. Seharusnya, menteri-menteri ini bisa mengupayakan produk-produk Indonesia ramai berada di luar negeri, bukan meramaikan produk-produk luar negeri di Indonesia. Hal ini, tentu akan berdampak besar bagi kesejahteraan masyarakat sampai ke tingkat ekonomi terkecil.
Dalam berita utama di atas, Erick Thohir juga menyinggung soal perang di Palestine yang memengaruhi harga beras di seluruh dunia. Kalau untuk negara lain, hal itu bisa dimaklumi karena akses distribusi logistik ke negara mereka harus melintasi wilayah perang dan terpengaruh dengan konflik. Negara-negara itu juga bukan negara agraris seperti Indonesia. Sehingga, negara-negara lain perlu melakukan ekspor beras dan wajar harganya tinggi.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang begitu kaya dengan lahan pertanian dan sumber daya alamnya?
Selayaknya, Indonesia yang sudah merdeka selama 78 tahun, memiliki kemandirian pangan di dalam negeri. Sehingga, Indonesia tidak akan terpengaruh dengan adanya perang di Eropa, di mana Indonesia sama sekali tidak menggunakan jalur perdagangan mereka. Jika bicara transport, Indonesia juga negara penghasil minyak bumi yang tidak akan bergantung pada negara lain. Kecuali Indonesia memang impor beras dari luar negeri dalam jumlah besar. Jika impor beras tinggi, maka kinerja dari menteri-menteri di atas perlu dipertanyakan lagi. Benar, bukan?