Dok. Pribadi |
Di sini, aku mengenang cerita kita yang tak tahu akan berakhir seperti apa. Kau pergi bersama laut, tanpa pesan ...
Aku masih di sini, berharap kamu akan kembali mewarnai setiap langkahku, langkah kita...
Kini ... aku sendiri. Berdiri dengan satu kaki tanpamu lagi. Dua pasang kaki penuh bahagia pernah berada di sini, mengukir kisah di atas pasir-pasir yang berkilauan ditempa sang mentari. Dua pasang mata penuh cinta pernah bersama di sini, menatap senja penuh harapan akan cinta dan kasih yang akan menyatu.
Hari itu ... saat kamu melempar senyum di antara sinar lampu dan rembulan. Berucap manis dan tak jarang menghadirkan tawa. Saat tawa indah di tepi pantai itu baru saja terukir, laut menyapunya dan aku tak pernah melihatmu lagi, tak pernah mendengar suaramu lagi.
Aku terbangun dari gelap, menatap semua keindahan yang tiba-tiba hancur. Bahkan aku tak mampu berdiri. Tubuhku lemas, kakiku terjepit reruntuhan bangunan saat aku ditemukan. Peristiwa yang merenggut puluhan nyawa dan merenggut kaki kananku. Juga merenggut laki-laki yang paling aku cintai. Entah di mana ... sampai kini tak kutemui peristirahatan terakhirnya. Masih adakah dia di sini? Kenapa tidak segera menemuiku? Aku rindu...
Aku rindu pada jemari yang selalu mengusap lembut pipi dan rambutku.
Tak bisakah kamu kembali untukku?
Kenapa engkau begitu setia pada laut hingga tak pernah lagi kembali?
Apa laut telah membuatmu jatuh cinta? Hingga lupa kalau kamu pernah mencintaiku?
Aku masih di sini ... menunggumu entah sampai kapan ... Aku akan tetap menunggu sampai kamu bilang "Aku datang untukmu." atau kamu bilang, "Berhentilah menunggu!"
Kembalilah...!
Aku butuh kepastian.
Aku masih di sini... ribuan hari kulalui, berdiri dengan satu kaki dan berharap kau akan datang menghampiri.
Tak peduli teriakan orang yang mengatakan aku gila. Menunggumu yang tak akan pernah lagi kembali. Mereka bilang kamu sudah mati, bagiku tidak. Kamu masih hidup dan akan tetap hidup, dalam hati ini.
"Rin ... ayo pulang!" Seseorang membuyarkan lamunanku.
"Sebentar."
"Mau sampai kapan di sini?"
"Sampai matahari benar-benar tenggelam." Aku menjawab tanpa menoleh sedikitpun.
Dia hanya menarik napas perlahan dan menghembuskannya tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Rin, sudah setahun yang lalu dan Tirta tak pernah kembali. Tidak bisakah kamu menerima kenyataan kalau dia sudah meninggal?" Pria itu kembali mengajakku bicara.
Aku menatapnya sejenak dengan ekor mataku. Aku terdiam, menunggu matahari benar-benar tenggelam.
"Kamu tahu, Tirta selalu berpesan agar aku menjagamu ketika dia pergi jauh. Aku masih di sini, karena dia sahabatku dan aku akan menjaga amanah yang dia percayakan untukku."
Aku menghela napas dan memejamkan mataku sejenak. Tak memerdulikan kalimat yang terus keluar dari bibir Arya.
"Airin ... percayalah! Dia pasti akan bahagia melihatmu bisa hidup bahagia. Kembalilah jadi Airin yang dulu. Airin yang ceria, yang tak pernah mengeluh bahkan menangis. Tirta pasti akan sangat terluka jika melihatmu seperti ini."
Aku tak menjawab. Kali ini matahari sudah tenggelam sempurna. Aku membalikkan tubuhku, berjalan perlahan dengan tongkat kaki yang menopang tubuhku. Aku bisa mendengar langkah kaki Arya mengikutiku dari belakang.
Sejak kejadian tsunami setahun lalu, keluarga dan teman-temanku tak ada yang selamat kecuali Arya. Dan dia yang setiap hari menemani langkahku. Arya, sahabat dekat Tirta. Banyak hal yang sudah kita lalui bersama. Aku tidak bisa membuka hatiku untuk Arya.
Bagiku, Arya selalu mengingatkanku pada masa lalu, mengingatkanku pada Tirta. Aku ingin pergi jauh darinya. Supaya aku bisa lupakan semuanya.
Maafkan aku, Arya...!
Ada kisah yang lebih indah menunggu kita di luar sana. Kita hanya perlu memilih jalan masing-masing...
Ditulis oleh Rin Muna
Samboja, 23 Januari 2018
#fiksi
#cerpen