“Braaak ...!” Edi langsung
murka begitu ia melihat video rekaman CCTV Ananda yang bersama wanita lain
hingga berujung perkelahian dengan Sonny.
Semua polisi yang ada di
ruangan itu terdiam melihat sikap Edi yang begitu murka karena puteri semata
wayangnya dinodai dan dipermainkan oleh Nanda.
“Aku sudah tertipu karena
mempercayakan puteriku pada keluarga itu!” Suara bariton Edi memenuhi ruangan.
Tangannya terus mengepal keras dan rahangnya mengeras hingga urat-urat di
lehernya nampak begitu jelas.
“Saya akan bawa kasus ini ke
meja hijau dan menuntut keluarga Perdanakusuma itu!” tegas Edi.
Polisi yang ada di sana
mengernyitkan dahi. Ia menoleh ke salah satu pengacara yang sudah dikirim untuk
menangani kasus Nanda.
“Pak, di sini klien saya yang
jadi korban. Dia sampai masuk ke rumah sakit dan harus menjalani operasi besar
dengan biaya yang besar juga. Kenapa malah klien saya yang dituntut?” tanya
pengacara keluarga Perdanakusuma.
“Puteri saya yang jadi korban.
Saya punya semua buktinya dan saya akan tuntut dia secara pidana dan perdata,
secara hukum negara juga hukum adat keraton kesultanan kami! Bilang sama Andre,
aku tidak akan menolerir lagi perbuatan puteranya ini! Saya malah senang kalau
dia mati,” sahut Edi dengan suara keras yang menguasai seluruh ruangan.
“Pak, bukannya masalah itu
sudah diselesaikan secara kekeluargaan lewat mediasi. Kali ini kasusnya beda.
Ini kasus penganiayan yang dilakukan saudara Sonny Pratama terhadap klien saya
yang bernama Ananda Putera Perdanakusuma. Klien saya telah mengalami kerugian
secara fisik, mental dan finansial ...”
“Halah, persetan sama itu
semua!” sambar Edi sebelum pengacara itu menyelesaikan ucapannya. “Kita lihat,
siapa yang akan menang. Kami atau kalian!?” serunya dengan nada semakin
meninggi.
“Mas Edi ...! Bisakah kita
selesaikan ini dengan cara kekeluargaan saja?” Andre langsung masuk ke dalam
ruangan tersebut bersama istrinya.
“Kekeluargaan-kekeluargaan
apaan!? Harga diri puteriku diinjak-injak sama kalian. Kalian masih mau
menyelesaikan ini secara kekeluargaan. Saya sudah kasih anak kamu itu
kesempatan untuk bertanggung jawab atas puteriku. Puteriku malah disia-siakan
dan diperlakukan seperti ini!” seru Edi.
“Mas Andre, ini gimana?” bisik
Nia sambil menggenggam erat tangan Andre. Perasaannya benar-benar tak karuan
saat tim pengacara keluarganya mengirimkan video Nanda yang bersama dengan
Arlita sesaat sebelum kejadian perkelahian itu terjadi. Hatinya benar-benar
terpukul karena sikap puteranya itu.
“Mas, kami akan tarik tuntutan
kami terhadap Sonny. Asal Mas Edi tidak membawa kasus Nanda ke meja hijau,”
ucap Andre. “Kami akan
mempertanggungjawabkan semuanya. Nanda adalah anak kami. Kesalahan dia juga
tanggung jawab kami. Kami janji, akan membuat Nanda mencintai Ayu dan
menjadikan Ayu sebagai istri satu-satunya untuk dia.”
“Istri satu. Selingkuhannya
banyak. Sama aja!” sahut Edi. Ia keukeuh tidak ingin memberikan maaf lagi dan
membawa kasus pemerkosaan puterinya itu ke meja hijau.
“Mas, Nanda itu masih muda. Dia
belum tahu ...”
“BELUM TAHU APA!? Sudah bisa
bikin anak!” sambar Edi. Langsung melangkah pergi dari sana karena semakin
emosi ketika berhadapan dengan Andre yang terus membela kesalahan puteranya.
“Eh!? Jangan lupa lepasin
Sonny, ya! Kalau sampai kamu penjarain Sonny, aku bakal bikin perhitungan yang
lebih besar lagi!” seru Edi sambil menunjuk wajah Andre sebelum ia benar-benar
pergi.
Andre menghela napas. Ia
terduduk lemas di sofa ruang kapolsek itu sambil memijat keningnya yang bedenyut.
“Dosa apa aku sampai punya anak kayak gini?” gumamnya.
“Jadi gimana, Pak Andre? Apa
akan tetap melanjutkan kasus ini ke persidangan?” tanya pengacara keluarga
Andre.
Andre menggeleng. “Kamu
bebaskan Sonny saja! Berapa pun dendanya, akan saya bayar.”
“Baik, Pak!”
Nia menghela napas dan
bersandar lemas di sisi Andre. “Mas, kita lihat anak kita dulu! Roro Ayu sudah kabari
kalau Nanda selesai operasi. Aku pusing banget, Mas,” ucapnya lirih.
Andre mengangguk. Ia segera
bangkit dari sofa. Merangkul pundak Nia dan segera berpamitan dari ruang
pemeriksaan tersebut. Ia menyerahkan semuanya pada pengacara keluarga yang
biasa menangani perkara perusahaan dan keluarganya selama ini.
...
Di rumah sakit, Ayu terus
menatap wajah Nanda yang masih belum sadarkan diri pasca operasi. Ia memeras
handuk kecil yang sudah ia basahi dengan air hangat dan menyeka wajah Nanda
perlahan. Perasaannya masih saja tak karuan. Ia masih sangat mecintai Sonny,
tapi ia juga sangat membutuhkan Nanda untuk masa depan anaknya.
“Roro Ayu, bunda pulang dulu,
ya! Ayahmu sudah jemput bunda di parkiran depan,” pamit Bunda Rindu sambil
menatap wajah puterinya yang masih menunjukkan baktinya sebagai seorang istri.
Ayu mengangguk. Ia langsung
meletakkan handuk di tangannya ke dalam baskom kecil yang ada di atas nakas dan
melangkah mengantarkan sang bunda yang akan keluar dari ruangan tersebut. “Ayah
nggak masuk ke sini?” tanyanya lirih.
Bunda Rindu menggeleng sambil
tersenyum kecil. “Ayahmu nggak mau masuk ke sini. Katanya, buru-buru ada
pertemuan dengan kolega bisnisnya.”
“Oh.” Ayu mengangguk tanda
mengerti. Ia merasa lebih lega jika Bunda Rindu sudah pergi sebelum Nanda
tersadar dari pengaruh obat bius.
“Ayu, Bunda boleh tanya sesuatu
sebelum bunda pergi?” tanya Bunda Rindu.
“Iya.”
“Tadi ayahmu nyuruh bunda cek
mutasi rekening. Kamu abis keluarin uang delapan ratus juta, untuk apa?” tanya
Bunda Rindu.
“Buat bayar operasi Nanda,
Bunda. Kenapa?”
“Oh. Nggak papa. Bunda cuma
tanya aja. Ya udah, bunda pulang dulu ya!” pamit Bunda Rindu sambil memeluk
tubuh Ayu dan menciumi wajah puteri kesayangannya itu.
Ayu mengangguk sambil tersenyum
manis. “Hati-hati, Bunda! Salam untuk ayah!”
Bunda Rindu mengangguk sambil
tersenyum manis dan melangkah pergi meninggalkan Roro Ayu menjaga suaminya
dengan baik.
Ayu menghela napas sambil
mengelus dada dengan perasaann lega. Untungnya, Bunda Rindu tidak marah karena
ia menggunakan tabungan pribadi untuk membayar biaya operasi suaminya itu.
Sejak dulu, Ayu memang menggunakan rekening milik ibunya dan ia enggan untuk
menggantinya. Sehingga,Bunda Rindu bisa mengecek mutasi rekening yang ia
gunakan setiap saat lewat internet banking yang terhubung ke ponsel bundanya
itu.
Ayu melangkah tak bersemangat
menghampiri Nanda yang terbaring di sana. Ia tidak tahu, harus sedih atau
bahagia. Perasaannya kali ini bercampur aduk tak karuan. Ia ingin menangis,
tapi tak bisa menangis. Ia ingin tertawa, tapi tak bisa tertawa. Ia ingin
berteriak, tapi suaranya tercekat.
“Tuhan, apa yang harus aku
lakukan? Berbakti atau pergi?” gumam Ayu sambil mengelus perutnya yang sudah
membesar. Sekitar dua bulan lagi, ia akan menjalani persalinan dan hingga kini
ia masih belum mengetahui jenis kelamin anak yang ada di dalam perutnya itu. Ia
memang sengaja tidak melakukan USG karena Nanda belum ada waktu menemaninya
melihat calon bayi mereka. Mungkinkah Nanda memang tidak ingin memiliki waktu
untuk melihat bayi yang tidak pernah mereka inginkan ini?
“Nak, bunda akan sayang sama
kamu. Sehat-sehat, ya! Temani bundamu berjuang. Kamu anak hebat!” ucap Ayu
menyemangati diri sendiri sambil tersenyum manis. Hanya senyuman kecil dan
doa-doa kebaikan yang bisa ia lakukan saat ini. Ia harap, kejadian ini bisa
memberi Nanda pelajaran dan menjadikannya kepala rumah tangga yang bertanggung
jawab. Bertanggung jawab atas dirinya sendiri juga keluarga kecil mereka.
“Ayu ...!” panggil Nanda sambil
membuka matanya perlahan. Ia langsung menoleh ke arah Ayu yang sedang berdiri
di sisi ranjangnya.
“Udah sadar?” tanya Ayu sambil
menatap wajah Nanda.
Nanda mengangguk kecil. “Aku
haus.”
Ayu segera meraih botol air
mineral yang ada di atas nakas dan membantu meminumkannya ke mulut Nanda. “Kamu
sudah sadar dari pengaruh obat bius. Apa kamu juga bisa sadar dari pengaruh
pergaulan bebas di luar sana? Kamu sudah mau jadi ayah, mau sampai kapan kayak
gini terus? Sekarang, barangmu kemungkinan nggak bisa berdiri lagi. Apa
cewek-cewek itu mau berhubungan sama kamu lagi?”
“HAH!?” Nanda langsung
memeriksa bagian inti tubuhnya yang dibalut perban pasca operasi. “Anjing si
Sonny!” umpatnya. “Aku bakal balas perbuatan dia!”
Ayu menghela napas. “Kamu yang
salah, Nan. Kenapa kamu nggak pernah menyadari kesalahanmu? Harusnya, Sonny
nggak bikin kamu kayak gini. Harusnya dia bikin kamu mati sekalian!” ucapnya
kesal.
“Kamu mau jadi janda kalau aku
mati!?” sahut Nanda tak kalah kesal. Ia tiba-tiba benci dengan dirinya sendiri
karena tidak bisa melakukan hubungan intim bersama sang istri, apalagi wanita
lain.
Ayu gelagapan mendengar
pertanyaan Nanda. Bukannya berubah, pria ini malah semakin menyebalkan pasca
terbangun dari pengaruh obat bius. “Kusumpahin barangmu nggak bisa bangun lagi
untuk selamanya!” ucapnya kesal sambil melangkah pergi meninggalkan Nanda.
“Ay, kamu mau ke mana?” seru
Nanda. Meski ia tidak mencintai Ayu, tapi ia sangat membutuhkan wanita itu
untuk saat ini. Ia tidak mungkin meminta orang lain merawat luka di bagian inti
tubuhnya ini. Akan lebih memalukan lagi jika semua orang tahu kalau barangnya
telah rusak dan ia tidak bisa melakukan hubungan normal seperti biasanya.