Wednesday, August 17, 2022

Bab 39 - I am Savage and I Change

 


 

Tiga tahun kemudian ...

 

“Pak Nanda, ini berkas yang harus bapak tanda tangani ...!” ucap seorang sekretaris sambil meletakkan beberapa map ke atas meja kerja Nanda.

Nanda mengangguk. “Hari ini jadwal saya apa aja?”

“Jam sembilan pagi ini meeting dengan investor, makan siang bersama klien dari Jakarta, setelah makan siang kunjungan ke lokasi proyek,” jawab sekretaris tersebut.

Nanda mengangguk. “Kamu boleh keluar!”

Sekretaris itu mengangguk dan segera keluar dari ruang kerja Nanda.

Nanda tersenyum kecil. Ia meraih bingkai foto yang terpajang di meja kerjanya. Potret seorang wanita yang berhasil membolak-balikkan kehidupannya, kemudian berlalu begitu jauh meninggalkannya.

“Ayu, apa sekarang aku sudah layak untuk mendapatkanmu? Aku sudah menjalani hari-hariku dipenjara selama setahun. Aku sudah merasakan sakitnya perusahaan keluargaku jatuh hingga aku bisa bangkit lagi. Terima kasih ...! Kamu sudah menghukumku dengan cara yang begitu indah,” ucap Nanda sambil menatap potret Ayu.

“Permisi, Pak ...! Lima menit lagi, meeting dimulai,” ucap sekretaris Nanda sambil melangkah masuk ke dalam ruang kerja pria itu.

Nanda mengangguk. Ia bangkit dari kursi dan meletakkan kembali bingkai foto Roro Ayu yang selalu menemaninya setiap hari di meja kerja itu.

Nanda melangkahkan kakinya perlahan menuju ke ruang meeting.

“Selamat pagi, Pak Nanda ...!” sapa semua orang yang sudah ada di dalam ruangan tersebut.

“Pagi ...!” balas Nanda sambil tersenyum manis dan duduk di kursi kosong yang telah disediakan untuknya. Ia langsung membuka dokumen yang ada di tangannya dan segera memimpin rapat.

“Dalam dua tahun terakhir ini, Amora Internasional berhasil bangkit dari keterpurukan. Terima kasih untuk orang-orang yang begitu hebat yang ada di belakang saya hingga bisa membawa perusahaan ini berkembang lebih baik lagi. Terima kasih untuk para tim yang sudah bekerja keras, terima kasih juga kepada para investor yang telah mempercayakan investasinya di perusahaan kami. Semoga, Amora Internasional bisa berkembang menjadi perusahaan yang lebih baik lagi dan melebarkan sayap bisnis ke sektor-sektor ekonomi yang lebih luas lagi,” tutur Nanda setelah ia selesai mempresentasikan kinerja perusahaan selama dua tahun terakhir.

Setelah menyelesaikan meeting dan makan siangnya. Nanda segera berpindah menuju ke pembangunan proyek rumah sakit khusus ibu dan anak. Ia memeriksa progress pembangunan yang sudah mencapai delapan puluh persen.

Nanda terus melangkahkan kakinya perlahan sambil memperhatikan bangunan yang ada di sana dan menyesuaikan dengan sketsa biru yang ada di tangannya.

“Nanda ...!”

Panggilan seseorang di belakangnya, membuat Nanda memutar tubuhnya. Suara itu tak asing lagi di telinganya dan benar saja kalau pria yang ada di sana adalah Sonny, sahabatnya sejak kecil yang tidak pernah lagi ia temui sejak tiga tahun belakangan ini.

Sonny melangkahkan kakinya perlahan menghampiri Nanda. Ia mengulurkan sebuah kartu ke hadapan pria itu. “Kebetulan kita ketemu di tempat ini. Tadinya, aku ingin mengunjungimu untuk memberikan ini.”

Nanda tersenyum menatap kartu undangan yang ada di tangannya. Ia menatap nama Sonny dan nama seorang wanita yang tidak ia kenal. “Kamu mau nikah? Selamat, ya!”

Sonny mengangguk sambil tersenyum. “Makasih, Nan! Aku minta maaf karena pernah melukaimu tiga tahun lalu.”

Nanda tersenyum  menatap wajah Sonny. “Aku yang seharusnya minta maaf karena sudah merebut wanitamu dengan cara biadab.”

Sonny tersenyum  menatap wajah Nanda. “Dia ditakdirkan bukan untukku, Nan. Saat dia tak lagi bersamamu, dia juga tidak kembali ke sisiku. Aku sudah ikhlas melepaskannya.”

Nanda balas tersenyum. Mereka yang dulu begitu akrab dan sedekat nadi, kini terasa sangat canggung.

Sonny tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas laptopnya. “Ini jurnal bisnis dari Cambridge University yang terbit tahun ini. Seseorang menuliskan profil tentangmu. Kamu masih ada di hati dia,” ucapnya.

Nanda terdiam menatap buku yang diulurkan Sonny ke arahnya. Ia tidak mengerti maksud pria itu dan tidak begitu tertarik membaca buku yang begitu tebal. Ia tidak begitu suka membaca. Melihat halamannya yang tebal, ia sudah enggan menyentuhnya.

Sonny menarik lengan Nanda dan meletakkan buku itu di telapak tangan Nanda. “Look at the writer!” ucapnya. Ia tersenyum manis dan menepuk pundak Nanda. “Jangan lupa datang ke pernikahanku! Aku ingin kamu datang membawa dia kembali di sisimu.” Ia berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Nanda.

Nanda terdiam dan menatap buku berwarna biru dengan tulisan warna putih. “4R Prameswari?” Ia melebarkan kelopak matanya. Kemudian membuka halaman-halaman buku itu dengan cepat.

Nanda duduk di birai yang ada di tempat tersebut. Ia membaca buku itu perlahan dan tidak menyangka kalau Roro Ayu memasukkan profil tentang dirinya yang membawa Amora Internasional bangkit dari keterpurukan hanya dalam dua tahun.

“Ay, kamu diam-diam masih memperhatikanku?” tanya Nanda sambil memeluk buku yang ada di tangannya. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri asisten pribadinya.

“Mas, carikan tiket pesawat menuju ke London secepatnya!” perintah Nanda sambil melangkahkan kakinya.

“London?”

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. Ia melangkahkan kakinya menuju mobil dan masuk ke dalamnya.

Asisten pribadi Nanda langsung mengikuti langkah pria itu, ia masuk ke dalam mobil. Duduk di belakang kemudi dan segera menyalakan mesin mobil tersebut. Pria muda itu melirik wajah Nanda yang terus tersenyum sambil memeluk buku di tangannya. Yang ia tahu, Nanda tidak begitu suka membaca buku. Juga tidak pernah tersenyum tanpa alasan selama dua tahun terakhir ini. Senyuman Nanda hanya tersungging di depan investor dan klien, itu pun tak seceria ini.

“Pak, Bapak yakin akan pergi ke London?” tanya asisten pribadi itu. “Jadwal kunjungan dan pekerjaan bapak masih padat.”

Nanda menoleh ke arah asisten pribadinya. “Ada kamu. Buat apa aku masih harus terjun ke lapangan?”

Asisten pribadi itu ternganga. Kata yang ingin ia ucapkan tercekat di kerongkongannya. Memang seharusnya dia bisa handle semua pekerjaan bosnya itu meski Nanda selalu turun tangan seorang diri.

“Mau berapa lama di London? Supaya saya bisa aturkan pekerjaan Bapak,” tanya asisten itu lagi.

“Mmh ... satu  minggu,” jawab Nanda sambil tersenyum. Ia rasa, waktu itu cukup untuk membuat Roro Ayu kembali ke pelukannya. Ia pikir, selama ini wanita itu kembali pada pria yang begitu dicintai sejak duduk di bangku SMA. Ia tidak menyangka jika Sonny malah menikahi wanita lain. Mungkin, Roro Ayu memang ditakdirkan untuknya meski cara yang ditunjukkan Tuhan begitu menyakitkan.

Setelah selesai mempersiapkan semuanya, Nanda terbang menuju kota London dengan harapan ... bisa membawa Roro Ayu kembali ke negara mereka. Kembali berada di sisinya dan menjalani semua hal sulit bersama-sama. Ia tahu, seluruh dunia akan menentangnya. Tapi ia juga tahu apa yang sedang dia inginkan di dunia ini. Meski wanita itu telah membuatnya mendekam dalam penjara selama satu tahun, membuat perusahaan keluarganya terpuruk, hubungan keluarga mereka dan persahabatannya hancur. Tapi ia tidak pernah bisa membenci Roro Ayu.

Ia pernah mengatakan benci pada wanita itu. Ia pernah ingin membalas perlakuan Ayu yang begitu kejam menghukum dirinya. Tapi semua itu tertepis oleh rasa rindu yang selalu memeluk hangat setiap malam-malamnya. Kehilangan dan penyesalan, membuatnya mengetahui hal paling berharga dalam hidupnya. Sesuatu yang pantas untuk diperjuangkan, harus ia perjuangkan. Dan hari ini ... kota London akan menjadi saksi perjuangan cintanya terhadap wanita yang pernah ia hancurkan, tapi malah terlahir kembali menjadi lebih kuat.

“Ay, back to me ...!” bisik Nanda sambil menoleh ke luar jendela pesawat yang membawa tubuhnya menuju ke tempat yang ingin tuju. Ia telah berusaha keras memantaskan dirinya untuk mendapatkan wanita yang derajatnya begitu tinggi. Meski sulit digapai, ia tetap ingin berjuang membawa Ayu kembali.

“I am savage and I changed.”

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Mohon maaf kalau kemarin nggak sempat update, aku sibuk ngurus papa di RS dan akunya ikut sakit kepala karena kurang istirahat. Tetap setia nunggu karya aku ‘kan? Hehehe ...

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 


Bab 38 - Bangkit dari Rasa Sakit

 



Tiga bulan kemudian ...

Bunda Rindu dan suaminya melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa menyusuri koridor rumah sakit St. Thomas Hospital yang ada di Westminster Bridge Road, kota London. Mereka langsung pergi ke rumah saskit tersebut saat mendapat kabar kalau tubuh Roro Ayu memberikan respon positif dan kemungkinan akan segera bangun dari komanya.

“Dokter, gimana keadaan puteri kami?” tanya Ayah Edi dalam bahasa Inggris.

“Puteri kalian memberikan respon yang baik akhir-akhir ini. Kami sudah melakukan berapa kali uji respon sarafnya. Perkiraan kami, hari ini dia bisa bangun jika tidak ada masalah,” jawab dokter tersebut.

Bunda Rindu tersenyum lega mendengar kondisi kesehatan Roro Ayu yang terus membaik. Ia tidak menyesal membawa puterinya itu ke luar negeri meski harus menghabiskan uang yang tidak sedikit.

Bunda Rindu dan Ayah Edi langsung menghampiri tubuh puterinya yang masih terbaring di ranjang rumah sakit tersebut. Ia tersenyum lega ketika perawat tetap menjaga puterinya terlihat cantik dan baik.

“Roro, bunda sama ayah datang. Kamu bangun, ya! Kami kangen sama kamu. Kalau Roro bangun, bunda akan penuhi semua permintaan Roro, apa pun itu. Maafkan kami yang sudah memberikanmu pada orang yang salah. Bunda dan Ayah janji, tidak akan membiarkanmu menderita lagi,” bisik Bunda Rindu di telinga Ayu.

Ayu menggerakkan jemari tangannya perlahan. Ia bisa mendengar bisikan dari bundanya itu dengan jelas dan berusaha keras membuka matanya. “Bunda ...!” panggilnya lirih.

Bunda Rindu melebarkan kelopak mata dan menatap wajah Ayu yang sudah membuka matanya. “Bunda di sini ...! Ayu sudah bangun?” tanyanya sembari menitikan air mata. Ia langsung mengusap lembut kening Ayu, membelai rambutnya dengan hangat dan menciumi wajah puteri kesayangannya itu.

“Aku tidur berapa lama? Anakku mana, Bunda?” tanya Ayu lirih sambil mengusap perutnya yang sudah datar.

Bunda Rindu tersenyum sambil memeluk lengan Ayu. “Ayu jangan sedih, ya! Anak Ayu sudah bahagia sama Tuhan.”

“Maksud Bunda?” Ayu menatap nanar ke arah Bunda Rindu. “Dia nggak selamat?”

Bunda Rindu mengangguk. Ia berusaha untuk tetap tersenyum meski perasaannya sangat sakit. “Nggak usah sedih, ya! Dia sudah jadi anak yang baik selama bersamamu. Di atas sana, dia sedang berusaha membuatmu hidup dengan baik dan kembali ke sisi kami semua. Sudah tiga bulan Roro koma. Sekarang, kita di London.”

“London?” tanya Ayu lirih sambil menoleh ke luar jendela. Kemudian, mengalihkan pandangannya kembali pada Bunda Rindu dan Ayah Edi yang berdiri di belakangnya. “Nanda mana?”

Bunda Rindu dan Ayah Edi saling pandang. Mereka tidak menyangka kalau Ayu masih mempertanyakan keberadaan Nanda saat baru saja terbangun dari komanya.

“Nanda lagi keluar sebentar. Roro istirahat dulu, ya!” pinta Bunda Rindu saat tim dokter mulai menghampiri ranjang Ayu untuk memeriksa kondisi kesehatannya.

Ayu mengangguk kecil. Ia merasakan seluruh tubuhnya sangat sakit dan sulit untuk ia gerakkan. Ia hanya bisa menatap tubuh Bunda Rindu dan ayahnya yang sedang duduk di sofa yang tidak jauh dari ranjangnya. Menunggu dokter memeriksa kondisi kesehatannya.

Bunda Rindu dan Ayah Edi terus menjaga Roro Ayu hingga puteri kesayangannya itu benar-benar sehat dan bisa keluar dari rumah sakit.

“Bunda ...!” panggil Ayu saat ia sudah berdiri di depan halaman rumah sakit St. Thomas tersebut. Ia menggenggam paspor dan visa di tangannya.

“Ada apa?” tanya Bunda Rindu sambil menghentikan gerakan tangannya yang sedang membukakan pintu mobil untuk puterinya.

“Bolehkah aku melanjutkan S2 di kota ini? Aku belum mau kembali ke Indonesia,” ucapnya lirih sembari menahan rasa sesak di dadanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini. Kehilangan seorang anak dan suami, membuatnya tidak menginginkan apa pun. Ia harap, dengan menempuh pendidikan lagi, bisa mengalihkan kesedihannya dan membuat masa depannya lebih baik lagi. Ia ingin menebus kegagalan yang telah membuat kedua orang tua kecewa.

Bunda Rindu langsung tersenyum mendengar permintaan puterinya. Ia menoleh ke arah Ayah Edi untuk meminta persetujuan pria itu.

Ayah Edi mengangguk sambil tersenyum. “Kamu mau lanjut di universitas mana? Ayah akan bantu mengurusnya.”

“Cambridge,” jawab Ayu tanpa berpikir lama.

Ayah Edi menganggukkan kepala. “Ayah akan bantu mengurus tempat tinggal dan sekolahmu. Untuk sementara, kamu tinggal di hotel tempat kami menginap. Gimana?”

Ayu mengangguk. Ia segera masuk ke mobil dan menuju hotel tempat kedua orang tuanya menginap selama menjaganya di kota tersebut. Ia tahu, titik terapuh dalam hidup manusia adalah ketika ia berlari dan tidak berani menghadapi takdir yang sesungguhnya. Dan dia ... sedang berada di titik itu.

Ayu  menyalakan ponselnya yang baru saja disodorkan oleh ayahnya. Ia membuka semua aplikasi pesan yang ada di sana. Tidak ada satu pesan pun dari Nanda. Mungkin, pria itu memang tidak pernah mempedulikan bagaimana keadaannya. Tidak pernah mencarinya meski ia menghilang dalam waktu lama.

Pesan yang masuk secara beruntun ke dalam ponselnya, malah penuh dengan pesan perhatian dari Sonny. Sonny tahu, Ayu tidak akan pernah mengganti nomor ponselnya meski ponsel itu hilang. Membuat pria itu tidak berhenti mengirimkan pesan setiap harinya.

Membaca semua pesan dari Sonny, seharusnya ia sangat bahagia. Terlebih, kedua orang tuanya sudah mendapatkan surat pembatalan pernikahannya dengan Nanda. Tapi kali ini, pesan dari Sonny terasa hampa di hatinya. Ia tidak berniat membalas pesan tersebut dan memilih untuk meninggalkan semua masa lalunya bersama Sonny. Ia pikir, menjalani kehidupan masing-masing adalah cara paling baik agar tidak saling menyakiti.

Setelah kedua orang tuanya kembali ke Indonesia. Ayu memilih menjalani hari-harinya di kota London. Tidak hanya mengambil pendidikan di Cambridge, ia juga mengambil pekerjaan paruh waktu. Bekerja bukan karena kekurangan uang, tapi ia bekerja untuk menambah kesibukannya hingga ia lupa pada semua masa lalu yang begitu menyakitkan. Sibuk meningkatkan diri adalah cara terbaik untuk penyembuhan.

Setiap hari libur, Ayu selalu pergi ke perpustakaan kota. Tidak hanya membaca buku, ia juga menyempatkan diri untuk belajar menulis jurnal tentang bisnis. Setelah mendapatkan gelar sebagai lulusan terbaik di Melbourne University, ia juga ingin mendapatkan prestari yang baik di Cambridge. Andai ia tidak bisa lulus dengan nilai yang baik, ia masih bisa meninggalkan jurnal-jurnal ini untuk masa depan.

Jika nasib percintaannya tidak berakhir dengan baik, maka nasib pendidikan dan finansialnya harus berakhir baik. Setidaknya, ia masih memiliki satu alasan untuk tetap bertahan hidup dan membahagiakan orang-orang yang ia cintai.

Roro Ayu tersenyum sambil menatap satu eksemplar buku yang sudah berhasil diterbitkan oleh penerbit universitas tersebut. Tahun pertamanya di Cambridge University, ditutup dengan terbitnya jurnal bisnis yang ia susun selama satu tahun dan dijadikan sebagai referensi pendidikan untuk generasi selanjutnya. Nama Raden Roro Ayu Rizky Prameswari menjadi satu-satunya nama asli Indonesia yang mengukir sejarah International Woman Business Journal di seluruh dunia.

 

((Bersambung...))

 

Gimana dengan nasib Nanda?

Lihat di part selanjutnya, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Bab 37 - Hukuman untuk Nanda

 



Nanda melangkahkan kakinya perlahan memasuki kediaman depan keraton. Ia baru bisa memasuki keraton setelah mempelajari rentetan syarat dan aturan yang harus ia terapkan ketika ingin memasuki tempat tersebut. Ia hanya boleh memasuki area yang sudah ditunjukkan oleh abdi dalem di istana tersebut dan diawasi oleh dua pengawal di kanan dan kirinya.

“Selamat sore, Raden Mas ...! Saudara Ananda Putera Perkasa ingin menghadap,” sapa seorang abdi dalem sambil menangkup kedua tangannya dan membungkuk sopan.

Edi langsung mengangguk kecil dan menatap tubuh Nanda yang sudah membungkuk sopan di belakang abdi dalem keraton tersebut. Ia memberi isyarat pada semua orang-orangnya untuk meninggalkan ia dan Nanda berdua saja.

“Ada perlu apa cari saya?” tanya Edi sambil duduk santai di pendopo yang ada di sana. Ia masih membiarkan Nanda berdiri di bawah teriknya matahari sore.

Nanda menarik napas dalam-dalam dan menatap wajah Edi Baskoro. “Ayah ... tolong maafkan aku! Di mana aku bisa menemukan istriku?”

Edi langsung melemparkan dokumen ke hadapan Nanda begitu saja.

Nanda menatap kop dokumen yang menunjukkan logo dan tulisan nama pengadilan agama setempat. Tangannya bergetar ketika ia ingin meraih dokumen yang tergeletak di lantai di bawahnya.

“Itu surat pembatalan pernikahan dari pengadilan agama. Dia bukan istrimu lagi. Tidak perlu tahu di mana keberadaan Roro Ayu!” tegas Edi sambil menyesap teh hangat yang disiapkan untuknya.

Nanda menjatuhkan lututnya yang melemas. Surat pembatalan pernikahan begitu cepat keluar dari pengadilan. Ia tidak menyangka jika ayah mertuanya tetap bersikeras memisahkan mereka.

“Kamu tidak perlu takut soal harta keluargamu. Sebelum Roro Ayu masuk rumah sakit, dia sudah mengirim surat permohonan untuk meringankan tuntutan terhadapmu. Berterima kasihlah karena puteriku masih mengasihanimu. Sekarang, kamu bukan suaminya lagi dan tidak perlu mencari keberadaan dia,” tutur Edi sambil melirik tubuh Nanda.

Nanda menarik napas dalam-dalam. Ia mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi ayah mertuanya itu. “Ayah ... Roro Ayu masih koma. Aku ingin menjaga dia.”

“Tidak perlu! Kami bisa menjaga dan merawat dia!” tegas Edi.

“Tapi ...”

“Pulanglah! Meski kamu berlutut di halaman ini selama tujuh hari tujuh malam, aku tidak akan memberitahukan di mana keberadaan puteriku. Urus saja perempuan-perempuan gilamu itu dan tidak perlu muncul di hadapan puteriku lagi!” perintah Edi.

“Ayah ... kasih aku kesempatan sekali lagi! Aku mohon ...!” pinta Nanda.

“Kamu minta setengah kesempatan saja, aku tidak akan memberikannya. Apalagi sekali. Tidak ada orang lain yang bisa mencintai puteriku melebihi aku. Aku tidak akan percaya kata-katamu. Sekali kamu menyakiti puteriku, aku akan menghancurkanmu berkali-kali. Kalau kamu tidak segera pergi dari keluarga kami, aku akan mengajukan tuntutan yang lebih berat pada keluargamu!” sahut Edi.

“Aku akan berikan apa pun yang Anda mau asalkan aku bisa bertemu dengan Ayu,” ucap Nanda sambil menatap wajah Edi.

Edi tersenyum miring. “Kalau kamu mencintai puteriku, kamu akan menemukan dia dengan caramu sendiri.”

Nanda terdiam sambil berusaha mencerna kalimat terakhir dari mulut Edi.

Suasana tiba-tiba hening untuk beberapa saat hingga Edi bangkit dari duduknya. “Pergilah! Seluruh hidup dan harta keluargamu, tidak akan cukup untuk menggantikan penderitaan puteriku. Kalau bukan karena kebaikan Roro Ayu, aku sudah membunuhmu!” tegasnya sambil melangkah pergi meninggalkan Nanda seorang diri.

Nanda terduduk lemas di pelataran pendopo keraton tersebut. Ia sudah menunggu selama dua hari untuk bertemu dengan Ayah Edi dan ia masih tidak bisa mendapatkan informasi keberadaan Roro Ayu.

Nanda berusaha bangkit dari tanah dan melangkah perlahan meninggalkan keraton tersebut. Ia benar-benar tidak tahu lagi harus ke mana ia pergi mencari Roro Ayu. Ia benar-benar tidak menyangka jika keluarga keraton itu menyembunyikan istrinya yang sedang dalam keadaan koma. Lebih sulitnya lagi, aturan sakral keraton kesultanan, membuatnya tidak berdaya.

Nanda masuk ke dalam mobil. Tapi enggan menyalakan mesin mobil tersebut. Ia menyandarkan tubuhnya sembari terus berpikir. Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan data ke mana jet pribadi yang membawa tubuh istrinya itu. Jika keluarganya tidak membuka akses untuknya, maka ia harus mencari jalan sendiri.

“Jet pribadi dikuasai sama keluarga Hadikusuma. Aku harus ke sana!” ucap Nanda setelah ia berpikir selama beberapa saat. Ia segera menyalakan mesin mobil dan bermanuver dengan cepat untuk kembali ke kota Surabaya.

Beberapa jam kemudian, Nanda sudah sampai di kota Surabaya. Ia langsung menuju kediaman besar keluarga Hadikusuma yang ada di wilayah Virginia.

“Nan, tumben ke sini?” tanya Rocky yang kebetulan sedang melangkah keluar dari rumahnya.

“Orang tuamu ada?” tanya Nanda.

“Baru aja berangkat ke Washington,” jawab Rocky. “Ada perlu?”

“Aku mau tanya soal ... jet pribadi keluargamu. Apa ada yang sewa dua hari terakhir ini?” tanya Nanda.

“Setiap hari ada yang sewa. Kecuali jet yang dipakai Ayah Ye. Ada masalah?” tanya Rocky.

Nanda langsung menceritakan kesulitannya dan meminta bantuan pada Rocky untuk menemukan di mana keberadaan Roro Ayu.

“Bentar, aku tanya orang yang urus di airport,” ucap Rocky sambil membuka ponselnya. “Aku kirim dalam lima menit. Aku buru-buru, ada masalah di bengkel,” ucapnya sambil membuka pintu mobilnya.

Nanda mengangguk. “Thank’s, Ky!”

Rocky mengangguk. “Kalau perlu bantuan, calling aja! Aku urus bengkel aku dulu!”

Nanda mengangguk. Ia melambaikan tangan ke arah mobil Rocky yang mulai meninggalkan halaman rumah tersebut.

Nanda tersenyum lega saat Rocky mengirimkan file ke ponselnya. “Britania Raya?” Ia buru-buru masuk ke dalam mobilnya dan bergegas pergi ke rumah untuk menyiapkan semua keperluannya.

Drrt ... drrt ... drrt ...!

Nanda mengernyitkan dahi saat ada panggilan telepon dari papanya. Ia tahu, sang papa hanya akan meneleponnya jika ada masalah penting saja. Nanda segera mengunci pintu rumah, menarik koper miliknya menuju mobil sembari menjawab panggilan telepon dari papanya.

“Ada apa, Pa?”

“Kamu di mana?” tanya Andre.

“Di rumah.”

“Roro Ayu sudah ketemu?”

“Dibawa ke Inggris. Aku mau nyusul ke sana.”

“Tahu rumah sakitnya?” tanya Andre.

“Belum, Pa. Aku akan cari setelah sampai di sana,” jawab Nanda sambil memasukkan koper ke dalam bagasi mobilnya.

“Sepertinya kamu nggak bisa keluar dari Indonesia.”

“Kenapa?” tanya Nanda.

“Ada surat panggilan dari kepolisian. Ini panggilan kedua, Nan. Datanglah! Jangan menyulitkan papa lagi!” pinta Andre.

“Panggilan apa?”

“Roro Ayu masih belum menarik tuntutannya.”

“Pa, ada pengacara ‘kan? Kenapa mereka nggak bisa atasi?” sahut Nanda. Ia benar-benar kesal dengan dirinya sendiri karena masalah bertubi-tubi menimpanya dan tidak bisa ia hentikan.

“Sudah, Nan. Jalani dulu tanggung jawabmu! Roro Ayu dibawa ke luar negeri untuk berobat. Kalau hari ini kamu tidak kooperatif dan datang ke kantor polisi, kamu akan dijemput paksa dengan cara tidak terhormat,” tutur Andre.

“Pa, Papa tega biarin aku masuk penjara di saat kayak gini?” tanya Nanda dengan perasaan tak karuan.

“Bertanggungjawablah! Semua media sudah mengangkat beritamu, Nan. Saham perusahaan kita sedang dalam bahaya. Jalani hukumanmu! Belajarlah bertanggung jawab. Maafkan Papa karena tidak bisa melindungimu.”

Tubuh Nanda merosot ke lantai begitu saja. Ia benar-benar tidak menyangka kalau hidupnya akan seberantakan ini. Dalam diamnya, Roro Ayu telah mengumpulkan banyak bukti untuk menuntutnya dengan pasal berlapis. Pasal pelecehan seksual, pernikahan paksa dan perselingkuhan. Membuatnya harus menghadapi tuntutan pidana dan perdata, harus berhadapan dengan komnas perlindungan anak dan perempuan. Juga masih harus menjalani tuntutan hukum adat dari keluarga keraton.

Bermasalah dengan keluarga bangsawan, benar-benar menghancurkan hidupnya dan membuatnya harus mendekam di penjara. Tidak ada yang bisa mencabut tuntutan itu selain Roro Ayu sendiri, sayangnya wanita itu sedang dalam keadaan koma dan Nanda tidak diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memohon. Dia ... harus menebus kesalahan yang ia lakukan pada Ayu.

 

 

((Bersambung...))

 

 

[Semua perbuatan, harus dipertanggungjawabkan. Itulah yang harus dilakukan Nanda saat ini. Menebus semua kesalahannya pada Roro Ayu. Wanita yang sudah ia lukai mental dan masa depannya]

Baca terus kisah seru selanjutnya, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Bab 36 - Dipisahkan

 

 


Nanda tertunduk lesu sambil memeluk pusara bertuliskan  Axel Noah Perdanakusuma, sang putera yang tidak sempat ia dengar tangis dan tawanya ketika terlahir ke dunia.

“Nan, kita pulang! Udah sore,” bisik Nia di telinga Nanda yang masih enggan pergi dari sana.

“Aku masih mau temenin dia, Ma. Dia masih kecil,” ucap Nanda.

“Nan, anakmu sudah nggak ada. Sadarlah! Hidupmu masih harus berjalan. Ada Roro Ayu yang membutuhkanmu. Jangan sampai kamu menyesal lagi,” bisik Nia.

Nanda terdiam. Ia langsung menoleh ke arah Nia begitu ia mendengar nama Roro Ayu disebut oleh wanita itu. Ia langsung bangkit dari tanah. “Roro Ayu?” Ia bergegas melangkah pergi dari tempat tersebut dan memacukan mobilnya menuju ke rumah sakit, tempat istrinya itu mendapatkan perawatan.

Beberapa menit kemudian, Nanda sudah sampai ke rumah sakit. Ia langsung menuju ke ruang VVIP, tempat Roro Ayu mendapatkan perawatan.

Nanda mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang kosong. Ranjang tidur yang tadinya terisi oleh tubuh Roro yang dilengkapi peralatan medis, kini sudah terlihat rapi. Bahkan, tak ada barang satu pun yang tertinggal di sana.

“Ayu, kamu di mana?” gumam Nanda. Ia langsung berlari keluar ruangan dan menghampiri petugas yang berjaga.

“Suster, istri saya di mana?” tanya Nanda sambil menghampiri perawat yang ada di sana.

“Istri Anda atas nama siapa?” Perawat itu balas bertanya.

“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari,” jawab Nanda lengkap.

“Oh. Puteri keraton itu, ya? Sudah dipindahkan, Mas.”

“Dipindahkan? Dipindahkan ke mana?” tanya Nanda.

“Saya kurang tahu, Mas. Katanya mau dipindahkan ke rumah sakit lain. Kalau mau lebih jelasnya, bisa tanyakan ke bagian administrasi saja,” jawab perawat tersebut.

“Makasih, Sus!” ucap  Nanda. Ia segera berlari menuju ke bagian administrasi yang tidak jauh dari lobi.

“Suster!” panggil Nanda sambil menghampiri petugas yang sedang berjaga.

“Ya. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau tahu ke mana istri saya dipindahkan dan siapa yang memindahkan dia!” pinta Nanda.

“Atas nama siapa?”

“Raden Roro Ayu Rizky Prameswari.”

“Keluarganya yang memindahkan dia, Mas.”

“Oh ya? Dipindahkan ke mana?” tanya Nanda.

“Ke salah satu rumah sakit yang ada di luar negeri,” jawab perawat itu.

“Rumah sakit apa, Suster?”

“Maaf, Mas. Kami nggak tahu kalau soal itu,” jawab suster tersebut.

Nanda terdiam selama beberapa saat. Beberapa jam lalu, ayah mertuanya masih mengikuti acara pemakaman puteranya. Jika mereka membawa Roro Ayu pergi, tentunya belum pergi jauh. Hanya saja, waktu untuk mencapai bandara hanya tiga puluh menit saja. Artinya, Roro Ayu bisa saja sudah berada di perjalanan yang entah ke mana.

Nanda segera berlari keluar dari rumah sakit sambil meletakkan ponsel di telinganya. Ia berusaha menghubungi nomor Bunda Rindu dan Ayah Edi, tapi nomor keduanya tidak bisa dihubungi.

Dengan cepar, Nanda masuk ke dalam mobil dan menekan nomor ponsel mamanya.

“Ma, angkat dong!” pintanya lirih setelah beberapa kali men-dial nomor ponsel mamanya, tapi tak mendapatkan jawaban.

Nanda menghela napas sejenak sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. Ia menatap nomor ponsel papanya. Ia sudah mengecewakan papanya berkali-kali. Kali ini, apa yang dia lakukan tidak akan pernah bisa termaafkan. Tidak tahu bagaimana cara mengatakan pada papanya tentang hal ini. Mungkinkah papanya masih sudi membantunya saat ia sudah membuat kondisi keluarganya berantakan?

Nanda menarik napas dalam-dalam sambil menekan panggilan ke nomor papanya. Ia harap, papanya bisa membantunya menemukan Roro Ayu.

“Halo ...!” sapa Andre dari seberang sana.

“Pa, Nanda boleh minta bantuan?” tanya Nanda pelan. Meski masa remajanya sangat nakal, pembuat onar, suka tawuran dan beberapa kali ditahan polisi karena terlibat balapan liar, ia tidak pernah sekalipun meminta bantuan dari papanya. Ia lebih sering menanggungnya seorang diri dan tetap terlihat santai menjalaninya. Ia harap, sang papa mau memberikan bantuan untuknya.

“Apa?”

Satu kata yang keluar dari bibir Andre, membuat Nanda bisa bernapas lega. Artinya, papanya bersedia membantunya meski suaranya terdengar sangat dingin.

“Roro Ayu dibawa pergi ke luar negeri. Ayah Edi dan Bunda Rindu juga tidak bisa dihubungi,” ucap Nanda dengan bibir gemetar.

“APA!? Sekarang, kamu di mana?” Suara Andre terdengar sangat terkejut.

“Masih di parkiran rumah sakit, Pa.”

“Kamu pergi ke bandara! Papa akan minta bantuan temen papa untuk mendapatkan data penumpang penerbangan hari ini,” perintah Andre.

“He-em.” Nanda mengangguk. “Makasih, Pa!”

“Ya.” Andre segera mematikan panggilan telepon dari Nanda.

Nanda menghela napas lega. Ia segera menjalankan mobilnya perlahan menuju bandara yang letaknya tak jauh dari rumah sakit tersebut. Ia langsung berlari melangkahkan kakinya perlahan memasuki bandara tersebut.

TING!

Nanda langsung membuka pesan yang masuk dari papanya.

[Daftar penumpang penerbangan Internasional]

[Nan, Roro Ayu pergi bersama tim dokter. Kedua orang tuanya tidak ada dalam daftar penerbangan mana pun. Mereka sewa jet pribadi. Lokasi tujuannya, papa tidak mendapatkan informasi. Datangi mertuamu dan memohonlah! ]

Nanda terdiam selama beberapa saat ketika membaca pesan dari papanya. Ia berusaha menelan salivanya yang tercekat. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh papa mertuanya hingga membawa Roro Ayu pergi jauh dengan cara seperti ini.

“Aku harus temukan Ayu!” ucap Nanda sambil melangkahkan kakinya keluar dari bandara tersebut. Ia segera mengendari mobilnya menuju rumah mertuanya.

Beberapa menit kemudian, Nanda sudah sampai di kediaman Edi Baskoro. Ia langsung menekan bel karena pagar rumah tersebut tertutup rapat, tak seperti biasanya.

“Mas Nanda?” Seorang pria yang bekerja di rumah tersebut, langsung membukakan pintu untuk Nanda. “Nyari siapa?”

“Bunda dan ayah ada di rumah?” tanya Nanda.

“Nggak ada, Mas. Lagi ke Solo.”

“Solo?”

“Iya. Lagi ke keraton, Mas. Katanya ada urusan.”

“Keraton yang ...?”

“Keraton Surakarta cuma satu, Mas,” sahut pria paruh baya itu sambil tersenyum lebar.

Nanda segera berbalik dan masuk kembali ke dalam mobilnya. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang direncanakan oleh mertuanya itu. Menjauhkan Ayu darinya?

Nanda terus melajukan mobilnya menuju ke kota Solo sambil menekan nomor ponsel Sonny. Beberapa kali menelepon, ia masih belum mendapatkan jawaban. “Aargh ...! Shit! Anak ini pasti tahu ke mana perginya Ayu,” ucapnya kesal.

Empat jam kemudian, Nanda sudah memarkirkan mobilnya di pelataran keraton kesultanan Surakarta. Ia menatap bangunan keraton yang sering ia lihat, tapi ia tidak pernah menginjakkan kakinya ke sana meski menjadi bagian dari keluarga besan keraton tersebut.

Nanda langsung melangkah menuju pintu keraton dan disambut oleh empat orang penjaga yang berdiri di sana.

“Orang luar dilarang masuk keraton!” tegas penjaga pintu itu sambil menyilangkan pedang di tangannya, menghalau tubuh Nanda.

Nanda melebarkan kelopak matanya menatap dua pedang yang menyilang tepat di hadapannya. “Ini asli?” gumamnya sambil memperhatikan mata pedang yang berkilauan. Ia langsung memundurkan langkahnya menjauhi pedang tersebut.

“Kalian kenal sama Raden Roro Ayu Rizky Prameswari?” tanya Nanda sambil menatap empat penjaga pintu yang ada di sana.

Empat penjaga pintu itu saling pandang.

“Sampeyan siapanya Ndoro Puteri?” tanya salah satu penjaga yang ada di sana.

“Aku ... eh, saya suaminya,” jawab Nanda sambil tersenyum lebar.

Empat penjaga itu kembali saling pandang.

“Tunggu di sini!”

Nanda mengangguk. Ia tersenyum lega sambil menegakkan tubuhnya. Menunggu dengan cemas dan berharap ia mendapatkan akses ke dalam keraton tersebut.

Beberapa menit kemudian, seorang abdi dalem datang bersama penjaga pintu yang tadi.

“Selamat malam, Mas! Mohon maaf, keraton inti tidak menerima tamu saat malam hari. Silakan berkunjung lagi besok pagi!”

“Tapi ... saya suaminya Roro Ayu,” ucap Nanda.

“Ndoro Puteri sedang menjalani hukuman dan dilarang menginjakkan kaki ke keraton, termasuk suaminya. Setelah menjalani upacara kesucen, barulah Ndoro Puteri bisa masuk kembali ke keraton.”

“Apakah Pak Edi Baskoro ada di dalam?” tanya Nanda.

“Ada, Mas. Raden Mas ada di kediamannya.”

“Gimana caranya saya bisa ketemu beliau? Beliau tidak bisa saya telepon.”

“Raden Mas sedang melakukan rapat tertutup dengan keluarga. Tidak bisa menggunakan handphone. Sampeyan bisa kembali lagi besok pagi, saya akan sampaikan ke beliau agar menemui Mas ... siapa namanya?”

“Ananda Putera.”

“Oh. Iya. Besok pagi datang lagi ke sini!”

“Besok pagi ... apa sudah pasti bisa ketemu dengan Ayah Edi?”

“Saya belum tahu, Mas. Akan saya tanyakan ke beliau.”

Pikiran Nanda semakin tidak karuan karena ia tidak mendapatkan akses masuk ke dalam keraton tersebut. Apakah ia harus melompat pagar atau memanjat atap keraton ini supaya dia bisa bertemu dengan Ayah Edi? Melihat empat penjaga di pintu utama saja, ia tidak bisa mengatasinya. Kalau dia memaksa diri menerobos masuk di sana, mungkin saja kepalanya akan terpisah dari tubuhnya hanya dalam hitungan detik.

“Oh, God! Help me! Aku ingin menebus kesalahanku. Tidak adakah kesempatan untukku ... sekali lagi?” batin Nanda dengan perasaan tak karuan.

 

((Bersambung...))

 

Mohon maaf kalau lambat update karena sekeluarga sedang sakit dan papaku harus diisolasi (positif covid-19). Mohon doanya semoga author dan keluarga cepet sehat, bisa berkarya lagi dengan tenang dan bahagia.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 35 - Pukulan Terbesar

 



Nanda mondar-mandir di depan pintu ruang operasi. Karena kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkan, dokter terpaksa harus mengambil tindakan operasi untuk menyelamatkan ibu dan bayinya.

Di kursi tunggu yang ada di sebelahnya, kedua orang tua dan mertuanya juga ikut menunggu dengan cemas.

“Nan, kenapa kamu tidak pernah memperlakukan Ayu dengan baik? Padahal, dia sudah berusaha menjadi istri yang baik buat kamu. Kenapa kamu nyakitin Ayu terus sampai kayak gini? Berapa kali kamu hutang nyawa ke dia? Nggak punya hati!” ucap Sonny sambil menunjuk dada Nanda.

“Aku tahu aku salah, Son. Semua orang sudah menghakimi aku. Tuhan juga sedang menghakimiku. Cukup, Son!” pinta Nanda lirih sambil menatap pilu ke arah Sonny.

Sonny menatap manik mata Nanda. Bayangan persahabatan mereka selama dua puluh lima tahun, terlintas di pelupuk mata dan membuat perasaannya sangat terluka. Satu-satunya teman yang tumbuh bersamanya sejak kecil, menjalani banyak hal bersama seperti saudara kandung, malah merenggut semua hal yang sangat ia cintai. Perasaannya berkecamuk. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan ini. Ia ingin marah, tapi juga tidak tahan melihat sahabatnya sendiri terluka. Ia benar-benar tidak menyangka jika hari ini akan dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit.

Andai Nanda bisa membahagiakan wanita yang paling ia cintai dalam hidupnya, mungkin ia lebih mudah menerima kenyataan kalau Roro Ayu bukanlah miliknya lagi. Tapi melihat sahabatnya itu memperlakukan Roro Ayu begitu buruk, membuatnya tidak tahan dan tidak rela melepaskan wanita yang paling ia cintai untuk sahabatnya itu.

“Roro Ayu sedang berjuang di dalam sana. Bisakah kalian berdamai dan mendoakan keselamatan dia? Kalau ada waktu untuk berdebat, tentunya kalian punya waktu untuk mendoakan dia,”  tutur Andre sambil menarik lengan Sonny perlahan dan membawa pria muda itu duduk bersamanya.

Sonny terdiam. Ia terus mengawasi Nanda dari sudut matanya. Ia benar-benar tidak bisa bersikap bijak dalam keadaan seperti ini.

“Dokter, gimana keadaan puteri dan cucu saya?” Edi langsung menghampiri pintu ruang operasi yang baru saja terbuka.

“Gimana keadaan istri dan anak saya, Dokter?” Nanda tak mau kalah menghampiri dokter yang ada di sana.

Edi menyeringai kesal ke arah Nanda yang berdiri di sampingnya.

Dokter yang ada di sana, menghela napas sambil melepas masker yang ia kenakan. “Kami sudah berusaha keras. Tuhan belum mengizinkan dia melihat dunia,” ucapnya lirih.

DEG!

Ucapan dokter itu bagaikan petir ribuan voltase yang sedang menghujam jantung Nanda. Membuatnya berhenti berdetak selama beberapa detik. Membuat pikirannya tiba-tiba kosong hingga telinganya tak mampu mendengar teriakan histeris dari keluarga besarnya.

“Cucu kami nggak bisa diselamatkan, Dok?” tanya Nia sambil menitikan air mata. Ia langsung terisak di pelukan Andre. Mereka tidak menyangka jika impiannya melihat cucu pertama mereka, sirna begitu saja.

Dokter itu menggeleng. “Dia tidak bisa bertahan dan ...” Ia mengedarkan pandangannya menatap semua orang yang terlihat sangat terpukul karena kehilangan keluarga yang dicintai. Namun, sebagai seorang dokter, ia harus menyampaikan berita tentang pasiennya, dalam keadaan apa pun itu.

“Ada apa, Dokter? Puteri saya baik-baik aja ‘kan?” tanya Bunda Rindu yang menyadari wajah dokter itu terlihat tak biasa.

“Sel darah merahnya pecah dan trombositnya sangat rendah. Pembuluh darah ke otaknya mengalami masalah yang menyebabkan kelumpuhan. Saat ini ... dia koma,” jawab dokter tersebut.

“APA!?”

Semua orang terkejut mendengar penuturan dokter tersebut. Begitu juga dengan Nanda. Pukulan-pukulan ini bertubi-tubi menghujam dirinya dan membuat ia tidak sanggup berkata-kata.

“Semua ini gara-gara kamu, Nan ...!” seru Sonny sambil berlari  ke arah Nanda dan bersiap menghujani pukulan ke arah pria itu.

“Son, sabar! Ini rumah sakit!” seru Andre sambil menghalau tubuh Sonny agar tidak memukuli puteranya lagi.

Sonny menatap wajah Nanda dengan rahang mengeras. Kedua tangannya mengepal erat dan urat-urat di wajahnya terlihat jelas.  

“Kalau kamu mau marah, pukul Oom saja! Jangan pukul Nanda lagi!” seru Andre sambil menatap wajah Sonny.

Sonny langsung melonggarkan kepalan tangannya.

“Oom Andre yang salah karena tidak bisa mendidik Nanda dengan baik. Pukul Oom saja!” pinta Andre sambil menarik lengan Sonny agar memukulnya.

“Ndre, aku tidak akan mengotori tanganku untuk menghukum kalian. Kalian sudah menyerang mental puteriku dan menghancurkannya masa depannya. Apa yang terjadi pada puteriku, keluarga Perdanakusuma harus mempertanggungjawabkannya. Aku tidak peduli pada orang-orang besar yang melindungi keluarga kalian. Demi puteriku, aku akan mencari keadilan untuk dia!” tegas Edi sambil menatap Andre penuh kebencian.

Andre terdiam sambil menundukkan kepalanya. Ia tidak bisa melawan jika Edi sudah bicara. Bukan karena takut, tapi karena ia merasa ikut bertanggung jawab atas kelakuan puteranya. Apa yang dilakukan seorang anak, orang tua akan ikut menanggungnya. Ia tidak akan berlari karena ia terlalu memanjakan Nanda hingga puteranya itu tidak pernah mengerti arti tanggung jawab pada keluarganya. Kesalahan Nanda adalah kesalahannya mendidik seorang anak.

Bunda Rindu terus menitikan air mata saat mengetahui keadaan puterinya. Di saat bersamaan, Bunda Yuna dan Yeriko juga datang menghampiri keluarga tersebut. Mereka terkejut mendengar hal buruk yang terjadi pada Roro Ayu dan bayinya.

“Nan, anak Bunda salah apa sama Nanda? Kenapa Nanda tidak mau memperlakukan dia dengan baik. Kalau dia salah, kamu bilang ke bunda supaya bunda yang menegur dia dan memperbaiki dirinya. Kenapa kamu lakuin ini ke Ayu. Dia puteriku satu-satunya, Nan. Kenapa harus Ayu? Dia anak baik. Tidak bisakah kamu bersikap baik dan mencintai puteri Bunda? Kekurangan dia, katakan ke Bunda saja!” pinta Bunda Rindu sambil menatap wajah Nanda yang masih mematung di hadapannya.

“Nan ...!” panggil Bunda Rindu sambil menggoyang-goyangkan tubuh Nanda. Ia langsung merosot ke  lantai dan berlutut di bawah kaki Nanda. “Maafin Ayu kalau dia tidak menjadi istri yang patuh dan berbakti padamu! Maafin Ayu kalau dia punya banyak kesalahan selama menjadi istrimu. Kalau kamu tidak mencintai Ayu, tolong jangan sakiti dia!” pintanya sambil berlinang air mata.

“Dik, kamu nggak pantas berlutut di depan pria bajingan ini!” ucap Edi sambil merengkuh pundak Bunda Rindu dan menarik tubuhnya untuk bangkit dari lantai.

“Mas, Roro gimana? Dia dosa apa sampai harus menanggung beban seperti ini? Kenapa nggak aku aja yang gantiin dia, Mas?” seru Bunda Rindu sambil menangis histeris dalam pelukan suaminya.

Yuna menutup mulutnya yang menganga lebar. Ia ikut menitikan air mata melihat Bunda Rindu yang sangat terluka melihat keadaan puterinya. Sebagai seorang ibu, ia bisa merasakan perasaan yang begitu sakit ketika puterinya dipermainkan seperti ini oleh seorang pria. Roro Ayu yang terlihat baik-baik saja di luar, tidak tahu bagaimana keadaan mental yang sesungguhnya. Suami adalah tempat paling dekat dan harusnya bisa menjadi sandaran, tapi Nanda justru menjadi tekanan bagi Roro Ayu tanpa diketahui oleh semua orang.

Di dinding koridor, Nanda menyandarkan punggungnya. Tubuhnya merosot perlahan dan pikirannya terus hampa. Ia benar-benar tidak menyangka jika perkelahian beberapa jam lalu menyebabkan istri dan anaknya terluka seperti ini.

“Nan, kamu laki-laki. Harus kuat!” pinta Yeriko sambil mengulurkan tangannya ke hadapan pria muda itu agar segera bangkit dari sana. “Kamu harus bangkit! Antarkan anakmu ke peristirahatan terakhirnya! Rawat istrimu dengan baik sampai dia bangun dari komanya. Roro Ayu akan kuat jika kamu juga bisa dengan gigih menjaganya.”

Nanda menengadahkan kepalanya menatap wajah Yeriko. Ia menarik napas dalam-dalam sambil mengusap air matanya  dan menyambut uluran tangan Yeriko. Ia mengumpulkan kekuatan untuk bangkit dari lantai.

“Dia tidak perlu mengurus anak dan cucuku! Aku masih bisa melakukannya!” tegas Edi dengan nada penuh emosi.

Yeriko langsung memutar kepalanya menatap wajah Edi. “Anak itu darah daging Nanda dan dia punya hak penuh atas anaknya. Bijaklah menjadi orang tua! Anak kalian sama-sama tertekan karena kalian tidak pernah peduli dengan hubungan mereka!” Suara bariton pria itu menguasai lorong koridor meski terdengar tidak begitu keras.

Edi terdiam sambil menatap tajam mata Yeriko. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Tidak lagi peduli dengan bisnis yang ia bangun bertahun-tahun. Tak peduli dengan Yeriko yang memiliki kekuatan besar untuk melindungi keluarga Nanda. Ia hanya ingin keadilan untuk puterinya yang telah dirampas dengan paksa kesuciannya, mental dan masa depannya.

 

 

((Bersambung...))

Semua orang tua sudah merasa benar dalam mendidik anak dengan caranya masing-masing. Tapi terkadang, kesalahan tetaplah hinggap dan membuat kita merasa gagal menjadi orang tua.

Semoga kita bisa menjadi orang tua yang bisa membuat anak-anak mengerti akan tanggung jawab dan cara mencintai keluarga.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas