Tulisan ini telah saya bagikan untuk
Penakata.com
Lina merapatkan tubuhnya ke dinding kamar yang berbahan papan kayu. Napasnya tersengal usai berlari dari salah satu ruangan yang berada di lantai dua rumah barunya. Ia baru saja pindah seminggu yang lalu ke rumah ini. Ia harus mencari rumah tinggal yang jauh lebih murah karena kondisi perekonomian keluarganya sedang terpuruk.
Ia mendapati rumah murah di pinggiran kota yang lumayan sepi. Rumah yang terbuat dari papan, berlantai dua, lama tak berpenghuni. Di halaman rumah terdapat dua pohon beringin dari jenis yang berbeda. Dilihat dari kondisi halaman dan sisa-sisa pot tanaman, sepertinya pemilik rumah terdahulu adalah pecinta bonsai. Bisa jadi, pohon beringin yang kini tinggi menjulang adalah salah satu koleksi yang pada akhirnya tidak terawat.
Dari penuturan warga sekitar, rumah ini terkenal angker. Namun, Lina tak punya pilihan lain selain tinggal di sini. Hingga lima hari lalu, Lina memilih untuk tidak pulang ke rumah sebelum ayahnya sampai ke rumah. Ia tidak ingin sendirian di rumah yang terkenal kisah horornya.
Namun, malam ini Lina tiba-tiba lupa. Ia tertidur sore hari dan terbangun tepat pukul delapan malam. Ia mulai mendengar suara-suara aneh seperti yang ia dengar pada malam-malam sebelumnya. Itulah yang membuat Lina memilih untuk tidur bersama kedua orang tuanya.
"Ayah ... ibu ... please, cepat pulang!" ucap Lina lirih sembari menoleh ke arah pintu yang berderit.
Dari ekor matanya ia menangkap sosok bayangan aneh melangkah di lorong kamarnya. Sosok seperti manusia tapi berkepala kambing. Derap langkahnya semakin mendekat ke arah pintu kamar Lina yang setengah terbuka.
Lina menarik napasnya dalam-dalam dan menahan di dadanya ketika bayangan itu tepat masuk melalui celah pintu kamarnya. Ia makin merapatkan tubuhnya ke dinding. Otaknya berputar cepat mencari cara keluar dari kamar tanpa harus bertemu dengan sosok bayangan yang ia lihat.
Lina memejamkan matanya ketika pintu kamar bergeser, membuatnya semakin terbuka. Tiba-tiba suasana berubah jadi hening, suara langkah kaki itu tak terdengar lagi. Lina membuka mata dan benar saja, sosok bayangan yang hampir masuk ke dalam kamarnya sudah tak ada lagi. Ia buru-buru berlari ke luar dari kamarnya. Menuruni anak tangga yang terbuat dari kayu ulin.
"Kalian siapa?" Lina heran melihat dua anak perempuan berwajah sama yang berdiri di depan pintu ketika ia membuka pintu rumahnya.
"Dari ibu." Salah satu anak perempuan itu menyodorkan rantang susun berisi makanan.
"Oh, rumah kalian yang mana?" tanya Lina.
Gadis kecil itu menunjuk ke arah seberang rumah Lina.
"Kakak boleh ikut ke rumah kalian?" tanya Lina menatap keduanya, "Soalnya, kakak di rumah sendirian. Nungg Ayah sama Ibu pulang di rumah kalian aja."
Kedua gadis itu menganggukkan kepalanya. Mereka kemudian menarik Lina keluar dari halaman rumahnya. Lina terus melangkahkan kaki mengikuti kedua gadis itu tanpa henti. Ia merasakan perjalanan yang sangat lama. Bukankah hanya ke rumah seberang yang seharusnya bisa sampai dalam waktu 5 menit dengan berjalan kaki? Tapi ... Lina merasa tidak sampai-sampai dan kakinya mulai lelah.
"Rumah kalian masih jauh?" tanya Lina dengan napas yang tersengal.
Kedua gadis itu membalikkan tubuhnya, wajah mereka pucat dan tatapannya dingin.
"Kalian siapa?" Lina terkejut mendapati dua gadis kecil itu berubah, terlebih matanya menyala merah. Tanpa pikir panjang, Lina berlari berbalik arah. Ia baru sadar kalau ternyata ia kini berada di dalam hutan, bukan di wilayah pemukiman tempat ia tinggal.
Ia terus berlari sampai ke tepi danau, ia melihat seorang pria sedang menuangkan air ke danau tersebut, di bawahnya ada ikan-ikan yang berterbangan menyambut air yang ditumpahkan.
"Ini apa?" Pikiran Lina semakin tak karuan melihat kejadian aneh yang ia temui malam ini. "Aku di mana?" Dua pertanyaan itu terus bersarang di pikirannya.
Lina duduk bersandar di bawah pohon sembari mengatur napasnya. Ia menutup wajahnya, mencoba mengatur pikirannya.
Beberapa menit kemudian ia membuka matanya dan mendapati ia sudah berbaring di dalam kamarnya. Ia melirik jam dinding yang terpajang di dinding kamarnya, waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Artinya, kejadian aneh yang ia alami hanya mimpi. Lina menarik napas lega dan turun dari ranjangnya.
Ting ... tong ...!
Tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Ia berharap, ayah dan ibunya bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Usaha mereka yang terancam bangkrut, membuat mereka sering pulang larut malam.
Lina berlari menuruni anak tangga, secepatnya membukakan pintu.
"Mella? Tumben ke sini malam-malam gini?" Lina mengerutkan keningnya ketika mendapati sahabatnya sudah berdiri di depan pintu dengan tatapan dingin.
"Kamu, nggak papa 'kan?" Lina kembali bertanya karena sahabatnya masih saja bergeming.
"Mel ... Mella?" Lina mulai merasa kurang nyaman dengan wajah Mella yang masih saja dingin, bahkan pucat seperti mayat hidup.
"Kamu kenapa? Ada masalah?" Lina menggoyangkan pundak Mella. Mella menurunkan tangan Lina, tangannya dingin seperti es batu.
Lina tertegun beberapa saat.
Mella membalikkan badannya dan berjalan perlahan keluar dari halaman rumah Lina.
"Mel ... Mella ...!" langkah Lina gontai mengikuti sahabatnya itu. Mella terus berjalan menyusuri jalan-jalan pemukiman. Kemudian ia berhenti di salah satu jembatan.
"Mel, kamu kalau punya masalah cerita dong! Jangan kayak gini! Bunuh diri itu bukan pilihan terbaik. Aku bakal bantu semampu aku." Lina memandang tubuh Mella yang menatap kosong ke arah sungai. Ia khawatir dengan sahabatnya yang sudah berdiri di bibir jembatan.
Mella menoleh ke arah Lina, tersenyum dingin dan menjatuhkan tubuhnya ke bawah jembatan.
"Mella ...!!!" teriak Lina histeris mendapati sahabatnya itu terjun ke bawah jembatan. Ia berlari mendekati bibir jembatan, melongok ke arah sungai yang gelap.
Tanpa pikir panjang, Lina berjalan menuruni sungai yang berada di bawah jembatan lewat jalan setapak yang biasa digunakan warga untuk turun ke sungai. Ia tak berhenti meneriakan nama sahabatnya sembari terus menuruni bukit menuju tepi sungai.
Ia memandangi air sungai yang berkilauan diterpa cahaya bulan. Ia berharap tubuh Mella bisa terlihat walau dalam keadaan apa pun.
BYUR!!!
Tiba-tiba saja keluar makhluk aneh dengan mata menyala. Dua makhluk yang tubuhnya 20 kali lipat dari tubuh Lina. Yang satu memiliki sepasang capit seperti kepiting dan satunya lagi seperti kalajengking. Oh ... bukan, bukan! Bukan seperti, tepatnya itu memang kepiting dan kalajengking raksasa.
Dengan cepat Lina berbalik arah dan berlari memasuki hutan, menghindari kejaran dua makhluk aneh tersebut.
"Ini mimpi. Please, ini mimpi!" celetuknya sambil terus berlari. Ia menjatuhkan tubuhnya ke bibir bukit, merosot dengan cepat menghantam ranting dan anak-anak pohon. Ia merasakan sakit yang luar biasa ketika tangan, kaki dan wajahnya lecet terbentur dan tertusuk tanaman liar. "Sakit! Ini bukan mimpi?" Ia bangkit dan berjalan perlahan, sebisa mungkin dua makhluk besar itu tak lagi mengejarnya. Ia menatap ke atas bukit, kepiting dan kalajengking raksasa itu sudah berjalan menjauh dan tak terlihat lagi. Lina menghela napas lega. Ia bersandar di bawah pohon randu yang menjulang tinggi.
Lina mengusap keringat yang keluar dari sudut-sudut rambutnya. Matanya melirik ke arah luka berdarah di tangan kirinya. Ia berharap, ini hanya mimpi. Sama seperti yang dialaminya sebelum ia terbangun dari tidurnya. Lina memejamkan matanya perlahan, berharap ia kembali ke kamarnya ketika ia membuka mata.
Perlahan Lina membuka mata dan ia masih mendapati tubuhnya bersandar di bawah pohon randu. Ia memukulkan kepala bagian belakangnya ke batang pohon. Kesal!
Ia bangkit, berjalan perlahan mencari arah pulang ke rumah.
Grrr ...!
Lina membalikkan tubuhnya ke arah suara. Ia melihat seekor singa yang berada sekitar lima meter dari tubuhnya. Singa ini seperti makhluk mitologi, berbadan satu dan berkepala tiga.
"Oh ... God!" Ia tak bisa lagi berlari karena lelah dan luka di kakinya. Kali ini ia pasrah, ia memejamkan mata saat makhluk ganas itu siap menerkam tubuhnya.
SYAT ...!
Aaargh ...!
Bruk ...!
Lina membuka matanya, penasaran dengan suara yang ia dengar. Ia mendapati manusia setengah kuda, dengan busur panah di tangannya sedang melawan singa berkepala tiga itu.
Aungan singa semakin menjadi, ia terlihat sangat marah karena tubuhnya tertusuk beberapa anak panah. Dengan cepat manusia setengah kuda itu menarik lengan Lina hingga melayang dan mendarat tepat di atas tubuhnya. Centaur itu membawa Lina berlari menjauh dari singa berkepala tiga.
"Kamu siapa?" tanya Lina yang hanya dibalas dengan tatapan. Makhluk centaur itu tak berkata sedikit pun. Mereka berhenti di salah satu bangunan megah yang berada di tengah hutan.
"Hai ... bagaimana kamu bisa masuk dalam Negeri Zodiak?" Seorang wanita cantik jelita menghampiri Lina.
"Hah!? Negeri Zodiak?" Lina heran dengan apa yang ia alami.
"Namaku Virgo. Ayo, masuk! Lukamu harus disembuhkan." Virgo mengulurkan tangannya. Dengan cepat centaur menurunkan aku dari tubuhnya yang tinggi, tepat di tangan Virgo.
Lina berjalan mengikuti langkah Virgo, perlahan masuk ke istana melalui jembatan panjang yang bawahnya terdapat sungai besar.
"Mereka siapa?" Lina memandangi banyak orang berkumpul di salah satu jembatan lain yang ujungnya terdapat timbangan besar.
"Mereka manusia yang sudah mati, di ujung sana adalah timbangan kebaikan dan keburukan. Untuk menentukan di mana mereka akan tinggal setelah mati." Virgo tersenyum.
"Apa aku sudah mati?"
"Belum."
"Bagaimana aku bisa di sini?" tanya Lina heran.
Virgo mengedikkan bahunya tanda tak mengerti.
"Apa aku bisa pulang?"
"Bisa."
"Caranya?"
"Akan kutunjukkan setelah mengobati lukamu." Mereka memasuki bilik yang tidak terlalu besar.
Lina mendapati manusia bersisik dengan banyak ular di kepalanya. "Dia siapa?" tanya Lina.
"Dia penyembuh kami. Namanya Hydra. Berbaringlah dan lukamu akan sembuh!" perintah Virgo sembari menunjukkan tempat untuk Lina berbaring.
Hydra mendekati Lina dan ular-ular di kepalanya menjulur menyentuh tubuh Lina. Ia merasa sangat geli dan tak karuan. Bagaimana bisa ia bertemu dengan makhluk-makhluk aneh hanya dalam semalam. Ia ingin segera kembali ke rumahnya, berharap malam cepat berganti dengan pagi.
"Pejamkan matamu!" bisik Virgo.
Lina memejamkan matanya perlahan. Ia merasakan tubuhnya digelayuti ular-ular Hydra.
"Aaaargh ...!" teriakan histeris keluar dari mulut Lina kala merasakan gigitan di perutnya. Ia kesakitan bukan kepalang. Tak menyangka kalau ular-ular itu justru memakan tubuhnya.
"Aaaargh ...!" Lina terus berteriak memberontak, menangis histeris, menepiskan ular-ular yang menggerogoti tubuhnya.
"Lin ... Lina!"
"Lina!"
Lina membuka mata, napasnya tersengal, tubuhnya basah oleh keringat. Ia mendapati tubuhnya sudah berada di kamar.
Ibu memeluknya erat melihat Lina yang tidur sambil berteriak. "Kamu kenapa?"
"Aku mimpi buruk, Bu." Lina mengusap matanya yang basah.
"Kan, Ibu sudah bilang. Jangan tidur magrib. Kamu pasti mimpi yang aneh-aneh."
"Aku ketiduran, Bu."
"Kamu ngapain aja? Kok, bisa ketiduran?"
"Aku baca buku ini." Lina menyodorkan sebuah buku berjudul Horror Scope yang terlihat sudah berusia puluhan tahun. Buku setebal 2 inchi terlihat sangat antik. Ia mendapatkannya dari salah satu perpustakaan pribadi milik teman kuliahnya. Tulisan dan gambar-gambar timbul dalam buku itu, membuat Lina tertarik untuk membuka dan membacanya.
"Kamu ... ada-ada saja. Buku baca seperti ini. Sini!" Ayah Lina menarik buku itu dan melemparkannya ke luar jendela.
"Ayo, turun! Kita makan malam. Ibu sudah belikan makanan kesukaan kamu. Kebetulan ada Mella dan Nauri di bawah. Katanya, mereka akan menginap di sini."
"Ada Mella, Bu?" tanya Lina sumringah.
Ibu dan Ayah Lina menganggukkan kepalanya bersamaan.
"Alhamdulillah ...." Lina berlari secepatnya menghampiri dua sahabatnya dan memeluk mereka erat-erat.
Ayah dan Ibu Lina menggelengkan kepala melihat tingkah aneh puterinya itu.
Lina tersenyum memandangi mereka satu per satu.
"
Aku bersyukur ... semua cuma mimpi," batinnya.
Sejak kejadian itu, ia tak berani lagi tidur di waktu senja. Terlebih lagi berada di dalam rumah seorang diri. Ia lebih memilih menginap di rumah Mella atau Nauri. Itu jauh lebih baik daripada harus berada di dalam rumah ditemani mimpi-mimpi aneh.
Ditulis oleh Rin Muna untuk Penakata
Samboja, 20 Februari 2019