|
Pixabay.com |
"Rin ... kamu tengokin Pangeran Textra di Pulau Pengasingan!" perintah Mbak Daya.
"Nggak mau!" Aku mengangkat kedua pundakku sambil memonyongkan bibir sepanjang-panjangnya.
"Loh!? Kamu harus tahu bagaimana kondisinya di sana."
"Males, Mbak. Di sana nggak ada apa-apa. Nggak ada rumah, nggak ada manusia. Biar aja Pangeran Textra jadi Tarzan di sana."
"Muza masih mencari keberadaan Pangeran Radh. Kalau ada dia, dia pasti semangat menemui Pangeran Textra."
"Hmmm ..." Aku asyik saja mengunyah ciplukan yang dihidangkan di tengah santapan makan siang istana negeri somplak.
"Kamu beneran nggak mau?" tanya Mbak Daya sekali lagi.
"Nggak mau."
"Oke. Kalau gitu, kuda putihmu Mbak pakai untuk menemui Pangeran Textra."
"Eh!? Enak aja! Nggak boleh! Aku aja yang ke sana." Aku beringsut pergi ke kandang kuda sebelum mbak Daya mengambil kuda putih kesayanganku.
"Rin, kamu nggak pernah ganti baju? Dari tahun lalu, pakai gaun putih itu terus," celetuk dayang Vera yang tiba-tiba muncul. Ia datang untuk memberi makan kuda pink milik Pangeran Textra. Di kandang kuda istana, kudanya full color. Punya mbak Daya, kudanya warna ungu. Punya Muza, kudanya warna kuning. Tapi sedang tidak ada di kandangnya karena Muza asyik mencari keberadaan Pangeran Radh. Sedangkan kuda yang berwarna cokelat, semua milik para prajurit. Ada 2.500 kuda cokelat yang ada di istana ini. Mereka kuda yang terlatih untuk berperang bersama para prajurit.
"
Emangnya mau perang sama siapa?" batinku dalam hati. Bukannya negeri ini adem ayem aman tentram sak lawase. Eh!?
"Enak aja! Ganti lah. Aku punya 1.500 gaun putih yang modelnya sama. Sehari ganti 5 kali." Aku merengut membalas celetukan dayang Vera.
"Ooh ... sama semua ya?"
"Iya."
"Emange nggak bosen?" tanya dayang Vera lagi.
"Nggak. Kamu sendiri, nggak bosen pakai baju itu-itu terus?" Aku balik bertanya sambil memandangi pakaian dayang milik Vera.
"Ini 'kan seragam dayang."
"Oh ... ya sudahlah. Nggak perlu bahas baju. Ntar gak kelar-kelar. Aku mau ke Pulau Pengasingan." Aku menaiki kuda setelah memastikan semua perlengkapan kuda terpasang dengan baik.
"Mau ketemu Pangeran Textra ya?" tanya dayang Vera.
"Iya. Kenapa? Mau nitip sesuatu?" Aku memandang dayang Vera yang berdiri di sisi kuda putih milikku, sementara aku sudah nangkring di atas punggung kuda.
Vera menganggukkan kepalanya. "Tunggu sebentar ya!" pintanya kemudian berlari memasuki lorong istana.
Tak berapa lama, dayang Vera kembali dengan membawa bungkusan kain yang lumayan besar.
"Apa ini?" tanyaku keheranan.
"Berikan saja pada Pangeran!"
"Gede amat! Isinya apa?" tanyaku heran. Dayang Vera langsung mengikatkan bungkusan itu pada besi yang berada di bagian belakang tempat dudukku.
"Eh!? Jangan diikat di situ. Taruh depan sini aja!" pintaku. " Bisa oleng kudaku, berat sebelah."
"Oke." dayang Vera melemparkan bungkusan itu ke tanganku.
"Ya ampun! Berat banget! Isinya apa ini?" tanyaku penasaran.
"Kasih aja ke Pangeran Textra."
"Seberat ini dan kamu nggak mau ngasih tahu aku? Mending aku tinggal aja deh." Aku bersiap melemparkan kembali bungkusan itu ke lantai.
"Jangan! Itu isinya pakaian dan makanan untuk Pangeran Textra."
"Sebanyak ini?"
Dayang Vera mengangguk.
"Awas, ya! Kalo ketahuan Mbak Daya, kamu ngirim pakaian dan makanan sebanyak ini untuk Pangeran Textra. Kamu bakalan
Kreeek." Aku meletakkan telapak tanganku tepat di leher untuk menakuti dayang Vera.
"Jangan sampai Ratu Daya tahu. Saya mohon!" Dayang Vera merapatkan kedua telapaknya untuk memohon.
"Hmm." Aku langsung memacu kudaku menuju Pulau Pengasingan.
Sesampainya di sana, aku mengitari pulau sampai tujuh kali untuk mencari keberadaan Pangeran Textra. Belum juga aku temukan. Sampai hari beranjak sore, Pangeran Textra masih belum terlihat batang hidungnya.
"Duh, jangan-jangan Pangeran di makan binatang buas?" celetukku ngasal. Tapi, setauku tidak ada binatang buas di sini. Aku pernah diasingkan di sini beberapa waktu lalu karena merobohkan menara istana. Semuanya baik-baik saja.
Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Bisa saja Pangeran Textra kabur dari tempat ini. Atau dimakan buaya sungai yang kebetulah lewat? Ah, rasanya nggak mungkin kalau buaya makan buaya.
"Pangeran!!!" Akhirnya aku berteriak agar Pangeran Textra menyadari kedatanganku.
"Pangeran ... aku bawain makanan enak loh. Kalau nggak mau muncul, terpaksa deh makanannya aku bawa balik ke istana." Aku masih berputar-putar dengan kudaku sambil berteriak.
"Jangan!" Tiba-tiba aku mendengar suara Pangeran Textra. Aku memandang ke sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Hanya pepohonan yang rimbun dan beberapa pohon besar.
"Kok, nggak ada orangnya? Jangan-jangan pangeran udah jadi hantu?" Aku mengusap tengkuk yang mulai merinding.
"Siluman takut sama hantu? Hahahaha ...." Akhirnya aku dapati Pangeran Textra yang sedang tertawa terbahak-bahak di atas pohon kelapa.
"Pangeran!? Ngapain di situ?" teriakku.
"Ambil kelapa muda. Kamu mau?"
"Boleh."
Pangeran Textra langsung melempari aku dengan buah kelapa muda. Aku sampai kebingungan menghindarinya. Satu buah kelapa tepat menancap di ujung pedangku. Kemudian, Pangeran Textra turun dengan cepat.
"Kamu bawa makanan apa?" tanya Pangeran Textra saat sudah dekat denganku.
"Nih!" Aku melemparkan bungkusan yang diberikan dayang Vera.
"Berat banget!" celetuk Pangeran Textra yang sampai terhuyung-huyung menerima bungkusan kain itu.
"Berarti banyak makanannya."
"Kok, tumben banget kamu ke sini bawakan makanan sebanyak ini?"
"Itu titipan dayang Vera. Aku mah ogah bawain makanan buat Pangeran. Bukannya Pangeran udah survive banget di tempat ini?"
"Tega amat sih? Katanya, kamu cinta sama aku?"
"Itu dulu. Sekarang ... aku mau coba jatuh cinta sama Pangeran Radh. Mudahan Muza cepat nemuin Pangeran Radh." Aku turun dari kuda.
"Apa? Jatuh cinta kok coba-coba?"
"Yah, siapa tahu aja Pangeran Radh membalas cintaku juga."
"Bukannya aku juga sudah membalas cintamu?"
"Kapan?"
"Kapan ya?" Pangeran Textra nyengir sembari menggaruk kepalanya yang memang sudah gatal-gatal karena tidak mandi.
"Lagian, aku mah ogah kalau harus bersaing sama kuda, sama tikus, sama kucing buat ngerebutin cinta seorang Pangeran Textra. Jelas aja Pangeran milihnya aku kalau saingannya binatang semua." Aku membuka satu buah kelapa yang sudah menancap di ujung pedangku. Meminum airnya dan merasakan kesegaran di kerongkonganku. Sementara Pangeran Textra juga sibuk membuka bungkusan dari dayang Vera.
"Wah ... ini makanan kesukaan aku!" Pangeran Textra langsung melahap 3 bungkus nasi padang kesukaannya.
Aku mengerutkan keningku, heran melihat Pangeran yang makan dengan lahapnya.
"Laper banget ya?"
Pangeran menganggukkan kepalanya dengan mulut penuh makanan.
"Ya udah. Pemberian dayang Vera sepertinya cukup untuk sebulan ke depan. Aku pamit pulang." Aku beranjak dari tempat dudukku. Melihat matahari yang mulai tenggelam di bawah air laut. Warnanya indah, berkilauan seperti emas.
"Kok, pergi?" tanya Pangeran.
"Tugasku hanya memastikan kondisi Pangeran baik-baik saja."
"Aku nggak baik-baik saja."
"Maksudnya."
"Aku kesepian. Temani aku dulu!" pinta Pangeran Textra dengan mulut yang masih mengunyah makanan.
"Pangeran ... bukankah pangeran dikirim ke sini memang untuk sendirian? Supaya tidak membuat gaduh negeri."
"Kamu yang punya akses ke tempat ini. Tidakkah kamu kasihan melihat aku yang sekarang kurus kering seperti ini?" Pangeran Textra bangkit dan berdiri di hadapanku.
Aku memandangi tubuh Pangeran dari ujung kaki sampai ujung rambut. Aku mengernyitkan dahiku. Kurus keringkah tubuhnya? Aku tidak yakin. Sepertinya berat badannya justru naik. Badannya terlihat lebih gempal daripada masih mengurus kerajaan. Aku menahan tawa melihat tingkah Pangeran Textra. Sepertinya ... dia bukan tubuhnya yang kurus. Tapi, hatinya yang kurus karena tak terurus. Biasa ditemani dengan banyak dayang dan wanita-wanita cantik. Sekarang harus sendirian di Pulau Pengasingan tanpa bisa keluar. Hihihi...
"Oke. Aku temani sampai matahari benar-benar tenggelam." Aku tersenyum.
"Nah, gitu dong!" Pangeran Textra tiba-tiba merangkulku.
"Udah berapa hari nggak mandi?" Aku nyengir karena mencium bau badannya yang sangat menyengat. Entah bau apa yang melekat di tubuhnya. Bikin aku mual dan mau muntah.
"Loh? Kenapa mual-mual gitu? Aku belum ngapa-ngapain kamu, kok sudah hamil?" goda Pangeran Textra.
"Nggak usah bercanda! Nggak lucu! Mandiiiiiiiii.....!!!! Bau banget....!!! Uweeek....!"
"Aku setiap hari mandi. Tapi nggak ada baju ganti. Untungnya dayang Vera si dayangku tercinta pengertian banget bawain aku pakaian." Pangeran Textra menatap genit sembari menggigit bibirnya.
"Ya sudah. Aku mandi dulu. Jangan ngintip ya!" Pangeran Textra menarik beberapa lembar kain dan berlari menuju sungai.
Sementara aku duduk kembali di salah satu kayu mati sambil memandangi pantai. Kebetulan sekali pulau ini berada di tengah-tengah laut. Pangeran Textra tidak bisa berenang dan tidak memiliki akses untuk keluar masuk. Berbeda denganku yang bisa keluar masuk dengan kapal kerajaan. Pulau ini juga sebenarnya di jaga oleh prajurit di pintu masuk.
Matahari mulai tenggelam. Aku mengumpulkan ranting kayu dan menyalakan api dengan batu sembari menunggu Pangeran Textra kembali.
Sudah 3 kali aku mengganti ranting kayu yang terbakar, Pangeran Textra belum juga kembali. Matahari sudah berganti dengan rembulan yang sudah meninggi dan berada tepat di atas kepala. Aku merebahkan tubuhku di atas kain yang sudah aku gelar. Menunggu Pangeran datang sambil menghitung bintang yang bertebaran di langit. Iseng amat sih aku? Ngitungin bintang? Hadeeeh ....
Aku putuskan untuk mengambil satu bintang, menggenggamnya dengan tangan kananku dan aku mengeluarkan bola-bola cahaya yang beterbangan di atas kepalaku.
"Gimana? Udah nggak bau kan?" Tiba-tiba Pengeran Textra sudah duduk di sampingku.
Emang sih ... nggak bau sebusuk tadi, tapi bau amis malah tercium dari tubuhnya. "Bau amis!" celetukku.
"Oh ... iya. Aku dapet ikaaan!" Pangeran Textra mengangkat ranting pohon yang dipakai untuk menyusun ikan-ikan, diangkat tepat di atas wajahku.
"Apaan sih!?" Aku langsung bangkit. "Bau tau!"
"Bukannya kamu juga biasa makan ikan kayak gini? Ingat nggak waktu pertama kali kita ketemu? Kamu lagi makan ikan dari kolam kerajaan? Ikan-ikan kesayanganku itu."
"Iyaa..."
"Ya udah. Bakar gih! Aku laper!" perintah Pangeran Textra.
"Baru aja ngabisin 3 bungkus nasi padang. Udah laper lagi?"
Pangeran Textra hanya meringis.
"Pantesan gendut!!" umpatku.
"Cepet! Bakarin ikannya!" perintahnya lagi.
"Ogah, ah!"
"Kamu mau membantah titah Pangeran!? Hah!?"
"Apaan sih!?" Aku menyambar ikan yang ada di tangan Pangeran Textra. Berjalan mendekati perapian dan membakarnya.
"Hmm ... malam ini indah banget ya?" Pangeran Textra merebahkan diri di atas kain yang tadinya aku pakai untuk berbaring. Ia memandangi langit luas yang bertaburan dengan bintang-bintang. Bola-bola cahaya milikku melingkar mengelilingi kami.
"Ini bola cahayamu?" tanya Pangeran Textra.
Aku tak menghiraukan ucapannya, fokus pada ikan yang aku bakar. Untungnya Pangeran membawa ikan yang sudah dibersihkan. Tinggal bakar doang. Kalau masih disuruh bersihin ikan, kutaruh memang pedangku di lehernya.
"Kamu sengaja bikin suasana romantis untuk kita berdua ya? Supaya aku jatuh cinta sama kamu?" tanya Pangeran tanpa menoleh ke arahku, ia masih terus memandangi langit sambil sesekali melemparkan pandangannya pada bola-bola cahaya milikku.
"Nggak!" Aku bangkit dan menyambar satu bola cahaya milikku, memasukkannya ke dalam ikat pinggang dan seketika semuanya menghilang.
"Loh? Kenapa? Kan jadi gelap?" Pangeran Textra mengangkat tubuhnya sembari memandangiku.
"Ada api. Ada cahaya bulan. Gelap dari mananya?" celetukku sambil melemparkan ikan yang sudah matang.
"Tidak bisakah kamu memberikannya dengan baik? Seperti para dayang melayaniku?" Pangeran menangkap ikan itu agar tidak jatuh ke pasir.
"Aku bukan dayang!"
"Oh... iya... kamu mau jadi selirku ya? Atau permaisuriku?" goda Pangeran Textra.
Aku hanya diam.
"Hmm ... ternyata gelap kayak gini juga lebih romantis ya? Kamu suka yang gelap-gelap ya?" Pangeran Textra menghampiriku.
"Udah mateng semua. Aku pulang!" Aku bergegas melangkahkan kaki menuju kuda yang aku ikat tidak jauh dari tempat kami bercengkerama.
"Pangeran!!" teriakku saat aku tidak bisa melangkahkan kakiku. Ia menginjak salah satu sampur dan membuat langkahku tertahan.
"Kamu tau nggak, apa yang akan terjadi kalau hanya ada satu laki-laki dan perempuan di satu tempat yang sama dalam kegelapan seperti ini?" Pangeran menarik sampur dengan tangannya.
"Nggak tau." Aku menarik sampur yang ia pegang dengan kasar dan membuat Pangeran tersungkur karena tidak kuat menahannya.
"Aduh...!"
Aku menahan tawa melihat ia mengaduh. "Kapok!"
Dengan cepat aku menaiki kuda dan memacunya dengan cepat, menerobos kegelapan malam untuk kembali ke istana kerajaan Negeri Somplak.
Ditulis oleh Rin Muna
Hanya untuk hiburan
Samboja, 26 Januari 2019