Wednesday, August 17, 2022

Bab 34 - Aku Butuh Kalian

 



Ayu menarik lengan Nanda dan membawa pria itu masuk ke dalam kamarnya. “Nan, kamu ini kenapa? Datang ke sini langsung marah-marah. Kamu nggak lihat ada Sonny, ada orang tuaku? Bisa sopan dikit?”

Nanda terdiam sambil menahan kesal di dadanya. Ia sudah tidak memikirkan hal lain lagi saat melihat istrinya itu sedang asyik bercanda dengan mantan kekasihnya. Meski ia tidak mencintai Ayu, tapi ia tetap tidak rela membiarkan istrinya bermesraan dengan pria lain.

“Kamu pergi dari rumah dan mesra-mesraan sama cowok lain. Sadar nggak kalau kamu sudah bersuami?” sahut Nanda kesal.

“Kamu juga sadar atau nggak kalau sudah beristri?” sahut Ayu tak mau kalah.

“Sadar, Ay.”

“YA BERUBAH, DONG!” seru Ayu.

“Gimana aku mau berubah kalau kamu kayak gini! Bukannya berbakti, malah main gila sama cowok lain saat suamimu sakit!” sahut Nanda tak mau kalah.

“Kamu yang mulai duluan, Nan. Ingat, ya! Istri itu akan memperlakukan suami sebagaimana dia diperlakukan. Aku pernah nggak baik sama kamu? Pernah nggak melayani apa yang kamu butuhkan? Pernah bohongi kamu? Aku ketemu sama Sonny di tempat umum dan nggak berdua doang. Apa yang bisa kami lakuin di tempat seperti itu? Sedangkan kamu, kamu nemuin Lita di hotel tengah malam, berduaan doang, mesra-mesraan. Kamu pernah pikirin perasaanku, hah!?” seru Ayu sambil mendorong dada Nanda hingga tubuh pria itu menghantam pintu kamarnya.

Nanda terdiam sambil menatap wajah Ayu dengan perasaan tak karuan. Ia dan Ayu memang sering berdebat, tapi baru kali ini ia mendengar Ayu bicara dengan nada yang lebih tinggi darinya. Bahkan menatap ke arahnya dengan tatapan penuh kebencian.

“Apa yang terjadi sama kamu saat ini, harusnya bisa bikin kamu sadar. Tapi kamu nggak pernah menyadari kesalahanmu, Nan. Nggak malu sama penampilan kamu sekarang? Udah pake baju koko, pake sarung kayak gini ... Tuhan lagi tegur kamu dan kamu masih belum sadar juga. Ingat, karma itu nggak pernah salah tempat! Kamu yang udah hancurin seluruh hidupku dan aku lebih bahagia lihat kamu mati!” seru Ayu sambil berlinang air mata.

Nanda terdiam sambil menatap wajah Ayu. Ia benar-benar sulit mengakui kesalahannya. Meski hatinya ingin sekali meminta maaf, tapi pikirannya tetap saja kacau setiap kali berhadapan dengan wanita ini.

“Aargh ...!” Ayu langsung berpegangan ke dinding, tangan satunya memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa sangat nyeri.

“Ay, kamu kenapa?” tanya Nanda sambil merengkuh tubuh Ayu.

“Nggak usah pedulikan aku!” sahut Ayu sambil menepis tangan Nanda dan berjalan merayap ke arah pintu kamarnya. Ia langsung membuka pintu tersebut.

“SON, SONNY ...! AYAH ...! BUNDA ...!” seru Ayu sambil menahan napas dan rasa sakit di perutnya.

Sonny yang duduk di sofa ruang tamu, buru-buru berlari menaiki anak tangga saat mendengar teriakan Ayu.

“Mas, itu si Roro kenapa?” tanya Bunda Rindu yang sedang di dapur bersama suaminya.

“Nggak tahu. Lagi sama Nanda di kamarnya.”

“Berantem?”

Edi menghela napas. “Aku kasihan sama puteri kita kalau setiap hari tidak bahagia dengan suaminya. Lebih baik mereka bercerai saja. Aku tidak akan menuntut Nanda dan keluarganya asal Ayu bisa hidup bahagia. Sonny juga masih mau menerima puteri kita. Dia jauh lebih baik dari anaknya Andre yang brengsek itu.”

“Nggak boleh bicara seperti itu, Mas. Roro menyayangi Nanda. Kalau tidak, dia tidak mungkin memilih bertahan. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik untuk Roro. Aku rasa, Roro Ayu sudah mulai menyukai Nanda. Walau bagaimana pun, Nanda adalah ayah dari bayi yang dikandung Roro. Mereka jelas punya ikatan, Mas,” ucap Bunda Rindu sambil tersenyum menatap kue ulang tahun yang ia siapkan untuk puterinya dan melangkah keluar dari dapur bersama suaminya itu.

“Ay, kamu kenapa!?” Sonnya langsung menghampiri Ayu yang sudah berdiri di depan pintu kamarnya.

“Tolong aku, Son! Perutku sakit banget.”

“Kita ke rumah sakit!” ajak Sonny sambil merangkul tubuh Ayu dan memapahnya.

“Biar aku yang bawa Ayu!” pinta Nanda sambil menepis tangan Sonny dari tubuh Ayu.

“Nan, kamu jauh-jauh dari aku!” pinta Ayu sambil mendorong tubuh Nanda.

Sonny tersenyum miring ke arah Nanda. “Ayu nggak mau sama kamu. Biar aku yang urus dia!” pintanya sambil merangkul tubuh Ayu kembali dan memapahnya menuruni anak tangga.

“Son, Ayu kenapa!?” seru Bunda Rindu saat melihat Ayu berjalan sambil menahan sakit.

“Perut aku tiba-tiba sakit, Ma,” jawab Ayu lirih.

“Ini ...!? Ini baru tujuh bulan. Belum waktunya lahiran,” ucap Bunda Rindu. Ia segera memberikan kue ulang tahun ke tangan Edi dan menghampiri puterinya.

“Nggak tahu, Bunda. Sakit banget!” jawab Ayu sambil menitikan air mata.

“Nan, kamu gendong Ayu, deh! Biar cepet!” pinta Bunda Rindu.

“Nggak boleh! Nanda nggak boleh gendong Ayu! Sonny aja!” sahut Ayah Edi.

“Mas, Nanda itu suaminya Ayu! Kalau Sonny bukan!” sahut Bunda Rindu.

“Aku lagi kesakitan. Kalian sempat-sempatnya berdebat?” tanya Ayu sambil menahan nyeri di perutnya.

Nanda langsung menarik tubuh Sonny agar menjauh dari istrinya. Ia merangkul pundak wanita itu dan menggendongnya. Ia mempercepat langkahnya dan membawa tubuh Ayu masuk ke dalam mobil miliknya.

“Nan, aku mau pergi sama Sonny atau ayah aja,” pinta Ayu lirih sambil menahan rasa nyeri yang semakin menyiksa.

“Kamu udah kesakitan gini, masih sempat ngajak aku berdebat?” sahut Nanda. Ia segera menutup pintu mobil dan bergegas membawa Ayu ke rumah sakit terdekat.

Beberapa menit kemudian, Ayu sudah sampai di IGD rumah sakit. Ia terus merintih kesakitan sambil memanggil nama bundanya.

“Dokter, istri saya kenapa?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang sedang memeriksa kondisi istrinya.

“Kami periksa dulu, ya! Dampingi istrinya, Mas! Kasih minum teh hangat!” jawab dokter yang ada di sana.

Nanda mengangguk. Ia ingin beranjak dari sisi Ayu, tapi wanita itu mencengkeram kuat lengannya dan membuatnya tidak bisa pergi dari sana.

“Bunda ...! Bunda ...!” Ayu terus memanggil nama bundanya sambil menahan sakit di perutnya.

“Bunda masih di jalan. Sebentar lagi pasti sampai.” Nanda berbisik di telinga Ayu.

Ayu menitikan air mata sambil menatap wajah Nanda. “Sakit, Nan.”

“Dok, tolong istri saya, dong!” seru Nanda. Pikirannya semakin tak karuan saat wajah Ayu semakin pucat.

“Sus, udah pembukaan?” tanya dokter yang ada di sana.

“Baru pembukaan satu, Dokter.”

“Dok, istriku mau melahirkan?” tanya Nanda sambil menatap dokter yang ada di sana. “Kandungannya baru tujuh bulan, Dok.”

“Kita tunggu dulu sampai pembukaan berikutnya, ya!” jawab dokter itu sambil tersenyum.

“Dok, istriku ini udah kesakitan! Masa masih disuruh nunggu? Kalian bisa jadi dokter atau nggak, sih!?” sentak Nanda kesal. “Lihat! Istriku udah lemes kayak ini!”

“Kami sudah biasa menangani ibu melahirkan. Kontraksi seperti ini sudah biasa,” jawab dokter itu. Ia menoleh ke arah salah satu perawat yang ada di sana. “Pasang jarum infus untuk jaga-jaga!” perintahnya.

“Baik, Dokter!”

“Detak jantung ibunya melemah, Dokter!” seru perawat yang lainnya.

Dokter dan beberapa perawat yang ada di sana sigap mengambil tindakan untuk menstabilkan kondisi kesehatan Ayu.

“Ayu ...! Kamu bakal baik-baik aja ‘kan? Kamu kuat, Yu. Harus kuat! Demi anak kita. Aku sayang sama kalian,” bisik Nanda dengan mata berkaca-kaca. Ia meletakkan dahinya ke kening Ayu. “Aku sayang kalian. Aku butuh kalian,” bisiknya lagi.

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda yang menempel di wajahnya. Ia berusaha menyentuh pipi pria itu. Tapi rasa kantuk yang menyerangnya semakin menjadi-jadi dan membuat lengannya jatuh terkulai begitu saja seiring dengan matanya yang terpejam sempurna.

“AYU ...!”

“AY ...!”

“AYU BANGUN!”

“DOKTER ...!”

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Dukung terus supaya author makin semangat berkarya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 


Bab 33 - Nanda Cemburu

 


“Pagi, calon bunda ...!”

Ayu yang sedang menyiram tanaman di depan rumah, langsung memutar kepala ke belakangnya. “Sonny ...!? Kamu lagi di sini?”

Sonny mengangguk  sambil tersenyum manis. Ia mengeluarkan bucket bunga dari belakang punggungnya dan mengulurkan ke hadapan Ayu. “Hadiah buat kamu. Happy birthday ...!”

Ayu langsung menatap wajah Sonny dengan mata berkaca-kaca. “Kamu masih ingat hari ulang tahunku?”

“Aku nggak akan pernah lupa,” jawab Sonnya sambil menatap wajah Ayu. “Maaf! Aku nggak bisa jadi orang pertama yang ngucapin ulang tahun ke kamu tahun ini.”

Ayu menggeleng pelan sambil menitikan air mata. “You’re first.”

“Hah!? Serius!? Nanda nggak ucapin happy birthday buat kamu?” tanya Sonny.

Ayu menggeleng pelan.

“Nggak usah sedih! Terima bunga ini! Anggap aja ini hadiah persahabatan buat kita,” ucap Sonny sambil tersenyum manis.

“Beneran persahabatan?”

Sonny mengangguk sambil tersenyum manis.

Ayu langsung meraih bucket dari tangan Sonny dan tersenyum manis. “Makasih ya, Son!”

Sonny mengangguk. “Bunda sama ayah ada di rumah?”

“Ada. Mereka di dalam.”

“Aku boleh masuk?”

“Masuk aja!” sahut Ayu sambil tertawa. Tanpa ia sadari, ia merangkul lengan Sonnya seperti biasa dan melenggang masuk ke dalam rumah tersebut dengan ceria.

Edi yang sedang bersantai dengan istrinya, langsung tertegun melihat Ayu yang begitu ceria merangkul lengan Sonny.

Ayu buru-buru melepaskan tangannya dari lengan Sonny saat ia menyadari kalau ia sudah menjadi istri orang lain. Mungkin, ia terlalu bahagia dengan kedatangan pria ini hingga tidak menyadari kalau ia sudah menjadi seorang istri dengan perut membesar.

“Selamat pagi, Ayah ... bunda ...!” sapa Sonny sambil menunduk sopan.

“Pagi ...!” balas Ayah Edi dan Bunda Rindu bersamaan.

“Tumben ke sini pagi-pagi?” tanya Bunda Rindu. “Dari Semarang jam berapa?”

“Udah dari kemarin sore, Bunda.”

“Oh.” Bunda Rindu mengangguk-anggukkan kepala dan menoleh ke arah bucket yang digendong oleh Ayu dengan satu tangannya.

“Mmh ... aku ke sini buat ngucapin ulang tahun ke Roro Ayu,  Bunda,” ucap Sonny seolah mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh Bunda Rindu.

“Astaga ...! Kamu hari ini ulang tahun? Bunda lupa, Ro!” Bunda Rindu langsung bangkit dari sofa.

“Kamu ini gimana? Ulang tahun anak sendiri, kok lupa? Anak kita ini cuma satu. Gimana kalau punya anak lima?” tanya Ayah Edi.

“Ayah nggak usah bawel, deh! Emangnya ayah ingat kalau hari ini ulang tahun Ayu?” sahut Bunda Rindu.

Ayah Edi gelagapan mendengar pertanyaan dari Bunda Rindu. “Ayah ingat. Cuma pura-pura lupa aja. Biar bunda bisa kasih surprise ke Roro Ayu.”

“Halah, bohong!” dengus Bunda Rindu.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah kedua orang tuanya. “Kalian nggak usah berdebat! Aku bukan anak kecil yang harus ngerayain ulang tahun,” pintanya.

“Mmh ... bener juga, sih. Tapi kami harus siapkan hadiah untukmu tahun ini. Kamu mau hadiah apa?” tanya Bunda Rindu sambil menatap serius ke arah Ayu.

Ayu menggeleng. “Ayu pengen ... lihat bunda dan ayah sehat selalu. Makin romantis, makin harmonis dan saling menyayangi sampai kalian tua nanti.”

“Aamiin,” sahut Edi.

“Aamiin. Kalau soal itu, kami juga menginginkannya!” ucap Bunda Rindu sambil merangkul lengan Edi dan menyandarkan kepalanya di pundak pria itu.

Ayu tersenyum bahagia melihat kedua orang tuanya yang terlihat begitu saling mencintai dan hidup harmonis. Ia juga menginginkan rumah tangganya bisa berjalan sebaik ini.

“Son, kamu mau minum apa?” tanya Ayu sambil menoleh ke arah Sonny.

“Eits! Kamu ini lagi ulang tahun. Nggak boleh melayani siapa pun. Harus dilayani. Biar bunda yang buatkan minum untuk Sonny. Kamu duduk manis di sini! Temani Sonny dan papa kamu ngobrol. Oke?”

Ayu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia duduk bersama Sonny dan papanya untuk membicarakan beberapa hal tentang pekerjaan dan kegiatan mereka akhir-akhir ini.

Ting ... Tong ...!

Ayu langsung menoleh ke arah pintu. “Ayah ada janji sama orang?”

Edi menggelengkan kepala. “Temen bunda kali. Kalo nggak, paling Kang Paket,” jawabnya santai sambil bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu rumahnya.

Sonny dan Ayu tertawa kecil sambil menggeleng bersamaan.

“Bundamu masih demen belanja online?” tanya Sonny.

Ayu mengangguk sambil tertawa kecil.

“Kamu sendiri?”

Ayu menggeleng. “Kamu yang demen belanja online ‘kan? Kenapa malah nanyain aku? Harusnya, pertanyaan itu ditujukan ke kamu!” ucapnya sambil menoyor pundak Sonny.

Sonny tertawa kecil. “Masih demen aku belanja online. Enak aja. Praktis dan cepet. Waktu itu aku pernah mau cari barang ke pasar. Karena udah biasa belanja online, aku nyasar. Udah gitu, barang yang mau aku cari nggak dapet-dapet. Aku malah muter-muter di dalam pasar itu. Nggak bisa keluar.”

“HAHAHA.” Ayu tergelak mendengar cerita yang keluar dari bibir Sonny. “Seriusan nggak bisa keluar?”

“Iya, serius. Aku tanya ke pedagang A-B-C, malah menyesatkan. Dari pagi sampe sore aku dipasar itu dan barang yang aku cari nggak dapet. Mana aku waktu itu lagi koas dan harus balik cepet. Menderita banget kalau belanja offline. Enak online, sih. Tinggal scroll-scroll doang, nggak perlu nyasar,” ucap Sonny.

“Hahaha ... hihihi ...” Ayu terus tertawa mendengar cerita Sonny.

Di saat bersamaan. Edi menarik gagang pintu rumah tersebut dan membukanya.

“Pagi, Ayah ...!” sapa Nanda sambil menatap wajah Edi. Kedua mata dan telinganya langsung menangkap suara Ayu dan Sonny yang sedang asyik bercanda di dalam sana.

“Pagi,” balas Edi dingin. Ia menatap Nanda dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Pria muda yang biasanya terlihat urakan itu, tiba-tiba muncul di hadapannya dengan baju koko dan sarung.

“Roro Ayu ada?” tanya Nanda sambil menahan perasaan takut di dadanya. Ia jarang sekali bicara dengan ayah mertuanya dan membuat ia sangat canggung.

“Ada.”

“Saya boleh masuk?” tanya Nanda canggung.

Edi langsung menoleh ke arah Sonny dan Ayu. “Boleh. Masuklah!” Ia membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk Nanda.

Nanda terdiam saat melihat Ayu sedang tertawa lepas bersama Sonny. Jakunnya naik-turun seiring dengan perjuangannya menelan saliva dengan susah payah. Hatinya tiba-tiba merasa nyeri ketika melihat Roro Ayu bisa tertawa bahagia bersama Sonny di depan sana. Bukankah Roro Ayu masih sah menjadi istrinya? Kenapa malah bersama dengan pria lain? Lebih parahnya lagi, mertuanya membiarkan istrinya itu bercanda tawa dengan pria lain yang bukan suaminya.

“Ayu ...!” panggil Nanda sambil melangkahkan kakinya perlahan menghampiri Ayu.

Ayu menghentikan tawanya seketika. Ia mengalihkan pandangannya pada sumber suara yang sudah tak asing lagi di telinganya. “Nanda?”

“Kamu ngapain berduaan sama Sonny di sini?” tanya Nanda.

“Kami nggak berduaan. Ada bunda dan ayah juga,” jawab Sonny santai.

Nanda menatap kesal ke arah Sonny. “Aku belum bikin perhitungan ke kamu, Son. Gara-kara kamu, aku jadi kayak gini!”

“Kamu itu udah kena karma, masih nggak mau tobat, Nan? Harusnya, kamu introspeksi diri tanpa menyalahkan orang lain,” sahut Sonny.

“Kamu ...!?” Nanda menatap geram ke arah Sonny. “Kamu juga harusnya introspeksi diri, dong! Ayu itu istriku! Kamu masih aja deketin dia!”

“Kamu juga suaminya Ayu. Kamu masih aja bisa bawa perempuan lain ke kamar hotel,” sahut Sonny.

“Kamu nggak usah ikut campur rumah tanggaku! Pasti kamu yang udah pengaruhi Ayu sampai dia pergi ninggalin aku!” seru Nanda.

“Nggak perlu aku pengaruhi, Nan. Perempuan mana pun tidak akan betah kalau punya suami bajingan kayak kamu!”

“Anjing kamu, Son!” Nanda langsung menyambar kerah baju Sonny.

“Nan, jangan main kekerasan!” pinta Ayu sambil menarik lengan Nanda dan membawanya pergi dari sana. Ia benar-benar kesal dengan sikap Nanda yang terlalu impulsif dan temperamental. Bisa-bisanya Nanda masih ingin berkelahi dengan Sonny di hadapan kedua orangtuanya. Pria ini benar-benar membuat perasaannya tak karuan setiap hari.

 

 

((Bersambung...))

 

 

 

 

 


Bab 32 - Dihantui Kenangan Masa Lalu

 


Nanda menghela napas sambil membolak-balikkan tubuhnya di atas kasur. Sudah jam sebelas malam dan ia masih belum bisa tidur. Ia bahkan belum mandi sejak sore karena takut kalau luka di alat vitalnya akan basah dan ia malas mengganti perban seorang diri.

Sesekali, Nanda memeriksa alat vitalnya. Ia hanya menggunakan kaos oblong dan sarung saja setiap harinya. “Anjirr ...! Sunat dua kali,” gumamnya kesal. “Awas kamu, Son! Kalau sampai lukaku sembuh dan barangku nggak bisa bangun lagi. Aku bakal bikin kamu kayak gini juga!”

Nanda menghela napas. Ia meraih ponsel di atas nakas dan menatap layar tersebut. Ia sudah beberapa kali melakukan itu. Berharap kalau Ayu mengirim pesan kepadanya. Tapi hingga saat ini, wanita itu tak kunjung mengirim pesan.

“Heh, aku ini masih suamimu. Nggak kangen sama aku?” tanya Nanda kesal sambil menatap layar ponselnya.

Nanda membuka aplikasi whatsapp yang ada di ponselnya. Ia membuka chat dari Ayu dan membaca semua chat yang ada di sana sejak awal. Tidak banyak pesan yang bisa ia baca karena mereka memang jarang sekali berkomunikasi lewat pesan singkat. Hanya beberapa pesan dari Ayu yang terkadang enggan untuk ia balas. Hanya ia baca sekilas dan dibiarkan berlalu begitu saja.

[Nan, malam ini aku tampil menari di acara ulang tahun kota. Datang, ya!]

DEG!

Nanda terkejut membaca pesan teratas yang masuk ke ponselnya. “Ayu pernah ngirim pesan kayak gini?” gumamnya. Ia langsung memeriksa pesan lainnya dengan teliti.

[Nan, hari ini Sonny dan Nadine akan ke Surabaya. Aku akan ketemu mereka di kafe. Kalau ada waktu, datang, ya!]

[Nan, aku ke rumah Mama Rindu sampai malam. Makanan udah aku siapin. Kalau mau makan, panasin dulu, ya!]

[Nan, kalau ada waktu, temani aku USG, ya!]

[Makasih untuk kamar bayinya. Aku suka]

Nanda terdiam sambil menatap kosong ke arah kakinya. Di bawah sana, tepat di sisi kasur ... setiap harinya Ayu selalu menyiapkan pakaian ganti untuknya. Menyiapkan air hangat dan memastikan semua kebutuhannya tersedia.

Nanda menyibakkan selimut dan turun dari ranjang. Ia memperbaiki ikatan sarung  yang ia selipkan asal-asalan dan melangkah keluar dari kamar.

“Nan, belum tidur? Mau kubuatkan susu hangat?” tanya Ayu sambil tersenyum manis dari arah dapur.

Nanda tersenyum sembari melangkahkan kakinya, menuruni anak tangga dan masuk ke area pantry yang ada di bawah tangga. Ia mengedarkan pandangannya dan mencari tubuh Ayu di sana. “Ayu ...!” panggilnya.

Detik berikutnya, ia menyadari kalau Ayu tidak ada di rumah itu. Ia menghela napas dan mengusap wajahnya yang terlihat sangat kacau. Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan beringsut duduk ke sofa yang ada di ruang keluarga. Ia menyalakan televisi dan duduk santai di sana.

“Kamu nggak usah sok-sokan menghantuiku, Ay! Kamu pikir, aku nggak bisa hidup tanpa kamu, hah!?” ucapnya kesal sambil terus mengganti channel televisi tersebut tanpa berniat ingin menontonnya. Semuanya, terasa tidak menarik sama sekali baginya.

Nanda mengerjapkan mata saat ia melihat wajah Ayu berada di dalam televisi tersebut. Ia menekan remote kembali untuk mengganti siaran dan wajah Ayu tetap ada di setiap adegan yang tergambar di televisi tersebut.

“Shit! Apa aku udah gila? Kenapa muka Ayu di mana-mana?” umpat Nanda sambil mematikan televisinya. Ia menyandarkan kepala dan memejamkan mata.

Bayangan semasa SMA saat ia dan Ayu sering terluka bersama, tiba-tiba terlintas di kepalanya.

[...]

Ay meringis kesakitan sambil menatap pria gondrong dengan kumis dan jenggot lebat di wajahnya. Ia memegangi perutnya yang tertusuk pisau. Perlahan, ia merasakan keram pada perutnya, diikuti dengan rasa nyeri dan sakit yang luar biasa.

“AYU!!!” teriak Nanda saat menyadari kalau gadis yang menghalaunya adalah Roro Ayu, pacar sahabatnya.

Pria berambut gondrong itu membelalakkan mata begitu menyadari kalau pisaunya menembus perut seorang gadis yang tidak bersalah. Ia langsung menyabut pisau itu dari perut Ay.

Ay merasakan sakit yang luar biasa saat pisau yang tertancap di perutnya ditarik. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit. Namun tubuhnya terhuyung. Dengan cepat, Nanda menangkap tubuh Ay yang terjatuh.

“Ay, bertahan!” pinta Nanda sambil menepuk pelan pipi Ay.

Nanda menatap pria bertubuh kekar yang berdiri di hadapannya. “Aku bakal bikin perhitungan sama kalian!” teriak Nanda penuh kebencian.

Pria berkepala gundul hanya tersenyum sinis menanggapi ancaman dari Nanda. “Lebih baik kamu urus perempuan yang lagi sekarat ini. Dia rela mati cuma buat ngelindungi bajingan kayak kamu. Kalau sampe dia mati, kamulah pembunuhnya.”

“Bangsat kalian!” seru Nanda. “Aku bakal laporin kalian ke polisi!” ancam Nanda.

“Silakan! Kami nggak takut dengan penjara. Hahaha.” Mereka tertawa bersama sembari meninggalkan Nanda yang sedang memeluk tubuh Ay.

Nanda menatap wajah Ay yang masih setengah sadar. Ia langsung melepas jaketnya dan membelitkannya ke perut Ay untuk mengurangi pendarahan. “Bertahan, Ay!” pinta Nanda. Ia langsung menggendong tubuh Ay dan membawanya berlari menuju mobilnya yang berjarak sekitar lima ratus meter darinya.

Nanda segera memasukkan Ay ke dalam mobilnya. Memasangkan safety belt ke tubuh Ay dan bergegas melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat.

“Bunda …!” panggil Ay lirih. Ia merasakan jiwanya seperti melayang. Yang ada dalam benaknya hanya Bunda Rindu dan semua orang yang ia sayangi. Tubuhnya semakin lemas dan denyut nadinya terus melemah.

“Jangan tidur Ay!” teriak Nanda. “Tetap buka mata kamu!” pintanya makin panik. “Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Bertahanlah!” pinta Nanda.

Ay mengangguk pelan. Ia masih bisa mendengar semua suara yang ada di sekelilingnya. Namun pandangannya tak lagi baik. Ia melihat semua cahaya lampu yang ada di jalanan semakin meredup. Lalu, ia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Ia hanya bisa mendengar suara yang terus memanggil namanya.

“Ay …!”

“Ayu …!”

“Roro …!”

“Roro Ayu!”

[Flashback “After Savage” teenlit version]

 

“AYU ...!” teriak Nanda sambil membuka matanya lebar-lebar. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Bayangan masa SMA itu tiba-tiba masuk ke dalam mimpinya. Ia menoleh ke arah jam dinging yang ada di ruang keluarga tersebut. Tidak terasa, ia sudah tertidur selama lima jam di sana dan terus dihantui oleh bayangan masa remajanya bersama Roro Ayu.

“Kenapa mimpi ini tiba-tiba menghantuiku?” tanya Nanda pada dirinya sendiri. Semua yang diucapkan Nyonya Ye sore ini, benar-benar membuatnya dihantui oleh bayangan masa lalu yang sudah lama ia singkirkan dari hidupnya.

“Ayu, kapan sih kamu itu nggak mengacaukan hidupku? Tiap ketemu kamu, hidupku kacau mulu. Nggak ada senang-senangnya sedikit pun. Masa iya seleraku turun, sih? Apa enaknya punya pasangan alim? Nggak bisa diajak main ke klub malam,” gerutu Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tanpa ia sadari, hati dan pikirannya terus berlawanan. Ia ingin memikirkan yang lain, tapi hatinya terus tertuju pada Roro Ayu. Satu-satunya wanita yang telah berhasil membuat hari-harinya tak karuan.

 

***

Pagi-pagi sekali, Roro Ayu sudah berada di dapurnya bersama Bunda Rindu. Sesekali ia menatap ke luar jendela. Saat ini, hatinya benar-benar tak karuan. Rasanya, ia ingin kembali pada Sonny. Tapi ada banyak hal lain yang membuatnya ingin tetap bertahan bersama Nanda.

“Roro, kenapa ngelamun di dapur? Khawatir sama Nanda?” tanya Bunda Rindu sambil tersenyum manis.

Ayu menggeleng pelan dan membasuh sayuran yang ada di tangannya.

“Nggak usah bohong! Bunda mengerti perasaanmu. Bagaimana pun, Nanda adalah ayah dari anakmu ini. Kalian pasti punya ikatan. Baru semalam kamu meninggalkan dia, kamu sudah merasa rindu ‘kan?” goda Bunda Rindu.

Ayu menggeleng. “Buat apa aku rindu sama laki-laki seperti itu, Bunda?”

“Beneran nggak rindu? Nggak kepikiran? Jujur ke bunda! Sekarang kamu lebih banyak memikirkan Nanda atau Sonny?” tanya Bunda Rindu.

Ayu menggeleng kecil. “Nggak tahu, Bunda.”

“Your feeling?”

Ayu menghela napas dan memutar tubuhnya menatap wajah Bunda Rindu. “Apa aku sudah jatuh cinta ke Nanda, Bunda? Aku lebih mengkhawatirkan dia daripada Sonny. Aku selalu berusaha memikirkan Sonny, tapi tidak sekhawatir ini. Sonny ... dia pria yang baik, mandiri dan bijaksana. Sedangkan Nanda, kalau nggak disiapin air panas, dia belum tentu mau mandi. Kalau nggak dibuatkan minum, belum tentu dia bisa bikin minum sendiri. Apalagi aku pergi saat dia belum benar-benar pulih. Apa aku sudah keterlaluan, Bunda?”

Bunda Rindu tersenyum dan mengusap lembut rambut Ayu. “Kamu nggak keterlaluan. Ini pelajaran buat dia, Ro. Roro sudah melakukan banyak hal untuk dia, tapi dia tidak menghargaimu. Kalau kamu pergi dan dia tidak mencarimu, itu artinya kamu bukan prioritas di hidup dan masa depan dia. Lebih baik, menyingkir daripada memaksakan diri menjalani hari-hari yang sakit. Bunda janji, bunda yang akan merawat anak kamu dan kamu bisa memulai kehidupan yang baru.”

Ayu menatap wajah Bunda Rindu dengan mata berkaca-kaca. Ia langsung merangkul tubuh wanita itu dan menyandarkan kepala ke dadanya. “Bunda, maafin Ayu ...! Ayu sudah mengecewakan bunda. Ayu sudah jadi aib untuk keluarga ini. Ayu sudah menghancurkan mimpi-mimpi dan harapan bunda. Ayu nggak bisa jadi puteri yang baik untuk bunda,” ucapnya lirih dengan berlinang air mata.

Bunda Rindu tersenyum sembari mengusap lembut air mata puterinya. “Ayu sudah jadi puteri yang baik untuk bunda. Ayu sudah jadi anak yang berprestasi, mandiri, baik hati dan tetap sabar meski disakiti. Tidak perlu menjadi hebat untuk tetap menjadi kebanggaan bunda. Asalkan kamu tetap memilih jalan kebaikan di ujian hidup yang paling berat, itu adalah kebanggan untuk bunda.”

Ayu mengeratkan pelukannya. Ada banyak mimpi-mimpi yang pernah ia ucapkan sejak ia masih kecil di hadapan bundanya. Tapi mimpi itu sirna dalam sekejap ketika Nanda merenggut kesuciannya. Ingin sekali ia membalas perlakuan pria itu dan membuat seluruh hidupnya menderita. Tapi setiap kali memikirkannya, ia lebih banyak tidak tega. Mungkin, bayi dalam perutnya yang membuatnya tidak mengizinkan ia menyakiti ayahnya sendiri.

“Sonny, I’m sorry ...! I can’t go back. Nanda, I’m sorry ...! I will attack your future,” bisiknya dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Doain author sehat terus dan dijauhkan dari hal-hal yang mendistraksi saat nulis.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Bab 31 - Nasihat Nyonya Ye [Novel Menikahi Lelaki Brengsek : Vella Nine]

 


“Ay, kamu ngapain?” tanya Nanda saat melihat Ayu sedang merapikan pakaiannya ke dalam koper.

“Beresin pakaian aku,” jawab Ayu sambil melipat pakaiannya perlahan dan memasukkan ke dalam dua koper besar miliknya.

“Buat apa dimasukin ke koper? Kamu mau ke mana?”

“Mau pulang ke rumah orang tuaku, Nan. Ayah minta aku pulang sore ini. Dia mengajukan permohonan pembatalan nikah. Kita nggak bisa tinggal sama-sama lagi, Nan,” jawab Ayu sambil menutup koper dan menguncinya.

“Ay, kamu jangan kayak gini, dong! Aku masih sakit. Lihat! Aku masih sarungan gini. Tega banget ninggalin aku dalam keadaan kayak gini?”

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. “Kamu juga tega kayak gitu saat istri kamu lagi hamil, Nan,” ucapnya.

“Aku sama dia nggak ngapa-ngapain, Ay. Aku udah jelasin ke kamu berkali-kali ‘kan? Kamu nggak usah baperan gini, deh! Kita berdua ini nikah tanpa cinta. Kamu nggak bisa cinta sama aku, aku juga sama. Aku suka sama semua cewek cantik di dunia ini dan aku nggak percaya ada cinta di dunia ini! Semua rasanya sama, nggak ada yang beda!” sahut Nanda kesal.

Air mata Ayu langsung menetes perlahan mendengar ucapan Nanda. Ia semakin yakin untuk pergi dari sisi pria ini. Sekuat apa pun ia berusaha menjaga hubungan ini, memang tidak pernah ada cinta di dalamnya.

Ayu menarik dua koper besar miliknya dan melangkah perlahan.

“Ay, kamu jangan kayak anak kecil gini, deh! Aku nggak pernah memperlakukan kamu dengan buruk. Semua cewek yang deket sama aku, selalu kuperlakukan dengan baik. Gitu juga dengan kamu. Kamu satu-satunya perempuan yang berhasil jadi istriku. Harusnya kamu bangga punya suami ganteng, kaya raya dan dipuja banyak cewek di luar sana,” cerocos Nanda sambil menghadang tubuh Ayu. Ia tidak tahu lagi apa yang seharusnya ia ucapkan untuk mencegah wanita itu pergi dari hadapannya.

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Ingin rasanya ia meneriaki pria ini. Memakinya sesuka hati, tapi ia masih takut membuat dosa pada suaminya ini.

“Ay, kenapa diam?” tanya Nanda.

“Aku capek berdebat kayak gini terus sama kamu, Nan. Hubungan kita itu nggak sehat. Udah enam bulan kita nikah dan tetap aja kayak gini. It’s a relationSHIT!” sahut Ayu.

“Terus, kamu maunya apa? Aku udah perlakukan kamu dengan baik, kamu malah bertingkah di luar sana. Tetep aja cuek sama aku,” tutur Nanda.

“Yang cuek itu aku atau kamu sih, Nan!?” seru Ayu. Ia langsung menepis tubuh Nanda dan melangkah keluar dari kamar.

“Ayu ...!” panggil Nanda sambil mengejar langkah Ayu dan mencegah wanita itu keluar dari rumahnya. “Ay, ingat anak kita!”

“Aku ingat, Nan. Ingat banget! Harusnya kalimat itu aku tujukan ke kamu yang tega janjian sama perempuan lain di hotel!” sahut Ayu sambil menepiskan tangan Nanda dari tubuhnya. Ia benar-benar kesal dan ingin membuat pria ini mengetahui kalau hidupnya tidak akan bergantung pada lelaki seperti dia.

“Sudah siap?” tanya Edi Baskoro yang sudah berdiri di depan pintu rumah Nanda.

“Udah, Yah,” jawab Ayu.

Edi langsung memerintahkan supir pribadinya untuk memasukan dua koper milik Ayu ke dalam mobilnya.

“Ayu ...! Ay ...!” Nanda langsung menghentikan langkahnya saat melihat sang papa mertua sudah berdiri di teras rumahnya.

“Masuk ke mobil!” perintah Edi sambil menatap wajah Ayu.

Ayu melangkah perlahan sambil menatap wajah Nanda yang masih terus menatap kepergiannya. Sungguh, ia tidak tega meninggalkan Nanda dalam keadaan sakit seperti ini. Ia tidak tahu bagaimana Nanda mengurus dirinya sendiri jika ia pergi.

“Pa, jangan bawa Ayu pergi!” pinta Nanda sambil menatap wajah Edi.

Edi tersenyum sinis. “Temui istri dan anakmu di pengadilan saja!” ucapnya dingin dan bergegas masuk ke dalam mobil.

“Ay ...! Ayu ...!” panggil Nanda sambil berusaha menghampiri mobil Edi dengan susah payah karena ia masih belum bisa berjalan normal seperti biasa. Alat vitalnya masih terasa sakit dan nyeri. Membuatnya tidak tidak bebas bergerak.

Ayu terus menatap tubuh Nanda saat mobilnya bergerak pergi. Ia meneteskan air mata ketika ia harus meninggalkan pria itu dalam keadaan masih sakit dan membutuhkan bantuannya.

“Nggak usah nangis! Laki-laki itu perlu diberi pelajaran. Ini saatnya dia menunjukkan keseriusannya pada keluarga kita. Ayah tidak mau kalau puteri Ayah diperlakukan semena-mena. Lihat saja! Wanita mana yang akan dia minta untuk mengurusnya di saat sakit seperti ini. Kalau masih ada wanita-wanita lain lagi, lebih baik kalian bercerai saja! Sonny jauh lebih baik dari Nanda!” tegas Edi.

“Ayah, aku kasihan sama dia. Dia tetap ayah untuk anakku,” ucap Ayu lirih.

“Zaman sekarang, sudah biasa anak terlahir tanpa ayahnya. Sonny masih mencintai kamu dan mau menerima anak ini. Kamu menikah saja dengan Sonny! Daripada hidup sama laki-laki bajingan itu!”

Ayu menyandarkan kepalanya ke kaca mobil. Keramaian kota Surabaya, tidak membuat hatinya ikut ramai. Ia masih tidak tahu bagaimana cara menghadapi hubungan yang kacau ini. Apakah dia masih bisa mencintai Sonny dengan semua kekurangan yang ia miliki? Ia merasa, sudah tidak layak untuk pria itu. Sonny berhak mendapatkan wanita yang lebih baik. Jika hari ini Tuhan memberinya jodoh yang tidak baik, mungkin karena ia juga belum bisa menjadi wanita yang baik pula.

Begitu mobil BMW yang membawa Roro Ayu pergi dari halaman rumah Nanda, sebuah mobil Maserati berjalan perlahan memasuki rumah pria itu.

Nanda mengernyitkan dahi sambil menerka-nerka siapa orang yang akan keluar dari mobil tersebut. Begitu melihat wanita paruh baya keluar dari mobil itu, ia langsung bergegas merapikan sarung dan kaos yang ia kenakan. Kemudian melangkah menghampiri wanita itu. “Tante Yuna? Tumben ke sini? Ada apa?”

“Tante mau ngobrol sebentar sama kamu. Bisa?” tanya Yuna sambil melepas kacamata hitam yang ia kenakan.

“Bisa, Tante. Silakan masuk!” jawab Nanda sambil mempersilakan Yuna untuk masuk ke rumahnya.

“Roro Ayu di rumah?” tanya Yuna.

“Eh!? Dia lagi main ke rumah orang tuanya,” jawab Nanda.

“Kalau gitu, Tante Yuna di teras aja. Gimana kondisi kamu? Udah sehat?” tanya Yuna sambil menatap bagian bawah perut Nanda.

“Lumayan, Tante,” jawab Nanda sambil meringis. Ia menahan malu melihat keadaannya yang terlihat payah seperti ini.

“Rusak parah? Masih bisa berdiri, nggak?” tanya Yuna sambil menahan ngilu melihat Nanda yang masih mengenakan sarung. Ia tidak bisa membayangkan jika hal ini terjadi pada suami atau dua puteranya.

Nanda kebingungan dan pandangannya mengedar tak terarah. Ia hanya meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan wanita paruh baya di hadapannya itu. Pertanyaan Nyonya Ye terlalu vulgar dan berhasil membuat ia sangat canggung.

Yuna menghela napas. Ia mengulurkan tangan ke arah asisten pribadinya.

Asisten pribadi itu langsung memberikan satu bundel dokumen ke tangan Yuna.

“Tante, saya cuma ngurus perusahaan satu doang. Nggak mungkin Tante Yuna mau bisnis dengan perusahaan kecil kayak saya ‘kan?” tanya Nanda.

“Lihat dulu!” perintah Yuna sambil menyodorkan dokumen ke hadapan Nanda. “Papa dan Mama kamu yang minta Tante untuk menyelesaikan masalah kalian. Kamu ini nggak sayang sama keluarga kamu sendiri? Apa susahnya jadi suami setia!?”

Nanda menghela napas. “Aku udah bertanggung jawab, Tante. Aku nggak bisa jatuh cinta ke dia. Dipaksain pun, aku nggak bisa. Aku ...”

“Kenapa kamu bisa hamilin dia? Kenapa nggak pacar kamu itu yang kamu hamilin?” tanya Yuna.

“Pake pengaman,” jawab Nanda.

“Terus, ke Ayu nggak pake pengaman? Makanya sampe kebobolan?” tanya Yuna.

Nanda terdiam mendengar pertanyaan Yuna.

“Nan, kamu itu cinta sama Ayu. Kamu cuma nggak menyadarinya aja. Orang mabuk itu orang yang paling jujur. Do you remember ... apa yang kamu ucapkan ke Ayu malam itu?” tanya Yuna.

Nanda terdiam sejenak sambil berusaha mengingat-ingat apa yang ia katakan pada Ayu di malam di mana ia memaksa wanita itu melayaninya.

Yuna langsung memutar rekaman suara yang ia dapatkan dari tim pengacara keluarganya.

“Hhh ... I love you, Ay ...! Yo’re mine ...!” bisikan Nanda terdengar sangat pelan di detik-detik terakhir rekaman tersebut.

Nanda melebarkan kelopak matanya. Ia tidak menyangka jika malam itu Ayu merekam semua hal yang ia lakukan.

“Rekaman ini senjata paling ampuh untuk keluarga keraton itu menuntut kamu. Itulah sebabnya orang tuamu sampai menandatangi perjanjian yang mempertaruhkan semua harta keluarga kalian,” ucap Yuna.

“Perjanjian itu beneran ada? Aku pikir hanya ancaman papa untuk menakut-nakutiku saja,” tanya Nanda.

Yuna langsung membuka dokumen yang sudah ada di atas meja. “Ini copy berkas tuntutan keluarga keraton dan surat perjanjian mediasi antara keluarga kalian. Roro Ayu punya bukti kuat untuk menuntut kamu, Nan. Dia bahkan sudah melakukan visum tanpa sepengetahuan orang lain. She’s smart. But, dia masih memberimu kesempatan untuk berubah.”

Nanda terdiam sambil menatap dokumen yang ada di hadapannya.

“Kalau kamu tidak cinta, bisakah kamu berusaha keras mencintainya? Ini demi kebaikan semuanya. Untuk apa kamu mempertahankan wanita yang jelas-jelas tidak baik untukmu?” tanya Yuna sambil membuka  lembar lain dalam dokumen itu.

“Ini foto-foto yang didapatkan orangku yang telah menyelidiki kekasihmu yang bernama Arlita Holsler itu. Dia bukan hanya model, tapi dia ada dalam daftar pekerja prostitusi kelas dua. Ini foto-foto dia yang sering keluar-masuk ke Galaxy Gotel dengan pria-pria berbeda.  Apa yang kamu banggakan dari dia selain tubuh seksi dan cantiknya yang akan hilang saat anakmu sudah tumbuh dewasa sepertimu. Dia bisa menjamin masa depan yang baik untuk keluarga kecilmu, Nan?” tanya Yuna.

Nanda tertegun menatap potret-potret Arlita bersama wanita lain di dalam sebuah hotel dan memang bergonta-ganti pria. “Aku nggak nyangka kalau dia seperti ini. Aku pikir dia setia. Aku sudah memenuhi semua kebutuhan dia, Tante.”

“Dia setia sama uang kamu doang. Waktu kamu sakit, dia bantu kamu apa?” tanya Yuna sambil membuka lembar lain dalam dokumen tersebut.

“Ini mutasi rekening milik Nyonya Rindu. Selama ini, Roro Ayu masih menggunakan ATM milik ibunya. Dia mengeluarkan uang delapan ratus juta untuk biaya pengobatan kamu, Nan. Dia sama kamu itu, siapa yang lebih kaya?” tanya Yuna lagi.

Nanda terdiam mendengar pertanyaan Yuna. Perasaannya mulai berkecamuk saat nyonya itu membeberkan banyak kenyataan yang tidak ia ketahui.

“Kamu bilang, kamu tidak pernah mencintai Ayu. But, aku dapet foto-foto ini semasa SMA kalian,” ucap Nyonya Ye sambil menunjukkan sebuah foto saat Nanda berkelahi dengan banyak preman untuk melindungi Ayu.

“Ayu juga mengorbankan nyawanya untuk kamu dua kali. Sekarang, dia sedang mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk melahirkan anakmu, Nan. Where your heart? Hatimu tidak tersentuh sedikitpun dengan apa yang dia korbankan untukmu? She is love you. But, dia gengsi karena wanita berprestasi seperti dia ... merasa kalau pria impiannya harus lebih baik dan berprestasi seperti dia. Show you ...! Tunjukan kalau cinta itu ... bisa jatuh pada hati siapa saja, bahkan pada pembunuh sekalipun,” ucap Yuna panjang lebar.

Nanda terdiam. Ada banyak hal yang tidak pernah ia pedulikan tentang Ayu. Baginya, Ayu adalah wanita baik dan berprestasi. Ia sadar, ia tidak mungkin mendapatkan cinta wanita itu. Ia pernah menyukai Ayu saat SMA. Tapi perasaan itu ia kubur dalam-dalam saat mengetahui kalau Ayu lebih mencintai Sonny dan lebih layak berada di sisi pria itu.

“Waktu kamu hanya dua minggu. Buat dia jatuh cinta sama kamu dengan menunjukkan kesungguhan hatimu, Nan! Masa depan semua keluargamu, kini tergantung bagaimana kamu menyikapi hubunganmu dengan bijak,” ucap Yuna sambil tersenyum.

Nanda terdiam sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuat Ayu jatuh cinta kepadanya. Ia juga tidak tahu bagaimana caranya mengejar wanita. Biasanya, semua wanita akan datang dengan sendirinya dan ia hanya cukup membuka sedikit mulut untuk mendapatkannya, tanpa harus berusaha keras.

“Shit! Seumur hidup, cuma cewek satu ini yang bikin hidupku kacau balau!” umpat Nanda dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Jangan lupa beli paket supaya bisa baca lebih murah, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 


Bab 30 - The Power of Nyonya Ye

 



Yuna melangkahkan kakinya perlahan memasuki sebuah restoran mewah yang ada di lantai dua Galaxy Mall. Ia langsung duduk di salah satu meja yang kosong seorang diri. Asisten pribadinya, berdiri di samping meja sambil memesankan makanan untuk pelayan yang ada di sana.

Anak buahnya telah menginformasikan jika malam ini Edi Baskoro dan sang istri akan makan malam di restoran ini. Ia dengan sengaja memesan semua meja yang ada di restoran itu hingga tidak ada orang lain yang bisa masuk ke dalam sana selain dia.

“Nyonya, mereka datang,” bisik asisten pribadi Yuna sambil menunjuk ke arah pintu masuk.

Yuna mengangguk. Ia mengerti saat salah satu karyawan yang berdiri di pintu, menghadang langkah Edi dan istrinya.

“Maaf, Nyonya dan Tuan ...! Tempat ini sudah di-booking,” ucap pelayan itu sambil menatap Edi dan Bunda Rindu.

“Kami sudah memesan meja satu hari sebelumnya. Kenapa kami tidak boleh masuk?” tanya Edi sambil mengerutkan dahi karena restoran itu tiba-tiba di-booking.

Yuna langsung memberi kode pada asisten pribadinya. Dengan cepat, asisten pribadi itu menghampiri petugas restoran yang berjaga di pintu.

“Permisi, Mas ...! Tuan dan Nyonya ini adalah orang yang diundang oleh Nyonya kami,” ucap asisten pribadi Yuna.

“Oh. Maaf!” Pria itu langsung membungkuk hormat, ia mempersilakan Edi dan istrinya untuk masuk ke dalam sana.

Edi dan Rindu saling pandang. Mereka benar-benar tidak tahu siapa nyonya yang dimaksud oleh orang-orang itu.

“Silakan duduk, Tuan dan Nyonya ...!” Asisten pribadi Yuna langsung menarik kursi untuk Edi dan istrinya. Tepat berhadapan langsung dengan Yuna yang sudah duduk dengan elegan di depan mereka.

Edi dan Bunda Rindu saling pandang ketika melihat Ayuna berada di sana. Mereka tidak menyangka jika ada Ayuna di hadapan mereka. Tidak ada yang tidak mengenal Vice President Galaxy Group ini. Wajahnya sudah sering terpampang di cover majalah bisnis Asia karena perusahaannya memang berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.

“Selamat malam ...!” sapa Yuna sambil tersenyum manis ke arah Edi dan sang istri.

“Maaf, Nyonya! Ini ada apa, ya? Kenapa harus menemui kami dengan cara seperti ini?” tanya Edi sambil menatap wajah Yuna.

Yuna tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna. “Anda mengenal saya?”

Edi mengangguk. “Tidak ada orang bisnis yang tidak mengenal pemilik Galaxy Group. Apalagi Anda juga masih puteri dari pemilik Howard Group,” jawabnya.

“Oh. Baguslah kalau Anda mengenal saya.” Yuna tersenyum manis ke arah Edi dan Rindu. Ia menoleh ke arah asisten pribadinya, meminta wanita muda itu untuk menyiapkan hidangan spesial dari restoran tersebut.

Edi dan Bunda Rindu saling pandang. Mereka benar-benar tidak tahu apa yang membuat pemilik Galaxy Group itu pergi menemui mereka.

“Saya nggak bisa berbasa-basi karena nggak punya banyak waktu. Saya datang ke sini atas nama sahabat saya, Andre Ahmad Perdanakusuma. Kalian kenal?” tanya Yuna.

Edi dan Bunda Rindu saling menatap. “Dia besan kami.”

Yuna mengangguk. “Kalian mengakui kalau Andre dan Nia itu besan kalian?”

Bunda Rindu mengangguk.

“Lalu, kenapa kalian menuntut keluarga besan sendiri sampai seperti ini?” tanya Yuna sambil tersenyum.

“Oh. Kamu menemui kami untuk membujuk kami agar tidak melaporkan perbuatan Nanda ke polisi dan menuntut keluarga mereka? Presiden sekalipun, tidak akan membuatku mencabut tuntutanku terhadap bajingan itu!”
 sahut Edi. Ia langsung emosi saat mengetahui maksud Yuna menemuinya.

Yuna menghela napas. “Aku tidak membujuk kalian untuk mencabut laporan kalian. Itu hak kalian. Saya tahu perasaan kalian yang sedang memperjuangkan keadilan untuk puteri kalian. Kalian berdua orang tua yang berpendidikan. Apakah keadilan yang kalian inginkan itu benar-benar baik untuk Roro Ayu?” tanya Yuna.

“Jelas baik. Nanda sudah memperlakukan puteri kami seperti binatang. Kami memberinya kesempatan untuk menikahi dan memperlakukan puteri kami dengan baik. Tapi dia malah mempermainkan Roro. Benar-benar tidak menghargai kami sebagai orang tuanya!” sahut Edi sambil menahan amarah di dadanya. Setiap kali mengingat wajah Nanda, emosinya terus memuncak.

“Apa puteri Anda yang menginginkan hal seperti ini? Dia wanita yang cerdas dan baik hati. Saya pernah mengundangnya makan malam di rumah keluarga saya dan hubungan mereka berdua terlihat baik-baik saja. Itu artinya, Roro Ayu tetap berbakti dan masih peduli dengan Nanda. Walau bagaimana pun, Nanda adalah ayah biologis dari bayi yang dikandung Roro Ayu. Apa kalian benar-benar tidak berperasaan? Sebagai orang tua, kalian tega memisahkan anak dari orang tuanya?” tanya Yuna panjang lebar sambil menatap serius ke arah Edi dan Rindu.

Bunda Rindu menghela napas. “Nyonya Ye benar, Mas. Bagaimana kalau kita cabut saja tuntutan terhadap Nanda?”

“Kamu mau anak kita diperlakukan semena-mena sama Nanda, hah!? Dia itu anak kita satu-satunya!” sahut Edi bersikeras.

“Kalian juga sudah semena-mena terhadap Nanda. Tuntutan kalian itu nggak wajar. Kalian sengaja mau buat keluarga Perdanakusuma jatuh miskin?” sahut Yuna.

“Andre sudah sepakat menandatangani perjanjian kami sebagai jaminan. Nggak ada yang salah,” sahut Edi santai.

“Menuntut Nanda saja masih belum cukup? Kenapa kalian menginginkan harta mereka? Kalian ini bukan orang miskin. Kenapa begitu mata duitan?” tanya Yuna.

Braaak ...!

Edi langsung memukul meja di hadapan Yuna. “Sekali lagi kamu bilang begitu, aku tidak akan segan membuat perhitungan denganmu! Aku melakukan ini untuk Roro Ayu dan calon anaknya!”

Yuna langsung bangkit dari kursi saat Edi menggebrak meja di hadapannya. “Bukan seperti ini caranya! Kalau kamu ingin masa depan yang baik untuk calon anaknya Roro Ayu, bukan dengan cara memisahkan dia dengan keluarga Perdanakusuma! Keluarga Andre nggak akan menelantarkan menantu, apalagi cucunya!” serunya tak mau kalah.

“Mas, sudahlah. Nggak perlu berantem kayak gini!” pinta Bunda Rindu berbisik di telinga Edi dan berusaha menenangkan suaminya itu.

“Kamu bisa kasih jaminan kalau keluarga itu nggak akan menelantarkan puteri kami, hah!? Nanda aja masih bawa perempuan lain ke kamar hotel. Gimana perasaanmu kalau puterimu sendiri yang dikhianati?” seru Edi sambil menunjuk wajah Yuna penuh emosi.

“Kamu mau jaminan apa?” tanya Yuna sambil mengangkat dagunya, ia menatap wajah Edi penuh keberanian.

Edi membalas tatapan tajam mata Yuna. Ia sangat kesal dengan mata wanita yang begitu berani melawan dirinya.

“Kamu nggak akan minta semua saham milik Galaxy ‘kan?” tanya Yuna sambil menatap wajah Edi dengan wajah sinis.

Edi balas tersenyum sinis. “Kalau aku minta, kamu mau kasih?”

“Aku akan kasih semua saham Galaxy kalau kamu bisa keluar dari gedung ini dalam keadaan hidup!” sahut Yuna dengan tatapan berapi-api sambil melangkahkan kakinya mendekati Edi.

“Mas, nggak usah macem-macem! Kita berdamai saja!” pinta Bunda Rindu sambil merengkuh lengan Edi. Ia mengedarkan pandangannya dan bisa melihat ada banyak orang berpakaian ala bodyguard yang berkeliling di sekitar mall itu. Sudah pasti, mereka ada di sana untuk menjaga dan melindungi Vice President yang ada di area tersebut.

Yuna tersenyum sinis. “Aku mengajak kalian berdamai. Tapi kalau kalian mau berperang, aku juga bisa melakukannya! Keluarga Andre akan dapat support penuh dari keluarga Howard dan Hadikusuma. Kami bisa menuntut balik keluarga keraton kalian itu dengan tuduhan pemerasan dan pengancaman!”

“Kamu ...!?” Edi menatap geram ke arah Yuna. “Berani-beraninya kamu mengancamku!”

“Kamu juga sudah mengancam keluarga Andre. Siapa pun yang berani menyentuh orang-orangku, aku tidak akan membiarkan dia hidup tenang!” tegas Yuna sambil menggebrak meja di sampingnya, tepat di hadapan Edi.

Edi terdiam dengan perasaan tak karuan. Ia menimbang banyak hal dan ia tetap saja tidak bisa menerima puterinya yang diperlakukan semena-mena oleh Nanda.

“Kalian mau berdamai atau tetap ke jalur hukum!?” sentak Yuna.

“Mas, kita berdamai saja, ya! Kasihan Roro dan calon cucu kita, Mas,” pinta Bunda Rindu sambil menatap wajah suaminya dengan perasaan tak karuan.

“Istri kamu benar dan bijak. Dia mau berdamai. Tapi kalau kamu bersikeras ke jalur hukum, aku akan meladeninya,” ucap Yuna sambil tersenyum manis.

“Apa kamu bisa menjamin Nanda mencintai Roro Ayu dengan tulus? Orang tuanya saja tidak bisa memberikan jaminan,” tanya Edi.

“Oh. Cuma itu yang kamu mau? Kasih aku waktu satu minggu dan aku akan buat Nanda bertekuk lutut di hadapan puterimu!” sahut Yuna.

Edi tersenyum sinis. “Coba saja kalau bisa! Kami sudah melakukannya berbulan-bulan, dia hanya berpura-pura menyayangi Ayu!”

“Aku dan kalian itu berbeda. Kalau aku bisa membuat Nanda jatuh cinta sama Roro Ayu dalam waktu satu minggu, jangan paksa mereka untuk berpisah dan cabut tuntutan kalian terhadap keluarga Andre!” pinta Yuna.

“Oke. Kalau kamu bisa buat Nanda mencintai puteriku sungguhan, aku akan cabut tuntutan keluarga kami!” sahut Edi.

Yuna mengangguk. “Jangankan membuatnya mencintai Roro Ayu. Membuat dia mengorbankan nyawanya untuk Roro Ayu pun, aku bisa melakukannya!” tegasnya. Ia langsung menarik tas tangan mungil miliknya dan bergegas melangkah pergi.

“Semua makanan di sini sudah kubayar. Jangan sia-siakan makanan mahal! Makanlah sebelum pergi. Selamat menikmati ...!” Yuna mengerdip ke arah Edi dan Bunda Rindu. Kemudian melangkah pergi bersama asisten pribadi dan beberapa bodyguard yang bermunculan dari sudut-sudut berbeda dan mengiringi langkah Yuna untuk pergi dari tempat tersebut.

Bunda Rindu menghela napas lega saat Yuna sudah pergi dari tempat tersebut. Ia merasa lega karena suaminya tidak bertikai terus menerus dengan nyonya besar keluarga Hadikusuma itu. Mengurus tuntutan hukum untuk puterinya saja, sudah banyak menguras pikiran, tenaga dan materi. Entah apa jadinya jika keluarga Hadikusuma juga ikut campur dalam permasalah rumah tangga mereka. Sesungguhnya, ia tidak menginginkan hal lain selain melihat Roro Ayu hidup bahagia, dengan siapa pun itu.

 

 

(( Bersambung...))

Eeaak ...!

Nyonya Ye tetap aja nggak mau kalah, ya?

Komen di bawah dong biar lapak author nggak sepi mulu!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas