Showing posts with label Perfect Hero. Show all posts
Showing posts with label Perfect Hero. Show all posts

Thursday, January 23, 2025

Bab 28 - Tabrakan

 


Tok ... tok ... tok ...!

 

Yuna mengetuk pintu rumah Jheni. Ia langsung pergi ke rumah sahabatnya itu setelah pulang kerja. Beberapa menit berlalu, tak ada respon sama sekali.

 

“Jhen, Jheni ...!” panggil Yuna sambil mengetuk pintu.

 

“Masa jam segini belum pulang kerja sih?” gumam Yuna sambil melihat jam yang ada di ponselnya.

 

Yuna membuka kunci layar ponsel dan langsung menelepon Jheni.

 

“Jhen, kamu di mana? Aku di depan rumah kamu nih,” tutur Yuna begitu panggilan teleponnya tersambung.

 

“Aku di kantor polisi, Yun.”

 

“Hah!? Ngapain?”

 

“Tabrakan,” jawab Jheni.

 

“What!? Kamu nggak papa, kan?” Yuna berbalik dan bergegas keluar.

 

“Nggak papa, sih. Tapi ...”

 

“Aku ke sana sekarang,” tutur Yuna sambil menghentikan taksi yang kebetulan melintas.

 

“Ke mana, Mbak?”

 

“Kantor Polisi ya, Pak!” pinta Yuna.

 

Supir taksi tersebut menganggukkan kepala dan langsung melajukan taksinya menuju kantor polisi.

 

Sesampainya di depan kantor polisi, Yuna langsung membayar taksi dan berlari keluar menuju halaman kantor kepolisian.

 

Yuna mengedarkan pandangannya, mencari sosok Jheni di kursi ruang tunggu.

 

“Yuna!?” Jheni menyambut kedatangan Yuna dengan mata berbinar.

 

Yuna tersenyum menatap Jheni. Pandangannya beralih pada pria yang duduk di sebelah Jheni. “Chandra!?”

 

“Yuna? Kamu kok di sini?”

 

“Jheni ini sahabat aku. Kalian kenapa?”

 

“Dia nabrak mobil aku, Yun!” seru Jheni sambil menunjuk wajah Chandra.

 

“Enak aja main tuduh sembarangan. Kamu yang ngerem mendadak!” sahut Chandra.

 

“Heh!? Aku udah pasang lampu sein sebelum berhenti. Kamu aja yang ngelengos nggak lihat jalan!”

 

Yuna dan salah satu petugas polisi menatap Jheni dan Chandra yang sedang berdebat.

 

“Sudah! Sudah! Jangan berantem lagi!” Petugas polisi menyela perdebatan mereka.

 

“Pak, saya ini nggak salah. Dia yang nabrak saya. Bisa aja kan dia lagi main handphone atau lihat ke arah yang lain, makanya dia nggak tahu kalau saya mau menepi!” tutur Jheni.

 

“Dia bohong, Pak! Nggak ada pasang lampu sein, langsung berhenti mendadak,” sahut Chandra.

 

“Di lokasi kejadian, ada CCTV nggak?” tanya Yuna.

 

“NGGAK!” sentak Jheni dan Chandra bersamaan.

 

Yuna mengangkat kedua alisnya.

 

“Mmh ... gini aja, deh. Kalian kan sahabat aku, gimana kalau kita selesaikan secara kekeluargaan aja?”

 

“Nggak mau, Yun. Itu mobil kantor. Dia nggak mau ganti rugi,” sahut Jheni.

 

“Chandra!?” Yuna tersenyum manis ke arah Chandra.

 

“Iya, iya. Aku ganti,” jawab Chandra.

 

Yuna tersenyum. “Nah, gitu dong!”

 

“Coba dari tadi, kek! Nggak perlu kan kita berdebat sampe ke kantor polisi kayak gini!” sahut Jheni kesal.

 

Chandra tak menyahut ucapan Jheni.

 

“Mmh ... Pak, apa kami sudah boleh pulang?”

 

“Boleh. Tanda tangan ini dulu!”  pinta petugas polisi tersebut.

 

Yuna langsung mengambil pena dan menandatangani berkas yang ada di atas meja tanpa membaca isinya.

 

“Ayo, pulang!” ajak Yuna sambil merangkul lengan Jheni.

 

Jheni, Chandra dan Yuna keluar dari kantor polisi bersama-sama.

 

“Kamu ke sini naik apa?” tanya Chandra sambil menatap Yuna.

 

“Naik taksi.”

 

“Ikut mobilku aja. Aku antar kalian pulang!”

 

Jheni membuang wajahnya. Ia sama sekali tidak ingin melihat wajah Chandra yang menyebalkan.

 

Chandra tersenyum kecil. “Aku minta maaf! Aku bakal suruh orang bengkel ambil mobilmu buat diperbaiki.”

 

“Jhen, udahlah. Lupain kejadian hari ini! Kamu itu sahabat aku, Chandra juga sahabatnya Yeriko. Kalian sama-sama sahabat kami. Jangan berantem lagi ya!”

 

Jheni memonyongkan bibirnya.

 

“Chandra udah minta maaf ke kamu. Jangan kayak gitu dong mukanya! Jelek tau!” tutur Yuna sambil mencubit kedua pipi Jheni.

 

Jheni melirik ke arah Chandra. “Ini cowok ganteng juga. Kenapa ngeselin, sih!?” celetuknya dalam hati.

 

“Oke. Aku maafin! Untung aja kamu ganteng. Kalo nggak, aku nggak bakal maafin kamu seumur hidup!” dengus Jheni ke arah Chandra.

 

Chandra tersenyum. Ia mengajak Yuna dan Jheni masuk ke dalam mobilnya.

 

“Yuna, kamu sudah makan?” tanya Chandra saat mereka sudah di perjalanan.

 

“Belum. Pulang kerja langsung ke rumah Jheni. Rencananya mau ngajak makan hot pot. Eh, dianya malah di kantor polisi.”

 

“Kita makan dulu yuk!” ajak Chandra. “Di deket sini, ada restoran seafood yang enak.”

 

“Boleh.” Yuna menganggukkan kepala.

 

Jheni mengerutkan keningnya. “Kenapa kamu baik banget kalau sama Yuna? Beda banget sama tadi waktu di kantor polisi,” tanya Jheni.

 

Chandra tersenyum kecil. “Yuna itu Kakak Ipar kami. Jelas kami baik sama dia. Lah, kamu? Siapa?”

 

Jheni mengerutkan hidungnya. Menatap kesal ke arah Chandra.

 

“Jhen, udah deh! Chandra itu baik, kamu juga baik. Kalian cuma salah paham aja.” Yuna menatap tajam ke arah Jheni.

 

Jheni melipat kedua tangan dan wajahnya, kemudian menyandarkan punggungnya ke kursi.

 

Beberapa menit kemudian, Chandra memarkirkan mobilnya di depan salah satu restoran seafood ternama.

 

“Astaga! Ini restoran mahal, Yun,” bisik Jheni di telinga Yuna.

 

Yuna tersenyum. Ia mengajak Jheni keluar dari mobil dan mengikuti langkah Chandra.

 

“Kalian mau makan apa?” tanya Chandra saat mereka sudah duduk di salah satu meja makan.

 

“Aku mau udang goreng aja.”

 

“Kamu?” tanya Chandra sambil menatap Jheni.

 

“Eh!? Samain sama Yuna aja.”

 

“Minumnya jus mangga?” tanya Chandra sambil menatap Yuna.

 

Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.

 

“Kamu mau minum apa?” tanya Chandra menatap Jheni.

 

“Samain aja sama Yuna,” jawab Jheni.

 

Chandra tersenyum. Ia memanggil pelayan dan memesan beberapa makanan.

 

“Yeriko masih di Jakarta?” tanya Chandra sambil menatap Yuna.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Berapa lama di sana?”

 

“Bilangnya sih sehari aja.”

 

“Nginap di sana?”

 

Yuna menggelengkan kepala. “Katanya, mau langsung pulang kalau udah kelar meeting.”

 

Chandra manggut-manggut. “Kalian berdua, udah lama temenan?”

 

“Dari kecil,” jawab Jheni.

 

“Oh.” Chandra menatap pelayan yang sedang menyusun makanan di atas meja makan mereka.

 

“Ayo, makan!” ajak Chandra.

 

Jheni dan Yuna mengangguk. Mereka menikmati makan malam bersama sambil bercerita.

 

Jheni terus menatap wajah Chandra. “Lagi makan aja kelihatan elegan banget nih cowok,” tuturnya dalam hati.

 

“Kamu sama suaminya Yuna, udah lama temenan?”

 

Chandra mengangguk. “Dari kecil juga.”

 

“Oh ... ganteng mana? Kamu atau dia?” tanya Jheni penasaran.

 

Chandra menatap Yuna yang duduk di samping Jheni. “Tanya aja ke dia!”

 

“Ganteng suamiku lah!” sahut Yuna.

 

Chandra tertawa kecil menatap Yuna.

 

Jheni langsung menatap Yuna sambil menopang pelipis dengan tangannya. “Serius!?”

 

Yuna menganggukkan kepala. “Kalo ganteng dia. Aku nikahnya sama dia!”

 

Jheni tergelak mendengar ucapan Chandra. Sementara Chandra hanya tersenyum kecil mendengar candaan Yuna dan Jheni.

 

“Yun, aku kan nggak pernah lihat suami kamu. Aku jadi penasaran dia gantengnya kayak gimana. Chandra aja udah ganteng tingkat dewa gini. Gimana sama suami kamu ya?” tanya Jheni.

 

“Sepuluh kali lipat lebih ganteng dari Chandra,” sahut Yuna bangga.

 

Jheni tertawa kecil. “Serius?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Eh, kamu sudah punya pacar?” tanya Jheni tanpa banyak basa-basi.

 

“Eh!?” Chandra langsung menatap Jheni. “Kenapa?”

 

“Nggak papa. Tanya aja. Cowok ganteng kayak kamu kan nggak mungkin nggak punya pacar. Pacarnya pasti cantik,” tutur Jheni.

 

Chandra tersenyum kecil. Ia langsung merogoh saku jas saat ponselnya tiba-tiba berbunyi.

 

“Halo ...! Iya. Aku di restoran seafood, tempat biasa. Mau ke sini? Oke.” Chandra langsung menutup teleponnya.

 

“Siapa?” tanya Yuna penasaran.

 

“Tunanganku,” jawab Chandra santai. Ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jas.

 

Jheni menghela napas. “Yah, nggak punya kesempatan buat deketin cowok ganteng, dong?” batinnya dalam hati. “Ternyata ... udah punya tunangan.”

 

Jheni tersenyum kecut menatap Chandra yang duduk di hadapannya. Awalnya, ia terpesona dengan ketampanan dan sosok Chandra yang berwibawa. Tapi, setelah mendengar Chandra sudah memiliki tunangan, nyalinya langsung menciut.

 

(( Bersambung ... ))

Baca terus kisah seru mereka ya! Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang udah kirimin hadiah juga.

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

Bab 27 - Air Mata Mantan

 


“Tunggu!” seru Bellina.

 

Yuna langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Bellina.

 

“Kenapa lagi?” tanya Yuna.

 

“Mmh ... kamu nggak mau ngucapin selamat buat Lian?”

 

Yuna mengerutkan dahinya.

 

“Dia bakal jadi ayah dari keponakan kamu. Apa kamu bener-bener nggak punya rasa peduli?”

 

Yuna tersenyum menatap Lian dan Bellina. “Oh ... selamat ya, buat kalian yang sebentar lagi bakal jadi orang tua!” ucapnya dengan nada terpaksa.

 

“Makasih ...!” sahut Bellina sambil tersenyum manis. “Oh ya, kamu bisa nggak tinggal di rumahku beberapa hari buat bantuin aku nyiapin pernikahan?”

 

“Apa!? Aku nggak salah dengar? Suami kamu ini kan orang kaya, pake WO kenapa? Nggak perlu repot-repot minta bantuan aku kan?”

 

“Yun, kamu itu kan adik sepupu aku. Aku cuma bisa mengandalkan kamu buat ngurus WO pernikahan kami.” Bellina mendekat ke tubuh Yuna. “Ayolah! Please!” pintanya sambil meraih lengan Yuna.

 

Yuna menepis tangan Bellina dari lengannya.

 

Bellina memanfaatkan kesempatan ini, ia langsung menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai. “Aw ...!” teriaknya.

 

Yuna melebarkan kelopak matanya. Ia menoleh ke arah Lian, kemudian menatap Bellina yang tersungkur di hadapannya. “Kamu ...!?”

 

Lian langsung mendekati Bellina dan memeluk pundak gadis itu. “Yun, kalau kamu emang nggak mau bantuin, nggak harus kayak gini kan!?” sentak Lian.

 

“Apa!? Jelas-jelas dia yang pura-pura jatuh sendiri!” sahut Yuna.

 

Bellina pura-pura menangis di depan Lian. “Aku nggak tahu kenapa dia jahat banget sama aku. Dia sengaja dorong aku biar aku keguguran. Dia nggak senang karena aku hamil anak kamu,” ucap Bellina sambil tersedu.

 

Yuna semakin kesal dengan sikap Bellina.

 

Tangis Bellina semakin menjadi. Lian memeluk Bellina sambil menenangkan gadis itu.

 

Yuna mencebik ke arah Bellina dan berbalik meninggalkan mereka.

 

Lian langsung mengejar Yuna. Ia meraih tangan Yuna dan menarik paksa. “Minta maaf sama Bellina!” pintanya sambil menatap tajam ke arah Yuna.

 

“Ogah!” sahut Yuna.

 

Lian makin mencengkeram erat tangan Yuna. “Kamu sadar nggak? Apa yang kamu lakuin barusan, hampir membunuh anak aku!”

 

“Aku tuh nggak ngapa-ngapain!” sahut Ayuna. “Dia yang pura-pura jatuh sendiri. Toh, dia baik-baik aja kan?”

 

“Kamu!? Bener-bener mau bikin aku marah ya?”

 

“Marah aja! Aku nggak takut!”

 

“Yuna!” sentak Lian. “Kenapa kamu sekarang berubah kayak gini?”

 

“Apanya yang berubah?”

 

“Dulu ... kamu nggak sekasar dan sejahat ini.”

 

“Aku cuma membela diri karena aku nggak salah!” seru Yuna.

 

“Aku bukan Yuna yang dulu lagi!” tegas Yuna. “

 

“Yuna ...!?” Lian menatap lekat mata Yuna.

 

“Kamu yang buta, Lian. Kamu yang nggak bisa bedain mana orang yang baik dan mana orang yang cuma mau manfaatin kamu,” tutur Yuna dengan mata berkaca-kaca.

 

“Kamu bahkan nggak pernah menghargai hubungan kita selama tujuh tahun ini. Kamu sama sekali nggak ngerasa bersalah saat kamu selingkuh sama dia. Kalau sekarang aku berubah, nggak ada alasan lain yang bikin aku berubah kecuali kamu.” Yuna langsung berbalik dan bergegas pergi meninggalkan Lian dan Bellina.

 

“Cowok bego, masih bagus Yeriko ke mana-mana,” tutur Yuna dalam hati. Ia bergegas masuk ke dalam ruang kerjanya dan melanjutkan pekerjaannya.

 

“Abis berantem lagi sama Bu Belli?” tanya Selma yang melihat Yuna menekan-nekan pena di atas kertas.

 

“Siapa lagi yang suka ngajak aku berantem kalau bukan dia?” sahut Yuna kesal.

 

“Lima belas menit lagi istirahat makan siang. Mau nggak makan ice cream bareng? Katanya, makan ice cream bisa bikin mood lebih baik.”

 

Yuna menoleh ke arah Selma. Ia tersenyum menatap Selma. “Boleh. Biar aku yang traktir.”

 

Yuna, Bagus dan Selma bergegas merapikan meja kerja mereka dan keluar dari ruangan. Mereka langsung menuju ke salah satu kafe yang menjual aneka ice cream.

 

“Yun, kamu lulusan Melbourne kan?” tanya Selma sambil menikmati ice cream yang sudah mereka pesan.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Ceritain dong! Kehidupan di sana kayak gimana?”

 

“Sama aja kayak di sini,” jawab Yuna.

 

“Eh, kamu beneran lulusan Melbourne? Kok, nggak kelihatan ya? Biasanya ... anak-anak lulusan luar negeri itu ngomongnya sok inggris gitu.”

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Bagus. “Ada-ada aja kamu nih. Ya bicara sesuai tempat juga kan? Biar sekolahnya di luar negeri, aku loh tetep orang Indonesia. Nggak boleh ngelepas identitas gitu aja.”

 

“Bagus tuh.” Bagus manggut-manggut. “Berarti, masih bisa bahasa daerah?”

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Kenapa logat kamu nggak kayak orang jawa? Biasane kan medok gitu loh.”

 

“Kayak kamu?” sahut Selma.

 

Yuna tertawa kecil. “Yah, mungkin faktor lingkungan juga. Kan lingkungan sehari-hari udah lebih sering pakai bahasa nasional ketimbang bahasa daerah.”

 

“Iya. Dia juga sekolahnya di luar negeri, jadi udah nggak medok lagi!” sahut Selma.

 

“Lah, itu si Bayu sering aja ke luar negeri tapi logatnya tetep medok juga.”

 

“Bayu!?” Selma dan Yuna saling pandang. “Bayu siapa?”

 

“Bayu Skak, Youtuber itu loh,” jawab Bagus.

 

“Owalah ... kirain orang kantor sini. Malah Youtuber,” sahut Selma.

 

“Aku seneng nonton-nonton youtuber Indonesia gitu, kok.”

 

“Apalagi kalo youtubernya cantik-cantik, ya kan?” goda Selma.

 

Bagus tertawa kecil. “Eh, Yun ... kenapa kamu nggak bikin channel youtube juga? Kamu kan cantik, terus lulusan luar negeri pula. Pasti bakal punya banyak subscriber, Yun,” tutur Bagus penuh semangat.

 

Yuna tertawa kecil menanggapi ucapan Bagus.

 

“Aku serius ini. Malah diketawain.”

 

“Iya, iya. Tapi ... aku ini udah nikah. Nggak bisa main-main youtube kayak gitu. Lagian, suamiku belum tentu ngizinin aku. Kalau aku jadi terkenal, kan repot urusannya,” sahut Yuna sambil tertawa kecil.

 

“Bukannya enak ya, Yun? Jadi youtuber kan banyak duit.”

 

“Banyak yang nyinyir juga. Aku mah nggak bakal kuat ngadepin komentar netizen. Enak gini aja kali. Hidup tenang dan damai.”

 

“Mmh ... iya juga sih? Apalagi kamu sering berantem sama Bu Belli. Bisa-bisa, dia nyerang kamu lewat medsos.”

 

Yuna tergelak mendengar ucapan Selma.

 

“Kenapa malah ketawa?”

 

“Nggak papa. Bayangan kalian itu ada-ada aja ya?”

 

“Eh, emangnya dia main medsos ya?” tanya Bagus.

 

“Dia siapa?”

 

“Bu Belli. Aku nggak tahu akun medsosnya dia.”

 

“Ngapain sih nanyain akunnya dia? Nggak penting banget!” sahut Selma.

 

“Penasaran aja. Akun medsos kamu apa, Yun?” tanya Bagus sambil menatap Yuna.

 

“Aku nggak main medsos,” jawab Yuna.

 

“Kenapa?”

 

“Nggak papa. Nggak tertarik aja.”

 

Bagus mengerutkan dahinya. “Masih ada ya orang yang nggak mau main medsos? Padahal, hampir semua orang di dunia ini suka loh main medsos. Posting semua hal yang mereka suka ke media sosial.”

 

“Ya, biar aja. Itu kan kehidupan mereka. Aku nggak suka posting kehidupan pribadiku ke medsos. Takut banyak yang ngiri, hahaha.”

 

Bayu dan Selma ikut tergelak mendengar ucapan Yuna.

 

Yuna tersenyum sambil menikmati ice cream yang ada di hadapannya. Perasaannya kini jauh lebih baik.

 

Walau Bellina terus menindasnya, ia tetap menyukai tempat kerjanya karena semua rekan kerja di departemennya juga sangat peduli dan menyayangi Yuna.

 

“Makasih ya!” tutur Yuna sambil menatap Bagus dan Selma.

 

“Makasih buat apa? Kita kali yang makasih karena kamu udah traktir makan ice cream,” sahut Selma.

 

“Karena kalian udah jadi rekan kerja yang baik. Kalau bukan karena kalian, mungkin aku nggak betah kerja di sini. Harus ngadepin si Mak Lampir itu setiap hari.”

 

“Hahaha.” Bagus dan Selma tergelak menanggapi ucapan Yuna.

 

Mereka melanjutkan makan ice cream sambil bercerita soal dunia kerja mereka. Yuna juga mengajak Bagus dan Selma makan siang bersama.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 


Bab 26 - Wanita Penjilat

 


Yuna berusaha menyelesaikan laporan Lili.

 

“Laporan siapa, Yun?” tanya Selma.

 

“Punya Lili.”

 

“Aneh. Kok, nyuruh kamu?”

 

Yuna mengedikkan bahunya.

 

“Yun, dipanggil Bu Belli,” tutur Bagus yang baru saja masuk ke dalam ruangan.

 

“Kenapa lagi sih?” gumam Yuna. Ia bangkit dari tempat duduk dan langsung keluar ruangan. Ia bergegas masuk ke ruangan Bellina.

 

“Yun, tolong fotocopy berkas ini ya!” pinta Bellina sambil menyodorkan beberapa map ke arah Yuna.

 

Yuna tidak menyahut. Ia langsung mengambil berkas dari tangan Bellina dan bergegas pergi.

 

“Eh, kerjaan yang aku kasih udah kelar apa belum?” tanya Lili saat berpapasan dengan Yuna.

 

“Belum.”

 

“Kenapa malah ngeluyur?”

 

“Aku disuruh fotocopy dokumennya Bellina.”

 

“Halah, alasan aja! Bilang aja kalo kamu mau caper kan?”

 

Yuna mengerutkan dahi menanggapi ucapan Lili. “Maksud kamu?”

 

“Emangnya, semua orang di kantor nggak tahu kalau kamu itu peliharaannya sugar daddy?”

 

Yuna tersenyum kesal. “Kayaknya, kamu paling tahu banget soal aku? Asal kamu tahu ya, aku nggak pernah deket sama Oom-Oom mana pun dan nggak nikah sama laki-laki tua yang udah kalian gosipkan itu!” tegas Yuna.

 

“Oh ya? Kalo kamu bukan peliharaannya sugar daddy, kenapa suami kamu itu nggak pernah turun dari mobil waktu antar kamu? Bilang aja kalo kamu malu, ketahuan nikah sama bapak-bapak.”

 

“Kamu tahu dari mana kalau aku peliharaannya sugar daddy? Punya bukti?”

 

“Buktinya, suami kamu itu nggak pernah muncul di depan umum.”

 

“Emangnya, kalo suami aku nggak pernah muncul di depan kalian, itu artinya aku nikah sama Oom-Oom?”

 

“Yah, bisa aja kan kamu malu buat nunjukkin suami kamu yang udah tua itu?”

 

“Sorry ya! Aku bukan malu buat nunjukkin suami aku. Aku cuma takut, kamu terpesona lihat ketampanan dia. Ntar kamu jadi pelakor kayak sahabat kamu yang nggak tahu diri itu!” dengus Yuna.

 

Lili mengigit bibirnya sendiri dengan erat sambil menatap ke arah Yuna. Tanganya mengepal erat, bersiap mendaratkan pukulan ke wajah Yuna.

 

Yuna langsung menangkap tangan Lili dan mendorong gadis itu sekuat tenaga hingga tersungkur di lantai.

 

“Aw ...!” seru Lili sambil menutup rok mininya yang robek.

 

Yuna tertawa kecil menatap rok Lili yang robek dan membuat pahanya bisa dinikmati semua orang.

 

Beberapa karyawan yang mendengar pertengkaran langsung keluar dan menertawakan Lili yang tersungkur di lantai.

 

“Kurang ajar! Awas kamu, Yun! Tunggu pembalasanku!” umpat Lili dalam hati.

 

“Ada apa ini?” tanya Bellina yang tiba-tiba muncul bersama Sofi.

 

Semua karyawan tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Bellina.

 

“Ini nih si anak magang sialan!” seru Lili. “Dia dorong aku sampe jatuh. Padahal, aku cuma nanyain laporan doang.”

 

Yuna memutar bola mata mendengar kebohongan Lili.

 

“Kamu itu ya, baru aja masuk kerja nggak nyampe seminggu udah bikin onar!” seru Bellina.

 

“Yang mulai duluan siapa?” balas Yuna. Ia berbalik. Enggan menghadapi Bellina yang kerap membuatnya berapi-api.

 

Yuna langsung melangkah menuju ruang fotocopy untuk menyalin semua dokumen yang diminta Bellina.

 

Usai menyalin semua dokumen, Yuna langsung bergegas keluar. Ia tertegun saat mendapati semua orang sedang mengerumuni Bellina.

 

“Selamat ya, Bu!”

 

“Selamat Bu!”

 

“Selamat Bu Belli, semoga sehat dan lancar sampai persalinan!”

 

“Wah ... selamat ya, Bu!”

 

“Akhirnya ... bakal jadi Nyonya Wijaya,” tutur Lili sumringah.

 

“Ada apa sih?” tanya Yuna pada karyawan yang sedang berkerumun.

 

“Bu Belli hamil.”

 

Yuna mengerutkan kening. Ia menerobos kerumunan dan menyambar selembar kertas dari tangan Bellina.

 

Yuna tertegun melihat surat dokter yang menyatakan kalau Bellina sedang hamil.

 

Bellina tersenyum sinis menatap Yuna. “Kenapa? Kamu cemburu karena sebentar lagi aku bakal punya anak dari Lian?”

 

Yuna tersenyum sinis. Ia melemparkan kertas tersebut ke arah Bellina. “Sorry ya! Aku nggak tertarik buat cemburu sama orang kayak kamu!”

 

“Ckckck, Ayuna ... Ayuna ... semua orang juga tahu kalau kamu sudah nikah sama laki-laki tua dan masih aja deketin tunangan aku,” ucap Bellina sambil tersenyum menatap Yuna.

 

“Heh!? Jangan sembarangan ya kalo ngomong! Tunangan kamu itu yang kegatalan!” dengus Yuna.

 

Bellina menaikkan kedua alisnya. Ia tersenyum sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Yuna. “Aku nggak akan ngebiarin kamu ngerebut posisiku sebagai Nyonya Lian. Karena kami akan segera menikah.”

 

Bibir Yuna terus bergerak mengikuti ucapan Bellina.

 

“Bodo amat! Kamu sama dia itu sama-sama murahan!” sahut Yuna.

 

Semua karyawan saling pandang mendengar ucapan Yuna. Mereka heran dengan keberanian Yuna menghadapi atasannya.

 

“Eh, semuanya dengerin!” pinta Bellina sambil menepuk kedua tangan, meminta perhatian dari semua orang. “Cewek di depan aku ini ... peliharaannya sugar daddy. Dia suka menggoda pria-pria yang banyak duit. Dia juga menggoda tunangan aku. Kalian semua harus berhati-hati. Karena bisa aja, kalian atau pacar kalian bakal jadi sasaran berikutnya.”

 

Semua orang saling pandang. Kemudian memandang Yuna sambil mencibir.

 

“Heh!? Jangan sembarangan ngomong kalo nggak punya bukti!” sentak Yuna. “Aku nggak akan ngambil Lian dari kamu. Lagian, Lian itu memang sebelumnya pacar aku. KAMU YANG NGEREBUT DIA DARI AKU!” teriak Yuna dengan mata berkaca-kaca.

 

“Hello ... kamu bangga hamil duluan sebelum nikah? Nggak tau malu!” dengus Yuna.

 

Semua karyawan saling pandang. Mereka mulai bersimpati pada Yuna dan mencibir Bellina.

 

“Bubar, yuk!” ajak salah seorang karyawan. Mereka mulai tidak tertarik dengan Bellina yang berusaha memfitnah Yuna terus-menerus.

 

Yuna tersenyum sinis ke arah Bellina. Ia merasa puas karena akhirnya semua orang mengetahui bagaimana Bellina yang sebenarnya.

 

“Inget ya, sekalipun kamu itu kakak sepupu aku. Aku nggak akan pernah ngebiarin kamu terus-terusan memfitnah dan menindas aku!” tegas Yuna sambil bergegas pergi meninggalkan Bellina.

 

“Aargh ...!” Bellina menghentakkan kaki melihat Yuna yang pergi begitu saja. “Awas kamu Yuna! Aku nggak akan ngebiarin kamu hiduo tenang!” serunya sambil mengepalkan tangan.

 

“Bell, kayaknya dia makin ngelunjak aja,” tutur Lili.

 

Bellina tersenyum. “Tenang aja! Sebentar lagi aku bakalan jadi bagian keluarga Wijaya Group. Aku bakal bikin hidup dia menderita!”

 

“Kalian balik kerja lagi!” pinta Bellina. Ia juga kembali ke ruang kerjanya dengan perasaan kesal.

 

Yuna bukan perempuan polos yang mudah untuk dihadapi.

 

“Aku tahu, Lian masih punya perasaan ke Yuna. Aku nggak bisa biarin dia kembali ke Yuna. Aku harus bikin Lian makin benci sama Yuna!” tutur Bellina sambil duduk di meja kerjanya. Memikirkan segala cara untuk membuat Yuna menderita.

 

Beberapa menit kemudian, Lian masuk ke dalam ruangan Bellina.

 

“Halo ... Sayang!” sapa Bellina dengan lembut. Ia langsung menghampiri Lian dan bergelayut manja di tubuh Lian.

 

Lian tersenyum sambil mengelus kepala Bellina dengan lembut.

 

“Aku punya kabar baik buat kamu,” tutur Bellina.

 

“Oh ya? Apa?” tanya Lian.

 

Bellina mengambil secarik kertas dari atas meja dan memberikannya pada Lian.

 

Lian tersenyum sambil meraih kertas tersebut. Wajahnya berubah seketika saat membaca isi surat dokter yang menyatakan kalau Bellina sedang hamil.

 

“Hamil?” batin Lian. Pikirannya tiba-tiba kosong. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Harus senang atau sedih?

 

“Kenapa? Kamu kok kayak nggak senang gitu? Ini anak kamu, Lian!” tutur Bellina sambil mengelus perutnya.

 

“Eh!? Aku bukan nggak senang. Masih nggak percaya aja kalau aku bakal jadi ayah.”

 

Bellina tersenyum sambil merangkul pundak Lian. “Bukankah ini bagus? Karena ada anak ini ... gimana kalau pernikahan kita dipercepat?”

 

“Percepat?” Lian mengerutkan keningnya.

 

Bellina menganggukkan kepala. “Kalau nggak dipercepat, perut aku bakal semakin membesar dan nggak akan bisa pakai gaun pengantin.”

 

“Oh ... Oke.”

 

“Makasih!” Bellina tersenyum sambil menyandarkan kepalanya ke dada Lian.

 

KREEK ...!

 

Terdengar pintu terbuka dan Yuna melangkah masuk ke dalam ruangan. Ia tertegun sejenak saat melihat Lian dan Bellina sedang berpelukan mesra.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. “Tenang, Yun! Kamu harus bersikap biasa aja. Jangan bikin mereka senang karena lihat kamu menderita!” batin Yuna.

 

“Eh, Yuna? Ada apa?” tanya Bellina sambil tersenyum.

 

Yuna tersenyum. Ia menghampiri Bellina dan menyodorkab berkas yang ada di tangannya. “Ini berkas yang Ibu minta,” ucapnya sambil tersenyum.

 

Yuna tak banyak bicara. Setelah Bellina mengambil dokumen dari tangannya, ia langsung berbalik dan melangkah pergi.

 

(( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas