Yuk, kenalan sama Film Crew
dari komunitas Literasi Digital Rumah Literasi Kreatif!
Yuk, kenalan sama Film Crew
dari komunitas Literasi Digital Rumah Literasi Kreatif!
🐥 : Enak ya jadi Mbak Rina, makan duit dari Taman Baca?
🦧 : Duit Taman Baca gundulmu? Aku yang menghidupi Taman Baca. Bukan Taman Baca yang menghidupiku‼️
Coba buka taman baca juga!
Bisa nambah koleksi berapa buku setiap tahunnya tanpa minta-minta sumbangan? Bisa ngasih pelatihan gratis dan datangkan narasumber tanpa donatur?
Kerjasama sama Pertamina itu aku nggak digaji sepeserpun sama PHSS. Berasa aku ini karyawan mereka apa?
Aku diajak buat program juga nggak mudah. Harus nyiapin persentasi dan pertanggungjawaban juga.
Kalau nggak pernah terlibat dalam kegiatan sosial di taman baca, nggak usah ngomong aneh-aneh, deh!
Sekali-kali jadi relawan di sini ...
Supaya tahu gimana perjuangannya ngasih fasilitas gratis untuk warga.
Anak-anak belajar di sekolah, bayar.
Nggak ada yang ngatain gurunya makan duit sekolahan 'kan?
Belajar dan baca buku di Rumah Literasi, gratis.
Aku dikata-katain makan duit taman baca. Mulutnya amazing banget, ya?
Kalau aku foto-foto mereka, ya itu bentuk pertanggungjawaban untuk donatur yang udah bantu kasih fasilitas gratis.
Emang nggak rutin kegiatannya...
Karena aku juga butuh menghidupi diriku sendiri, menghidupi anak-anak, dan menghidupi taman baca juga supaya bisa survive.
Kalau mau mengkritik atau ngasih saran, sampaikan langsung ke aku! Jangan sampaikan ke orang lain!
Gunanya apa? Orang itu bisa bantu nambah koleksi buku atau fasilitas di taman baca?
Semua koleksi buku di taman baca aku dapetin dari hasil ngemis-ngemis sama temen-temen penulisku. Biar koleksi bacaan bisa update dan anak-anak yang pinjam buku nggak bosen sama buku yang itu-itu aja.
Nggak jarang aku sisihkan uang belanja atau uang jajan anakku buat bisa nambahin koleksi buku atau fasilitas yang lain.
Karena malu kalau mau minta-minta mulu. Sementara ongkir dari Pulau Jawa ke Kalimantan udah ratusan ribu karena buku itu berat.
Jadi, kalau kamu nggak bisa bantu memajukan taman baca yang dari awal aku perjuangkan seorang diri, nggak usah ngomong aneh-aneh!
Ngomongin aku di belakang, itu bukan solusi.
Kalau kamu iri ...
Buatlah yang lebih baik dari yang aku buat.
Bagiku ... proyek sosialku sudah cukup.
Karena rezekiku bukan dari taman baca.
Tapi rezekiku datang dari Allah karena aku memberi.
Buatku itu reward yang dikasih Allah atas kerja keras dan perjuanganku selama ini.
Seringkali aku bilang ke Allah ... aku ingin menyerah.
But, Allah selalu kasih aku hadiah dan bikin aku semangat lagi.
Dia berkata. "Tugasmu belum selesai. Aku yang akan menolongmu."
Jika bukan karena kekuatan dari Tuhan, aku sudah menyerah sejak dulu.
Aku bukan wanita yang kuat.
Aku bukan orang yang baik.
Aku bukan orang yang kaya.
Aku hanya ... dituntun Allah hingga sampai ke titik ini.
Semoga kamu mengerti dan bisa merasakan menjadi aku suatu hari nanti.
Pagi-pagi sekali,
Anjani melangkahkan kaki menuju sungai yang tak jauh dari rumahnya. Biasanya,
teman-temannya akan berkumpul di sana. Bersantai sembari menikmati udara pagi
yang sejuk. Gemericik air yang mengalir di antara bebatuan, benar-benar membuat
suasana pagi di desa itu terasa sangat menenangkan.
Anjani langsung
berlari menghampiri Halimah yang sedang bercengkerama dengan teman-teman wanita
yang lainnya. “Halimah ...!”
“Anjani ...!”
Halimah langsung bangkit dari atas batu yang ia duduki. Ia merentangkan kedua
tangan sambil tersenyum lebar. Ia pun ikut berlari dan berpelukan dengan
Anjani. Sudah hampir satu minggu mereka tidak bertemu. Sebab, Anjani pergi ke
luar desa bersama kedua orang tuanya karena ada urusan keluarga.
“Anjani, aku kangen
sama kamu. Gimana liburannya di Malang? Asyik?” tanya Halimah sambil mendekap
erat tubuh Anjani dan berlompat kegirangan.
“Asyik, dong. Aku
bawain oleh-oleh buat kalian,” sahut Anjani sambil menunjukkan dua paper bag di
tangannya yang penuh dengan aneka cemilan khas kota Malang.
“Wah ...! Makasih,
Anjani!” seru Ibrahim sambil menyambar paper bag dari tangan Anjani.
“Uch, dasar tukang
makan!” celetuk salah satu gadis berkerudung cokelat yang ada di sana.
“Manusia hidup butuh
makan,” sahut Ibrahim santai sambil melenggang pergi. Ia langsung menghampiri
Agus dan Ihsan untuk menikmati cemilan bersama.
Anjani tersenyum
sambil mengulurkan satu paper bag lagi ke hadapan Halimah. “Ini buat kalian,
ya! Kue lapis legitnya khusus aku belikan buat Halimah karena dia paling suka
itu.”
Halimah tersenyum
lebar sambil meraih paper bag dari tangan Anjani. “Makasih banyak, sahabatku
tersayang!”
Anjani mengangguk
sambil tersenyum.
Halimah dan
teman-teman yang lain, langsung berkerumun untuk menikmati cemilan yang dibawa
oleh Anjani. Mereka semua terlihat bersemangat menikmati cemilan itu sambil
bercengkerama.
Anjani tersenyum
kecil. Ia tidak memilih untuk bergabung bersama dengan Halimah, tapi malah
menghampiri Ibrahim, Agus dan Ihsan yang duduknya cukup jauh dari geng gadis
yang ada di sana.
“Eh, Anjani ...?
Makasih banyak makanannya, ya! Enak-enak, loh. Lain kali bawakan makanan kayak
gini yang banyak!” ucap Agus begitu ia menyadari Anjani sudah berdiri di
dekatnya.
“Gampanglah kalau
cuma soal makanan. Aku bisa kasih makanan yang lebih banyak lagi buat kalian,
asal kalian mau bantu aku,” ucap Anjani sambil tersenyum menatap wajah
teman-temannya.
Ibrahim, Agus dan
Ihsan saling pandang bersamaan, kemudian menatap wajah Anjani. “Bantu apa?”
“Aku mau ajak kalian
dan Halimah liburan ke kota. Aku akan kasih tahu setelah sampai di sana.
Bagaimana?” sahut Anjani sambil tersenyum penuh arti.
“Wah! Serius? Kamu
mau ajak kami liburan? Kami nggak bayar ‘kan?”
Anjani menggeleng. “Nggak,
dong. Aku yang ajak. Jadi, semuanya aku tanggung. Kalian semua tinggal ikut
aja. Gimana? Liburan sekolah tinggal satu minggu lagi, loh.”
“Mau ... mau ... mau
...!” Tiga pria remaja itu terlihat sangat antusias dengan ajakan Anjani.
Anjani langsung
tersenyum penuh kemenangan. “Kalian siap-siap, ya! Nanti sore kita berangkat.”
“Siap, Bu Bos!”
sahut Ibrahim, Agus dan Ihsan bersamaan.
Anjani segera
melangkah meninggalkan tiga pria itu dan bergabung bersama dengan Halimah dan
lainnya.
Setelah menghabiskan
cemilan yang dibawa Anjani dan posisi matahari yang muncul dari ufuk timur
semakin meninggi, semuanya melangkah pulang dari tepi sungai untuk memulai
aktivitas keseharian mereka masing-masing.
“Halimah, liburan
kenaikan kelas ini kamu nggak ke mana-mana?” tanya Anjani.
Halimah menggeleng. “Aku
mau pergi ke mana. Nggak pernah pergi ke mana pun selain kampung sebelah. Bantu
Kak Annisa ngurus rumah dan kebun saja,” jawabnya lembut.
“Oh ya? Seminggu ini
kamu ada ke kampung sebelah? Ketemu Ustadz Zuhri, dong?” tanya Anjani menggoda.
Halimah menggeleng. “Ustadz
Zuhri lagi nggak ada. Katanya lagi pulang sebentar ke rumah orang tuanya.”
“Oh ya?” Anjani
langsung tersenyum penuh arti mendengar ucapan Halimah. Sahabatnya itu memang
tidak begitu mengetahui siapa Ustadz Zuhri yang sesungguhnya. Pria tampan itu
adalah anak dari seorang Kiai di sebuah pesantren di kota Malang. Dia tinggal
di desa untuk mengabdi kepada masyarakat, hanya untuk sementara waktu, tidak
untuk menetap.
Halimah
mengangguk-angguk tak bersemangat. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan
mengetahui jika pria itu berasal dari kota Malang. Hanya saja, ia tidak pernah
tahu pasti di mana pria itu tinggal dan dari keluarga seperti apa. Melihat ilmu
agamanya yang sangat baik di usia begitu muda, tentu saja Ustadz Zuhri bukanlah
pria yang terlahir di keluarga biasa.
“Oh ya? Kamu liburan
ke Malang ‘kan? Kalau nggak salah, Ustadz Zuhri juga berasal dari kota Malang.
Apa kamu ketemu beliau selama di sana?” tanya Halimah.
Anjani tertawa kecil
mendengar pertanyaan Halimah. Ia tahu, sahabatnya itu pasti akan menanyakan hal
ini dan ia sudah siap untuk menjawabnya. “Malang itu luas dan di sana ada
ribuan orang, Halimah. Kalau tidak janjian, mana mungkin bisa bertemu dengan
Ustadz Zuhri,” jawabnya. Ia tidak mungkin mengatakan pada Halimah jika
keluarganya dan keluarga Ustadz Zuhri baru saja bertemu di pesantren milik
orang tua Ustadz Zuhri.
“Iya juga, ya?” Halimah
manggut-manggut tanda mengerti.
“Aku mau ajak kamu
liburan ke kota. Dua hari aja. Gimana?” ucap Anjani sambil menatap serius ke
arah Halimah.
“Eh!? Aku mana punya
uang buat liburan, An. Apalagi ke kota,” jawab Halimah.
“Gampang. Aku yang
traktir semuanya.”
“Beneran!?”
Anjani mengangguk. “Beneran,
dong. Masa Anjani bohong, sih.”
“Mmh, aku izin ke
Kak Annisa dulu, deh. Semoga dia bolehkan aku pergi liburan ke kota.”
“Pasti boleh dong
kalau sama aku,” ucap Anjani. “Kita ke kota Malang. Siapa tahu bisa ketemu
Ustadz Zuhri di sana. Dia nggak ninggalin pesan apa pun untuk kamu?”
Halimah menggeleng. “Terakhir
hanya bilang kalau dia harus pulang ke rumah karena permintaan kedua orang
tuanya.”
“Oh.” Anjani
manggut-manggut. Ia merasa sangat senang karena Ustadz Zuhri saling manjaga
jarak meski mereka berdua saling menyukai. “Oh, ya. Bukankah Ustadz Zuhri
pernah bilang mau mengkhitbah-mu kalau sudah bisa nada tilawah dengan baik?”
Halimah mengangguk
sambil tersenyum.
“Kok, dia belum
datang ke rumahmu untuk melamar?” tanya Anjani lagi.
“Mmh ... aku sudah
bicara dengan Ustadz Zuhri dan beliau sepakat untuk mengkhitbahku setelah aku
lulus SMA. Aku harus selesaikan sekolahku dulu, An,” jawab Halimah sambil
tersenyum manis. Ia sangat menyukai Ustadz Zuhri dan berharap pria itu bisa
menikahinya setelah ia lulus dari sekolah. Ia ingin terus berada di sisi Ustadz
Zuhri, dalam keadaan apa pun itu.
“Masih lama, dong?
Kita baru naik ke kelas tiga. Masih satu tahun lagi?” tanya Anjani.
Halimah mengangguk. “Satu
tahun waktu yang sebentar. Pasti nggak bakal terasa kalau dinikmati, hehehe.”
“Iya juga, sih.”
Anjani tersenyum sambil merangkul lengan Halimah. “Semoga Ustadz Zuhri bisa
menikahi kamu secepatnya. Kamu jangan mengecewakan dia, Halimah. Ustadz Zuhri
pria baik-baik dan kamu harus menjaga kesucianmu. Kalau kamu ternodai sama pria
lain, Ustadz Zuhri pasti tidak mau melihatmu lagi.”
Halimah mengangguk. “Aku
tahu, Anjani. Aku pasti menjaga kesucianku dengan baik demi Ustadz Zuhri.”
“Cinta sama Ustadz
Zuhri karena Allah atau karena dia ganteng banget?” tanya Anjani.
“Pertama karena dia
pria yang pandai ibadah, kedua karena dia baik hati. Kalau wajah tampan, itu
bonus,” jawab Halimah.
Anjani langsung
mencebik ke arah Halimah. “Kamu secantik ini, mana mungkin mau menikah sama
pria yang biasa-biasa kayak Ibrahim atau Agus itu. Udah hitam, dekil, miskin
pula.”
“Hush! Anjani nggak
boleh bicara seperti itu!” sahut Halimah. “Agus dan Ibrahim baik, kok.”
“Kalau salah satu
dari mereka yang ngelamar kamu, kamu mau?” tanya Anjani.
“Kalau sudah jalan
jodoh dari Allah seperti itu, aku pasti menerimanya, Anjani.”
Anjani menghela
napas. “Kamu mah gitu. Mau sama semua cowok.”
“Astagfirullah ...
itu fitnah, Anjani.”
“Hehehe. Bercanda,”
sahut Anjani sambil cengengesan. “Hari ini kamu siap-siap, ya! Ntar sore kita
berangkat ke kota. OK?”
Halimah mengangguk. “Kamu
bantu aku izin sama Kak Annisa, ya!”
“Siap, Juragan!”
sahut Anjani sambil memberi hormat ke arah Halimah.
“Juragan apaan? Yang
asli juragan itu kamu. Aku cuma rakyat jelata dan buruh di kebun aja, An,” ucap
Halimah lembut sambil geleng-geleng kepala.
“Ucapan itu doa.
Amiinin, dong!” pinta Anjani.
“Aamiin Ya Rabb.”
Halimah menengadahkan kedua tangan sambil menatap langit luas di atasnya. Ia
dan Anjani segera pulang ke rumah untuk beraktivitas seperti biasa dan meminta
izin agar mereka bisa pergi berlibur ke kota bersama.
[[Bersambung ...]]
Baca cerita asli "Assalamualaikum, Ya Habib!" di aplikasi Fizzo, ya!
Teirma kasih sudah dukung author terus...
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
BAB 3
OBSESI ANJANI
Anjani mondar-mandir di
dalam kamar berkali-kali sambil sesekali menggigit jemari kukunya. Kalimat
Ustadz Zuhri yang berniat untuk mengkhitbah Halimah, terus terngiang-ngiang di
telinganya.
“Kalau Ustadz Zuhri
beneran mau khotbah Halimah, itu artinya Halimah bakal jadi calon istrinya di
masa depan? Kok bisa Ustadz Zuhri mau lamar dia? Kita masih sekolah. Emang
Halimah mau nikah muda?” gumam Anjani.
“Halimah nggak mungkin
menolak Ustadz Zuhri. Apalagi dia udah mau tujuh belas tahun. Sudah boleh untuk
menikah. Apa Ustadz Zuhri bakal langsung menikahi Halimah atau menunggu dia
lulus sekolah dulu, ya?”
“Aargh ...! Nggak peduli
bakal nunggu atau langsung menikah. Intinya, kalau Ustadz Zuhri beneran
ngelamar Halimah, mereka bakal tetap jadi suami istri,” ucap Anjani.
“Nggak boleh! Ini nggak
boleh terjadi. Yang kenal sama Ustadz Zuhri itu aku duluan. Harusnya Ustadz
Zuhri sukanya sama aku! Kenapa malah sama Halimah. Kesel banget sama Halimah.
Caper banget di depan Ustadz Zuhri,” cerocos Anjani. Ia sibuk berdialog dengan
dirinya sendiri.
Anjani menatap wajahnya
di cermin. “Aku sama Halimah masih cantikan mana? Cantik aku ‘kan?” tanyanya
pada bayangannya sendiri. “Abi aku juga guru Agama dan Ummi guru ngaji.
Keluargaku juga keluarga yang agamanya baik. Kenapa Ustadz Zuhri malah pilih
Halimah yang nggak punya orang tua dan kakaknya juga nggak alim. Kak Annisa, ke
mana-mana nggak pernah pake hijab.”
“Anjani ... kamu nggak
boleh kalah dari Halimah. Kamu harus bisa dapetin Ustadz Zuhri sebelum dia
kembali ke kampungnya karena masa pengabdiannya selesai. Ayahnya Ustadz Zuhri
itu Kiai dan punya pesantren. Kalau aku menikah dengan dia, masa depanku akan
cerah,” ucapnya. Ia menegakkan tubuhnya dan tersenyum bangga pada dirinya
sendiri. Ia akan melakukan apa pun untuk membuat Ustadz Zuhri menjadi suaminya.
Anjani melangkahkan
kakinya keluar dari kamar. Ia langsung menghampiri ayahnya yang sedang
bersantai sambil menonton televisi. “Abi ...!” panggilnya manja.
“Ada apa?”
“Anjani boleh minta sesuatu?”
tanyanya sambil bergelayut manja di pundak ayahnya.
“Apa?”
“Anjani pengen menikah.”
“APA!? Kamu masih
sekolah, sudah pengen nikah?” tanya Ayah Anjani sambil memperhatikan wajah
puterinya. Matanya langsung berpindah ke bagian perut puterinya. “Kamu hamil?”
“Astagfirullah, Abi!
Kenapa Abi berprasangka seburuk itu? Anjani masih suci, Bi. Mana mungkin Anjani
hamil.”
“Terus, kenapa minta
nikah?”
“Sebentar lagi lulus
sekolah, Abi. Anjani pengen nikah aja. Soalnya, Anjani suka sama seseorang dan
ingin menghindari zina dengan menikah. Boleh ya, Bi!”
Ayah Anjani menghela
napas. “Kamu mau menikah dengan siapa? Anak-anak di kampung ini tidak ada yang
masa depannya bagus. Mereka Cuma lulusan SMA. Paling-paling kerja di kebun
setiap hari. Kamu mau punya suami begitu?”
Anjani menggeleng. “Nggak
mau, Abi. Makanya aku mau dinikahkan dengan Ustadz Zuhri. Dia masih muda,
tampan dan pandai agama.”
“Astagfirullah, Anjani!
Kamu ini jangan sembarangan bicara! Ustadz Zuhri yang di kampung sebelah itu?
Apa dia mau punya istri sepertimu? Dia hanya bertugas sementara saja di desa
itu. Tidak akan lama tinggal di sana.”
“Anjani akan ikut ke
manapun Ustadz Zuhri pergi jika Abi mau melamar kan Ustadz Zuhri jadi suamiku.”
“Astagfirullah ...!
Harusnya kamu yang dilamar. Bukan melamar, Anjani!”
“Buat Ustadz Zuhri
melamarku, Abi!”
“Gimana caranya? Kamu
ingin menurunkan martabat Abi di depan semua orang?”
“Abi kenal dengan orang
tua Ustadz Zuhri ‘kan?”
“Iya, kenal. Tapi tidak
begitu dekat.”
“Minta orang tuanya untuk
menjodohkan aku dan Ustadz Zuhri, Abi.”
Ayah Anjani terdiam
sambil berpikir selama beberapa saat.
“Abi ... Anjani cuma mau
menikah sama Ustadz Zuhri seumur hidup. Kalau tidak menikah dengan dia, Anjani
tidak akan menikah seumur hidup!” ancamnya sambil bangkit dari sofa saat ayahnya
tak kunjung memberikan keputusan. Ia langsung melangkah kasar menuju kamar.
“Kamu jangan marah-marah
dulu! Abi akan usahakan. Tapi tidak janji. Semoga Ustadz Zuhri juga bersedia
menikahimu.”
Anjani langsung tersenyum
lebar mendengar ucapan ayahnya. “Terima kasih, Abi ...!” Ia berlari ke arah
ayahnya dan memeluk tubuh pria itu sambil tersenyum ceria. Ia sudah mendapatkan
akses untuk membuat ikatan dengan Ustadz Zuhri. Ia hanya butuh usaha lagi untuk
membuat Ustadz Zuhri menyukainya. Ia harus bisa menggagalkan Ustadz Zuhri untuk
mengkhitbah Halimah agar ia menjadi pemilik satu-satunya pria tampan nan sholeh
tersebut.
[[Bersambung ...]]
Terima kasih buat kalian
yang udah mau nunggu cerita ini!
Cerita ini adalah Prequel
“Assalamualikum, Ya Habib!” yang ada di aplikasi Fizzo.
Jadi, kalau mau tahu
kenapa ada cerita ini, baca dulu novel sebelumnya, ya!
Much Love,
@vellanine.tjahjadi
Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas