Labels
Akrostik
Artikel
Belajar Bahasa Inggris
Belajar Nulis
Berita
Biografi
Cerpen
Daily
Dongeng
Ekonomi & Bisnis
English Course
Esai
Fashion
Fizzo
Kegiatan
Kompetisi Menulis
Kuliner
Literature
Materi Nulis
My Experience
Novel MLB
Novel ILY Ustadz
Novelme
Opini
Pendidikan
Prestasi
Puisi
Ranting Ranti
Review Aplikasi
Review Drama
Review Novel
Rumah Literasi Kreatif
Sastra
Social and Humanity
Wisata
Wednesday, December 26, 2018
Nostalgia Masa SMA
pixabay.com |
Hari ini, aku bertemu dengan salah satu kawan
sekolahku di salah satu Kafe. Di mana secara kebetulan kami selalu sekelas
semenjak SMP hingga SMA. Saat ini ia bekerja di Jakarta. Aku tidak tahu
tepatnya apa, yang jelas dia lulusan Teknik Sipil dan masih ada hubungannya
dengan pembangunan gedung. Dan sekarang dia sedang cuti, hingga menyempatkan
waktu untuk menemuiku.
“Kamu nggak bosan sekelas mulu sama Puguh?”
celetuk salah seorang teman kala itu.
Aku tidak merasa bosan. Sebab aku dan Puguh
tidak terlalu dekat juga tidak terlalu jauh. Buatku, dia hanya sekedar pematik
semangat belajarku. Sebab puguh memiliki kecerdasan yang lebih dibanding dengan
murid lain. Dan dia selalu menjadi sainganku. Aku dan dia selalu berebut
peringkat satu. Jika aku peringkat satu, sudah pasti dia yang peringkat dua.
Begitu juga sebaliknya.
Aku tidak ingin bercerita tentang puguh. Sebab
tak ada yang menarik darinya. Lebih menarik diriku, walau terkesan memaksakan
diri. Aku ingin bercerita tentang bagaimana kesanku masuk SMA bersama Puguh.
Nah loh? Kok Puguh lagi sih? Ya, sebab dia teman sekelasku sejak kelas 1 SMP.
Jadi, mau tak mau aku memang harus menyeret dia ke dalam cerita masa SMA-ku.
“Rin, kamu ingat nggak waktu pertama kali
masuk SMA. Kamu terkenal karena bisa mendapat predikat sebagai siswa MOS
terbaik.” Puguh menundukkan kepala sambil terkikik geli.
“Apa!? Itu memalukan!” Aku menyeringai. Ia
senang sekali mengejekku dengan predikat siswa MOS terbaik.
“Tapi, beneran kan!?”
“Iya. Tapi itu memalukan. Semua orang
melihatku menangis di sepanjang koridor.”
“Itu artinya Kakak Osis berhasil mengerjaimu.
Dan kamu beruntung berdiri di depan podium dengan penghargaan kalung bawang.
Bersama Kakak Kelas yang kamu idolakan itu.” Lagi-lagi Puguh tertawa kecil di
sela pembicaraan kami.
Aku memonyongkan bibirku. Wajahku memerah
karena tersipu. Mengingat kakak kelas idolaku. Kakak kelas yang mendapat
penghargaan sebagai Kakak Osis terbaik, hasil polling dari seluruh siswa
peserta MOS.
Ya, aku mulai mengidolakannya sejak itu.
Terlebih lagi dia punya sederet prestasi yang membuat mataku selalu memunculkan
simbol love love setiap kali melihatnya. Ia tak hanya pintar secara akademik.
Namun ia juga punya sederet prestasi lainnya. Seperti saat ia menjadi Kapten
Paskibraka dan berhasil meraih juara 1 tingkat Provinsi. Itu sangat
membanggakan. Bukan hanya itu, dia juga aktif dalam seni musik Tingkilan yang
juga berhasil menyabet Juara 1 kompetisi Tingkilan antar sekolah se-Kalimantan
Timur.
Dia juga vokalis Band Metal yang lihai bermain
gitar juga Drum. Apa sih alat musik yang dia tidak bisa? Aku lihat dia bisa
memainkan semuanya dengan baik. Terlebih lagi ketika dia beraksi mengeluarkan
suara Scream-nya yang khas. Itu keren banget buatku! Sebagian wanita tidak suka
dengan Band Metal terlebih lagi saat vokalis mengeluarkan suara Scream-nya. Aku
justru sangat terpesona. Itu laki banget!
“Woi...! Malah ngelamun. Pulang yuk udah
malam!” Puguh membuyarkan lamunanku tentang kenangan masa SMA.
“Eh... Oh... Iya!” Aku meraih tas yang
kuletakkan di kursi sebelahku.
“Mau ku antar?” Puguh menatapku menggoda.
“Ke sini bawa motor sendiri-sendiri. Camana
mau ngantarkan? Hadeuuuh...!” Aku memutar bola mataku.
Puguh tertawa lepas. Kami kembali ke rumah
masing-masing.
Juna's Don Juan
pixabay.com |
Aku menyandarkan kepalaku pada bingkai jendela
yang basah. Menatap rintik hujan yang menyapu setiap jejak masa lalu. Aku suka
hujan. Sebab ia datang untuk menyapu jejak kesedihan. Namun, ia tak mampu
menghapus bayangan. Bayangan dua orang yang entah sedang apa di luar sana.
Sebelum turun hujan, aku melihat Juna
menjemput Mbak Daya. Aku tak banyak bertanya mereka akan ke mana. Mungkin
menghabiskan waktu duduk berdua di Kafe atau sekedar makan di pinggir jalan.
Aku rasa, kantong Juna yang masih anak sekolah tak cukup tebal untuk membawa
Mbak Daya ke tempat-tempat mewah. Atau justru Mbak Daya yang merelakan uangnya
melayang untuk mengisi perut Juna? Ah, entahlah. Aku tidak bisa terus
mener-nerka.
Aku dan Juna satu kelas. Namun, tak pernah
saling sapa. Sejak kepindahannya dari sekolah lama, ia telah banyak mencuri
perhatian banyak gadis. Ia tak malu merayu banyak gadis dan sering membuatnya
tersipu, bahkan betah berlama-lama menyandar di pundaknya. Tak perlu mendapat
gelar pacar untuk bisa bergelayut manja di tubuhnya. Aku sering melihat
beberapa cewek datang ke kelas saat jam istirahat hanya untuk mendekati Juna.
Entah apa yang ia buat hingga cewek-cewek di sekolah menggilai kehadirannya.
Juna tak sungkan menggoda Mbak Daya, guru
cantik di sekolah yang juga kakak kandungku. Tak banyak yang tahu jika Mbak
Daya adalah kakakku, termasuk Juna yang sering datang ke rumah dan mengajak
Mbak Daya pergi ke luar. Aku tahu, Mbak Daya tidak akan serius menanggapi Juna.
Itu sekarang, tidak tahu besok jika hatinya berubah karena rayuan Juna.
Aku tidak menyalahkan Juna sebagai cowok Don
Juan atau Casanova, sebab itu adalah pilihan hidupnya dan mungkin satu hal yang
membuatnya bahagia. Juga tidak menyalahkan Mbak Daya jika suatu hari ia
benar-benar jatuh cinta, sebab dia juga wanita biasa yang mudah tergoda. Sebab,
semua kapal pasti akan berlabuh. Jika tidak, pastilah ia karam di tengah
lautan.
Aku melipat buku yang sedari tadi aku pegang.
Memeluknya sambil menatap rintik hujan yang mulai enggan menyapa pijakan kaki.
Ada nama Juna di halaman pertama buku ini. Ya, ini memang buku Juna. Bagaimana
bisa aku mendapatkannya atau bagaimana buku ini bisa di tanganku? Sudah pasti
bukan sebuah hadiah darinya. Ia memberikannya begitu saja saat memintaku
membantunya mengerjakan tugas. Dan tidak pernah lagi menanyakan buku miliknya.
Dia terlalu sibuk dengan wanita-wanitanya.
“Eh! Hai...!” Aku mengangkat Ibon yang
tiba-tiba bergelayut manja di kakiku. Kucing persia kesayanganku, dengan pita
merah menghiasi lehernya. Aku ajak dia menikmati gerimis yang hampir hilang.
Aku tahu, Ibon tidak suka hujan. Ia lebih memilih bergelayut manja mencari
kehangatan. Aku meletakkannya di atas kasur.
Lamat-lamat aku dengar suara motor berhenti di
depan rumahku. Aku melirik jam dinding, jam setengah sebelas malam. Selama
inikah aku menghabiskan waktuku untuk melamun tentang Juna? Sejak mereka pergi
hingga pulang kembali, aku menghabiskan waktuku untuk memikirkan pria yang
sedang menebar cinta ke mana-mana.
“Dek, tolong bukain pintu! Mbak lupa nggak
bawa kunci.” Teriakan Mbak Daya terdengar jelas di telingaku.
Aku bergegas menuju pintu, membuka perlahan.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawabku.
“Ayo masuk Jun! Tolong bikinkan teh hangat
untuk Jun!” Mbak Daya menatapku, sedangkan Juna berdiri tepat di belakangnya.
“Apa ini ajakan untuk menginap?” goda Juna
sembari menatapku tanpa berkedip, bahkan ia lupa mengatupkan kedua bibirnya.
Aku bergegas ke dapur.
“Mbak Daya nggak pernah bilang kalau punya
adik yang cantik dan manis.” Aku mendengar suara Jun dari balik dapur.
“Untuk apa? Supaya kamu bisa menggodanya?”
Mbak Daya mendengus sebal.
Juna terkekeh. “Siapa tahu dia jodohku.”
“Semua perempuan kamu bilang begitu.”
Aku keluar dan meletakkan dua cangkir teh di
atas meja dengan bersimpuh di lantai.
“Hai, aku boleh—”
“Cepat minum dan cepat pulang!” sergah Mbak
Daya.
Aku bergegas masuk ke kamar. Aku dengar tawa
renyah dari mulut Juna. Ternyata, Juna tak mengenali penampilanku di rumah.
Kemungkinan dia memang tak begitu memperhatikanku. Sebab aku bukan cewek modis
seperti yang lain. Aku hanya menghabiskan waktuku bersama buku. Kacamata
menghiasi mataku yang minus setengah. Rambutku kuikat sekenanya saja.
“Kamu sungguh tidak mengenali dia?” Suara Mbak
Daya terdengar jelas dari kamar, sebab pintu kamar tidak kututup rapat.
Jun menggelengkan kepalanya.
“Karina, teman sekelasmu. Bahkan kamu sering
belajar kelompok dengannya kan?” ungkap Mbak Daya. Duh, kenapa Mbak Daya
mengungkapkan siapa aku di depan Juna? Sudah sedekat itukah mereka?
“Astaga! Pantes wajahnya familiar. Tapi aku
lupa. Beda banget sama di sekolah. Di sekolah cupu banget! Tiap hari pacaran
sama buku. Aku nggak berani ngajak ngobrol. Bahkan memperhatikan wajahnya aja
aku nggak pernah Mbak.” Jun terlihat membalikkan tubuhnya dari sofa, menatap
pintu kamarku. Kupastikan ia tak kan bisa melihatku di balik pintu.
“Sudah, jangan banyak bicara lagi! Cepat
habiskan tehmu dan cepat pulang!”
***
“Ternyata kamu di sini. Aku udah cari kamu ke
semua ruangan di sekolah ini. Akhirnya, aku bisa juga menemukan tempat persembunyianmu.”
Juna tiba-tiba duduk di sebelahku tanpa permisi. Bagaimana bisa Don Juan
seperti dia masuk ke perpustakaan sekolah?
“Kamu suka mojok ya?” Juna menatapku yang
memang sedang duduk di lantai di sudut ruang perpustakaan.
Aku bergeming, melanjutkan membaca buku
Ensiklopedia tentang perkembangbiakan makhluk hidup.
“Kamu suka baca kayak gini? Pengen
berkembangbiak juga ya? Aku siap kok.” Juna mendekatkan wajahnya.
Aku terkejut bukan kepalang. Jantungku
berdebar tak karuan sebab tingkahnya yang sangat menggelikan.
PLAK!
“Kehabisan wanita buat kamu goda? Hah!?” Aku
menyeringai, merasa puas bisa menampar seorang Don Juan sekolahan.
“Kamu jahat banget sih!?” Juna memegangi
pipinya, meringis menahan sakit.
“Lebih jahat kamu yang membiarkan hati banyak
wanita ketar-ketir karena ulahmu. Kamu pikir mereka boneka-bonekamu? Dan satu
lagi, jangan pernah dekati Kakakku lagi, atau—”
“Atau apa?!” Juna mendongakkan kepalanya
menatapku yang berdiri di depannya.
BUK!!
Buku Ensiklopedia super tebal mendarat tepat di
kepalanya.
“Sialan! Minta dicium memang kamu ya! Kakaknya
cantik, kalem, baik. Adiknya freak!” Juna bangkit dari duduknya dan berdiri
menatapku penuh kekesalan.
Aku balik menatapnya dengan sengit. “Apa kamu
bilang?”
“Freak!” sentak Juna mendekatkan wajahnya ke
wajahku.
Aku menginjak kakinya sekuat tenaga,
mengangkat lutut kananku tepat mengenai alat vitalnya.
“Aaaauuuu....!” teriakan Juna menggema ke
seluruh ruangan sembari memegangi alat vitalnya, terduduk menahan sakit.
Aku segera berlari sebelum ia membalas
perbuatanku.
“Awas ya! Kalau sampai aku mandul, kamu harus
tanggung jawab!” teriakan Juna masih bisa kudengar dari pintu keluar.
Aku bergegas menaiki tangga kecil di sisi
bangunan perpustakaan. Aku berdiri di atas balkon berukuran 3x3 meter. Tidak banyak
yang tahu tempat ini, tempat biasa aku menyendiri. Dan kini akan jadi tempatku
bersembunyi dari kejaran pria seperti Juna.
“Gila ya itu cewek cepet banget ngilangnya!”
Kulihat Juna berlari mengejarku. Celingukan ke sana kemari sementara ia tak
akan bisa melihatku. Siapa murid yang tahu di ujung bangunan sekolah yang hanya
berisi rak-rak buku, ada balkon yang asyik untuk melihat aktivitas anak-anak
sekolah.
Juna terus berjalan menuju ke ruang kelas. Aku
yakin, dia pasti mencariku ke kelas. Terlihat bertanya pada beberapa murid lain
yang menggelengkan kepalanya.
Aku kembali ke kelas setelah lima menit bel
berbunyi, kupastikan guru sudah masuk ke kelas terlebih dahulu sebelum Juna
menghujaniku dengan tingkahnya yang menggelikan.
Tiba-tiba Juna sudah duduk manis di kursi
sebelahku saat aku masuk. Tersenyum begitu manis. Senyum yang mengandung banyak
makna. Jelas ada maksud tertentu di balik senyuman itu. Senyuman yang sengaja
dibuat-buat untuk menyembunyikan niat jahatnya.
Selama jam pelajaran, semua baik-baik saja.
Aku belajar seperti biasa. Namun, saat jam pelajaran usai dan semua murid
meningalkan ruang kelas. Ada hal tak terduga yang terjadi. Juna tiba-tiba
menahanku untuk bangkit dari kursi. Bahkan menarik kursiku merapat di kursi
duduknya. Membentangkan satu kakinya di atas pahaku.
“Kamu apa-apaan sih!?” Aku menyingkirkan kaki
Juna dengan kasar. Membiarkannya mengaduh sebab kakinya terhantup meja.
“Aku suka cewek kasar sepertimu.” Juna
menatapku penuh nafsu.
“Semua cewek kamu suka Jun. Kambing cewek aja
kamu sukain!” celetukku, secepatnya bangkit untuk meninggalkan Juna.
Gerakan tangan Juna lebih cepat dari
gerakanku. Ia kembali menahanku.
“Aku teriak nih!”
“Nggak papa. Teriak aja! Biar semua sekolah
tahu kalau kamu sedang tergila-gila denganku.” Jun tersenyum.
“Apa!? Aku nggak pernah tergila-gila denganmu
dan tidak akan pernah!” Aku menyeringai tepat di depan hidungnya.
Juna justru mencondongkan tubuhnya dan beraksi
ingin menciumku, secepatnya aku menghindarinya.
PLAK!
Tamparan Kedua.
“Dasar Omes! Piktor!” Aku segera bergegas
pergi saat ia tertegun sambil memegangi pipinya yang masih panas. Tangannya tak
lagi bisa bergerak cepat menahan kepergianku.
Aku berlari secepatnya sebab ia berusaha
mengejarku hingga ke parkiran sekolah. Aku tahu, Juna pasti bisa mengejarku
dengan sepeda motornya bila aku naik angkot.
“Angkot... Please! Jangan lama datangnya!” batinku
sambil berlari keluar dari gerbang sekolah.
Tak lama angkot berhenti dan aku segera
menaikinya. Tepat saat motor Juna berjarak lima meter. Hal ini membuat Juna
terus mengikuti angkotku. Duh, kenapa jadi begini sih? Apa semua perempuan yang
tergila-gila dengannya itu dikejar-kejar dahulu seperti ini? Bagaimana para
cewek sekolah tidak tergila-gila jika melihat perjuangan Juna dalam mengejar
cewek seperti ini?
“Aku nggak akan berhenti mengejarmu sampai
kamu bilang cinta sama aku!” Juna masih duduk di atas motor. Menatapku yang
sedang membuka pintu rumah.
“Nggak akan pernah!” Aku segera masuk rumah.
Membanting pintu keras-keras. “Dasar cowok gila!” makiku.
“Kenapa pulang sekolah kok marah-marah? Ada
siapa di luar?” tanya Mbak Daya yang melihat wajahku terlipat tujuh.
“Cowok gila!” Aku bergegas masuk kamar.
Mbak Daya keluar menemui Juna. Mereka malah
asyik mengobrol di teras rumah. Sementara hatiku masih sangat dongkol dengan
tingkah Juna hari ini.
Hantu di Langit Kamarku
Hantu di Langit Kamarku
pixabay.com |
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Menatap
langit-langit kamar. Mataku masih sembab.
Sesekali bayangan semu bergelayut di
langit-langit kamarku.
Kadang ia tertawa, kadang ia menangis, kadang
ia merintih.
Senyum dan tawa itu, sungguh menyayat hati.
Terlebih lagi senyum itu bukan lagi milikku.
Sesekali ia menangis, memohon maaf atas
kesalahannya.
Aku menatapnya, sesekali bayangan itu hilang
lalu muncul kembali.
Dia pernah mengajakku bercanda. Kami tertawa,
menari bersama.
Dia pernah mengajakku bermimpi, membangun
istana indah di negeri sendiri.
Namun, tiba-tiba dia hanya menjadi bayangan
yang terus menghantuiku.
Bergelayut manja di pelupuk mata dan langit
kamarku.
Sungguh, aku ingin menghancurkannya.
Menghilangkan dia dari hari-hariku...
Dia terlalu semu untuk aku sentuh.
Andai waktu bisa kuputar kembali, aku memilih
untuk tidak pernah mengenalnya.
Dia itu seperti hantu yang datang tiba-tiba
mengetuk pintu hatiku, hanya untuk menyayat dinding-dinding hati ini. Kemudian
pergi begitu saja tanpa kata.
Bagiku, kini dia hanyalah hantu.
Yang selalu bergelayut di langit-langit
kamarku.
Tanpa tahu bagaimana mengusirnya.
Dia selalu mengganggu tidurku, selalu mengusik
hatiku.
Sebab aku masih cinta.
Dan kini ia mencintai dia...
Mantan, kamu adalah hantu paling menakutkan
dalam hidupku.
Masih lebih baik aku bercengkerama dengan
kuntilanak yang selalu tertawa.
Atau bersahabat dengan tuyul yang bisa
mencarikan aku banyak uang.
Kamu itu seperti genderuwo, lebih menyeramkan
dari itu...
Aku mohon, pergilah bayang-bayang masa
laluku...!
Terlalu perih...
Terlalu sakit untuk menatapmu.
Menatap cerita kita yang indah kemudian pecah
berkeping-keping.
Melukai hati yang hanya bisa merintih...
Tak mampu membuatmu kembali. Hanya bisa
menangis melihatmu bahagia bersama si dia.
Antara Surabaya-Balikpapan
Sumber Ilustrasi : Kumparan.com |
“Rin, tolong ya!” Pak Bayu memakai rompi
kerjanya. Menyempatkan diri untuk masuk ke ruanganku sejenak sebelum berangkat
tugas ke area pengeboran lepas pantai.
“Beres Pak!” Aku masih sibuk dengan laporanku,
namun aku sempatkan untuk bisa mendengar dengan baik setiap kalimat yang keluar
dari mulut Pak Bayu.
Tak lama kemudian, Pak Bayu bergegas menuju
Helipad. Aku bisa melihatnya dari jendela ruanganku di lantai lima. Aku adalah
Assistant Chief Clerk yang mengurusi Administrasi. Aku memang dekat dengan
beberapa rekan, sebab sifatku yang memang senang berceloteh dan bersosialisai.
Hari ini, Pak Bayu pasti menjalankan tugas
dengan gelisah. Sebab, menurut perkiraan dokter istrinya akan melahirkan. Dia
belum mendapat jatah cuti, terlebih lagi pekerjaan memang sedang
padat-padatnya.
Bu Ana, istri Pak bayu usianya dua tahun lebih
tua dari usiaku. Dan sedang menanti kelahiran anak pertama mereka. Aku cukup
dekat dengan Bu Ana. Sebab sebelum mereka menikah, Bu Ana sering berkunjung ke
Balikpapan. Namun semenjak berbadan dua, ia lebih memilih untuk menetap di
Surabaya, di kediaman orang tuanya.
Pak Bayu juga asli orang Surabaya. Di
Balikpapan hanya melaksanakan tugas kerja. Dan sudah pasti demi anak istri. Di
lokasi pengeboran lepas pantai, masih sangat susah sinyal. Hingga besar
kemungkinan Pak Bayu akan mendapat kabar terlambat, atau bahkan tidak
mendapatkan kabar sama sekali. Sejak keberangkatannya ke lokasi pagi hari, ia
sudah terlihat gelisah.
Aku menatap ke luar jendela. Menghela napas
perlahan. Menatap Awan yang bergelayut di atas lautan. Dari ruangan ini, aku
bisa leluasa memandang pantai Balikpapan. Ombak-ombak kecil terkadang senada
dengan bentuk awan di atasnya. Aku sedikit terenyuh dengan kisah Pak Bayu,
sebenarnya bukan hanya dia saja. Tapi, beberapa karyawan juga mengalami hal
ini. Bedanya, Pak Bayu adalah supervisor yang punya hak lebih dari karyawan
lainnya.
Hari mulai petang, belum ada tanda-tanda Bu
Ana menghubungiku. Aku mondar-mandir di teras kantor. Gelisah. Duh, aku saja
segelisah ini. Bagaimana dengan Pak Bayu yang menanti di lepas pantai sana?
Akhirnya, kuputuskan untuk menelepon Bu Ana
terlebih dahulu. Beberapa kali aku hubungi, tidak diangkat.
“Assalamu’alaikum...!” Suara asing dari
seberang sana menjawab telponku.
“Wa’alaikumussalam. Bu Ana ada? Saya teman
kantor Bapak. Mau menanyakan kabar Bu Ana, soalnya Bapak lagi ke area lepas
pantai—”
“Pantas saja sulit Ibu hubungi. Tolong
sampaikan pada Bayu, Ana mau melahirkan. Ini sedang di ruang persalinan di
Rumah Sakit.” Sudah jelas yang menelepon adalah orang tua Bu Ana.
“Oke Bu. Saya langsung ke area pengeboran
temui Bapak.” Aku menutup telepon tanpa basa-basi lagi. Sudah saking paniknya.
Aku berkali-kali berlari masuk ke ruangan untuk mengambil barang yang selalu
saja tertinggal.
Aku berlari menuju Helipad. Mencari Operator
Helikopter yang biasa membawa kami menuju ke area pengeboran lepas pantai.
Namun, aku tak mendapatinya sebab hari sudah petang dan aku tidak mengajukan
permintaan untuk berjaga-jaga hingga petang. Kemungkinan Shift berikutnya bisa terlambat
datang.
Aku kembali ke kantor. Meminta kunci salah
satu SpeedBoat pada Security. Aku tak punya banyak waktu jika harus menelpon
operator Heli dan menunggunya. Lebih baik aku bawa SpeedBoat seorang diri. Itu
lebih baik dan lebih cepat. Sebab aku wanita, dua orang karyawan pria bergegas
menyusulku dengan membawa satu SpeedBoat lainnya. Semua tahu kepanikanku.
Aku segera menjemput Pak Bayu. Membawanya ke
Bandara agar secepatnya terbang ke Surabaya. Tak peduli ia masih mengenakan
seragam kerja. Dia jauh lebih panik dariku, jauh lebih khawatir.
Tuesday, December 25, 2018
Friday, December 21, 2018
Contoh Laundry Design~ BinatuMini Laundry
Dokumen Pribadi |
Sembari menunggu beberapa anak yang datang untuk mengecat rak buku yang sudah dibuat beberapa hari lalu, aku membuat bunga yang merupakan pesanan dari salah satu tetanggaku.
Usai salat jumat, aku langsung bergegas menuju Km.31 untuk mengantarkan bunga pesanan dari salah seorang guru yang akan ia berikan pada seseorang yang spesial di hari ibu.
Sepulang mengantarkan bunga, aku sempatkan terlebih dahulu untuk mampir ke salah satu toko bangunan yang berada di daerah kuala. Aku membeli cat warna biru yang akan digunakan untuk mengecat taman baca.
Setelah pulang ke rumah, keponakanku sudah menjemput karena sebelumnya kami sudah janjian untuk masak bareng.
Hingga menjelang isya' aku baru pulang dari rumah keponakanku. Sangat melelahkan kegiatan hari ini.
Aku langsung membaringkan tubuhku di atas kasur.
Tepat pukul 08.00 seseorang tiba-tiba mengirimkan pesan Whatsapp kepadaku yang isinya minta tolong dibuatkan flyer dan spanduk untuk usaha yang sedang ia rintis.
Aku sudah bilang kalau tidak bisa aku kerjakan sekarang karena banyak yang harus kukerjakan. Namun, pada akhirnya aku melangkahkan kakiku menuju ruangan tempatku biasa mengerjakan hobiku.
Aku membuka laptop dan akhirnya mengklik aplikasi CorelDraw untuk membuat design gambar usaha Laundry milik salah satu tetanggaku.
Taraaa... akhirnya jadi juga design untuk spanduk. Kebetulan pemiliknya adalah Tumini dan dia bilang mau ada namanya di spanduknya. Akhirnya, di kepalaku tiba-tiba saja muncul sebuah kalimat "Binatu Mini" yang berasal dari kata "Bina Tumini". Dua kata ini memiliki 3 makna sekaligus.
Yang pertama, Binatu Mini : artinya adalah usaha binatu kecil-kecilan milik Mbak Tumini.
Kedua, Bina Tumini : artinya usaha ini adalah usahaa binaan mbak Tumini.
Ketiga, nama Tumini ada di dalamnya yang merupakan pemilik dari usaha laundry tersebut.
Keren juga ya?
Hmm,,, gimana menurutmu? Keren nggak si? Karena tiap orang punya penilaian yang berbeda-beda sesuai dengan standar kemampuan masing-masing. Bagiku, ini sudah cukup bagus. Walau aku yakin pasti masih ada yang bilang kalau my design is very bad. Buatku, tetaplah memuaskan dan membanggakan karena aku bisa bikin walau hanya sederhana.
Gambar di atas adalah hasil designku yang disupport dengan karya-karya ilustrasi dari pixabay.com.
Semoga hal ini dapat menambah semangatku untuk terus belajar berkarya dan karya-karyaku bisa diterima di masyarakat walau hanya hal-hal yang sangat sederhana.
~Rin Muna~
East Borneo, 21 November 2018
9 to 1 - 27 a.g.e
Dokumen Pribadi |
Jika angka tertinggi adalah 1, maka aku
sekarang ada di angka 9. Bagiku, angka 9 adalah proses menuju 1. Tuhan adalah
satu-satunya tempatku berlabuh kelak. Setiap manusia punya proses kehidupan.
Tidak bisa serta-merta mmenjadi hebat begitu saja. Ada proses yang harus
dilalui.
Hari ini, 9 November 2018. Tepat di tanggal
dan bulan yang sama aku hadir menatap dunia. Menjadi bocah polos yang bahkan
tidak tahu bagaimana aku harus menjalani hidup. Hidup serba kekurangan
menjadikan aku anak yang kuat. Tetap ceria walau seringkali diterpa kesedihan,
ketakutan dan rasa malu.
Ada rasa syukur yang tak henti aku panjatkan.
Dalam setiap doa, aku tak pernah meminta kebahagiaan untuk diriku sendiri. Ada
orang-orang yang aku perjuangkan. Ada orang-orang yang ingin aku bahagiakan. Walau
aku tahu, aku belum bisa berbuat banyak.
Ada dua orang tua yang usianya sudah senja.
Aku menemani dan merawat mereka sejak usia sekolah dasar. Mereka adalah nenek
dan kakekku. Aku tidak punya banyak uang untuk membahagiakan mereka atau
membalas apa yang sudah mereka berikan. Aku hanya berdoa setiap hari agar
mereka selalu diberikan kesehatan. Tidak diberikan rasa sakit yang amat
menyiksa. Aku ingin semua rasa sakit itu diberikan padaku saja. Jangan pada
tubuh renta yang bahkan setiap hari masih setia menyuguhkan secangkir teh atau
kopi untuk keluarga. Hingga hari ini, mereka masih sehat dan kuucap syukur
untuk apa yang telah aku lalui bersama mereka selama 27 tahun ini.
Ada Ibu yang begitu tegar menghadapi kerasnya kehidupan.
Wanita yang begitu kuat berjuang demi kebahagiaan anak-anaknya. Tak pernah aku
dengar keluhnya selama 27 tahun aku hidup bersamanya. Tak pernah aku dengar
rasa sakitnya selama 27 tahun aku ada di sisinya. Bagiku, Ibu adalah wanita
istimewa yang mengajariku apa arti sebuah perjuangan, pengorbanan, kasih sayang
dan keikhlasan. Seorang wanita yang
hidup tanpa seorang kakak atau adik. Hanya anak satu-satunya yang harus merawat
kedua orang tuanya yang kini sudah renta. Maka aku ambil alih tugas ibu sebagai
baktiku padanya. Walau aku tahu tak seberapa. Aku pilih merawat kakek dan nenek
bersamaku. Mencintainya selayaknya mereka mencintaiku sewaktu kecil. Apapun
yang mereka inginkan, aku selalu berusaha memenuhi. Mudah atau susah, aku tak
pernah mau mengeluh. Agar mereka tak perlu tahu kesulitan yang aku rasakkan.
Bagiku, bahagialah yang seharusnya aku tunjukkan.
Ada ayah yang begitu bijak mengajariku
menyikapi hidup. Yang tak henti memberi nasihat. Yang selalu berucap lembut
menegur salahku. Laki-laki yang pertama kali aku kenal dalam hidupku. Yang
terkadang menyebalkan tapi aku tetap cinta. Sulit mengungkapkan perasaanku
untuk sosok ayah yang begitu kuat, bijaksana, dan selalu menyayangi.
Ada dua orang adik yang aku perjuangkan pendidikannya.
Sampai mereka mandiri. Tak minta kiriman uang jajan. Bahkan kini mereka
memberi. Air mata ini tak henti menetes kala kuingat bagaimana memperjuangkan
mereka. Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya gadis belia waktu itu. Yang juga ingin
hidup normal seperti yang lain. Tapi aku juga punya tanggung jawab besar pada
dua adikku. Aku tidak ingin melihat kedua orang tuaku berjuang sendiri. Maka,
dengan tangan mungil aku rangkul mereka untuk bisa merasakan duduk di bangku
sekolah. Setidaknya, bisa sama dengan yang lain. Aku bersyukur dianugerahi dua
orang adik yang cerdas. Yang hati mereka pun begitu peduli pada keluarga.
Jarang sekali mereka meminta uang walau tak punya, mereka menunggu diberi. Dan
bersyukur punya dua orang adik yang baik. Yang bisa dengan bijak menyikapi baik
buruknya kehidupan. Si cowok dengan kedewasaannya memilih untuk tidak pernah
merokok, terlebih hal lainnya. Si cewek dengan kedewasaannya memilih untuk
menutup diri dari pergaulan bebas, dari godaan rayuan lelaki dengan menyibukkan
diri. Allah beri kami anugerah. Dan semua lelahku mulai surut walau aku tahu
saat ini ada perjuangan baru yang harus aku lakukan.
Ada wajah mungil putri kecil yang selalu
membuatku semangat menjalani kesulitan sesulit apa pun. Ada senyum kecil yang
selalu membuatku yakin bahwa aku berdiri di sini bukan untuk mencari
kebahagiaanku, tapi kebahagiaan dia yang harus aku cari. Sebab bahagiaku adalah
melihatnya bahagia.
Ada dua tangan yang selalu memelukku ke mana
pun aku pergi. Di tangannya ridho itu ada membimbingku. Dua tangan yang selalu
setia merengkuhku kala aku merasakan sakit. Dua tangan yang siap mendorong
semangatku kala aku ingin menyerah. Dua tangan yang siap melakukan apa pun demi
bisa melihatku bahagia. Bagaimana bisa aku tunjukkan rasa lelah pada
penyemangat jiwa? Sedangkan senyum itulah yang sungguh ia inginkan. Maka aku
akan selalu tersenyum untukmu walau sakit. Sebab tanganmu ada untuk menghapus
air mata. Terima kasih sudah setia menemani setiap langkah kaki yang lemah ini.
Terima kasih untuk semuanya. Untuk keluarga, saudara
dan teman-teman yang tak mampu kusebutkan satu per satu. Yang telah memberikan
aku banyak pelajaran hidup. Yang telah mengajarkan aku untuk bersikap dewasa.
Mengajarkan aku banyak hal yang tidak bisa aku temui di rumah atau sekolah.
Semua tempat bagiku istimewa. Semua orang bagiku istimewa. Tempatku belajar
banyak hal.
Terima kasih untuk waktu yang berharga.
Terima kasih untuk 27 tahun dunia menerima
semua salah dan dosaku.
Semoga kita semua selalu berada dalam ruang
kebaikan dan surga adalah tempat kita berkumpul kelak.
Sumber gambar: Dokumen Pribadi
~Rin Muna~
East Borneo, 09 November 2018
Datang dan Saksikan Persembahan Anak Negeri! [Melestarikan Budaya Jawa di Pulau Kalimantan]
Samboja. Minggu, 23 Desember 2018. Turonggo Lestari Budoyo yang merupakan sebuah paguyuban pimpinan Bapak Praptiyanto kembali menggelar pertunjukkan untuk menghibur masyarakat sekitar Desa Beringin Agung Samboja.
Paguyuban Seni Kuda Lumping ini berdiri pada tahun 2017 dan melakukan pertunjukkan pertama kali pada awal tahun 2018. 23 Desember 2018 merupakan penampilan yang keempat kalinya setelah melalui beberapa perjuangan yang tak sedikit.
Paguyuban ini berdiri atas kerjasama dan gotong royong warga Desa Beringin Agung. Semangat anak-anak muda Temanggung untuk melestarikan kebudayaannya membuat Paguyuban ini terus berkembang. Yang awalnya hanya menampilkan tari-tarian tradisional seperti Tari Sintren (Anak-anak, Remaja dan Dewasa), Tari Warok, Tari Kuda Lumping Temanggung, Tari Cendrawasih, Tari Pendet Bali dan Leak Bali. Kini mulai berkembang dengan menampilkan tarian lain yakni Tari Sontoloyo Wonosobo yang membuat Paguyuban Kuda Lumping ini semakin kaya akan tarian budayanya.
Diharapkan paguyuban ini dapat memberikan sumbangsih dalam pelestarian kebudayaan daerah dan menjadi salah satu objek pariwisata di daerah Samboja, Kalimantan Timut.
Paguyuban Seni Kuda Lumping ini telah berhasil mengkolaborasikan beberapa tarian di dalamnya.
Diharapkan kedepannya dapat terus berkolaborasi dengan tari-tarian lain baik yang berasal dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dll sebagai wujud terciptanya ragam budaya di Indonesia dan keramahan budaya yang mampu bersinergi dalam melestarika budaya Indonesia.
Saksikan penampilan spektakuler dari Turonggo Lestari Budoyo yang hanya disiarkan secara langsung di Desa Beringin Agung, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Samboja, 21 Desember 2018