Wednesday, August 17, 2022

Bab 32 - Dihantui Kenangan Masa Lalu

 


Nanda menghela napas sambil membolak-balikkan tubuhnya di atas kasur. Sudah jam sebelas malam dan ia masih belum bisa tidur. Ia bahkan belum mandi sejak sore karena takut kalau luka di alat vitalnya akan basah dan ia malas mengganti perban seorang diri.

Sesekali, Nanda memeriksa alat vitalnya. Ia hanya menggunakan kaos oblong dan sarung saja setiap harinya. “Anjirr ...! Sunat dua kali,” gumamnya kesal. “Awas kamu, Son! Kalau sampai lukaku sembuh dan barangku nggak bisa bangun lagi. Aku bakal bikin kamu kayak gini juga!”

Nanda menghela napas. Ia meraih ponsel di atas nakas dan menatap layar tersebut. Ia sudah beberapa kali melakukan itu. Berharap kalau Ayu mengirim pesan kepadanya. Tapi hingga saat ini, wanita itu tak kunjung mengirim pesan.

“Heh, aku ini masih suamimu. Nggak kangen sama aku?” tanya Nanda kesal sambil menatap layar ponselnya.

Nanda membuka aplikasi whatsapp yang ada di ponselnya. Ia membuka chat dari Ayu dan membaca semua chat yang ada di sana sejak awal. Tidak banyak pesan yang bisa ia baca karena mereka memang jarang sekali berkomunikasi lewat pesan singkat. Hanya beberapa pesan dari Ayu yang terkadang enggan untuk ia balas. Hanya ia baca sekilas dan dibiarkan berlalu begitu saja.

[Nan, malam ini aku tampil menari di acara ulang tahun kota. Datang, ya!]

DEG!

Nanda terkejut membaca pesan teratas yang masuk ke ponselnya. “Ayu pernah ngirim pesan kayak gini?” gumamnya. Ia langsung memeriksa pesan lainnya dengan teliti.

[Nan, hari ini Sonny dan Nadine akan ke Surabaya. Aku akan ketemu mereka di kafe. Kalau ada waktu, datang, ya!]

[Nan, aku ke rumah Mama Rindu sampai malam. Makanan udah aku siapin. Kalau mau makan, panasin dulu, ya!]

[Nan, kalau ada waktu, temani aku USG, ya!]

[Makasih untuk kamar bayinya. Aku suka]

Nanda terdiam sambil menatap kosong ke arah kakinya. Di bawah sana, tepat di sisi kasur ... setiap harinya Ayu selalu menyiapkan pakaian ganti untuknya. Menyiapkan air hangat dan memastikan semua kebutuhannya tersedia.

Nanda menyibakkan selimut dan turun dari ranjang. Ia memperbaiki ikatan sarung  yang ia selipkan asal-asalan dan melangkah keluar dari kamar.

“Nan, belum tidur? Mau kubuatkan susu hangat?” tanya Ayu sambil tersenyum manis dari arah dapur.

Nanda tersenyum sembari melangkahkan kakinya, menuruni anak tangga dan masuk ke area pantry yang ada di bawah tangga. Ia mengedarkan pandangannya dan mencari tubuh Ayu di sana. “Ayu ...!” panggilnya.

Detik berikutnya, ia menyadari kalau Ayu tidak ada di rumah itu. Ia menghela napas dan mengusap wajahnya yang terlihat sangat kacau. Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan beringsut duduk ke sofa yang ada di ruang keluarga. Ia menyalakan televisi dan duduk santai di sana.

“Kamu nggak usah sok-sokan menghantuiku, Ay! Kamu pikir, aku nggak bisa hidup tanpa kamu, hah!?” ucapnya kesal sambil terus mengganti channel televisi tersebut tanpa berniat ingin menontonnya. Semuanya, terasa tidak menarik sama sekali baginya.

Nanda mengerjapkan mata saat ia melihat wajah Ayu berada di dalam televisi tersebut. Ia menekan remote kembali untuk mengganti siaran dan wajah Ayu tetap ada di setiap adegan yang tergambar di televisi tersebut.

“Shit! Apa aku udah gila? Kenapa muka Ayu di mana-mana?” umpat Nanda sambil mematikan televisinya. Ia menyandarkan kepala dan memejamkan mata.

Bayangan semasa SMA saat ia dan Ayu sering terluka bersama, tiba-tiba terlintas di kepalanya.

[...]

Ay meringis kesakitan sambil menatap pria gondrong dengan kumis dan jenggot lebat di wajahnya. Ia memegangi perutnya yang tertusuk pisau. Perlahan, ia merasakan keram pada perutnya, diikuti dengan rasa nyeri dan sakit yang luar biasa.

“AYU!!!” teriak Nanda saat menyadari kalau gadis yang menghalaunya adalah Roro Ayu, pacar sahabatnya.

Pria berambut gondrong itu membelalakkan mata begitu menyadari kalau pisaunya menembus perut seorang gadis yang tidak bersalah. Ia langsung menyabut pisau itu dari perut Ay.

Ay merasakan sakit yang luar biasa saat pisau yang tertancap di perutnya ditarik. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa sakit. Namun tubuhnya terhuyung. Dengan cepat, Nanda menangkap tubuh Ay yang terjatuh.

“Ay, bertahan!” pinta Nanda sambil menepuk pelan pipi Ay.

Nanda menatap pria bertubuh kekar yang berdiri di hadapannya. “Aku bakal bikin perhitungan sama kalian!” teriak Nanda penuh kebencian.

Pria berkepala gundul hanya tersenyum sinis menanggapi ancaman dari Nanda. “Lebih baik kamu urus perempuan yang lagi sekarat ini. Dia rela mati cuma buat ngelindungi bajingan kayak kamu. Kalau sampe dia mati, kamulah pembunuhnya.”

“Bangsat kalian!” seru Nanda. “Aku bakal laporin kalian ke polisi!” ancam Nanda.

“Silakan! Kami nggak takut dengan penjara. Hahaha.” Mereka tertawa bersama sembari meninggalkan Nanda yang sedang memeluk tubuh Ay.

Nanda menatap wajah Ay yang masih setengah sadar. Ia langsung melepas jaketnya dan membelitkannya ke perut Ay untuk mengurangi pendarahan. “Bertahan, Ay!” pinta Nanda. Ia langsung menggendong tubuh Ay dan membawanya berlari menuju mobilnya yang berjarak sekitar lima ratus meter darinya.

Nanda segera memasukkan Ay ke dalam mobilnya. Memasangkan safety belt ke tubuh Ay dan bergegas melajukan mobilnya ke rumah sakit terdekat.

“Bunda …!” panggil Ay lirih. Ia merasakan jiwanya seperti melayang. Yang ada dalam benaknya hanya Bunda Rindu dan semua orang yang ia sayangi. Tubuhnya semakin lemas dan denyut nadinya terus melemah.

“Jangan tidur Ay!” teriak Nanda. “Tetap buka mata kamu!” pintanya makin panik. “Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Bertahanlah!” pinta Nanda.

Ay mengangguk pelan. Ia masih bisa mendengar semua suara yang ada di sekelilingnya. Namun pandangannya tak lagi baik. Ia melihat semua cahaya lampu yang ada di jalanan semakin meredup. Lalu, ia tidak bisa melihat apa-apa lagi. Ia hanya bisa mendengar suara yang terus memanggil namanya.

“Ay …!”

“Ayu …!”

“Roro …!”

“Roro Ayu!”

[Flashback “After Savage” teenlit version]

 

“AYU ...!” teriak Nanda sambil membuka matanya lebar-lebar. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Bayangan masa SMA itu tiba-tiba masuk ke dalam mimpinya. Ia menoleh ke arah jam dinging yang ada di ruang keluarga tersebut. Tidak terasa, ia sudah tertidur selama lima jam di sana dan terus dihantui oleh bayangan masa remajanya bersama Roro Ayu.

“Kenapa mimpi ini tiba-tiba menghantuiku?” tanya Nanda pada dirinya sendiri. Semua yang diucapkan Nyonya Ye sore ini, benar-benar membuatnya dihantui oleh bayangan masa lalu yang sudah lama ia singkirkan dari hidupnya.

“Ayu, kapan sih kamu itu nggak mengacaukan hidupku? Tiap ketemu kamu, hidupku kacau mulu. Nggak ada senang-senangnya sedikit pun. Masa iya seleraku turun, sih? Apa enaknya punya pasangan alim? Nggak bisa diajak main ke klub malam,” gerutu Nanda sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tanpa ia sadari, hati dan pikirannya terus berlawanan. Ia ingin memikirkan yang lain, tapi hatinya terus tertuju pada Roro Ayu. Satu-satunya wanita yang telah berhasil membuat hari-harinya tak karuan.

 

***

Pagi-pagi sekali, Roro Ayu sudah berada di dapurnya bersama Bunda Rindu. Sesekali ia menatap ke luar jendela. Saat ini, hatinya benar-benar tak karuan. Rasanya, ia ingin kembali pada Sonny. Tapi ada banyak hal lain yang membuatnya ingin tetap bertahan bersama Nanda.

“Roro, kenapa ngelamun di dapur? Khawatir sama Nanda?” tanya Bunda Rindu sambil tersenyum manis.

Ayu menggeleng pelan dan membasuh sayuran yang ada di tangannya.

“Nggak usah bohong! Bunda mengerti perasaanmu. Bagaimana pun, Nanda adalah ayah dari anakmu ini. Kalian pasti punya ikatan. Baru semalam kamu meninggalkan dia, kamu sudah merasa rindu ‘kan?” goda Bunda Rindu.

Ayu menggeleng. “Buat apa aku rindu sama laki-laki seperti itu, Bunda?”

“Beneran nggak rindu? Nggak kepikiran? Jujur ke bunda! Sekarang kamu lebih banyak memikirkan Nanda atau Sonny?” tanya Bunda Rindu.

Ayu menggeleng kecil. “Nggak tahu, Bunda.”

“Your feeling?”

Ayu menghela napas dan memutar tubuhnya menatap wajah Bunda Rindu. “Apa aku sudah jatuh cinta ke Nanda, Bunda? Aku lebih mengkhawatirkan dia daripada Sonny. Aku selalu berusaha memikirkan Sonny, tapi tidak sekhawatir ini. Sonny ... dia pria yang baik, mandiri dan bijaksana. Sedangkan Nanda, kalau nggak disiapin air panas, dia belum tentu mau mandi. Kalau nggak dibuatkan minum, belum tentu dia bisa bikin minum sendiri. Apalagi aku pergi saat dia belum benar-benar pulih. Apa aku sudah keterlaluan, Bunda?”

Bunda Rindu tersenyum dan mengusap lembut rambut Ayu. “Kamu nggak keterlaluan. Ini pelajaran buat dia, Ro. Roro sudah melakukan banyak hal untuk dia, tapi dia tidak menghargaimu. Kalau kamu pergi dan dia tidak mencarimu, itu artinya kamu bukan prioritas di hidup dan masa depan dia. Lebih baik, menyingkir daripada memaksakan diri menjalani hari-hari yang sakit. Bunda janji, bunda yang akan merawat anak kamu dan kamu bisa memulai kehidupan yang baru.”

Ayu menatap wajah Bunda Rindu dengan mata berkaca-kaca. Ia langsung merangkul tubuh wanita itu dan menyandarkan kepala ke dadanya. “Bunda, maafin Ayu ...! Ayu sudah mengecewakan bunda. Ayu sudah jadi aib untuk keluarga ini. Ayu sudah menghancurkan mimpi-mimpi dan harapan bunda. Ayu nggak bisa jadi puteri yang baik untuk bunda,” ucapnya lirih dengan berlinang air mata.

Bunda Rindu tersenyum sembari mengusap lembut air mata puterinya. “Ayu sudah jadi puteri yang baik untuk bunda. Ayu sudah jadi anak yang berprestasi, mandiri, baik hati dan tetap sabar meski disakiti. Tidak perlu menjadi hebat untuk tetap menjadi kebanggaan bunda. Asalkan kamu tetap memilih jalan kebaikan di ujian hidup yang paling berat, itu adalah kebanggan untuk bunda.”

Ayu mengeratkan pelukannya. Ada banyak mimpi-mimpi yang pernah ia ucapkan sejak ia masih kecil di hadapan bundanya. Tapi mimpi itu sirna dalam sekejap ketika Nanda merenggut kesuciannya. Ingin sekali ia membalas perlakuan pria itu dan membuat seluruh hidupnya menderita. Tapi setiap kali memikirkannya, ia lebih banyak tidak tega. Mungkin, bayi dalam perutnya yang membuatnya tidak mengizinkan ia menyakiti ayahnya sendiri.

“Sonny, I’m sorry ...! I can’t go back. Nanda, I’m sorry ...! I will attack your future,” bisiknya dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Doain author sehat terus dan dijauhkan dari hal-hal yang mendistraksi saat nulis.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 


Bab 31 - Nasihat Nyonya Ye [Novel Menikahi Lelaki Brengsek : Vella Nine]

 


“Ay, kamu ngapain?” tanya Nanda saat melihat Ayu sedang merapikan pakaiannya ke dalam koper.

“Beresin pakaian aku,” jawab Ayu sambil melipat pakaiannya perlahan dan memasukkan ke dalam dua koper besar miliknya.

“Buat apa dimasukin ke koper? Kamu mau ke mana?”

“Mau pulang ke rumah orang tuaku, Nan. Ayah minta aku pulang sore ini. Dia mengajukan permohonan pembatalan nikah. Kita nggak bisa tinggal sama-sama lagi, Nan,” jawab Ayu sambil menutup koper dan menguncinya.

“Ay, kamu jangan kayak gini, dong! Aku masih sakit. Lihat! Aku masih sarungan gini. Tega banget ninggalin aku dalam keadaan kayak gini?”

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. “Kamu juga tega kayak gitu saat istri kamu lagi hamil, Nan,” ucapnya.

“Aku sama dia nggak ngapa-ngapain, Ay. Aku udah jelasin ke kamu berkali-kali ‘kan? Kamu nggak usah baperan gini, deh! Kita berdua ini nikah tanpa cinta. Kamu nggak bisa cinta sama aku, aku juga sama. Aku suka sama semua cewek cantik di dunia ini dan aku nggak percaya ada cinta di dunia ini! Semua rasanya sama, nggak ada yang beda!” sahut Nanda kesal.

Air mata Ayu langsung menetes perlahan mendengar ucapan Nanda. Ia semakin yakin untuk pergi dari sisi pria ini. Sekuat apa pun ia berusaha menjaga hubungan ini, memang tidak pernah ada cinta di dalamnya.

Ayu menarik dua koper besar miliknya dan melangkah perlahan.

“Ay, kamu jangan kayak anak kecil gini, deh! Aku nggak pernah memperlakukan kamu dengan buruk. Semua cewek yang deket sama aku, selalu kuperlakukan dengan baik. Gitu juga dengan kamu. Kamu satu-satunya perempuan yang berhasil jadi istriku. Harusnya kamu bangga punya suami ganteng, kaya raya dan dipuja banyak cewek di luar sana,” cerocos Nanda sambil menghadang tubuh Ayu. Ia tidak tahu lagi apa yang seharusnya ia ucapkan untuk mencegah wanita itu pergi dari hadapannya.

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Ingin rasanya ia meneriaki pria ini. Memakinya sesuka hati, tapi ia masih takut membuat dosa pada suaminya ini.

“Ay, kenapa diam?” tanya Nanda.

“Aku capek berdebat kayak gini terus sama kamu, Nan. Hubungan kita itu nggak sehat. Udah enam bulan kita nikah dan tetap aja kayak gini. It’s a relationSHIT!” sahut Ayu.

“Terus, kamu maunya apa? Aku udah perlakukan kamu dengan baik, kamu malah bertingkah di luar sana. Tetep aja cuek sama aku,” tutur Nanda.

“Yang cuek itu aku atau kamu sih, Nan!?” seru Ayu. Ia langsung menepis tubuh Nanda dan melangkah keluar dari kamar.

“Ayu ...!” panggil Nanda sambil mengejar langkah Ayu dan mencegah wanita itu keluar dari rumahnya. “Ay, ingat anak kita!”

“Aku ingat, Nan. Ingat banget! Harusnya kalimat itu aku tujukan ke kamu yang tega janjian sama perempuan lain di hotel!” sahut Ayu sambil menepiskan tangan Nanda dari tubuhnya. Ia benar-benar kesal dan ingin membuat pria ini mengetahui kalau hidupnya tidak akan bergantung pada lelaki seperti dia.

“Sudah siap?” tanya Edi Baskoro yang sudah berdiri di depan pintu rumah Nanda.

“Udah, Yah,” jawab Ayu.

Edi langsung memerintahkan supir pribadinya untuk memasukan dua koper milik Ayu ke dalam mobilnya.

“Ayu ...! Ay ...!” Nanda langsung menghentikan langkahnya saat melihat sang papa mertua sudah berdiri di teras rumahnya.

“Masuk ke mobil!” perintah Edi sambil menatap wajah Ayu.

Ayu melangkah perlahan sambil menatap wajah Nanda yang masih terus menatap kepergiannya. Sungguh, ia tidak tega meninggalkan Nanda dalam keadaan sakit seperti ini. Ia tidak tahu bagaimana Nanda mengurus dirinya sendiri jika ia pergi.

“Pa, jangan bawa Ayu pergi!” pinta Nanda sambil menatap wajah Edi.

Edi tersenyum sinis. “Temui istri dan anakmu di pengadilan saja!” ucapnya dingin dan bergegas masuk ke dalam mobil.

“Ay ...! Ayu ...!” panggil Nanda sambil berusaha menghampiri mobil Edi dengan susah payah karena ia masih belum bisa berjalan normal seperti biasa. Alat vitalnya masih terasa sakit dan nyeri. Membuatnya tidak tidak bebas bergerak.

Ayu terus menatap tubuh Nanda saat mobilnya bergerak pergi. Ia meneteskan air mata ketika ia harus meninggalkan pria itu dalam keadaan masih sakit dan membutuhkan bantuannya.

“Nggak usah nangis! Laki-laki itu perlu diberi pelajaran. Ini saatnya dia menunjukkan keseriusannya pada keluarga kita. Ayah tidak mau kalau puteri Ayah diperlakukan semena-mena. Lihat saja! Wanita mana yang akan dia minta untuk mengurusnya di saat sakit seperti ini. Kalau masih ada wanita-wanita lain lagi, lebih baik kalian bercerai saja! Sonny jauh lebih baik dari Nanda!” tegas Edi.

“Ayah, aku kasihan sama dia. Dia tetap ayah untuk anakku,” ucap Ayu lirih.

“Zaman sekarang, sudah biasa anak terlahir tanpa ayahnya. Sonny masih mencintai kamu dan mau menerima anak ini. Kamu menikah saja dengan Sonny! Daripada hidup sama laki-laki bajingan itu!”

Ayu menyandarkan kepalanya ke kaca mobil. Keramaian kota Surabaya, tidak membuat hatinya ikut ramai. Ia masih tidak tahu bagaimana cara menghadapi hubungan yang kacau ini. Apakah dia masih bisa mencintai Sonny dengan semua kekurangan yang ia miliki? Ia merasa, sudah tidak layak untuk pria itu. Sonny berhak mendapatkan wanita yang lebih baik. Jika hari ini Tuhan memberinya jodoh yang tidak baik, mungkin karena ia juga belum bisa menjadi wanita yang baik pula.

Begitu mobil BMW yang membawa Roro Ayu pergi dari halaman rumah Nanda, sebuah mobil Maserati berjalan perlahan memasuki rumah pria itu.

Nanda mengernyitkan dahi sambil menerka-nerka siapa orang yang akan keluar dari mobil tersebut. Begitu melihat wanita paruh baya keluar dari mobil itu, ia langsung bergegas merapikan sarung dan kaos yang ia kenakan. Kemudian melangkah menghampiri wanita itu. “Tante Yuna? Tumben ke sini? Ada apa?”

“Tante mau ngobrol sebentar sama kamu. Bisa?” tanya Yuna sambil melepas kacamata hitam yang ia kenakan.

“Bisa, Tante. Silakan masuk!” jawab Nanda sambil mempersilakan Yuna untuk masuk ke rumahnya.

“Roro Ayu di rumah?” tanya Yuna.

“Eh!? Dia lagi main ke rumah orang tuanya,” jawab Nanda.

“Kalau gitu, Tante Yuna di teras aja. Gimana kondisi kamu? Udah sehat?” tanya Yuna sambil menatap bagian bawah perut Nanda.

“Lumayan, Tante,” jawab Nanda sambil meringis. Ia menahan malu melihat keadaannya yang terlihat payah seperti ini.

“Rusak parah? Masih bisa berdiri, nggak?” tanya Yuna sambil menahan ngilu melihat Nanda yang masih mengenakan sarung. Ia tidak bisa membayangkan jika hal ini terjadi pada suami atau dua puteranya.

Nanda kebingungan dan pandangannya mengedar tak terarah. Ia hanya meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan wanita paruh baya di hadapannya itu. Pertanyaan Nyonya Ye terlalu vulgar dan berhasil membuat ia sangat canggung.

Yuna menghela napas. Ia mengulurkan tangan ke arah asisten pribadinya.

Asisten pribadi itu langsung memberikan satu bundel dokumen ke tangan Yuna.

“Tante, saya cuma ngurus perusahaan satu doang. Nggak mungkin Tante Yuna mau bisnis dengan perusahaan kecil kayak saya ‘kan?” tanya Nanda.

“Lihat dulu!” perintah Yuna sambil menyodorkan dokumen ke hadapan Nanda. “Papa dan Mama kamu yang minta Tante untuk menyelesaikan masalah kalian. Kamu ini nggak sayang sama keluarga kamu sendiri? Apa susahnya jadi suami setia!?”

Nanda menghela napas. “Aku udah bertanggung jawab, Tante. Aku nggak bisa jatuh cinta ke dia. Dipaksain pun, aku nggak bisa. Aku ...”

“Kenapa kamu bisa hamilin dia? Kenapa nggak pacar kamu itu yang kamu hamilin?” tanya Yuna.

“Pake pengaman,” jawab Nanda.

“Terus, ke Ayu nggak pake pengaman? Makanya sampe kebobolan?” tanya Yuna.

Nanda terdiam mendengar pertanyaan Yuna.

“Nan, kamu itu cinta sama Ayu. Kamu cuma nggak menyadarinya aja. Orang mabuk itu orang yang paling jujur. Do you remember ... apa yang kamu ucapkan ke Ayu malam itu?” tanya Yuna.

Nanda terdiam sejenak sambil berusaha mengingat-ingat apa yang ia katakan pada Ayu di malam di mana ia memaksa wanita itu melayaninya.

Yuna langsung memutar rekaman suara yang ia dapatkan dari tim pengacara keluarganya.

“Hhh ... I love you, Ay ...! Yo’re mine ...!” bisikan Nanda terdengar sangat pelan di detik-detik terakhir rekaman tersebut.

Nanda melebarkan kelopak matanya. Ia tidak menyangka jika malam itu Ayu merekam semua hal yang ia lakukan.

“Rekaman ini senjata paling ampuh untuk keluarga keraton itu menuntut kamu. Itulah sebabnya orang tuamu sampai menandatangi perjanjian yang mempertaruhkan semua harta keluarga kalian,” ucap Yuna.

“Perjanjian itu beneran ada? Aku pikir hanya ancaman papa untuk menakut-nakutiku saja,” tanya Nanda.

Yuna langsung membuka dokumen yang sudah ada di atas meja. “Ini copy berkas tuntutan keluarga keraton dan surat perjanjian mediasi antara keluarga kalian. Roro Ayu punya bukti kuat untuk menuntut kamu, Nan. Dia bahkan sudah melakukan visum tanpa sepengetahuan orang lain. She’s smart. But, dia masih memberimu kesempatan untuk berubah.”

Nanda terdiam sambil menatap dokumen yang ada di hadapannya.

“Kalau kamu tidak cinta, bisakah kamu berusaha keras mencintainya? Ini demi kebaikan semuanya. Untuk apa kamu mempertahankan wanita yang jelas-jelas tidak baik untukmu?” tanya Yuna sambil membuka  lembar lain dalam dokumen itu.

“Ini foto-foto yang didapatkan orangku yang telah menyelidiki kekasihmu yang bernama Arlita Holsler itu. Dia bukan hanya model, tapi dia ada dalam daftar pekerja prostitusi kelas dua. Ini foto-foto dia yang sering keluar-masuk ke Galaxy Gotel dengan pria-pria berbeda.  Apa yang kamu banggakan dari dia selain tubuh seksi dan cantiknya yang akan hilang saat anakmu sudah tumbuh dewasa sepertimu. Dia bisa menjamin masa depan yang baik untuk keluarga kecilmu, Nan?” tanya Yuna.

Nanda tertegun menatap potret-potret Arlita bersama wanita lain di dalam sebuah hotel dan memang bergonta-ganti pria. “Aku nggak nyangka kalau dia seperti ini. Aku pikir dia setia. Aku sudah memenuhi semua kebutuhan dia, Tante.”

“Dia setia sama uang kamu doang. Waktu kamu sakit, dia bantu kamu apa?” tanya Yuna sambil membuka lembar lain dalam dokumen tersebut.

“Ini mutasi rekening milik Nyonya Rindu. Selama ini, Roro Ayu masih menggunakan ATM milik ibunya. Dia mengeluarkan uang delapan ratus juta untuk biaya pengobatan kamu, Nan. Dia sama kamu itu, siapa yang lebih kaya?” tanya Yuna lagi.

Nanda terdiam mendengar pertanyaan Yuna. Perasaannya mulai berkecamuk saat nyonya itu membeberkan banyak kenyataan yang tidak ia ketahui.

“Kamu bilang, kamu tidak pernah mencintai Ayu. But, aku dapet foto-foto ini semasa SMA kalian,” ucap Nyonya Ye sambil menunjukkan sebuah foto saat Nanda berkelahi dengan banyak preman untuk melindungi Ayu.

“Ayu juga mengorbankan nyawanya untuk kamu dua kali. Sekarang, dia sedang mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk melahirkan anakmu, Nan. Where your heart? Hatimu tidak tersentuh sedikitpun dengan apa yang dia korbankan untukmu? She is love you. But, dia gengsi karena wanita berprestasi seperti dia ... merasa kalau pria impiannya harus lebih baik dan berprestasi seperti dia. Show you ...! Tunjukan kalau cinta itu ... bisa jatuh pada hati siapa saja, bahkan pada pembunuh sekalipun,” ucap Yuna panjang lebar.

Nanda terdiam. Ada banyak hal yang tidak pernah ia pedulikan tentang Ayu. Baginya, Ayu adalah wanita baik dan berprestasi. Ia sadar, ia tidak mungkin mendapatkan cinta wanita itu. Ia pernah menyukai Ayu saat SMA. Tapi perasaan itu ia kubur dalam-dalam saat mengetahui kalau Ayu lebih mencintai Sonny dan lebih layak berada di sisi pria itu.

“Waktu kamu hanya dua minggu. Buat dia jatuh cinta sama kamu dengan menunjukkan kesungguhan hatimu, Nan! Masa depan semua keluargamu, kini tergantung bagaimana kamu menyikapi hubunganmu dengan bijak,” ucap Yuna sambil tersenyum.

Nanda terdiam sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuat Ayu jatuh cinta kepadanya. Ia juga tidak tahu bagaimana caranya mengejar wanita. Biasanya, semua wanita akan datang dengan sendirinya dan ia hanya cukup membuka sedikit mulut untuk mendapatkannya, tanpa harus berusaha keras.

“Shit! Seumur hidup, cuma cewek satu ini yang bikin hidupku kacau balau!” umpat Nanda dalam hati.

 

 

((Bersambung...))

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Jangan lupa beli paket supaya bisa baca lebih murah, ya!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 


Bab 30 - The Power of Nyonya Ye

 



Yuna melangkahkan kakinya perlahan memasuki sebuah restoran mewah yang ada di lantai dua Galaxy Mall. Ia langsung duduk di salah satu meja yang kosong seorang diri. Asisten pribadinya, berdiri di samping meja sambil memesankan makanan untuk pelayan yang ada di sana.

Anak buahnya telah menginformasikan jika malam ini Edi Baskoro dan sang istri akan makan malam di restoran ini. Ia dengan sengaja memesan semua meja yang ada di restoran itu hingga tidak ada orang lain yang bisa masuk ke dalam sana selain dia.

“Nyonya, mereka datang,” bisik asisten pribadi Yuna sambil menunjuk ke arah pintu masuk.

Yuna mengangguk. Ia mengerti saat salah satu karyawan yang berdiri di pintu, menghadang langkah Edi dan istrinya.

“Maaf, Nyonya dan Tuan ...! Tempat ini sudah di-booking,” ucap pelayan itu sambil menatap Edi dan Bunda Rindu.

“Kami sudah memesan meja satu hari sebelumnya. Kenapa kami tidak boleh masuk?” tanya Edi sambil mengerutkan dahi karena restoran itu tiba-tiba di-booking.

Yuna langsung memberi kode pada asisten pribadinya. Dengan cepat, asisten pribadi itu menghampiri petugas restoran yang berjaga di pintu.

“Permisi, Mas ...! Tuan dan Nyonya ini adalah orang yang diundang oleh Nyonya kami,” ucap asisten pribadi Yuna.

“Oh. Maaf!” Pria itu langsung membungkuk hormat, ia mempersilakan Edi dan istrinya untuk masuk ke dalam sana.

Edi dan Rindu saling pandang. Mereka benar-benar tidak tahu siapa nyonya yang dimaksud oleh orang-orang itu.

“Silakan duduk, Tuan dan Nyonya ...!” Asisten pribadi Yuna langsung menarik kursi untuk Edi dan istrinya. Tepat berhadapan langsung dengan Yuna yang sudah duduk dengan elegan di depan mereka.

Edi dan Bunda Rindu saling pandang ketika melihat Ayuna berada di sana. Mereka tidak menyangka jika ada Ayuna di hadapan mereka. Tidak ada yang tidak mengenal Vice President Galaxy Group ini. Wajahnya sudah sering terpampang di cover majalah bisnis Asia karena perusahaannya memang berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.

“Selamat malam ...!” sapa Yuna sambil tersenyum manis ke arah Edi dan sang istri.

“Maaf, Nyonya! Ini ada apa, ya? Kenapa harus menemui kami dengan cara seperti ini?” tanya Edi sambil menatap wajah Yuna.

Yuna tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna. “Anda mengenal saya?”

Edi mengangguk. “Tidak ada orang bisnis yang tidak mengenal pemilik Galaxy Group. Apalagi Anda juga masih puteri dari pemilik Howard Group,” jawabnya.

“Oh. Baguslah kalau Anda mengenal saya.” Yuna tersenyum manis ke arah Edi dan Rindu. Ia menoleh ke arah asisten pribadinya, meminta wanita muda itu untuk menyiapkan hidangan spesial dari restoran tersebut.

Edi dan Bunda Rindu saling pandang. Mereka benar-benar tidak tahu apa yang membuat pemilik Galaxy Group itu pergi menemui mereka.

“Saya nggak bisa berbasa-basi karena nggak punya banyak waktu. Saya datang ke sini atas nama sahabat saya, Andre Ahmad Perdanakusuma. Kalian kenal?” tanya Yuna.

Edi dan Bunda Rindu saling menatap. “Dia besan kami.”

Yuna mengangguk. “Kalian mengakui kalau Andre dan Nia itu besan kalian?”

Bunda Rindu mengangguk.

“Lalu, kenapa kalian menuntut keluarga besan sendiri sampai seperti ini?” tanya Yuna sambil tersenyum.

“Oh. Kamu menemui kami untuk membujuk kami agar tidak melaporkan perbuatan Nanda ke polisi dan menuntut keluarga mereka? Presiden sekalipun, tidak akan membuatku mencabut tuntutanku terhadap bajingan itu!”
 sahut Edi. Ia langsung emosi saat mengetahui maksud Yuna menemuinya.

Yuna menghela napas. “Aku tidak membujuk kalian untuk mencabut laporan kalian. Itu hak kalian. Saya tahu perasaan kalian yang sedang memperjuangkan keadilan untuk puteri kalian. Kalian berdua orang tua yang berpendidikan. Apakah keadilan yang kalian inginkan itu benar-benar baik untuk Roro Ayu?” tanya Yuna.

“Jelas baik. Nanda sudah memperlakukan puteri kami seperti binatang. Kami memberinya kesempatan untuk menikahi dan memperlakukan puteri kami dengan baik. Tapi dia malah mempermainkan Roro. Benar-benar tidak menghargai kami sebagai orang tuanya!” sahut Edi sambil menahan amarah di dadanya. Setiap kali mengingat wajah Nanda, emosinya terus memuncak.

“Apa puteri Anda yang menginginkan hal seperti ini? Dia wanita yang cerdas dan baik hati. Saya pernah mengundangnya makan malam di rumah keluarga saya dan hubungan mereka berdua terlihat baik-baik saja. Itu artinya, Roro Ayu tetap berbakti dan masih peduli dengan Nanda. Walau bagaimana pun, Nanda adalah ayah biologis dari bayi yang dikandung Roro Ayu. Apa kalian benar-benar tidak berperasaan? Sebagai orang tua, kalian tega memisahkan anak dari orang tuanya?” tanya Yuna panjang lebar sambil menatap serius ke arah Edi dan Rindu.

Bunda Rindu menghela napas. “Nyonya Ye benar, Mas. Bagaimana kalau kita cabut saja tuntutan terhadap Nanda?”

“Kamu mau anak kita diperlakukan semena-mena sama Nanda, hah!? Dia itu anak kita satu-satunya!” sahut Edi bersikeras.

“Kalian juga sudah semena-mena terhadap Nanda. Tuntutan kalian itu nggak wajar. Kalian sengaja mau buat keluarga Perdanakusuma jatuh miskin?” sahut Yuna.

“Andre sudah sepakat menandatangani perjanjian kami sebagai jaminan. Nggak ada yang salah,” sahut Edi santai.

“Menuntut Nanda saja masih belum cukup? Kenapa kalian menginginkan harta mereka? Kalian ini bukan orang miskin. Kenapa begitu mata duitan?” tanya Yuna.

Braaak ...!

Edi langsung memukul meja di hadapan Yuna. “Sekali lagi kamu bilang begitu, aku tidak akan segan membuat perhitungan denganmu! Aku melakukan ini untuk Roro Ayu dan calon anaknya!”

Yuna langsung bangkit dari kursi saat Edi menggebrak meja di hadapannya. “Bukan seperti ini caranya! Kalau kamu ingin masa depan yang baik untuk calon anaknya Roro Ayu, bukan dengan cara memisahkan dia dengan keluarga Perdanakusuma! Keluarga Andre nggak akan menelantarkan menantu, apalagi cucunya!” serunya tak mau kalah.

“Mas, sudahlah. Nggak perlu berantem kayak gini!” pinta Bunda Rindu berbisik di telinga Edi dan berusaha menenangkan suaminya itu.

“Kamu bisa kasih jaminan kalau keluarga itu nggak akan menelantarkan puteri kami, hah!? Nanda aja masih bawa perempuan lain ke kamar hotel. Gimana perasaanmu kalau puterimu sendiri yang dikhianati?” seru Edi sambil menunjuk wajah Yuna penuh emosi.

“Kamu mau jaminan apa?” tanya Yuna sambil mengangkat dagunya, ia menatap wajah Edi penuh keberanian.

Edi membalas tatapan tajam mata Yuna. Ia sangat kesal dengan mata wanita yang begitu berani melawan dirinya.

“Kamu nggak akan minta semua saham milik Galaxy ‘kan?” tanya Yuna sambil menatap wajah Edi dengan wajah sinis.

Edi balas tersenyum sinis. “Kalau aku minta, kamu mau kasih?”

“Aku akan kasih semua saham Galaxy kalau kamu bisa keluar dari gedung ini dalam keadaan hidup!” sahut Yuna dengan tatapan berapi-api sambil melangkahkan kakinya mendekati Edi.

“Mas, nggak usah macem-macem! Kita berdamai saja!” pinta Bunda Rindu sambil merengkuh lengan Edi. Ia mengedarkan pandangannya dan bisa melihat ada banyak orang berpakaian ala bodyguard yang berkeliling di sekitar mall itu. Sudah pasti, mereka ada di sana untuk menjaga dan melindungi Vice President yang ada di area tersebut.

Yuna tersenyum sinis. “Aku mengajak kalian berdamai. Tapi kalau kalian mau berperang, aku juga bisa melakukannya! Keluarga Andre akan dapat support penuh dari keluarga Howard dan Hadikusuma. Kami bisa menuntut balik keluarga keraton kalian itu dengan tuduhan pemerasan dan pengancaman!”

“Kamu ...!?” Edi menatap geram ke arah Yuna. “Berani-beraninya kamu mengancamku!”

“Kamu juga sudah mengancam keluarga Andre. Siapa pun yang berani menyentuh orang-orangku, aku tidak akan membiarkan dia hidup tenang!” tegas Yuna sambil menggebrak meja di sampingnya, tepat di hadapan Edi.

Edi terdiam dengan perasaan tak karuan. Ia menimbang banyak hal dan ia tetap saja tidak bisa menerima puterinya yang diperlakukan semena-mena oleh Nanda.

“Kalian mau berdamai atau tetap ke jalur hukum!?” sentak Yuna.

“Mas, kita berdamai saja, ya! Kasihan Roro dan calon cucu kita, Mas,” pinta Bunda Rindu sambil menatap wajah suaminya dengan perasaan tak karuan.

“Istri kamu benar dan bijak. Dia mau berdamai. Tapi kalau kamu bersikeras ke jalur hukum, aku akan meladeninya,” ucap Yuna sambil tersenyum manis.

“Apa kamu bisa menjamin Nanda mencintai Roro Ayu dengan tulus? Orang tuanya saja tidak bisa memberikan jaminan,” tanya Edi.

“Oh. Cuma itu yang kamu mau? Kasih aku waktu satu minggu dan aku akan buat Nanda bertekuk lutut di hadapan puterimu!” sahut Yuna.

Edi tersenyum sinis. “Coba saja kalau bisa! Kami sudah melakukannya berbulan-bulan, dia hanya berpura-pura menyayangi Ayu!”

“Aku dan kalian itu berbeda. Kalau aku bisa membuat Nanda jatuh cinta sama Roro Ayu dalam waktu satu minggu, jangan paksa mereka untuk berpisah dan cabut tuntutan kalian terhadap keluarga Andre!” pinta Yuna.

“Oke. Kalau kamu bisa buat Nanda mencintai puteriku sungguhan, aku akan cabut tuntutan keluarga kami!” sahut Edi.

Yuna mengangguk. “Jangankan membuatnya mencintai Roro Ayu. Membuat dia mengorbankan nyawanya untuk Roro Ayu pun, aku bisa melakukannya!” tegasnya. Ia langsung menarik tas tangan mungil miliknya dan bergegas melangkah pergi.

“Semua makanan di sini sudah kubayar. Jangan sia-siakan makanan mahal! Makanlah sebelum pergi. Selamat menikmati ...!” Yuna mengerdip ke arah Edi dan Bunda Rindu. Kemudian melangkah pergi bersama asisten pribadi dan beberapa bodyguard yang bermunculan dari sudut-sudut berbeda dan mengiringi langkah Yuna untuk pergi dari tempat tersebut.

Bunda Rindu menghela napas lega saat Yuna sudah pergi dari tempat tersebut. Ia merasa lega karena suaminya tidak bertikai terus menerus dengan nyonya besar keluarga Hadikusuma itu. Mengurus tuntutan hukum untuk puterinya saja, sudah banyak menguras pikiran, tenaga dan materi. Entah apa jadinya jika keluarga Hadikusuma juga ikut campur dalam permasalah rumah tangga mereka. Sesungguhnya, ia tidak menginginkan hal lain selain melihat Roro Ayu hidup bahagia, dengan siapa pun itu.

 

 

(( Bersambung...))

Eeaak ...!

Nyonya Ye tetap aja nggak mau kalah, ya?

Komen di bawah dong biar lapak author nggak sepi mulu!

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 


Bab 29 - Bantuan d ari Keluarga Hadikusuma

 



Andre dan Nia melangkahkan kaki masuk ke rumah mewah milik keluarga Hadikusuma. Dua hari sebelumnya, mereka sudah membuat janji bertemu untuk meminta bantuan dari Yuna dan Yeriko.

Yuna dan Yeriko langsung menyambut kedatangan Andre dan istrinya. “Tumben kalian sampai main ke sini. Ada masalah genting banget?” tanyanya saat Andre dan Nia sudah duduk bersama di sofa ruang tamu.

“Yun, yang aku ceritain waktu itu. Keluarga Roro Ayu menuntut kami,” jawab Nia sambil dengan mata berkaca-kaca.

“Hah!? Nuntut gimana?”

Nia menoleh ke arah Andre dengan perasaan tak karuan. “Nanda nggak mau dengarkan kami dan keluarga Roro memaksa kami mengembalikan puterinya. Kalau Roro dan Nanda bercerai. Artinya ...”

“Delapan puluh persen kekayaan kalian akan jadi milik keluarga bangsawan itu?” tanya Yuna.

Nia mengangguk.

“Kenapa bisa seperti ini?” tanya Yeriko sambil menatap wajah Andre dan Nia bergantian.

“Mas Andre sudah menandatangani perjanjian dengan keluarga keraton itu. Kami nggak bisa berbuat apa-apa kalau sampai Nanda dan Ayu bercerai. Kalian tahu, mereka bukan hanya menuntut keluarga kami secara hukum adat. Tapi juga menuntut Nanda atas kasus pidana dan perdata. Gara-gara satu anak aja, hidup kaami berantakan,” jawab Nia sambil menitikan air mata. “Bisa tolong kami, Yun?”

Yuna menghela napas. “Kalian ceritakan dulu ke kami, bagaimana detail ceritanya supaya kami tahu bagaimana caranya membantu kalian,” pintanya.

Nia dan Andre mengangguk, kemudian menceritakan detail perjanjian terpaksa ditandatangani oleh Andre karena tututan dari pihak keraton kesultanan sangat besar. Mereka tidak mungkin menghabiskan semua harta mereka, juga tidak mungkin membiarkan putera mereka masuk penjara karena kasus pemerkosaan terhadap puteri keluarga bangsawan yang begitu dihormati.

“Setahu aku, kasus pemerkosaan itu nggak bisa dibawa ke hukum kalau nggak ada bukti. Memangnya, Roro Ayu punya bukti yang bisa menjerat anak kalian?” tanya Yuna.

Andre mengangguk. “Diam-diam, Ayu merekam kejadian saat puteraku menodainya. Dia juga melakukan visum dan hasil pemeriksaan plasenta di kandungannya, positif anak Nanda. Roro Ayu itu diam, lembut, tapi berbahaya karena terlalu cerdas buat kami.”

“Kami juga tidak menyangka kalau Roro Ayu mengumpulkan begitu banyak bukti untuk memenjarakan putera kami. Itulah sebabnya, Mas Andre memilih jalan untuk menandatangani perjanjian itu. Kami harus menyelamatkan Nanda, juga menyelamatkan  masa depan perusahaan kami.” Nia menambahkan.

“Asal mereka nggak bercerai, kalian aman ‘kan?” tanya Yuna.

Nia dan Andre menganggukkan kepala.

“Astaga ...! Itu mah perkara gampang. Damaikan aja mereka berdua!” sahut Yuna santai.

“Mereka berdua itu kelihatan harmonis dan baik-baik saja di depan kami. Kami nggak tahu kalau Nanda diam-diam masih punya hubungan dengan wanita lain. Mas Edi sangat marah dan dia minta pernikahan mereka dibatalkan. Itu artinya, kami akan kehilangan semuanya, Yun. How?”

Yuna menghela napas. “Apa nggak bisa diselesaikan secara kekeluargaan?”

Nia dan Andre menggeleng. “’Mas Edi Baskoro itu sifatnya keras. Dia nggak mau berdamai dan meminta kasus pemerkosaan puterinya dibawa ke hukum,” ucap Andre dengan perasaan tak karuan.

Yuna langsung menyodorkan segelas air putih ke hadapan Andre. “Minumlah dulu! Nggak ada masalah yang nggak ada jalan keluarnya, Ndre. Kamu tenanglah supaya bisa berpikir jernih!” pintanya lembut.

“Buat mereka saling jatuh cinta, nggak bisa?” tanya Yeriko sambil melirik kesal ke arah Yuna yang terlalu perhatian meski pada orang lain.

“Yah, mereka terlihat baik-baik aja di luar. Kami pikir, ada cinta di hubungan mereka, Yun,” ucap Nia sambil mengusap air matanya.

“Anak-anak memang pandai berpura-pura supaya orang tua nggak khawatir dan kepikiran. Itu artinya, mereka sayang dan patuh sama orang tua. Cobalah kamu tegasin Ananda! Jangan terlalu dimanjain!” pinta Yuna sambil menatap Nia dan Andre.

“Kayak kamu nggak manjain anak aja,” celetuk Yeriko.

“Hei, walau aku manjain mereka, mereka tetap mandiri!” sahut Yuna. “Yang paling manja sama aku cuma Okky dan dia sudah belajar usaha bengkel sejak SMP. Kamu juga manjain dia, kok. Lihat aja koleksi mobil mewahnya itu! Siapa yang beliin terus kalau bukan kamu!”

“Kamu ...!?” Yeriko menatap geram sambil menunjuk ke arah Yuna. ia menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa kecil. “Ndre, perempuan kapan bisa kalah?” bisik Yeriko sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Andre.

Andre ikut tertawa kecil melihat Yuna dan Yeriko yang kerap berdebat, tapi tetap saja harmonis dan saling menyayangi hingga mereka menua bersama.

“Jangan bingung dan kayak orang susah, Ndre!” pinta Yeriko sambil menepuk dan menggenggam pundak Andre. “Istriku jago kalau jadi Mak Comblang. Kalian pake jasa dia, gih!”

Yuna tergelak mendengar ucapan Yeriko. “Jasa Mak Comblang Nyonya Ye tarifnya mahal, Booo ...!”

“Berapa sih, Yun? Asal kamu bisa bikin Roro Ayu dan Nanda nggak berpisah, aku kasih, deh! Daripada kami kehilangan semua harta kami,” tanya Nia sambil menatap wajah Yuna penuh harap.

Yuna terkekeh geli. “Iih ... kamu nanggepinnya serius banget, sih? Aku bercanda Nia Sayang. Kalau urusan Mak Comblang mah gampang. Aku akan ajari kamu bikin mereka tidak terpisahkan.”

“Gimana caranya?” tanya Nia penasaran.

Yuna mendekatkan bibirnya ke telinga Nia dan terus membisikkan sesuatu.

“Apa berhasil, Yun?” tanya Nia setelah ia mendapatkan saran dari Yuna.

Yuna mengangguk.

“Aku nggak tega sama anakku sendiri, Yun,” ucap Nia lirih.

Yuna menghela napas. “Kamu harus tega, Nia! Daripada kalian kehilangan semua harta kalian. Salah siapa tanda tangan perjanjian? Kalian sudah paham sama risikonya ‘kan? Harusnya, kamu pantau anak kamu itu, dong!”

Nia mengangguk-anggukkan kepalanya.

Yuna langsung memutar kepala begitu melihat puteranya melenggang melewati ruang tamu rumah tersebut. “Mau ke mana, Ky?” serunya.

Rocky menghentikan langkah dan menoleh ke arah Yuna. “Ke Semarang. Jemput Nadine,” jawabnya.

“Kamu itu pacaran atau nggak sih sama Nadine?” tanya Yuna. “Tiap minggu jemput dia terus.”

“Aku ini ... sedang berjuang ...” jawab Rocky menggunakan nada lagu “Doa untuk Kamu” milik Aviwkila.

“Semangat berjuangnya, ya!” seru Yuna sambil tertawa kecil.

Rocky mengangguk sambil tersenyum. “Bunda mau oleh-oleh apa dari Semarang?”

“Calon mantu,” jawab Yuna sambil tertawa kecil. “Mampir ke rumah Kak Yui dan Ikko, ya!”

“Siap, Nyonya Bos!” Rocky memberi hormat ke arah Yuna dan bergegas melangkah pergi.

“Lihat anakku, Ndre! Berjuang buat dapetin cewek yang kualitasnya gini,” ucap Yeriko sambil mengacungkan jempol ke arah Andre. “Anakmu ... udah dapet perempuan baik-baik, malah disia-siakan. Kasih dia berjuang supaya bisa menghargai hubungan percintaannya!”

“Gimana caranya?” tanya Andre. “Aku juga pernah berjuang keras, tapi kamu rebut.”

“HAHAHA.” Yeriko tergelak mendengar ucapan Andre. “Aku terlalu hebat buat jadi lawanmu, Ndre. Kalau mau bersaing jangan sama aku!”

“Kalah level, ya?” sahut Andre sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Yeriko terkekeh geli. “Nggak sih sebenarnya. Yuna aja yang bucin ke aku dari dulu.”

Yuna melebarkan kelopak matanya menatap Yeriko. “Apaan bucin? Kamu yang bucin ke aku duluan!”

“Udahlah, kalian ini sama-sama bucin!” sahut Andre sambil menatap Yuna dan Yeriko.

Yuna tertawa kecil dan bergelayut manja di tubuh Yeriko. “Iya. Aku bucin banget sama laki-laki yang satu ini. Abisnya, mau gimana lagi. Dia ayahnya anak-anak aku. Kalau nggak bucin, ntar aku nggak dikasih uang jajan buat liburan ke luar negeri, hihihi.”

Yeriko tertawa kecil sambil menarik hidung Yuna. “Udah punya cucu, kelakuannya masih aja kayak anak-anak. Manja banget!”

“Biar aja! Kamu suka aku yang manja ‘kan? Daripada kamu sibuk manjain yang lain, lebih baik aku aja yang manja-manja sama kamu,” ucap Yuna sambil memeluk tubuh Yeriko.

Nia dan Andre ikut tersenyum melihat kemesraan dua orang yang ada di hadapan mereka itu.

“Aku bantu comblangin anak kalian! Kebetulan, Nadine mau ke sini. Mereka bersahabat ‘kan? Aku akan minta bantuan Nadine juga.”

“Nadine juga bersahabat sama Sonny. Kalau Nadine malah comblangin Roro Ayu ke Sonny, gimana?” tanya Nia.

“Berarti, anak kamu nggak jodoh sama keluarga bangsawan itu. Ikhlasin aja!”

“Ikhlasin harta kita juga? Mana bisa, Yun,” ucap Nia sambil melipat wajahnya. Ia sudah menggabungkan perusahaan keluarganya dengan perusahaan keluarga Andre dalam satu aset kekayaan mereka. Artinya, semua harta mereka akan terkuras habis oleh perjanjian yang terpaksa ditandatangani sang suami demi menyelamatkan puteranya dari tuntutan hukum yang dilayangkan keluarga keraton terhadap keluarga mereka.

“Udah, tenang aja! Aku bantu damaikan kalian. Oke?” ucap Yuna sambil tersenyum manis.

Nia langsung menggenggam tangan Andre. Ia merasa sangat lega karena Yuna dan Yeriko mau membantunya. Mereka tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa, sebab mengirim sanak saudara malah membuat emosi besannya semakin memanas. Ia harap, pihak ketiga yang tidak memiliki hubungan keluarga, bisa menyelamatkan putera dan perusahaannya yang ikut terancam.

 

 

((Bersambung...))

 

 

Terima kasih sudah jadi sahabat setia bercerita!

Yang rindu Mr. Ye & Mrs. Ye ... salam manis dari mereka yang selalu merindukan kalian.

 

 

Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 


Bab 28 - Aku Butuh Kamu [ Novel Menikahi Lelaki Brengsek : Vella Nine]

 



Seminggu kemudian, Nanda sudah diizinkan pulang ke rumah. Ayu dengan telaten merawat luka bekas operasi suaminya itu.

“Nan, karena lukamu udah sembbuh, aku punya hadiah buat kamu,” ucap Ayu sambil tersenyum manis ke arah Nanda.

“Sembuh apanya? Barangku nggak bisa bangun gini. Kedutan dikit aja udah sakit,” sahut Nanda sambil merintih menahan bagian inti tubuhnya yang masih terasa nyeri setiap kali ia mencoba untuk memunculkan hasrat kelelakiannya.

“Setidaknya, kamu sudah bisa jalan, Nan. Orang lain nggak perlu tahu kalau barangmu nggak bisa bangun,” sahut Ayu sambil tersenyum manis. Ia mengambil sebuah amplop dari dalam tas tangannya dan menyodorkan ke hadapan Nanda.

“Apa ini?” tanya Nanda saat manik matanya langsung menangkap logo institusi kepolisian yang sangat khas. “Kasus penganiayaan terhadapku tetep dilanjutkan? Baguslah. Ini nggak seberapa kalau dibandingkan dengan kehancuran masa depanku,” ucapnya.

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Papamu sudah resmi mencabut tuntutannya ke Sonny dan menyelesaikan semua dengan cara kekeluargaan.”

“Serius!? Sonny bisa bebas gitu aja?”

Ayu mengangguk. “Papamu sudah mengeluarkan uang untuk membebaskan dia.”

“Hah!? Ini aku yang bego atau gimana? Aku yang dipukulin sampai masuk rumah sakit. Kenapa papaku yang harus ngeluarin uang untuk bebasin Sonny. Ini nggak bener, Ay!” sahut Nanda sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ayu tersenyum sambil menatap wajah Nanda. “Yang nggak bener itu kamu, Nan,” batinnya.

“Rekaman CCTV itu udah jelas kalau Sonny mukulin aku, Ay! Masa dibebasin gitu aja, sih? Mukaku hancur, masa depanku, apalagi,”  ucap Nanda sambil melirik ke arah senjata andalan yang ada di bawah pusarnya.

Ayu tersenyum menanggapi ucapan Nanda. “Kamu nggak mau baca ini surat apa?”

Nanda mendengus kesal dan merobek ujung amplop tersebut, kemudian mengambil surat dari dalam amplop tersebut dan membacanya. Ia menelan saliva dengan susah payah saat membaca surat panggilan dari kepolisian dan statusnya telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pelecehan seksual, penelantaran keluarga dan perselingkuhan, juga kasus perkelahian.

“Ay, kamu nuntut aku? Buat apa kamu baik-baik sama aku kalau di belakang, kamu nusuk aku?” seru Nanda kesal sambil melemparkan surat itu ke lantai begitu saja.

“Gimana rasanya? Kecewa? Sakit?” tanya Ayu. “Itu yang aku rasain saat kamu bersikap baik sama aku, tapi kamu tega selingkuh di belakangku.”

“Aku nggak selingkuh, Ay! Arlita itu ...” Nanda menghentikan ucapannya dan menatap serius ke arah Ayu. “Kamu tahu aku nggak pernah serius sama perempuan. Aku nggak bisa cinta sama kamu, Ay. Aku nikahin kamu cuma sebatas tanggung jawab. Nggak bisa semudah itu aku berpindah hati. Nggak masuk di logikaku, Ay!”

“Sama. Aku juga nggak bisa semudah itu berpindah hati. Kalau boleh milih, aku nggak akan pernah terlibat dengan pernikahan bedebah ini!” sahut Ayu.

Nanda menghela napas sambil menggaruk alisnya yang tidak gatal. “Kita nggak usah berdebat, Ay! Aku akan kasih semuanya buat kamu. Asal nggak gini caranya. Kamu tega mau penjarain suamimu sendiri?”

“Iya.”

“Terus, gimana sama masa depan anak kita, Ay? Aku butuh cari nafkah untuk menghidupi kalian. Gimana perasaan anak kita nanti kalau tahu papanya narapidana?” tanya Nanda.

“Aku akan menghadapinya. Memang seperti itu adanya kamu. Aku sudah berusaha memberimu kesempatan untuk berubah, Nan. You wanna be Daddy! Tapi kamu nggak bisa jadi contoh yang baik buat keluarga kecil kita! Aku ... lebih baik merawat dan membesarkan anakku sebagai single mom daripada harus mendidik dia dalam rumah tangga yang toxic!” sahut Ayu sambil menatap Nanda dengan tatapan berapi-api.

“Ya kamu yang bikin semuanya jadi ruyam dan toxic!” ucap Nanda tak mau kalah.

“Aku?” Ayu tertawa kecil. “Kamu ini beneran nggak bisa sadar, ya? Yang salah itu kamu, Nan! Dari awal, kamu yang salah! Kamu yang udah merenggut semua impianku, masa depanku dan semua kebahagiaan yang aku miliki,” ucapnya sambil menitikan air mata.

Nanda terdiam sesaat menatap wajah Ayu. “Ay, jangan nangis!” pintanya sembari meraih tangan Ayu dan menggenggamnya. “Kita baikan lagi, ya! Aku capek berantem sama kamu. Kamu mau apa? Aku akan berusaha penuhi semua keinginan kamu.”

“Yang aku mau sejak dulu cuma satu, Nan.”

“Apa?”

“Melihatmu hancur,” jawab Ayu sambil menatap lekat mata Nanda.

DEG!

Nanda membeku menatap Ayu yang ada di hadapannya. Ia tidak menyangka jika gadis yang begitu lembut dan tenang ini menyimpan kebencian yang begitu dalam untuknya. “Ay, aku tahu kamu lagi emosi. Kita baikan, ya! Demi anak kita. Jangan penjarain aku, Ay!” pintanya lirih.

Ayu menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata saat Nanda memilih menurunkan nada suaranya. Pikirannya semakin tidak karuan karena sikap Nanda yang tidak bisa ia baca ketulusan hatinya.

“Ay, please ...! Kita baikan lagi, ya!” pinta Nanda sambil meremas jemari tangan Ayu. Ia menarik tubuh wanita itu perlahan dan memeluk perut Ayu yang sudah membesar. “Aku sayang dia, Ay. Kamu juga ‘kan?”

“Kalau kamu sayang, kamu nggak akan pergi sama wanita lain, Nan. Aku nggak akan kasih dua mama untuk anakku!”

“Ay, aku sama Arlita nggak ngapa-ngapain,” tutur Nanda.

“Tapi mau ngapa-ngapain ‘kan?”

“Ck. Pikiranmu terlalu negatif, Ay!” Nanda menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan terus berusaha mencari cara agar Ayu bersikap baik dan menarik semua tuntutan hukum terhadapnya.

“Terus, ngapain janjian ketemu di hotel tengah malam? Kamu kira aku bego apa?” sahut Ayu. “Aku diam, bukan berarti aku nggak tahu apa-apa!”

“Aku baru sampai di pintu hotel karena Arlita memang kebetulan nginap di sana. Sonny yang tiba-tiba mukul aku tanpa kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya,” ucap Nanda.

Ayu menggeleng-geleng heran menatap wajah Nanda. “Kamu keluar diam-diam dari rumah tengah malam, kamu salah. Menemui Arlita di hotel, jauh lebih salah lagi! Dari semua kesalahan yang kamu buat, kamu pernah minta maaf ke aku dengan tulus? Nggak ‘kan? Kamu malah sibuk nyari kesalahan orang lain!”

Nanda menghela napas. “Aku minta maaf, Ay!” ucapnya lirih.

“Maafku saat ini sudah habis. Nggak bisa kamu minta.”

“Ck. Salah lagi ‘kan? Ayolah! Kita baikan seperti biasanya, ya!” pinta Nanda sambil memainkan alisnya menatap Ayu.

Ayu mengangguk kecil. Ia lelah jika setiap hari harus bertengkar di dalam rumah sendiri. “Sikap baikku ke kamu, tidak akan mengubah proses hukum yang sedang berjalan. Ayah tidak akan mencabut tuntutannya, Nan.”

“Ck. Terserah kamu, deh! Yang penting, kita baikan. Oke?” pinta Nanda sambil tersenyum menatap wajah Ayu. Ia memeluk tubuh wanita itu dan terus menciumi perut Ayu. Kepalanya terus memikirkan cara agar Ayu dan keluarganya menarik tuntutan terhadapnya. Yang harus ia lakukan saat ini adalah bersikap baik pada Roro Ayu agar wanita itu tidak pergi meninggalkannya dalam keadaan sakit seperti ini.

Ayu menarik napas dalam-dalam. Hatinya bergejolak. Ia tidak ingin berubah menjadi jahat seperti ini. Tapi ia juga tidak tahan hidup dalam rumah tangga yang penuh kepalsuan seperti ini. Mereka hanya berpura-pura cinta, tapi hati mereka sama-sama berada di tempat lain.

“Ay, jangan marah lagi, ya! Aku janji, aku akan memperlakukan kamu dengan baik.”

“Setiap hari kamu sudah memperlakukan aku dengan baik, Nan. Aku berterima kasih untuk itu. Hanya saja ... tidak ada cinta dalam keluarga ini. Kamu tidak bisa mencintaiku meski aku sudah berusaha jadi istri yang baik. Daripada kita tidak pernah bahagia selamanya, bagaimana kalau kita bercerai saja?” ucap Ayu lirih sambil menahan perih di matanya.

Nanda terdiam dan menengadahkan kepalanya menatap Ayu. “Why? Kenapa kamu bilang kayak gini? Aku nggak akan menceraikan kamu, Ay. Kamu lagi hamil, makanya sensitif kayak gini. Nggak usah berpikiran macam-macam. Kita baikan saja, oke?” pintanya.

“Berbaikan saja buatku nggak cukup, Nan. Ayah Edi sudah memutuskan untuk membatalkan pernikahan kita,” ucap Ayu lirih.

“APA!? Nuntut aku masih belum cukup, Ay? Kamu bilang ke ayahmu kalau nggak perlu seperti ini! Kamu udah gede, Ay. Nggak perlu bergantung sama orang tua lagi. Kamu bisa buat keputusan sendiri ‘kan? Kamu ...”

“Keputusanku sama dengan keputusan ayah,” jawab Ayu. “Aku bukan Arlita atau wanita-wanitamu yang lain. Aku nggak bisa berbagi hati, Nan. Terlalu sakit buat aku dan aku nggak sekuat yang kamu pikirkan. Mungkin, dengan berpisah ... kita bisa sama-sama bahagia. Kamu juga bisa bahagia sama Arlita.”

Nanda langsung memeluk erat paha Ayu yang berdiri di hadapannya. “Nggak, Ay. Aku nggak mau kita bercerai. Aku nggak mau. Gimana keluarga kita kalau kita berpisah?”

Ayu tersenyum menatap wajah Nanda. “Kamu tidak perlu khawatir! Semua akan kembali seperti dulu lagi. Kita masih bisa berteman, keluarga kita masih bisa berteman. Kamu masih mencintai Arlita, aku juga masih mencintai Sonny. Bagaimana kalau kita saling melepaskan, Nan?” ucapnya lembut.

Nanda menggeleng. Ia terus memeluk kaki Ayu seperti seorang anak yang takut kehilangan mainan kesayangannya. Hatinya begitu sulit untuk berubah. Begitu sulit untuk jatuh cinta meski di luar sana ia banyak bersenang-senang dengan wanita. Ia tidak tahu bagaimana cara membuka hati untuk Ayu. Ia tidak tahu kapan akan bisa mencintai wanita ini. Tapi ia tahu, jika saat ini ia sangat membutuhkan Ayu. Membutuhkan wanita itu untuk tetap berada di sisinya.

 

 

((Bersambung...))

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas