Wednesday, February 20, 2019

Apa itu POV Dalam Cerita Fiksi?




Hai ... Goodwriters ...!

Om Igot!!! Di sini pasti para penulis hebat dan aku nggak tahu harus mulai dari mana buat nulis di sini.

Aku cuma mau cerita tentang POV. POV itu apa sih?
Aku juga bingung waktu pertama kali denger kata POV. Apaan sih itu? Aku nggak paham artinya apaan.
Setelah searching di internet, ternyata POV itu singkatan dari Point Of View yang artinya Sudut Pandang. Ya salam ...! Bisanya aku baru tahu istilah itu. Secara, aku belajar bahasa indonesia cuma di sekolah dan aku mengenalnya sebagai sudut pandang. Baru-baru ini aku dibuat bingung dengan istilah POV. Itu artinya ... bahasa inggris aku sangat buruk. Bisa dibilang, aku nggak ngerti bahasa inggris karena selama ini cuma belajar bahasa indonesia yang biasa-biasa saja. Belum menggunakan istilah bahasa indonesia yang baik dan benar.

Oke, pertama-tama aku mau jelasin soal Sudut Pandang (Point Of View) dalam menulis sebuah cerita.
Wait ...! Tulisan ini aku buat karena permintaan seseorang dan tidak bermaksud menggurui siapa pun atau sok pintar atau apalah. Aku juga masih belajar dan berharap tulisan ini bisa menjadi pengingat buat diriku sendiri.

Yang aku tahu sudut pandang adalah posisi penulis dalam sebuah cerita atau cara penulis memandang dan menceritakan kisahnya. Aku sendiri lebih paham ketika aku memaknai sudut pandang (POV) sebagai posisi penulis dalam sebuah cerita.
Pertama kali aku mengenal sudut pandang yakni kelas 3 SD. Karena saat itu aku diminta kepala sekolah untuk mengikuti lomba kepenulisan. Mau tak mau, suka tak suka, aku kudu belajar. Walau sebenarnya aku nggak paham. Aku baru benar-benar paham ketika aku duduk di bangku SMP.
Ada 3 jenis sudut pandang penulis:
  1. Sudut Pandang Orang Pertama, Pelaku Utama.
  2. Sudut Pandang Orang Pertama, Pelaku Sampingan.
  3. Sudut Pandang Orang Ketiga (Serba tahu).
Nah, ketiga sudut pandang ini yang kemudian disebut sebagai POV (Point Of View) dalam istilah zaman now atau zaman sekarang ini. Maklum lah ya, aku ini termasuk anak zaman now 15 tahun yang lalu. Jadi, aku nggak paham istilah-istilah gaul anak sekarang. Lagipula, aku lebih suka menyebutnya dengan bahasa indonesia ketimbang diinggris-inggriskan. Itu lebih mudah buat aku yang emang nggak paham bahasa inggris, hahaha ...

Apa perlu dijelasin satu-satu soal POV ini?
Oke, aku coba jelasin aja walau sebenarnya nggak perlu-perlu banget. Aku rasa, ketiga sudut pandang itu sudah dipahami banyak orang.
  1. Sudut Pandang Orang Pertama Pelaku Utama (POV 1)
Sudut pandang orang pertama, maksudnya adalah penulis memposisikan dirinya sebagai orang pertama yang bercerita. Pelaku utama adalah penulis menjadi tokoh utama dalam cerita tersebut. Biasanya, sudut pandang ini menggunakan kata "Aku" sebagai pencerita. Artinya si penulis memposisikan dirinya sebagai tokoh utama dalam sudut pandang "Aku".
Kalau penulis memposisikan dirinya sebagai "Aku" dalam sebuah cerita, artinya penulis tidak akan bisa mengetahui bagaimana cerita kehidupan dari tokoh lain yang tidak berhubungan langsung dengan tokoh utama atau pun mengetahui isi hati dari tokoh lainnya.

Contoh cerita yang menggunakan POV 1 :

Aku berjalan menyusuri bukit yang dipenuhi padang ilalang. Perlahan-lahan kulangkahkan kaki di jalan setapak yang kiri dan kanannya dikelilingi ilalang yang sedang berbunga. Sesampainya di atas bukit, aku mendapati seseorang sedang duduk di atas batang kayu yang telah mati. Cowok berkaos biru itu langsung menyadari kedatanganku. Ia melempar senyum manis yang membuatku jadi salah tingkah. Ia bahkan tak henti menatapku dengan senyuman yang tak mampu aku artikan. Andai bisa kubaca hatinya, mungkin aku akan tahu bagaimana isi hatinya saat ini.

Kalimat yang harus dihindari dalam POV 1 adalah :

Aku berjalan menyusuri bukit yang dipenuhi padang ilalang. Perlahan-lahan kulangkahkan kaki di jalan setapak yang kiri dan kanannya dikelilingi ilalang yang sedang berbunga. Sesampainya di atas bukit, aku mendapati seseorang sedang duduk di atas batang kayu yang telah mati. Cowok berkaos biru itu langsung menyadari kedatanganku. Ia melempar senyum manis yang membuatku jadi salah tingkah. Ia tak henti menatapku sambil berkata dalam hati, "Kamu cantik sekali, setiap melihatmu ... aku merasa bahagia."

Kalimat yang aku tebalkan adalah kalimat yang harus kamu hindari ketika menggunakan POV 1 atau Sudut Pandang Orang Pertama Pelaku Utama. Karena, tidak seharusnya kamu mengetahui isi hati tokoh lain atau adegan apa pun yang tidak tertangkap oleh "Aku" sebagai tokoh utama.

2. Sudut Pandang Orang Pertama Pelaku Sampingan (POV 2)

Sudut pandang orang pertama, maksudnya adalah penulis memposisikan dirinya sebagai orang pertama yang bercerita. Pelaku sampingan adalah penulis menjadi tokoh sampingan dalam cerita tersebut. Biasanya, sudut pandang ini menggunakan kata "Kau" atau "Kamu" sebagai tokoh utama dan penulis sebagai pencerita. Artinya si penulis memposisikan dirinya sebagai sampingan (pencerita) kehidupan tokoh "Kamu" yang ada di dalam sebuah cerita.
Sudut pandang ini jarang digunakan oleh penulis karena sulit mendapatkan atau menggambarkan karakter dari tokoh tersebut.

Contoh cerita yang menggunakan POV 2:

Kamu duduk di sudut meja kafe sambil memandangi rintik hujan yang tak juga reda. Beberapa kali kamu melirik arloji di pergelangan tanganmu. Menunggu seseorang yang seharusnya sudah datang satu jam yang lalu. Kamu juga terlihat mengetuk-ngetuk meja untuk menetralisir rasa kesal yang hampir meluap dari dadamu. Seorang pelayan menghampirimu ketiga kalinya karena kamu belum juga memesan segelas kopi atau makanan lainnya.

Kalimat yang harus dihindari dalam POV 2 adalah penggunaan kata "aku". Karena penulis sedang menceritakan orang lain yang disebut "kamu". Jangan sampai penulis tiba-tiba masuk ke dalam cerita dengan penggunaan kata "Aku" karena kata tersebut digunakan pada sudut pandang orang pertama pelaku utama (POV 1).

3. Sudut Pandang Orang Ketiga (POV 3)

Sudut pandang orang ketiga ( ini bukan pelakor lho ya!) atau sudut pandang serba tahu adalah sudut pandang lazim digunakan penulis untuk menceritakan dengan detil setiap adegan dan kejadian yang ada dalam cerita. Dalam sudut pandang ini, kita bisa menceritakan kehidupan beberapa tokoh sekaligus. Dalam sudut pandang ini, penulis berada dalam posisi sebagai pencerita yang serba tahu dan bukan sebagai tokoh utama maupun tokoh sampingan.

Contoh cerita yang menggunakan POV 3:

Anisa duduk di taman sekolah sambil membaca buku. Di telinganya terpasang earphone yang mengeluarkan musik-musik melow dari ponselnya. Sementara Hadi memandang Anisa dari kejauhan. Ia mengendap-ngendap mendekati Anisa yang tak menyadari kehadirannya karena sibuk dengan buku dan musiknya. Ketika tangan Hadi menyentuh bahu Anisa, Anisa terlonjak kaget dan mendengus kesal ke arah Hadi. Bukannya pergi menjauh, Hadi malah tertarik untuk menggoda Anisa. Akhirnya mereka saling kejar-kejaran seperti anak kecil, tak peduli dengan banyak pasang mata yang memandang ke arah mereka.

Dalam POV 3 atau sudut pandang orang ketiga yang serba tahu, penulis bisa menceritakan atau menggambarkan isi hati dari masing-masing tokoh. Hal ini tidak bisa kita gunakan dalam POV 1 atau POV 2.

Kayaknya cukup sampai di sini aja deh penjelasan dari aku soal POV (Point of View) atau sudut pandang dalam menulis sebuah cerita.
Intinya adalah ... posisi penulis dalam cerita tersebut sebagai apa. Sebagai tokoh utama yang bercerita secara langsung tentang kehidupannya (POV 1), Sebagai orang sampingan yang menceritakan kehidupan tokoh utama (POV 2) atau sebagai pencerita yang serba tahu segalanya (POV 3).

Semoga tulisan ini mudah dimengerti buat kamu yang lagi belajar menulis atau sedang mencoba untuk belajar menulis cerita fiksi.

POV (Point of View) menjadi salah satu point penting dalam sebuah cerita setelah kita mendapatkan ide menulis cerita. Karena penggunaan POV yang tidak tepat bisa membuat cerita yang kita tulis menjadi rancu dan pastinya membingungkan pembaca.

Cerita yang menarik adalah cerita yang mudah dimengerti dan asyik untuk dibaca. Tidak hanya terpaku pada penggunaan kata baku dan tidak baku. Yang lebih penting adalah isi dari cerita dan pesan yang ditulis bisa sampai dan dimengerti dengan mudah oleh pembaca.
Demikian sedikit tulisan tentang POV (Point Of View) dari saya. Semoga bermanfaat ...!


Ditulis oleh Rin Muna
Untuk diri sendiri dan kamu yang bersedia membaca
East Borneo, 15 Februari 2019

Friday, February 15, 2019

Cerpen | Demi Bisa Membaca

Kompasiana
Semilir angin malam menembus kulitku. Sesekali aku mengusap lengan agar rasa hangat bisa menjalar ke tubuhku yang mungil. Aku duduk di tepi gubuk sembari memandang api unggun yang dibuat Bapak beberapa jam lalu. 
Malam semakin larut dan aku belum berhasil memejamkan mata. Sesekali kulihat tubuh mungil adikku yang sudah terlelap di dalam gubuk yang hanya beralas dan berdinding papan bekas. Tak ada penerangan di gubuk ini kecuali api yang dibuat Bapak sejak hari mulai gelap. Bapak dan Mamak juga belum terlelap. Sesekali Bapak menambahkan belahan kayu ulin ke pembakaran setiap kali kayu sudah mulai habis. Dan Mamak memanggang panci berisi air di atasnya. Air yang akan kami gunakan untuk minum setiap harinya.
Sejak kecil aku sudah tinggal di gubuk ini. Gubuk ini bukan milik kami, ini milik pak Burhan. Pemilik sawah yang berbaik hati memberikan gubuk untuk kami tinggal. Bapak dan Emak memang tidak memiliki rumah, terlebih hidup kami yang jauh dari kata cukup. Pak Burhan mengizinkan Bapak mengolah sawah miliknya dan tinggal di gubuk sederhana ini.
"Belum ngantuk?" Mamak menghampiriku, duduk di sisiku.
Aku menggelengkan kepala sembari memeluk sebuah buku usang yang aku temukan di belakang rumah salah seorang warga desa. Buku ini sengaja dibuang dan aku memungutnya.
Aku bercita-cita bersekolah seperti anak-anak seumuranku. Namun, keadaan sulit di keluargaku membuatku harus gigit jari dan hanya membantu Mamak di sawah setiap harinya. Jauh dalam lubuk hatiku, aku ingin sekolah. Seperti yang dirasakan anak-anak berumur 10 tahun sepertiku.
"Dapet buku baru?" tanya Mamak.
Aku mengangguk. Bagiku, mendapatkan buku baru dari bekas buangan orang lain adalah kebahagiaan tersendiri. Rasanya seperti menemukan sebongkah emas berlian. Walau tidak pernah sekolah, aku beruntung karena Mamak mengajariku membaca dan menulis dengan baik. Hanya itu saja,  membaca dan menulis. Soal ilmu pengetahuan, sudah jelas Mamak tidak punya banyak ilmu pengetahuan. Sama sepertiku.
Sebab itulah aku suka sekali membaca. Dengan membaca, aku bisa melihat dunia di luar sana. Walau yang aku baca hanya buku baru yang meruakan buku bekas bagi orang lain atau bahkan memang tak bermakna sama sekali bagi mereka. 
"Maafkan Mamak dan Bapak karena tidak bisa menyekolahkanmu hingga saat ini."
"Nggak papa," jawabku lirih.
Sudah beberapa tahun lalu, kalimat itu keluar dari mulut Mamak dan Bapak. Awalnya, aku marah, sedih, menangis dan tidak bisa menerima kenyataan kalau aku tidak bisa bersekolah karena kedua orang tuaku tidak mampu. Yang ada dalam pikiranku, tidak mungkin Bapak dan Mamak tega tidak menyekolahkanku. Aku terus merengek setiap hari, tetap saja tidak berhasil. Saat ini, aku sudah menerima semuanya. Menerima kenyataan kalau aku memang tidak akan pernah merasakan bangganya memakai seragam sekolah.
"Mak, apa Reno juga tidak akan sekolah seperti aku?" Aku memandang tubuh mungil adikku yang tengah terlelap.
"Mamak belum tahu. Semoga saja Mamak dan Bapak bisa menyekolahkan Reno."
"Apa yang bisa aku bantu supaya Reno bisa sekolah nantinya?" Aku menatap wajah Mamak yang sesekali terlihat terang terkena pancaran cahaya api unggun.
"Kamu sudah terlalu banyak membantu dan mengorbankan masa depanmu. Biarkan kami yang berjuang untuk Reno!" pinta Mamak.
"Kenapa hanya Mamak dan Bapak yang boleh berjuang? Bukankah kita keluarga?" Aku menatap Mamak yang juga memandangku dengan rasa bersalah.
Ia tak mengatakan apa pun, hanya memeluk tubuhku yang mungil. "Tidurlah! Ini sudah malam," bisiknya.
Aku mengangguk, beranjak dari tempat dudukku dan memasuki bilik gubuk yang tidak di sekat. Di dalam bilik justru semakin dingin karena jauh dari perapian. Lantai dan dinding yang terbuat dari papan bekas terdapat banyak sela yang membuat angin berhembus dengan mudahnya dan menusuk-nusuk ke kulit.
Aku menatap wajah adikku kembali yang kini sudah di hadapanku. Aku rapikan posisi selimutnya, selimut dari sarung yang sudah lusuh dengan beberapa jahitan.
Kepalanya beralas bantal yang aku buat sendiri dengan tanganku. Setiap hari aku selalu bermain di bawah pohon randu dan mengambil kapuk-kapuk yang jatuh. Pemiliknya tidak peduli dengan kapuk yang hanya beberapa saja, mereka lebih senang membeli bantal di toko daripada harus capek-capek membuatnya. Berbeda dengan keluargaku yang hanya bisa mencari bahan gratisan. Sebelumnya, aku selalu izin pada pemilik kebun jika ingin meminta sesuatu di kebunnya. Mereka semua baik, tidak ada yang memarahiku. Justru mereka sering menyuruhku memanjat pohon kelapa, menjatuhkan buah-buahnya dan mereka memberikan aku sedikit upah. Upah yang biasanya aku tabung atau aku pakai membelikan jajan untuk Reno.
Aku merebahkan tubuhku di sisi Reno. Menarik selimut yang aku jahit dari kain-kain sisa pemberian orang. Ya, kami sering menerima pakaian dari beberapa warga yang memiliki pakaian lebih. Semuanya masih bagus-bagus dan bisa kami gunakan. Itu jauh lebih baik daripada harus membeli pakaian baru ke pasar. Pasarnya jauh, uangnya juga pasti butuh banyak.
Huft ... kenapa aku tak bisa sebahagia anak-anak lainnya? Takdir yang membuat aku terlahir dari keluarga miskin. Ah, tidak ... tidak! Bapak dan Mamak tidak miskin. Mereka sangat kaya bagiku. Memberikan aku kasih sayang setiap harinya. Mamak juga sering mengajari aku mengaji. Sekarang di usiaku yang sudah 10 tahun, aku sudah menghafal 20 juz Al-Qur'an. 
Setiap hari aku selalu mengaji, karena aku tidak pernah bersekolah. Hanya Mamaj dan Bapak yang menjadi guru mengajiku. Jelas berbeda dengan anak-anak yang bisa bersekolah. Mereka pasti pintar-pintar. Tidak sepertiku yang hanya bisa membaca dan menulis saja.
Aku menatap tumpukan buku yang ada di sudut bilik. Buku-buku itu bukan aku, Mamak atau Bapak yang membelinya. Buku itu hasil dari memungut di tepi jalan, di belakang rumah warga dan di tempat-tempat orang membuang setiap lembaran-lembaran kata itu. Aku senang sekali membaca, bahkan selembar kertas brosur saja aku ambil, aku baca dan simpan di rumah. Sehingga, buku-buku bekas tersebut sudah menumpuk di sudut ruangan. 
Di antara buku-buku itu, ada sebuah kalimat yang masih terngiang di ingatanku. "Membaca adalah jendela dunia".
Ya, aku rasa itu benar. Aku jadi tahu banyak hal dari buku itu. Aku bisa melihat dunia hanya dari buku, tidak dari gubukku yang tak memiliki jendela.
Aku heran, kenapa teman-temanku sering membuang bukunya setiap kali kenaikan kelas. Katanya sudah tidak terpakai lagi. Padahal, buku itu masih bisa dibaca. Ah, mungkin saja isi buku-buku ini sudah berpindah ke otak mereka. Sehingga mereka tak lagi memerlukan buku-buku ini. 
Mereka setiap hari bersekolah, pastinya mereka semua pintar. Berbeda dengabku yang masih terus membaca setiap hari karena aku tidak bersekolah dan tidaj pintar.
Aku masih memeluk buku yang sedari tadi aku bawa. Aku sering membawanya tidur ketika dapat buku baru. Buku ini sangat bagus bagiku. Untuk pertama kalinya, buku ini bukan hasil memungut dari tempat sampah. Buku ini pemberian dari salah satu temanku yang duduk di bangku kelas 4 SD. 
Dia sering mengajakku bermain setiap kali aku mengintip dari luar jendela saat mereka sedang belajar. Dia tahu kalau aku suka membaca. Hanya saja, aku bukan anak yang beruntung bisa mengenyam pendidikan.
"Wardah ... aku punya buku baru. Ayah baru saja membelikan 2 hari yang lalu. Aku sudah membaca beberapa halaman dan sepertinya seru. Ini untukmu!" Irwansyah mengulurkan buku berjudul "Keliling Dunia"
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku ketika Irwansyah memberikan buku ini. Aku mengucapkan terima kasih berkali-kali sampai ia bosan mendengarnya. Ini pertama kalinya aku diberi sebuah buku dan aku sangat senang. Buku dengan gambar pesawat dan beberapa gambar orang yang tertawa bahagia ini kini sudah ditanganku.
"Jaga baik-baik buku itu! Suatu hari nanti, kita pasti bisa keliling dunia!" teriak Irwansyah sambil tertawa bahagia.
Aku tahu, itu hanya teriakan mimpi seorang anak kecil. Tidak pernah tahu akan jadi nyata atau tidak. Mungkin saja bisa.jadi kenyataan baginya yang memiliki banhak uang dan cerdas. Tidak berlaku untuk aku, gadis kecil yang tidak tahu apa-apa.
Aku membaca doa sebelum tidur, doa untuk kedua orang tua, doa kebaikan dunia akhirat, Al-Fatihah, Ayat Qursi dan Doa Selamat. Sampai akhirnya aku terlelap dalam mimpi-mimpi indah. Aku bermimpi bisa berkeliling dunia. Mungkin saja mimpi itu datang karena aku membaca buku dan terus membayangkannya.
Keesokan harinya, aku bangun dengab tubuh yang segar. Kembali beraktivitas seperti biasa usai menjalankan ibadah sholat subuh dan mengaji. Aku sedang berusaha menghafalkan juz berikutnya. Sembari membantu Mamak melakukan pekerjaannya di sawah, aku selalu komat-kamit menghafalkan satu lembar naskah Al-Qur'an yang aku baca usai sholat subuh tadi.
Aku suka sekali membaca. Dan aku selalu memungut buku-buku bekas demi bisa membaca. Bahan bacaan terbaikku adalah kitab Al-Qur'an. Sehingga aku senang sekali membaca dan menghafalkannya.
Kata Mamak dan Bapak, ini bekal untukku keliling dunia dan akhirat sekaligus.
Cukup sampai di sini ceritaku hari ini.
Kalau kamu punya buku bacaan ya g bagus  dan tidak dibaca, mending kamu sumbangin aja deh. Terutama untuk anak-anak yang tinggal di pedalaman seperti aku. Hehehe...
  • Ditulis oleh Rin Muna untuk Kompasiana
  • East Borneo, 13 Februari 2019

Friday, February 8, 2019

Banjir dan Si Tajir

Kompasiana


Sudah puluhan tahun Indu Baweh dan keluarganya tinggal di sebuah desa yang berada di area rawa. Setiap hujan deras, rumah Indu Baweh selalu tergenang air. Semua cara sudah dilakukan agar air banjir tidak masuk ke dalam rumahnya. Termasuk menaikkan pondasi rumah setinggi 1,5 meter. 
Sejak meninggikan rumahnya, air tidak lagi masuk ke dalam rumah setiap hujan deras. Namun, tetap saja menggenang di sekeliling rumahnya. Hal ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Terlebih lagi warga yang membangun rumahnya, tidak lagi memikirkan drainase. Beberapa titik selokan dan parit yang seharusnya menampung air saat hujan turun, malah ditutup dan akhirnya banyak titik jembatan mati. Jembatan itu menjadi penghubung arus air dari hulu ke hilir. Namun, tiba-tiba menjadi jembatan mati. Tidak ada air yang mengalir karena dari hulu dan hilir sudah tidak terlihat lagi paritnya, sudah berubah menjadi halaman rumah yang cantik.
Indu Baweh dan keluarganya bisa tidur tenang setiap kali hujan. Walau banjir, tidak masuk ke dalam rumah dan sudah menjadi hal yang biasa. Banjir setinggi 50-70 cm sudah biasa. Juga bagi warga di sekeliling rumah Indu Baweh.
Setahun kemudian, hadir sosok orang yang kaya yang disebut Si Tajir. Karena kekayaan yang dimilikinya, ia membuka tambang batubara di sekitar pemukiman warga sebagai ladang uangnya untuk semakin memperkaya diri. Tidak hanya hutan sebagai resapan air yang digusur, rumah penduduk juga digusur pada akhirnya agar uang si Tajir tetap mengalir deras di kantongnya.
Beberapa bukit sudah berubah jadi lembah. Pohon-pohon yang indah sudah berubah jadi galian tambang batubara. Hal ini sangat dirasakan berbeda bagi Indu Baweh dan keluarganya. Indu Baweh yang usianya sudah tua, seringkali bercerita tentang keindahan desa di masa lalu pada cucu-cucunya.
Bercerita tentang dirinya yang masih bisa mandi di sungai yang airnya jernih, bahkan ikan-ikan pun bisa terlihat dengan jelas di sungai itu.
"Indu ... di mana sungai tempat Indu dan teman-teman bermain?" Etak, salah satu cucu Indu Baweh bertanya. 
"Kau lihat jembatan yang ada di ujung barat desa sana?" Indu Baweh balik bertanya.
"Lihat, Indu."
"Dulu ... di sana ada sungai yang lebar, dalam, dan airnya sangat jernih. Kami biasa mandi di sungai itu."
"Tapi, sekarang sudah tak ada. Sudah rata dengan tanah. Hanya ada jembatannya saja."
"Yah ... itulah. Semua berubah karena tangan manusia juga. Dan semuanya akan berubah selama kita tidak bisa mencintai dan menjaga lingkungan."
"Indu ... mau teh hangat?" tiba-tiba Ara, si cucu paling cantik datang membawa nampan berisi teh hangat dan kudapan.
"Wah ... cantik nian cucu Indu. Pas sekali hujan-hujan begini."
"Indu ... sepertinya air mulai meninggi. Padahal hujan baru satu jam dan tidak begitu deras," keluh Ara.
Benar saja, air datang begitu deras dan tidak dapat dibendung lagi. Menggenangi sekeliling rumah Indu Baweh. Etak buru-buru ke belakang rumah untuk menyelamatkan ternak-ternak peliharaan. Kedua orang tuanya sedang berada di kebun, sehingga ia harus memperhatikan ternak peliharaannya.
"Indu ... kenapa hanya rumah yang lurus dengan rumah kita yang terkena banjir. Rumah Pak Modang yang jaraknya tiga rumah dari rumah kita, baik-baik saja. Bahkan dia tidak meninggikan pondasi rumahnya." Ara duduk di samping Indu Baweh sembari memandangi banjir yang semakin deras dari teras rumahnya.
"Ah, kau ini. Seperti tidak pernah sekolah saja. Kau lihat jalan yang di seberang rumah kita ini." Indu baweh menunjuk dengan dagunya. "Jalan itu harusnya melewati sungai yang ada di sisi rumah kita ini. Jalan yang dipakai untuk hauling batu bara ini seharusnya tidak menimbun sungai yang sudah ada. Mungkin, membuat jembatan itu sulit bagi mereka. Jadi, ditimbun saja supaya proses hauling lancar."
"Lalu, apa hubungannya banjir dengan jalan hauling?" tanya Ara masih bingung.
Indu Baweh mengetuk kepala Ara, membuatnya mengaduh kesakitan. "Air itu harusnya mengalir ke sungai, karena sungainya ditimbun dan dijadikan jalan, akhirnya air itu limpas ke rumah kita."
"Oooo ...." Mulut Ara membesar membentuk huruf O.
"Sepertinya banjir kali ini makin parah. Kalau hujan tidak segera reda, banjir akan masuk ke rumah kita." Indu Baweh memperhatikan ketinggian air yang tinggal 10 sentimeter dari lantai rumahnya.
"Kenapa setiap tahun banjirnya semakin parah, ya?" gumam Ara.
"Ada banyak penyebabnya. Besar kemungkinan karena sungai yang dimatikan alirannya, juga peran serta pengusaha tambang batubara yang membuat lingkungan kita kekurangan resapan air."
"Indu ... jangan salah-salahin tambang batubara. Paman Lapeh kan kerjanya di tambang batubara," celetuk Ara.
"Sebenarnya, Indu tak ingin menyalahkan adanya tambang. Tapi, teorinya sudah ada sejak dulu. Penggundulan hutan bisa menyebabkan longsor dan banjir. Di sekolahmu sekarang sudah tidak diajari lagi seperti itu?" tanya Indu Baweh.
"Diajari, Indu. Tapi ..."
"Lebih penting uang daripada lingkungan kita." Tiba-tiba Narai ikut bergabung dalam pembicaraan.
"Sudah pulang? Lewat mana? Kok, Indu tak melihat."
"Lewat belakang."
"Ara ... buatkan kopi untuk bapakmu!" pinta Indu Baweh.
Ara segera bangkit, menuju ke dapur untuk membuatkan kopi. Sementara Narai dan Indu Baweh terlibat pembicar aan serius soal keadaan lingkungan yang sudah banyak berubah.
"Huft ... musim panas, panasnya terik sekali dan debu tebal. Musim hujan, kebanjiran." Narai menyandarkan tubuhnya di kursi.
"Sudah kau tanya sama Si Tajir? Apa dia bisa membantu mengatasi banjir di pemukiman ini?" tanya Indu Baweh.
"Sudah."
"Lalu, apa hasilnya?"
"Nihil."
"Kenapa?"
"Katanya ... banjir bukan diakibatkan karena adanya tambang. Sebelum ada tambang, wilayah kita sudah terkena banjir."
"Tapi ... banjir semakin parah seperti ini. Lama-lama kita bisa ditenggelamkan oleh banjir kalau perusahaan batubara dan pemerintah desa tidak segera bertindak. Lalu, apa tanggapan aparat desa?" tanya Indu Baweh lagi.
"Mereka berpihak pada pengusaha tambang."
"Oh ... uang memang bisa menguasai segalanya. Si Tajir sekarang sedang bersenang-senang dengan uang hasil tambangnya. Dia tidak memikirkan nasib warga lain yang merasakan dampaknya seperti ini. Suatu saat, dia akan membayar semuanya. Alam yang akan marah dan membalasnya." Indu Baweh terlihat geram. Bahkan kulit-kulit tua yang menutupi wajahnya tidak bisa menyembunyikan kegeramannya.
"Indu ... tak usahlah kita terus mengeluh! Orang kecil seperti kita ini tidak akan ada yang mendengarkan. Percuma kita mengomel ke sana kemari. Yang berkuasa tetaplah yang punya uang banyak seperti Si Tajir itu.
Indu Baweh manggut-manggut. "Ya, Si Tajir sedang mencoba bermusuhan dengan alam. Ada saatnya alam akan membalas perbuatan Si Tajir dan orang-orang yang seperti dia. Dan Indu yakin ... ketika alam marah, bukan hanya Si Tajir dan antek-anteknya yang jadi korban. Tapi, kita juga yang ada di sekitarnya karena tidak bisa mencegah perbuatan mereka melukai alam." Gigi-gigi Indu Baweh terdengar berkerut menahan emosi.
"Indu ... sabar. Kita hanya perlu berdoa. Semoga mereka disadarkan dan bisa mencintai alam dengan baik."
"Narai ... mereka tidak akan pernah sadar selama uang adalah nomor satu dalam hidup mereka. Bahkan mereka memuja uang melebihi Tuhan."
Narai mulai pusing melihat Indu Baweh yang selalu sibuk mengurusi setiap perubahan yang terjadi di sekitarnya.
"Indu ... sudah tengok si Elok?" Narai mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa si Elok?" Indu Baweh balik bertanya.
"Dia sakit."
"Sejak kapan? Tak ada yang beritahu Indu. Nanti, antar Indu tengok si Elok!" pinta Indu Baweh.
Narai menganggukkan kepalanya. Tak lama, Ara datang membawakan secangkir kopi bersama dengan Etak. Mereka akhirnya terlibat dalam obrolan seru. Indu Baweh selalu mengaitkan dengan keadaan alam setiap kali Narai bertanya pada Ara dan Etak mengenai sekolah mereka.
Indu Baweh memang sudah tua. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa ia lakukan selain mengamati dan menganalisa keadaan sekitarnya. Bahkan, beberapa orang menyebutnya setress atau gila. Beberapa kali Indu Baweh memaki kepala desa karena beberapa infrastruktur tidak berfungsi dengan baik. Ia juga sempat menemui Si Tajir hanya untuk memaki dan mengutuk perbuatannya merusak alam.
Semua warga mengerti dan tidak ada yang berani melawan Indu Baweh. Indu Baweh hanya seorang nenek renta yang butuh seseorang untuk mendengarkan cerita dan keluhan-keluhannya yang oleh sebagian orang dianggap gila. Sebagian lagi menganggap Indu Baweh adalah nenek tua yang cerdas dan bijaksana dalam beberapa hal.

Ada hal yang tidak bisa kita lawan. Ada hal yang tidak bisa kita ubah. Yakni, perubahan yang terjadi di sekitar kita. Semua ditakdirkan untuk berubah setiap detiknya dan kita tidak bisa melawan perubahan. Semuanya memang akan berubah menuju kehancuran, seperti yang telah difirmankan oleh Allah.
 Kiamat (kehancuran) itu pasti.


Ditulis oleh Rin Muna untuk Dunia...
East Borneo, 8 Februari 2019

Saturday, February 2, 2019

Yuk, Kita Kenali 3 Gaya Belajar Anak!


Yuk, Kita Kenali 3 Gaya Belajar Anak!
Pena Kata


Beberapa orang tua sering kali mengeluhkan tentang proses belajar anak di sekolah yang kurang memperhatikan guru ketika di sekolah.  Terlebih ketika anak kita hyperaktif dan kurang merespon terhadap materi yang diberikan guru.
Setiap anak memiliki kemampuan dan gaya yang berbeda-beda. Satu guru mengajari lebih dari 20 orang murid di dalam satu kelas, menjadi tidak efektif melakukan pendekatan pengajaran sesuai dengan gaya belajar anak itu sendiri.

Ada 3 gaya belajar yang perlu kita ketahui agar kita tidak serta-merta menyalahkan anak kita.

  • 1.       Gaya Belajar Auditori (Pendengaran)

Gaya belajar auditori adalah gaya belajar anak yang suka mendengarkan, kaitannya dengan proses belajar menghafal, matematika, mengerjakan soal cerita, membaca dan memahami isi bacaan. Ciri-ciri anak yang memiliki gaya belajar auditori adalah mudah mengingat dari apa yang ia dengar  atau yang sesuatu yang didiskusikan. Anak dengan gaya seperti ini tidak bisa belajar dalam keadaan berisik atau ribut, karena mudah tergoda dengan hal-hal yang didengarnya dan sulit untuk fokus belajar.  Anak lebih senang dengan musik, senang membaca cerita dengan suara keras, lebih suka dibacakan cerita ketimbang membaca, bisa mengulangi apa yang didengarnya, baik nada, irama dan lainnya.
Kendala yang dialami anak ialah sering lupa dengan apa yang dijelaskan oleh guru, kerap keliru mengerjakan tugas yang diperintahkan guru, dan kesulitan mengekspresikan yang dipikirkan.

  • 2.       Gaya Belajar Visual (Penglihatan)

Gaya belajar visual adalah gaya belajar anak yang lebih melihat daripada mendengarkan. Berkaitan dengan proses belajar seperti matematika (geometri), bahasa Mandarin atau Arab atau yang berkaitan erat dengan simbol dan letak-letak simbol.  Perbedaan letak simbol bisa berpengaruh karena ada perbedaan bunyi.
Anak dengan gaya belajar seperti ini mudah mengingat dengan cara melihat, tidak terganggu dengan suasana belajar yang ribut, lebih suka membaca, lebih suka mendemonstrasikan daripada menjelaskan, tertarik pada seni lukis , pahat, daripada seni musik. Sering lupa jika menyampaikan pesan secara verbal kepada orang lain.

  • 3.       Gaya Belajar Kinestetik (Gerak)

Gaya belajar kinestetik adalah gaya belajar anak yang suka bergerak, biasanya ini terjadi pada anak-anak yang hyper aktif. Gaya belajar seperti ini berkaitan dengan proses belajar yang membutuhkan banyak gerak seperti olahraga dan percobaan-percobaan sains.
Anak dengan gaya belajar seperti ini lebih banyak menggunakan bahasa tubuh, menyukai permainan yang menyibukkan secara fisik. Ketika membaca, menunjuk kata-kata dengan jarinya. Kalau menghafal sesuatu dengan cara berjalan atau melihat langsung. Belajar melalui praktik langsung, banyak melakukan pergerakan dan punya perkembangan otot yang baik. Ia juga senang menanggapi perhatian fisik.
Anak kinestetik cenderung tidak bisa diam. Ia biasanya akan memainkan alat belajarnya atau memukul-mukul meja ketika guru sedang memberikan materi. Anak dengan gaya belajar seperti ini tidak bisa belajar di sekolah-sekolah yang bergaya konvensional di mana guru menjelaskan dan anak duduk diam.  Anak akan lebih cocok dan berkembang bila di sekolah dengan sistem active learning, di mana anak banyak terlibat dalam proses belajar.

Tiga gaya belajar anak ini wajib diketahui oleh kita, para orang tua dan guru. Agar anak dapat belajar sesuai dengan gayanya dan kemampuannya. Sebab kita tidak bisa memperlakukan sama antara anak yang memiliki gaya belajar auditori dengan visual.



Sumber Referensi: kompas.com

Resensi Buku | Back to Love


Resensi Buku “Back to Love”
Komunitas Suka Baca Buku


Judul                       : Back to Love
Penulis                    : Kaka HY
Isi                            : vi + 358 hlm; 13x19 cm
Penerbit                  : Gagas Media
ISBN                      : 978-979-780-880-8
Tahun Terbit           : 2018
Harga                      : Rp 75.000

Sinopsis :
Kepergian kekasih bisa membuat seseorang seolah jauh dari perputaran dunia. Kosong. Sepi. Begitulah hari-hari yang tersisa bagi ia yang patah hati, begitu juga Abid. Meski sang kekasih sudah lama meninggalkannya, entah sampai kapan, Abid masih menginginkannya kembali. Sosok Aline tak pernah berhenti mengisi hatinya.
Aline kembali dengan cara yang tak terduga, bersama Fay perempuan yang kerap bersikap tak acuh dengan sekitarnya. Namun, Fay tahu hanya dirinyalah yang mampu mengakhiri kisah Abid dan Aline yang seharusnya telah lama usai. Kisah yang membuatnya seperti tersesat.
Kematian Aline membuat kehidupan Abid berubah seketika. Ia masih terus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Aline. Dia masih terus berharap Aline akan kembali ke kehidupannya. Ada hal yang belum sempat tersampaikan dan itu terus membuat Abid merasa bersalah. Sikapnya dingin, pikirannya tak menentu. Teman-teman Abid perihatin dengan keadaannya yang semakin menyedihkan, dia hidup tapi seperti mati.
Tahun ajaran baru adalah awal Abid bertemu dengan Fay. Gadis biasa yang pandai melukis dan sangat cuek dengan sekitarnya. Kemampuan Fay untuk melihat arwah, membuatnya berkenalan dengan Aline. Aline yang ingin Abid hidup dengan bahagia, terus berusaha meminta tolong pada Fay untuk menyadarkan Abid agar bisa melanjutkan hidup normal seperti biasanya. Sejak itu, Fay dan Abid sering bertemu dalam beberapa kegiatan. Hingga akhirnya, Fay jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Abid, namun Abid masih belum bisa menyerahkan cintanya karena masih mencintai Aline.
Setelah meninggalkan Fay karena Abid masuk perguruan tinggi, batinnya mulai mengalami pergulatan. Ia merasa tidak bisa jauh dari Fay dan tidak mengerti apa alasan yang membuatnya ingin selalu dekat dengan gadis itu. Di akhir cerita, Abid memenuhi janjinya untuk menggendong Fay sembari mendaku Gunung Papandayan yang menjadi saksi cerita cinta mereka.

Kelebihan Buku:
Kelebihan dari buku ini adalah alur cerita yang menarik, masa kini, mudah dipahami dan tidak membosankan. Kisah cinta yang terjadi di masa-masa SMA yang begitu manis. Dikemas dalam cerita yang indah dan menarik. Karakter tokohnya kuat dan menarik.


Kekurangan :
Kekurangan dari buku ini, sejauh ini sudah sangat bagus. Tema yang diangkat sangat umum mudah ditebak. Namun, di dalamnya tetap terdapat cerita-cerita cinta yang manis dan menarik yang sayang untuk dilewatkan.

Review Novel | Arok Dedes | Parmoedya Ananta Toer


Resensi Buku “Arok Dedes”
Komunitas Suka Baca Buku



Judul                     : Arok Dedes
Penulis                   : Pramoedya Ananta Toer
Isi                          : xiv + 561 halaman
Penerbit               : Lentera Dipantara
ISBN                     : 978-979-3820-14-9
Tahun Terbit        : Juli 2009
Harga                    : Rp -


Sinopsis :
Buku Roman Politik “Arok Dedes” ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan diterbitkan pertama kali pada Desember 1999. Pramoedya Ananta Toer lahir pada 1925 di Blora, Jawa Tengah, Indonesia.  Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara. Penjara tak membuatnya berhenti sejengkal pin menulis. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Dan ia konsekuen terhadap semua akibat yang ia peroleh.  Berkali-kali karyanya dilarang dan dibakar. Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing. Sampai akhir hidupnya, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar kandidat Pemenang Nobel Sastra.

Buku ini menceritakan tentang roman politik yang begitu apik. Pergulatan batin seorang wanita cantik bernama Dedes. Dan pergelutan politik dengan kecerdikan Arok dalam menjatuhkan kekuasaan Tunggul Ametung.
***
Roman Arok Dedes bukan roman mistika-irasional (kutukan keris Gandring tujuh turunan). Ini adalah roman politik seutuh-utuhnya. Berkisah tentang kudeta pertama di Nusantara. Kudeta ala Jawa. Kudeta merangkak yang menggunakan banyak tangan untuk kemudian memukul habis dan mengambil bagian dari kekuasaan sepenuh-penuhnya. Kudeta licik tapi cerdik. Berdarah, tapi para pembunuh yang sejati bertepuk dada mendapati penghormatan yang tinggi. Melibatkan gerakan militer (Gerakan Gandring), menyebarkan syak wasangka dari dalam, memperhadapkan antarkawan, dan memanasi perkubuan. Aktor-aktornya bekerja seperti hantu. Kalaupun gerakannya diketahui, namun tiada bukti paling sahih bagi penguasa untuk menyingkirkannya.

Arok adalah simpul dari gabungan antara mesin paramiliter licik dan politisi sipil yang cerdik-rakus (dari kalangan sudra/agrari yang merangkakkan nasib menjadi penguasa tunggal tanah Jawa). Arok tak mesti memperlihatkan tangannya yang berlumur darah mengiringi kejatuhan Ametung di Bilik Agung Tumapel, karena perang politik tak selalu identik dengan perang terbuka. Politik adalah permainan catur di atas papan bidak yang butuh kejelian, pancingan, ketegaan melempar umpan-umpan untuk mendapatkan peruntungan besar. Tak ada kawan dan lawan. Yang ada hanya takhta di mana seluruh hasrat bisa diletupkan sejadi-jadinya yang dimau.
Pada akhirnya roman Arok Dedes menggambarkan pera kudeta politik yang kompleks yang “disumbang” Jawa untuk Indonesia.


Kelebihan Buku:
Alur yang sederhana dan mudah dipahami, terutama tentang birokrasi dan politik kerajaan. Penggambaran tokoh, tempat dan kejadian ditulis secara detail sehingga pembaca ikut terbawa masuk ke zaman kerajaan di mana kerajaan Kediri masih berdiri. Ada banyak kejutan dalam buku ini. Arok yang awalnya berada di medan pertempuran untuk menghadapi Tunggul Ametung, ia berpindah ke medan siasat untuk bisa menggulingkan Tunggul Ametung. Juga tentang pergulatan batin Paramesywari Ken Dedes yang jatuh cinta pada Arok dan tidak ingin kedudukannya sebagai Paramesyari Tumapel digantikan oleh Umang, istri pertama Arok yang kastanya jauh lebih rendah daripada dirinya.


Kekurangan :
Kekurangan yang terdapat dalam Novel Arok Dedes adalah gaya bahasa yang digunakan masih ejaan lama dan sulit dimengerti untuk pembaca masa sekarang. Hal ini termasuk wajar karena novel ini diterbitkan pada tahun 1999 dan ditulis pada masa dahulu dengan gaya bahasa sesuai dengan zamannya.










Saturday, January 26, 2019

Cerita Somplak : Menemui Pangeran Textra di Pulau Pengasingan

Pixabay.com

"Rin ... kamu tengokin Pangeran Textra di Pulau Pengasingan!" perintah Mbak Daya.
"Nggak mau!" Aku mengangkat kedua pundakku sambil memonyongkan bibir sepanjang-panjangnya.
"Loh!? Kamu harus tahu bagaimana kondisinya di sana."
"Males, Mbak. Di sana nggak ada apa-apa. Nggak ada rumah, nggak ada manusia. Biar aja Pangeran Textra jadi Tarzan di sana."
"Muza masih mencari keberadaan Pangeran Radh. Kalau ada dia, dia pasti semangat menemui Pangeran Textra."
"Hmmm ..." Aku asyik saja mengunyah ciplukan yang dihidangkan di tengah santapan makan siang istana negeri somplak.
"Kamu beneran nggak mau?" tanya Mbak Daya sekali lagi.
"Nggak mau."
"Oke. Kalau gitu, kuda putihmu Mbak pakai untuk menemui Pangeran Textra."
"Eh!? Enak aja! Nggak boleh! Aku aja yang ke sana." Aku beringsut pergi ke kandang kuda sebelum mbak Daya mengambil kuda putih kesayanganku.
"Rin, kamu nggak pernah ganti baju? Dari tahun lalu, pakai gaun putih itu terus," celetuk dayang Vera yang tiba-tiba muncul. Ia datang untuk memberi makan kuda pink milik Pangeran Textra. Di kandang kuda istana, kudanya full color. Punya mbak Daya, kudanya warna ungu. Punya Muza, kudanya warna kuning. Tapi sedang tidak ada di kandangnya karena Muza asyik mencari keberadaan Pangeran Radh. Sedangkan kuda yang berwarna cokelat, semua milik para prajurit. Ada 2.500 kuda cokelat yang ada di istana ini. Mereka kuda yang terlatih untuk berperang bersama para prajurit.
"Emangnya mau perang sama siapa?" batinku dalam hati. Bukannya negeri ini adem ayem aman tentram sak lawase. Eh!?
"Enak aja! Ganti lah. Aku punya 1.500 gaun putih yang modelnya sama. Sehari ganti 5 kali." Aku merengut membalas celetukan dayang Vera.
"Ooh ... sama semua ya?"
"Iya."
"Emange nggak bosen?" tanya dayang Vera lagi.
"Nggak. Kamu sendiri, nggak bosen pakai baju itu-itu terus?" Aku balik bertanya sambil memandangi pakaian dayang milik Vera.
"Ini 'kan seragam dayang."
"Oh ... ya sudahlah. Nggak perlu bahas baju. Ntar gak kelar-kelar. Aku mau ke Pulau Pengasingan." Aku menaiki kuda setelah memastikan semua perlengkapan kuda terpasang dengan baik.
"Mau ketemu Pangeran Textra ya?" tanya dayang Vera.
"Iya. Kenapa? Mau nitip sesuatu?" Aku memandang dayang Vera yang berdiri di sisi kuda putih milikku, sementara aku sudah nangkring di atas punggung kuda.
Vera menganggukkan kepalanya. "Tunggu sebentar ya!" pintanya kemudian berlari memasuki lorong istana.
Tak berapa lama, dayang Vera kembali dengan membawa bungkusan kain yang lumayan besar.
"Apa ini?" tanyaku keheranan.
"Berikan saja pada Pangeran!"
"Gede amat! Isinya apa?" tanyaku heran. Dayang Vera langsung mengikatkan bungkusan itu pada besi yang berada di bagian belakang tempat dudukku.
"Eh!? Jangan diikat di situ. Taruh depan sini aja!" pintaku. " Bisa oleng kudaku, berat sebelah."
"Oke." dayang Vera melemparkan bungkusan itu ke tanganku.
"Ya ampun! Berat banget! Isinya apa ini?" tanyaku penasaran.
"Kasih aja ke Pangeran Textra."
"Seberat ini dan kamu nggak mau ngasih tahu aku? Mending aku tinggal aja deh." Aku bersiap melemparkan kembali bungkusan itu ke lantai.
"Jangan! Itu isinya pakaian dan makanan untuk Pangeran Textra."
"Sebanyak ini?"
Dayang Vera mengangguk.
"Awas, ya! Kalo ketahuan Mbak Daya, kamu ngirim pakaian dan makanan sebanyak ini untuk Pangeran Textra. Kamu bakalan Kreeek." Aku meletakkan telapak tanganku tepat di leher untuk menakuti dayang Vera.
"Jangan sampai Ratu Daya tahu. Saya mohon!" Dayang Vera merapatkan kedua telapaknya untuk memohon.
"Hmm." Aku langsung memacu kudaku menuju Pulau Pengasingan.
Sesampainya di sana, aku mengitari pulau sampai tujuh kali untuk mencari keberadaan Pangeran Textra. Belum juga aku temukan. Sampai hari beranjak sore, Pangeran Textra masih belum terlihat batang hidungnya.
"Duh, jangan-jangan Pangeran di makan binatang buas?" celetukku ngasal. Tapi, setauku tidak ada binatang buas di sini. Aku pernah diasingkan di sini beberapa waktu lalu karena merobohkan menara istana. Semuanya baik-baik saja.
Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Bisa saja Pangeran Textra kabur dari tempat ini. Atau dimakan buaya sungai yang kebetulah lewat? Ah, rasanya nggak mungkin kalau buaya makan buaya.
"Pangeran!!!" Akhirnya aku berteriak agar Pangeran Textra menyadari kedatanganku.
"Pangeran ... aku bawain makanan enak loh. Kalau nggak mau muncul, terpaksa deh makanannya aku bawa balik ke istana." Aku masih berputar-putar dengan kudaku sambil berteriak.
"Jangan!" Tiba-tiba aku mendengar suara Pangeran Textra. Aku memandang ke sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Hanya pepohonan yang rimbun dan beberapa pohon besar.
"Kok, nggak ada orangnya? Jangan-jangan pangeran udah jadi hantu?" Aku mengusap tengkuk yang mulai merinding.
"Siluman takut sama hantu? Hahahaha ...." Akhirnya aku dapati Pangeran Textra yang sedang tertawa terbahak-bahak di atas pohon kelapa.
"Pangeran!? Ngapain di situ?" teriakku.
"Ambil kelapa muda. Kamu mau?"
"Boleh."
Pangeran Textra langsung melempari aku dengan buah kelapa muda. Aku sampai kebingungan menghindarinya. Satu buah kelapa tepat menancap di ujung pedangku. Kemudian, Pangeran Textra turun dengan cepat.
"Kamu bawa makanan apa?" tanya Pangeran Textra saat sudah dekat denganku.
"Nih!" Aku melemparkan bungkusan yang diberikan dayang Vera.
"Berat banget!" celetuk Pangeran Textra yang sampai terhuyung-huyung menerima bungkusan kain itu.
"Berarti banyak makanannya."
"Kok, tumben banget kamu ke sini bawakan makanan sebanyak ini?"
"Itu titipan dayang Vera. Aku mah ogah bawain makanan buat Pangeran. Bukannya Pangeran udah survive banget di tempat ini?"
"Tega amat sih? Katanya, kamu cinta sama aku?"
"Itu dulu. Sekarang ... aku mau coba jatuh cinta sama Pangeran Radh. Mudahan Muza cepat nemuin Pangeran Radh." Aku turun dari kuda.
"Apa? Jatuh cinta kok coba-coba?"
"Yah, siapa tahu aja Pangeran Radh membalas cintaku juga."
"Bukannya aku juga sudah membalas cintamu?"
"Kapan?"
"Kapan ya?" Pangeran Textra nyengir sembari menggaruk kepalanya yang memang sudah gatal-gatal karena tidak mandi.
"Lagian, aku mah ogah kalau harus bersaing sama kuda, sama tikus, sama kucing buat ngerebutin cinta seorang Pangeran Textra. Jelas aja Pangeran milihnya aku kalau saingannya binatang semua." Aku membuka satu buah kelapa yang sudah menancap di ujung pedangku. Meminum airnya dan merasakan kesegaran di kerongkonganku. Sementara Pangeran Textra juga sibuk membuka bungkusan dari dayang Vera.
"Wah ... ini makanan kesukaan aku!" Pangeran Textra langsung melahap 3 bungkus nasi padang kesukaannya.
Aku mengerutkan keningku, heran melihat Pangeran yang makan dengan lahapnya.
"Laper banget ya?"
Pangeran menganggukkan kepalanya dengan mulut penuh makanan.
"Ya udah. Pemberian dayang Vera sepertinya cukup untuk sebulan ke depan. Aku pamit pulang." Aku beranjak dari tempat dudukku. Melihat matahari yang mulai tenggelam di bawah air laut. Warnanya indah, berkilauan seperti emas.
"Kok, pergi?" tanya Pangeran.
"Tugasku hanya memastikan kondisi Pangeran baik-baik saja."
"Aku nggak baik-baik saja."
"Maksudnya."
"Aku kesepian. Temani aku dulu!" pinta Pangeran Textra dengan mulut yang masih mengunyah makanan.
"Pangeran ... bukankah pangeran dikirim ke sini memang untuk sendirian? Supaya tidak membuat gaduh negeri."
"Kamu yang punya akses ke tempat ini. Tidakkah kamu kasihan melihat aku yang sekarang kurus kering seperti ini?" Pangeran Textra bangkit dan berdiri di hadapanku.
Aku memandangi tubuh Pangeran dari ujung kaki sampai ujung rambut. Aku mengernyitkan dahiku. Kurus keringkah tubuhnya? Aku tidak yakin. Sepertinya berat badannya justru naik. Badannya terlihat lebih gempal daripada masih mengurus kerajaan. Aku menahan tawa melihat tingkah Pangeran Textra. Sepertinya ... dia bukan tubuhnya yang kurus. Tapi, hatinya yang kurus karena tak terurus. Biasa ditemani dengan banyak dayang dan wanita-wanita cantik. Sekarang harus sendirian di Pulau Pengasingan tanpa bisa keluar. Hihihi...
"Oke. Aku temani sampai matahari benar-benar tenggelam." Aku tersenyum.
"Nah, gitu dong!" Pangeran Textra tiba-tiba merangkulku.
"Udah berapa hari nggak mandi?" Aku nyengir karena mencium bau badannya yang sangat menyengat. Entah bau apa yang melekat di tubuhnya. Bikin aku mual dan mau muntah.
"Loh? Kenapa mual-mual gitu? Aku belum ngapa-ngapain kamu, kok sudah hamil?" goda Pangeran Textra.
"Nggak usah bercanda! Nggak lucu! Mandiiiiiiiii.....!!!! Bau banget....!!! Uweeek....!"
"Aku setiap hari mandi. Tapi nggak ada baju ganti. Untungnya dayang Vera si dayangku tercinta pengertian banget bawain aku pakaian." Pangeran Textra menatap genit sembari menggigit bibirnya.
"Ya sudah. Aku mandi dulu. Jangan ngintip ya!" Pangeran Textra menarik beberapa lembar kain dan berlari menuju sungai.
Sementara aku duduk kembali di salah satu kayu mati sambil memandangi pantai. Kebetulan sekali pulau ini berada di tengah-tengah laut. Pangeran Textra tidak bisa berenang dan tidak memiliki akses untuk keluar masuk. Berbeda denganku yang bisa keluar masuk dengan kapal kerajaan. Pulau ini juga sebenarnya di jaga oleh prajurit di pintu masuk.
Matahari mulai tenggelam. Aku mengumpulkan ranting kayu dan menyalakan api dengan batu sembari menunggu Pangeran Textra kembali.
Sudah 3 kali aku mengganti ranting kayu yang terbakar, Pangeran Textra belum juga kembali. Matahari sudah berganti dengan rembulan yang sudah meninggi dan berada tepat di atas kepala. Aku merebahkan tubuhku di atas kain yang sudah aku gelar. Menunggu Pangeran datang sambil menghitung bintang yang bertebaran di langit. Iseng amat sih aku? Ngitungin bintang? Hadeeeh ....
Aku putuskan untuk mengambil satu bintang, menggenggamnya dengan tangan kananku dan aku mengeluarkan bola-bola cahaya yang beterbangan di atas kepalaku.
"Gimana? Udah nggak bau kan?" Tiba-tiba Pengeran Textra sudah duduk di sampingku.
Emang sih ... nggak bau sebusuk tadi, tapi bau amis malah tercium dari tubuhnya. "Bau amis!" celetukku.
"Oh ... iya. Aku dapet ikaaan!" Pangeran Textra mengangkat ranting pohon yang dipakai untuk menyusun ikan-ikan, diangkat tepat di atas wajahku.
"Apaan sih!?" Aku langsung bangkit. "Bau tau!"
"Bukannya kamu juga biasa makan ikan kayak gini? Ingat nggak waktu pertama kali kita ketemu? Kamu lagi makan ikan dari kolam kerajaan? Ikan-ikan kesayanganku itu."
"Iyaa..."
"Ya udah. Bakar gih! Aku laper!" perintah Pangeran Textra.
"Baru aja ngabisin 3 bungkus nasi padang. Udah laper lagi?"
Pangeran Textra hanya meringis.
"Pantesan gendut!!" umpatku.
"Cepet! Bakarin ikannya!" perintahnya lagi.
"Ogah, ah!"
"Kamu mau membantah titah Pangeran!? Hah!?"
"Apaan sih!?" Aku menyambar ikan yang ada di tangan Pangeran Textra. Berjalan mendekati perapian dan membakarnya.
"Hmm ... malam ini indah banget ya?" Pangeran Textra merebahkan diri di atas kain yang tadinya aku pakai untuk berbaring. Ia memandangi langit luas yang bertaburan dengan bintang-bintang. Bola-bola cahaya milikku melingkar mengelilingi kami.
"Ini bola cahayamu?" tanya Pangeran Textra.
Aku tak menghiraukan ucapannya, fokus pada ikan yang aku bakar. Untungnya Pangeran membawa ikan yang sudah dibersihkan. Tinggal bakar doang. Kalau masih disuruh bersihin ikan, kutaruh memang pedangku di lehernya.
"Kamu sengaja bikin suasana romantis untuk kita berdua ya? Supaya aku jatuh cinta sama kamu?" tanya Pangeran tanpa menoleh ke arahku, ia masih terus memandangi langit sambil sesekali melemparkan pandangannya pada bola-bola cahaya milikku.
"Nggak!" Aku bangkit dan menyambar satu bola cahaya milikku, memasukkannya ke dalam ikat pinggang dan seketika semuanya menghilang.
"Loh? Kenapa? Kan jadi gelap?" Pangeran Textra mengangkat tubuhnya sembari memandangiku.
"Ada api. Ada cahaya bulan. Gelap dari mananya?" celetukku sambil melemparkan ikan yang sudah matang.
"Tidak bisakah kamu memberikannya dengan baik? Seperti para dayang melayaniku?" Pangeran menangkap ikan itu agar tidak jatuh ke pasir.
"Aku bukan dayang!"
"Oh... iya... kamu mau jadi selirku ya? Atau permaisuriku?" goda Pangeran Textra.
Aku hanya diam.
"Hmm ... ternyata gelap kayak gini juga lebih romantis ya? Kamu suka yang gelap-gelap ya?" Pangeran Textra menghampiriku.
"Udah mateng semua. Aku pulang!" Aku bergegas melangkahkan kaki menuju kuda yang aku ikat tidak jauh dari tempat kami bercengkerama.
"Pangeran!!" teriakku saat aku tidak bisa melangkahkan kakiku. Ia menginjak salah satu sampur dan membuat langkahku tertahan.
"Kamu tau nggak, apa yang akan terjadi kalau hanya ada satu laki-laki dan perempuan di satu tempat yang sama dalam kegelapan seperti ini?" Pangeran menarik sampur dengan tangannya.
"Nggak tau." Aku menarik sampur yang ia pegang dengan kasar dan membuat Pangeran tersungkur karena tidak kuat menahannya.
"Aduh...!"
Aku menahan tawa melihat ia mengaduh. "Kapok!"
Dengan cepat aku menaiki kuda dan memacunya dengan cepat, menerobos kegelapan malam untuk kembali ke istana kerajaan Negeri Somplak.




Ditulis oleh Rin Muna
Hanya untuk hiburan
Samboja, 26 Januari 2019


Friday, January 25, 2019

Sampah dan Kesadaran Masyarakat, Pesan Penting Dari Film AQUAMAN




Rabu, 02 Januari 2019 aku menyematkan diri untuk mengunjungi salah satu tempat wisata pantai yang berada di Samboja, Kalimantan Timur. Ketika aku masuk, aku disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Yakni, sampah-sampah yang berserakan di mana-mana. Tentunya, ini cukup mengganggu pemandangan di sekitar pantai.
Otakku terus bekerja dan menganalisa. Bagaimana pantai yang sudah ada sejak aku masih kecil ini pengelolaannya tidak begitu rapi. Beberapa kali aku ke sini, cukup bersih dan rapi. Lalu, akan berantakan lagi, kotor lagi. Begitu seterusnya.
Artinya, kesadaran masyarakatnya masih sangat rendah. Terutama kepada para wisatawan yang menghabiskan waktunya berlibur di tempat ini. Mereka datang membawa kebahagian, canda tawa bersama hidangan lezat yang mereka nikmati bersama. Namun, kemudian pergi meninggalkan sampah sebagai kenang-kenangan. Kenapa tidak meninggalkan karya atau souvenir yang indah di tempat ini? Bukankah itu lebih baik dan seharusnya bisa menghargai kalau tempat ini pernah menjadi saksi berbagi canda tawa bersama teman, sahabat dan keluarga?

Video di bawah ini adalah sedikit cuplikan yang aku ambil. Memang sebenarnya aku ingin membuat video untuk menunjukkan indahnya tempat ini. Dan benar saja, tempat ini indah dengan sampah. Semoga ke depannya tempat ini menjadi jauh lebih bersih. Sebab kebersihan bukan hanya tanggung jawab penjaga pantai, tapi juga menjadi tanggung jawab kita semua.



Kemudian, aku teringat pada sebuah film yang aku tonton beberapa waktu lalu yakni film "AQUAMAN" yang menceritakan tentang kehidupan laut Atlantis. Kerajaan laut memerangi daratan karena dianggap manusia hanya merusak kehidupan laut dengan mengirimkan sampah-sampah ke laut. Raja Orm menganggap manusia adalah makhluk jahat yang membuang sampah ke laut sehingga merusak semua makhluk laut. Bukan hanya membunuh makhluk laut dengan sampah, manusia juga membunuh makhluk laut dengan senjata.

Dari film tersebut, sebenarnya ada pesan yang tersurat dan tersirat tentang bagaimana manusia ini menjaga kelestarian lingkungan, bukan hanya di daratan saja, tetapi juga di lautan.
Bisa jadi, tampilan daratan lingkungan kita bersih, indah dan bebas dari sampah. Tapi, ada hal yang tidak kita sadari kalau jutaan ton sampah itu berpindah ke lautan. Ini jelas mengganggu keseimbangan alam dan kehidupan di bawah air.
Sikap ketidakpedulian manusia lah yang akhirnya akan menghancurkan kehidupan menjadi lebih cepat dari yang diperkirakan.
Sampah selalu menjadi masalah di mana-mana. Hampir semua daerah kini telah menyadari tentang bagaimana pengelolaan sampah (recycle) untuk mengurangi sampah yang ada di dunia.
Penggunaan plastik juga sudah diatur sedemikian rupa untuk menekan angka penggunaannya.
Dengan membawa botol minum sendiri ketika pergi berwisata, juga bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi penggunaan sampah botol plastik. Jadi, kita tidak perlu membeli air kemasan yang hampir semua kemasannya berbahan plastik.
Ada banyak alternatif yang bisa kita lakukan agar kita tidak menghasilkan banyak sampah ketika bepergian ke tempat-tempat wisata terutama pantai. Sebab, di pantai kondisi anginnya cukup kencang dan menyebabkan sampah plastik mudah terbang ke mana-mana. Kalau sudah terbawa angin dan masuk ke air, terkadang kita sudah tidak memerdulikannya lagi. Ah, cuma sebiji aja nggak papa. Itulah yang ada dalam benak kita. Padahal sebiji itu baru dari satu orang. Bayangkan kalau ada 1000 pengunjung dalam sehari yang membuang sampah miniman 1 biji. 1000 dikalikan 30 hari sudah jadi 30.000 dalam sebulan. Bagaimana jika itu terjadi selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Tidak heran kalau kemudian laut menjadi tempat menumpuknya sampah-sampah yang digunakan oleh masyarakat.
Supaya bisa mengurangi sampah, kita bisa membawa bekal sendiri dari rumah menggunakan tempat makan yang bisa dicuci dan digunakan lagi. Hal ini tentunya bisa membantu mengurangi penggunaan sampah yang ada di sekitar kita.
Satu lagi, kalau pergi ke tempat wisata ... nikmatilah tempatnya, dan bawalah pulang sampahmu.

Terima kasih ...
Semoga kita semua bisa sama-sama menjaga lingkungan kita dari sampah.

Salam Lestari...!

Wednesday, January 23, 2019

Laut Membawa Pergi Cintaku

Dok. Pribadi
Pada senja aku serahkan setiap doa dan harapanku. Menikmati kerinduan sembari memandang lembayung senja. Berharap dia akan kembali, setelah ribuan hari tak pernah lagi kulihat senyumnya.

Di sini, aku mengenang cerita kita yang tak tahu akan berakhir seperti apa. Kau pergi bersama laut, tanpa pesan ...
Aku masih di sini, berharap kamu akan kembali mewarnai setiap langkahku, langkah kita...

Kini ... aku sendiri. Berdiri dengan satu kaki tanpamu lagi. Dua pasang kaki penuh bahagia pernah berada di sini, mengukir kisah di atas pasir-pasir yang berkilauan ditempa sang mentari. Dua pasang mata penuh cinta pernah bersama di sini, menatap senja penuh harapan akan cinta dan kasih yang akan menyatu.

Hari itu ... saat kamu melempar senyum di antara sinar lampu dan rembulan. Berucap manis dan tak jarang menghadirkan tawa. Saat tawa indah di tepi pantai itu baru saja terukir, laut menyapunya dan aku tak pernah melihatmu lagi, tak pernah mendengar suaramu lagi.

Aku terbangun dari gelap, menatap semua keindahan yang tiba-tiba hancur. Bahkan aku tak mampu berdiri. Tubuhku lemas, kakiku terjepit reruntuhan bangunan saat aku ditemukan. Peristiwa yang merenggut puluhan nyawa dan merenggut kaki kananku. Juga merenggut laki-laki yang paling aku cintai. Entah di mana ... sampai kini tak kutemui peristirahatan terakhirnya. Masih adakah dia di sini? Kenapa tidak segera menemuiku? Aku rindu...
Aku rindu pada jemari yang selalu mengusap lembut pipi dan rambutku.
Tak bisakah kamu kembali untukku?
Kenapa engkau begitu setia pada laut hingga tak pernah lagi kembali?
Apa laut telah membuatmu jatuh cinta? Hingga lupa kalau kamu pernah mencintaiku?
Aku masih di sini ... menunggumu entah sampai kapan ... Aku akan tetap menunggu sampai kamu bilang "Aku datang untukmu." atau kamu bilang, "Berhentilah menunggu!"
Kembalilah...!
Aku butuh kepastian.

Aku masih di sini... ribuan hari kulalui, berdiri dengan satu kaki dan berharap kau akan datang menghampiri.
Tak peduli teriakan orang yang mengatakan aku gila. Menunggumu yang tak akan pernah lagi kembali. Mereka bilang kamu sudah mati, bagiku tidak. Kamu masih hidup dan akan tetap hidup, dalam hati ini.

"Rin ... ayo pulang!" Seseorang membuyarkan lamunanku.
"Sebentar."
"Mau sampai kapan di sini?"
"Sampai matahari benar-benar tenggelam." Aku menjawab tanpa menoleh sedikitpun.
Dia hanya menarik napas perlahan dan menghembuskannya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Rin, sudah setahun yang lalu dan Tirta tak pernah kembali. Tidak bisakah kamu menerima kenyataan kalau dia sudah meninggal?" Pria itu kembali mengajakku bicara.
Aku menatapnya sejenak dengan ekor mataku. Aku terdiam, menunggu matahari benar-benar tenggelam.
"Kamu tahu, Tirta selalu berpesan agar aku menjagamu ketika dia pergi jauh. Aku masih di sini, karena dia sahabatku dan aku akan menjaga amanah yang dia percayakan untukku."
Aku menghela napas dan memejamkan mataku sejenak. Tak memerdulikan kalimat yang terus keluar dari bibir Arya.
"Airin ... percayalah! Dia pasti akan bahagia melihatmu bisa hidup bahagia. Kembalilah jadi Airin yang dulu. Airin yang ceria, yang tak pernah mengeluh bahkan menangis. Tirta pasti akan sangat terluka jika melihatmu seperti ini."
Aku tak menjawab. Kali ini matahari sudah tenggelam sempurna. Aku membalikkan tubuhku, berjalan perlahan dengan tongkat kaki yang menopang tubuhku. Aku bisa mendengar langkah kaki Arya mengikutiku dari belakang.
Sejak kejadian tsunami setahun lalu, keluarga dan teman-temanku tak ada yang selamat kecuali Arya. Dan dia yang setiap hari menemani langkahku. Arya, sahabat dekat Tirta. Banyak hal yang sudah kita lalui bersama. Aku tidak bisa membuka hatiku untuk Arya.
Bagiku, Arya selalu mengingatkanku pada masa lalu, mengingatkanku pada Tirta. Aku ingin pergi jauh darinya. Supaya aku bisa lupakan semuanya.

Maafkan aku, Arya...!
Ada kisah yang lebih indah menunggu kita di luar sana. Kita hanya perlu memilih jalan masing-masing...




Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 23 Januari 2018


#fiksi
#cerpen

Apa Yang Bisa Dilakukan Keluarga Di Rumah Untuk Dunia Literasi?

gln.kemdikbud.go.id
Keluarga di rumah sangat berperan penting dalam meningkatkan minat baca. Banyak hal yang bisa dilakukan orang tua di rumah agar si anak menjadi gemar membaca dan mencintai buku, seperti:

  • Membacakan buku kepada anak sejak dini
  • Membuat jadwal membaca bersama
  • Melakukan permainan edukatif.
  • Menulis surat kepada teman atau keluarga
  • Menuliskan kejadian menarik yang dialami keluarga
  • Membuat perpustakaan keluarga dengan berbagai koleksi bacaan.
  • Menceritakan sejarah atau memori keluarga
  • Tamasya baca keluarga ke perpustakaan, taman bacaan atau pameran buku
  • Memberikan buku sebagai hadiah
  • Dan lain-lain.
Beberapa hal di atas bisa dilakukan dalam lingkungan rumah. Anak-anak yang terbiasa dikenalkan dengan buku sejak dini akan lebih banyak mencintai buku. Orang tua juga memberikan contoh untuk meluangkan waktu membaca buku bersama. Mengajak anak-anaknya bermain dan bercerita. Juga memilih tempat-tempat liburan edukatif agar libuan si anak lebih berisi dengan ilmu yang bermanfaat. Anak-anak juga akan lebih paham dan merasa lebih baik ketika didampingi kedua orang tuanya dalam mengembangkan potensi dan rasa percaya diri.
Ada saatnya orang tua juga meninggalkan gawainya sejenak untuk mengajari anak-anak bersosialisasi dalam lingkungan keluarga. Juga menemani anak ketika belajar sembari diajak bercerita. Sebab, semua kebiasaan baik itu dimulai dari rumah dan keluarga. Memberikan perhatian dan pendidikan yang baik juga tugas kedua orang tua.


Semoga banyak orang tua yang menyadari bahwa membaca buku adalah bagian terpenting dari kemajuan pendidikan anak-anaknya. Sebab, kebiasaan membaca membuat anak-anak selalu ingin tahu hal baru dan wawasannya akan semakin kaya.


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas