Aku berjalan perlahan
menyusuri tepi pantai. Ku nikmati semilir angin kecil yang meniup rambutku
perlahan. Sambil mendengarkan lagu-lagu melow dari earphoneku. Ku pandangi jauh sinar mentari di tengah
lautan yang hampir meredup, bersembunyi ke peraduannya. Sesekali aku memainkan
pasir-pasir yang kupijak dengan kakiku. Aku teringat akan masa laluku, saat aku
kehilangan orang yang sangat aku cintai. Di pantai inilah tempat terakhir aku bertemu
dengannya, sebelum ia pergi jauh meninggalkanku.
Tiga tahun lalu di Pantai ini…
“Bee… jangan sedih! Semua akan baik-baik saja,” ucap Raka yang selalu memanggilku dengan panggilan “Bee”.
“Tapi kamu pasti kembali
lagi kan?” tanyaku tak dapat menahan air mata yang telah terbendung sejak
beberapa menit yang lalu.
“Iya… aku janji akan kembali lagi buat kamu. Kamu
akan setia menungguku kan?” tanya Raka.
“Aku pasti setia menunggu
kamu, tak perlu kamu memintanya, aku
pasti akan setia untukmu.” jawabku sambil bersandar di bahunya.
“Terima kasih Bee… aku
harap cinta kita kan tetap abadi, dan kita bisa bertemu kembali.” tutur Raka
perlahan.
“Aku tak berharap seperti
itu, aku berharap kita tak pernah berpisah.” sahutku sambil menangis.
Raka memelukku erat,
membiarkan aku menangis di pelukannya. Memberikan aku begitu banyak kekuatan
untuk bertahan dengan kesetiaanku. Dia
berusaha memberikan aku kekuatan untuk dapat berpisah dalam jarak yang jauh,
memberiku ketegaran saat menyaksikan kepergiannya di Bandara. Dia berikan aku
keyakinan bahwa suatu saat dia pasti akan kembali untukku… Setahun
berlalu… semuanya berjalan baik-baik
saja. Tapi tidak setelah kehidupanku berubah. Kedua orangtuaku meninggal karena
kecelakaan. Aku harus pindah dari rumahku dan tinggal bersama nenekku. Selang
beberapa bulan, aku kehilangan kontak dengan Raka karena handphoneku hilang
saat aku di jalan. Hingga dua tahun lebih berlalu, aku tak pernah mendapatkan
kabar tentang Raka. Aku bukan lagi gadis yang istimewa yang dikenal Raka. Aku
tak punya apa-apa lagi saat Bisnis
ayahku mengalami kebangkrutan. Apalagi setelah beberapa bulan Ayahku bangkrut,
beliau harus meninggal bersama dengan ibuku tercinta.
“Hai…”! teguran seseorang
membuyarkan lamunanku tentang masa laluku.
Aku hanya tersenyum
menanggapinya, karena aku tak mengenalnya.
“Kenapa melamun sendirian
di sini?” tanya orang itu.
“Tidak apa-apa, hanya
ingin menikmati semilir angin sore di sini.” sahutku.
“ Oh…ya? Tapi sepertinya kamu tak
menikmatinya?” sahut lelaki itu.
“Maksudnya?” tanyaku
heran.
“Raut wajahmu menyimpan
kedukaan, bisakah kamu berbagi denganku?” pinta lelaki itu.
Aku memandangi wajah
lelaki itu dengan seksama, tapi aku tak mengenalnya.
“Maaf… aku harus pulang
sekarang.” jawabku sambil meraih sandal yang sengaja ku letakkan di sampingku.
Lelaki itu hanya tersenyum
menanggapinya.
Aku harus bergegas pergi
karena nenekku sedang sakit, aku harus kembali ke rumah untuk merawatnya. Aku
tidak bisa meninggalkannya terlalu lama.
“Nenek… sudah minum obat?”
tanyaku pada nenek.
Nenek hanya mengangguk di
atas pembaringannya. Aku memeriksanya dan memberikannya makan terlebih dahulu.
“Ya ampun,,, obat nenek
habis.” celetukku dalam hati.
Aku harus bagaimana? Aku
sudah tidak punya uang lagi untuk membeli obat, hutang di warung untuk makan
sehari-hari pun belum bisa aku lunasi.
“Kamu tidak usah membelikan
obat lagi untuk nenek ya!” pinta nenek yang menyadari keadaanku.
“Nggak Nek, nenek harus
tetep minum obat, nenek harus sembuh.!” pintaku kembali.
“Nenek tahu, kamu pasti
tidak punya uang untuk membeli obat.”
ucap nenek.
“Ada Nek.” jawabku berbohong.
“Kamu jangan berbohong
pada nenek, nenek sudah tahu semuanya. Nenek sudah agak baikan, tidak perlu
minum obat terus.” jawab nenek.
“Nenek jangan begitu,
nenek harus tetap minum obat, nenek harus sembuh.!” pintaku.
“Nenek tidak apa-apa,
lebih baik uangnya untuk melunasi hutang-hutangmu di warung Bu Riah.” sahut
Nenek.
“Nenek tau darimana
kalau…?” ucapanku terhenti.
“Tadi Bu Riah ke sini menagih hutang. Kenapa kamu
tidak bilang sama nenek kalau kamu sudah tidak bekerja lagi?” tanya Nenek
lembut.
“Maafkan aku Nek, aku
tidak bermaksud membohongi Nenek, aku hanya tidak ingin menjadi beban pikiran
Nenek. Aku memang sudah tidak bekerja
lagi beberapa bulan ini, Aku belum dapat penggantinya Nek.” ucapku lirih.
“Sudahlah, kamu tidak usah
memikirkan nenek. Nenek ini memang sudah tua, sudah sakit-sakitan, memang sudah
waktunya nenek kembali pada Tuhan.” ucap Nenek perlahan.
Aku menghambur ke pelukkan
Nenek. “Nggak Nek! Nenek nggak boleh pergi. Nenek nggak boleh tinggalin Riby
sendirian. Riby nggak punya siapa-siapa lagi selain nenek.” isakku di pelukkan
Nenek.
“Kamu ini cucu nenek yang
paling hebat! Nggak boleh nangis. Nenek ini semakin lama semakin tua, wajar
saja kalau Nenek sakit-sakitan. Seandainya Nenek pergi, itu karena
Allah menyayangi nenek dan kamu.” ucap nenek perlahan sambil mengusap
air mataku.
Aku menangis terisak. Aku
tak sanggup jika harus hidup sebatang kara. Aku
tak punya kakak, tak punya adik, tak punya orangtua. Haruskah aku
kehilangan Nenek yang selama ini hidup bersamaku. Aku bingung harus bersikap seperti
apa. Kenapa begitu banyak cobaan yang di berikan Tuhan. Sekuat apapun aku
mencoba bertahan dengan kepedihan ini, suatu saat aku pasti akan terjatuh. Aku sangat lelah dengan semua
ini. Tuhan… Aku mohon panjangkan
umur Nenekku… Jangan biarkan aku seorang diri menghadapi cobaan ini. Dan jika
memang harus Engkau ambil Dia, tempatkanlah Ia di surga terindahmu Ya Allah.
Tempatkanlah ia bersama kedua orang tuaku….
Aku memeluk tubuh nenek
dengan erat. Aku tak ingin kehilangan dia. Dia yang selama ini telah menemani
dan memberikan aku ketegaran serta kekuatan untuk menjalani hidup ini.
Aku berjalan perlahan ke
warung Bu Riah. Aku harap dia mau berbaik hati memberikan hutangan untuk makan
besok.
“Permisi Bu…!” sapaku
ketika sampai di warung Bu Riah.
“Eh… Riby… mau bayar
hutang ya?” tanya Bu Riah sinis.
“Maaf Bu, saya belum bisa
bayar hutangnya.” jawabku pelan.
“Oh… jadi ke sini mau
hutang lagi ya?” tanya Bu Riah dengan nada tinggi.
Aku mengangguk perlahan.
Aku tertunduk malu. Sebenarnya aku sangat malu harus berhutang terus. Tapi
harus kulakukan, karena nenek butuh obat dan makan. Sementara aku tak punya
pekerjaan.
“Enak aja…!” sentak Bu
Riah sambil mendorong tubuhku hingga tersungkur. “Kamu itu nggak punya malu ya!
Hutang kamu sudah terlalu banyak. Kapan kamu bisa membayarnya? Warung saya bisa
bangkrut kalau kamu tak pernah membayar hutang-hutangmu.” bentak Bu Riah di depanku.
Air mataku menetes
perlahan. Aku malu sekali dengan ibu-ibu
tetangga yang memandangku.
“Bu… tolong saya
Bu, nenek saya sedang sakit. Dia butuh makan dan butuh obat.” rengekku sambil bersungkur di kaki
Bu Riah. Aku tak peduli semua orang
berkerumunan melihatku.
“Eh…! Saya nggak peduli
dengan nenekmu yang sudah bau tanah itu. Kamu pikir warung saya ini lembaga
sosial?” sentak Bu Riah sambil mendorong tubuhku.
“Ibu…! Saya mohon Bu…!”
pintaku sambil memegangi kembali kaki Bu Riah dan bersujud memohon.
“Aaaarghh…!” teriak Bu
Riah sambil menendang wajahku.
Aku sontak kaget dengan
apa yang dilakukan Bu Riah padaku. Aku tak menyangka dia akan semarah ini
padaku. Aku sadar, sudah terlalu banyak hutangku pada Bu Riah. Tapi haruskah ia menendang wajahku
seperti ini.
“Pergi kamu dari warung
saya!” usir Bu Riah.
Orang-orang hanya memandangiku,
mereka tak berani untuk membelaku.
“Astagfirullah…Riby..!”
tiba-tiba datang seorang wanita setengah baya memelukku.
“Oh… ternyata ada juga
yang kasihan sama anak ini!?” teriak Bu
Riah. “Bawa pergi bocah ini dari sini!”
pintanya.
“Tidak seharusnya ibu bersikap seperti ini pada
Riby!” ucap Bu Ratih sambil mengusap darah yang keluar dari mulut dan hidungku.
“Memangnya kamu bisa apa?
Apa kamu bisa membayarkan semua hutang anak ini?” tanya Bu Riah.
“Saya memang tidak sekaya
kamu, tapi perlakuan kamu ini salah. Saya bisa laporkan kamu ke
polisi.” sahut Bu Ratih.
“Apa? Jadi kamu
menyalahkan saya? Mau menjebloskan saya ke penjara? Haahaahahaa… Nggak mungkin
bisa! Saya punya uang banyak, hukum bisa saya beli.” sentak Bu Riah.
“Astagfirullah… Istigfar
Bu…! Ibu itu sudah kelewatan. Kesombongan Ibu itu yang akan menjatuhkan Ibu nantinya.” tutur Bu
Ratih.
Bu Riah tersenyum sinis. “Kamu
itu orang miskin! Nggak berguna. Lebih baik kamu pergi dari sini! Bikin kotor
tempat saya aja!”
“Keterlaluan…!” sentak
seseorang dengan tiba-tiba dengan nada tinggi.
“Oh… ternyata ada yang
bela kamu lagi Rib?” tutur Bu Riah sambil melotot ke wajahku.
“Kamu siapanya Riby?” tanya Bu Riah pada lelaki
itu.
“Saya memang bukan
siapa-siapanya. Tapi saya punya hati
nuraini untuk membela orang yang lemah.” jawab lelaki itu.
“Membela? Memangnya kamu
bisa apa?” tanya Bu Riah sambil memandangi lelaki itu dari ujung rambut hingga
ujung kaki. “Penampilan kamu saja seperti
ini, pasti orang miskin juga ya?”
“Itu bukan urusan anda.
Berapa jumlah hutang anak itu pada Ibu?” tanya lelaki itu.
“Sangat banyak! Orang miskin seperti kamu pasti nggak sanggup
buat bayar.” jawab Bu Riah sambil tertawa mengejek.
“Sebutkan saja!” pinta
lelaki itu.
“Lima juta delapan ratus
tiga puluh lima rupiah.” jawab Bu Riah. “Gimana? Bisa bayar? Nggak kan?” tanya
Bu Riah.
“Makanya nggak usah sok
pahlawan!” lanjut Bu Riah.
Lelaki itu menghela nafas
sesaat, kemudian mengambil ranselnya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang
dari ranselnya.
“Apa ini cukup?” tanya
lelaki itu.
Bu Riah tersenyum riang melihat uang yang
diperlihatkan oleh lelaki itu. “Ini lebih dari cukup!” sahutnya sambil meraih uang dari lelaki itu.
Lelaki itu memperbaiki
posisi ranselnya seperti semula dan menghampiriku yang terduduk lemas di
samping Bu Ratih.
“Are you Fine?” tanyanya
dalam bahsa inggris.
Aku mengangguk perlahan.
“Tapi wajah kamu pucat
sekali.” ucapnya bergegas menggendongku.
“Di mana ada puskesmas
Bu?” tanyanya pada Bu Ratih.
“Ayo… biar saya tunjukkan.
Nggak jauh dari sini.” jawab Bu Ratih.
“Nggak usah Mas! Saya
baik-baik saja kok.” tuturku lirih.
Tapi lelaki itu tak
memperdulikan ucapanku. Ia tetap
menggendongku sambil berjalan terburu-buru. Kepalaku terasa sangat sakit,
pandanganku semakin meredup dan aku tak dapat melihat apapun. Semua terasa
gelap dan aku tak mampu merasakan apapun.
“Alhamdulillah…kamu sudah
sadar.” tutur Bu Ratih saat aku
tersadar.
“Aku di mana Bu?” tanyaku
pada Bu Ratih.
“Kamu di puskesmas.”
jawab Bu Ratih.
Aku terdiam beberapa saat.
“Kamu kenapa sedih seperti itu. Kamu tidak perlu takut
untuk membayar biaya puskesmas ini, semuanya sudah dibayar sama laki-laki
tadi.” tutur Bu Ratih.
“Laki-laki? Di mana dia
sekarang?” tanyaku.
“Dia sudah pergi By,
katanya ada urusan penting.” jawab Bu Ratih.
“Aku belum mengucapkan
terima kasih padanya.” tuturku perlahan.
“Sudahlah, Ibu sudah
mewakilinya. Suatu saat kamu pasti akan
bertemu lagi dengan laki-laki baik itu.
“ sahut Bu Ratih.
“Tapi aku tidak
tahu dia siapa Bu, aku tak mengenalnya.” ucapku.
“Sungguh kamu tak
mengenalnya?” tanya Bu Ratih.
Aku menggelengkan
kepalaku.
“Ya sudah lah, lebih baik kita segera pulang.
Kasian nenek kamu di rumah sendirian.”
ucap Bu Ratih.
Aku mengangguk dan bangkit
dari pembaringan. Kami bergegas pulang setelah berpamitan dengan dokter di
puskesmas ini.
Setibanya aku di rumah,
aku terkejut melihat keadaan nenekku
yang tersungkur di bawah tempat
tidurnya.
“Nenek…!” panggilku sambil
berusaha menyadarkannya. Tapi Nenek hanya diam membisu, tubuhnya mulai membiru.
Bu Ratih segera memeriksa nadi nenek dan berkata “Dia sudah tidak ada”.
“Nggak mungkin Bu.”
tuturku sambil meneteskan air mata.
“Nenek, jangan tinggalin
Riby sendirian. Bangun Nek! Banguuun…!”
teriakku histeris sambil memeluk tubuh nenek
dengan sangat erat. Aku terus menangis tanpa henti. Tak ada hal
lain yang kurasakan selain kesedihanku
yang begitu dalam. Aku tak tahu apa yang
terjadi dengan hidupku. Semua orang yang
ku sayangi pergi begitu saja dari
hidupku.
“Sudahlah, ikhlaskanlah!”
tutur Bu Ratih perlahan sambil mengusap rambutku dengan lembut.
# # #
Beberapa waktu aku
termenung di atas pusara nenek. Berat
sekali rasanya aku meninggalkan pusara ini. Aku masih sangat menyayangi nenekkku. Begitu banyak
pengorbanan hidupnya untukku. Bahkan di sisa-sisa hidupnya pun Dia masih begitu
banyak berkorban untuk aku. Kenapa aku
harus hidup sebatang kara. Aku tak punya kakak ataupun
adik. Kedua orang tuaku yang sangat
ku sayangipun harus pergi menghadap
Tuhan. Saat ini yang aku miliki hanya
nenek saja. Ibuku pun anak tunggal,
Nenek tak punya anak lain selain Ibuku. Ayahku masih punya tiga saudara. Tapi
mereka tak pernah baik pada Ayahku dan
keluargaku, entah apa alasan yang membuat mereka tak mau mengakui Ayahku sebagai saudara
mereka.
“Ayo kita pulang!” ajak Bu
Ratih yang masih setia menungguku. Semua orang sudah beranjak dari pemakaman
beberapa menit yang lalu.
Aku berjalan perlahan
menyusuri jalan bersama Bu Ratih. Bu
Ratih sangat baik padaku sejak dulu. Beberapa kali ia meminta agar aku dan
nenek tinggal bersamanya. Tapi aku
selalu menolak karena aku takut akan menambah beban hidup untuk Bu Ratih.
Karena Bu Ratih hanya hidup seorang diri, suaminya meninggal dan kedua anak
laki-lakinya merantau ke daerah lain.
“Bagaimana kalau kamu
tinggal bersama Ibu?” tanya Bu Ratih beberapa saat setelah kami sampai di rumah.
“Tidak usah Bu, saya
sendiripun tidak apa-apa,” jawabku.
“Sungguh?”
Aku mengangguk perlahan.
Untuk beberapa saat kami berbincang-bincang tentang masa lalu Bu Ratih. Dialah yang mengajari aku kata “Tegar”. Kalau
bukan dari nasehat dia, mungkin aku masih terpuruk dalam kesendirianku.
Ditulis oleh Rin Muna, Maret 2012