Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Showing posts with label Novel The Cakra. Show all posts
Showing posts with label Novel The Cakra. Show all posts

Sunday, February 16, 2025

The Cakra Bab 122 : Hasil Pengecekkan CCTV || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Jangan sampai mamaku tahu kalau Chessy menghilang!” perintah Cakra pada Fikri dan Alvaro saat mereka semua sudah masuk ke dalam rumah apartemen milik Cakra.

“Tapi, gimana kita bisa dapetin Chessy kalau nggak pakai media? Kamu aja nggak tahu di mana posisi Chessy meski kamu bisa dengar suara dari kejauhan,” sahut Alvaro.

Cakra langsung menatap tajam ke arah Alvaro. “Aku beri kamu dua pilihan, bantu atau pergi?”

Alvaro menelan ludah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Iya, bantu. Aku bantu!” ucapnya.

“Ngopo aku nduwe dulur koyok ngene iki, cah?” batinnya. “Kalo bukan adekku, wes tak pites ndase!” lanjutnya sambil menahan gemas di dalam pikirannya.

Cakra memilih untuk diam. Membiarkan Alvaro mengutuknya dalam hati seperti biasa. Ia sudah terbiasa mendengarkan isi hati Alvaro dan semua kemelut hatinya, termasuk semua kekesalannya. Ia tidak pernah tersinggung dengan caci-maki Alvaro saat sedang emosi. Karena ia tahu jika jauh di dalam lubuk hati Alvaro sangat menyayanginya. Jika tidak, mana mungkin Alvaro rela mengabdikan diri untuk menemaninya setiap saat.

Alvaro mengeluarkan laptop dari tas ransel yang ia bawa dan mengecek semua laporan anak buahnya yang sudah masuk.

“Ada perkembangan, Mas?” tanya Fikri lirih sambil menghampiri Alvaro yang sudah duduk di sofa.

Alvaro tak langsung menyahut. “Bikinkan aku kopi dulu, Fik! Raiso mikir aku kalo nggak ngopi sek,” perintahnya.

“Siap, Mas!” sahut Fikri sambil memberi hormat dan segera ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi pesanan Alvaro.

Alvaro terus mengamati beberapa video rekaman  CCTV di sekitar gedung yang telah berhasil dikumpulkan oleh anak buahnya.

“Mmh ... semua mobil yang masuk adalah mobil-mobil elite. Mana yang paling mencurigakan?” batin Alvaro. Ia segera mengeluarkan ipad yang ia miliki dan mencatat setiap sudut peristiwa berdasarkan waktu agar ia bisa mencocokkan dengan semua waktu CCTV yang ada.

“Jam 7.30, Chessy dan Cakra masuk gedung. Chessy menghilang di jam 10.30. CCTV di dalam gedung bisa mati semua karena diretas di jam 9.00. Oke, ini bukan penculik biasa. Mereka pasti sudah merencanakannya dengan baik,” batin Alvaro sambil mengamati data yang ia terima.

Cakra terdiam sambil menyimak isi hati Alvaro. Ia terlihat sangat tenang, tapi dalam hatinya sedang bergejolak hebat. Ia ingin marah pada dirinya sendiri karena tak mampu mengetahui keberadaan Chessy, bahkan dengan indera keenam yang ia miliki. Ia juga kecewa pada dirinya sendiri karena terlalu percaya pada sahabat Chessy dan ia lalai dalam menjaga istrinya itu.

“ Artinya ... para penculik itu beraksi di jam 9.00 sampai jam 10.30. Ini bukan waktu yang cepet banget. Aku harus cek pergerakan kendaraan sekitar di jam ini,” batin Alvaro lagi.

TING!

“Bang, gue nemuin CCTV dari arah belakang gedung. Udah gue kirim ke email lo, Bang.” Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Alvaro.

Alvaro segera mengecek email masuk dan mengunduh video berdurasi dua menit yang baru saja dikirimkan oleh salah satu anak buahnya asal Jakarta. Tak membutuhkan waktu lama, Alvaro langsung bisa melihat rekaman mobil box yang keluar dari dalam gedung pada jam 10.00 malam.

“Kenapa mobil es batu gini dikasihkan ke aku? Goblok!” umpat Alvaro kesal karena anak buahnya mengirimkan video mobil box bertuliskan merk es batu kristal yang kemungkinan dikirimkan ke dalam gedung untuk jamuan makan malam tersebut.

Cakra yang duduk di hadapan Alvaro, langsung bangkit begitu mendengar umpatan Alvaro. Ia segera menghampiri Alvaro, merebut laptop milik sepupunya itu dan mengamati video yang baru saja dikirim oleh anak buah mereka.

“Cuma ini kendaraan yang keluar dari gedung sebelum jam 10.30?” tanya Cakra.

“Iya. Semua tamu keluar dari gedung di atas jam 11.30. Cuma kita aja yang keluar duluan dan ...?” Ucapan Alvaro tiba-tiba terhenti dan menatap wajah Cakra.

“Periksa mobil ini!” perintah Cakra.

Alvaro mengangguk. Ia segera melakukan panggilan grup ke beberapa anak buahnya untuk mendapatkan lebih banyak rekaman CCTV di waktu yang sama agar ia bisa melihat sampai di mana pergerakan mobil box tersebut.

Beberapa jam kemudian, semua anak buah Alvaro berhasil mengumpulkan rekaman CCTV lalu lintas di waktu yang bersamaan sesuai dengan waktu pergerakan mobil box itu sejak keluar dari dalam gedung.

“DJANCOK ...!” maki Alvaro begitu mengetahui kalau mobil box es batu kristal itu masuk ke dalam area bandara. “Mereka mau ngelabuhi kita, cok! Masa iya, mobil box malah ke bandara? Bukan pulang ke perusahaan mereka?”

 “Kita cari ke sana!” ajak Cakra.

“Bentar, Cak! Nggak bisa gegabah nyarinya. Airport bukan tempat sembarangan. Keamanan di sana juga cukup tinggi. Kalau mereka bawa Chessy ke bandara, pasti sudah menyiapkan banyak hal. Kita nggak tahu gimana cara mereka bawa Chessy. Aku harus koordinasi dengan polisi bandara dulu,” ucap Alvaro.

“Bisa koordinasi di mobil sambil jalan. Kita tidak bisa berdiam diri di sini. Bagaimana keadaan istriku di tangan orang lain? Aku tidak ingin dia terluka lebih banyak,” pinta Cakra.

“Ini jam sibuk, bos. Jalanan kota Jakarta lagi macet parah. Aku siapkan pilot dulu. Kita naik helikopter saja ke bandara,” ucap Fikri sambil menatap layar televisi yang menunjukkan hasil pemantauan lalu lintas terkini dari NTMC Polri.

“Cepat!” sambar Cakra tak sabar. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Artinya, sudah lebih sembilan jam ia kehilangan Chessy dan ia sudah tak bisa lagi menahan rasa sabar.

Fikri mengangguk. Ia segera menghubungi pilot pribadi keluarga Hadikusuma. Untungnya, pilot itu tinggal di apartemen yang sama dengan mereka. Sehingga tak perlu menunggu lama untuk menyiapkan helikopter yang juga selalu standby di atap gedung apartemen tersebut.

Beberapa menit kemudian, Fikri mendapat kabar bahwa helikopter telah siap dan mereka semua bisa segera terbang menuju  Soekarno-Hatta International Airport.

“Cak, aku pake motor aja ke bandara,” pinta Alvaro sambil mengemasi barang-barang ke dalam ranselnya.

“Kenapa?” tanya Cakra.

“Nggak papa. Lebih leluasa bergerak kalau pakai motor,” jawab Alvaro.

“Banyak kendaraan yang disediakan oleh bandara. Kamu bawa kendaraan sendiri, bukankah akan lebih menyulitkan?” tanya Cakra lagi.

“Nggaklah. Aku kan polisi,” sahut Alvaro sambil menunjukkan seragam polisi yang ia kenakan. “Aku juga mau ambil surat tugas dari atasanku. Tanpa surat tugas, aku nggak bisa intervensi ke bandara,” lanjutnya.

Cakra menatap Alvaro selama beberapa saat. “Al, kenapa kamu masih bertahan menjadi bintara? Bukankah kamu bisa dengan mudahnya menjadi seorang jenderal?” tanyanya dengan wajah serius. Ia merasa miris dengan pilihan hidup Alvaro yang masih berada di bawah perintah orang lain.

“Males, Cak. Jadi jenderal tanggung jawabnya besar. Banyak yang harus diurusi. Kalau kayak gini, aku Cuma ngurus diriku sendiri aja. Bisa sambil ngurus perusahaanku juga. Kalau jadi jenderal, harus ngurusin ratusan ribu anak buah. Anak buahku yang baru dua puluh biji aja aku sudah pusing sama kelakuan mereka,” jawab Alvaro.

Cakra tersenyum kecil. “Baiklah. Jika kamu kesulitan, jangan sungkan untuk bicara padaku!”

Alvaro mengangguk sambil merapikan sepatu miliknya. Ia segera bangkit dari tempat duduk dan menepuk pundak Cakra. “Amanlah. Hidupku nggak akan lengkap kalau nggak ngerepotin kamu,” ucapnya. Ia segera beranjak keluar lebih dulu agar bisa mengejar waktu dan bisa sama-sama sampai ke bandara meski ia hanya menggunakan sepeda motor.

 

((Bersambung ...))

 

Monday, February 10, 2025

The Cakra Bab 121 : Sandiwara Lion || a Romance Novel by Vella Nine

 

BAB 121

SANDIWARA LION

 


Lion menarik napas dalam-dalam sambil menatap bubur ayam yang baru saja selesai ia masak. Jauh di dalam hatinya ia berharap jika tawanan yang dimaksud oleh para mafia ini bukanlah Chessy yang ada dalam bayangan masa depannya.

“Cepat!” bentak salah seorang sambil menatap Lion yang masih bergeming. “Bawa makannnya ke kamar di lantai 2!” perintahnya.

Lion mengangguk cepat dan melangkah menuju anak tangga kayu yang berada tak jauh dari pintu dapur. Ia terus melangkah dengan perasaan tak karuan hingga ia mendapati dua orang pria bertubuh kekar sedang berjaga di depan pintu.

“Kamu tukang masaknya? Lama banget!” sentak salah satu pria yang ada di sana.

“Ma-maaf, Bang. Saya masih baru kerja di sini. Belum hafal tempat bahan dan peralatan masak,” jawab Lion lirih sambil menundukkan kepala. Matanya tertuju pada sarung pistol yang melekat di tubuh pria itu.

“Gawat, mereka semua bersenjata,” batin Lion.

“Cepat masuk! Dia harus dikasih makan yang banyak! Jangan sampai mati! Kalau sampai dia mati, dia hanya akan jadi mayat yang nggak ada harganya. Kamu juga harus ikut mati!”

Lion mengangguk lagi. Ia segera melangkah masuk ke dalam kamar yang ada di sana. Ia segera menghampiri seorang wanita yang berbaring di atas dipan.

“Beneran Chessy,” batinnya dengan perasaan tak karuan. Wajahnya ikut pucat pasi saat melihat wajah Chessy yang sudah sangat pucat dan tubuhnya lemah. Entah berapa lama wanita itu tak sadarkan diri. Membuat Lion sangat ketakutan dibuatnya.

Lion segera memeriksa denyut nadi di tangan kanan Chessy. “Masih ada,” gumamnya  meski ia menyadari jika denyut nadi Chessy sudah sangat lemah.

“Woi, bangun!” sentak salah satu pria berpakaian preman yang ada di sana sambil menggebrak tempat tidur Chessy.

“Bang, jangan kasar begini!” pinta Lion dengan nada rendah. “Dia bisa mati lebih cepat karena jantungan. Nadinya sudah lemah banget. Biar saya yang urus!” pintanya.

“Kamu bisa?” tanya preman itu sambil menatap Lion dari ujung kepala sampai ke ujung kaki.

“Bisa, Bang. Aku pernah belajar ilmu medis dari keluargaku,” jawab Lion. “Dia hsrus dalam keadaan tenang. Jadi, biarkan aku yang mengurusnya sendiri. Abang keluar dulu!” pintanya.

“Kau nyuruh aku keluar?” sentak pria bertubuh kekar yang berdiri di dekat Lion.

“Maaf, Bang! Denyut nadi wanita tawanan ini sudah sangat lemah. Kalau tidak segera ditolong, dia bisa mati beneran.”

“Okelah. Jangan sampai dia kabur!” pinta pria itu. “Kalau sampai perempuan ini kabur, kau yang kutembak duluan!”

“I-iya, Bang.” Lion mengangguk sambil menggetarkan jemari tangannya agar ia terlihat ketakutan. Ia terus melirik pergerakan preman itu hingga keluar. Kemudian, ia segera menutup pintu kamar tersebut dan menguncinya.

“Hei, kenapa dikunci!?” sentak preman yang baru saja keluar kamar.

“Demi keamanan dan kenyamanan bersama, Bang. Biar nggak ada yang ganggu saya melakukan perawatan. Dia nggak mungkin bisa kabur dari lantai dua ini,” sahut Lion.

“Bener juga, ya?” gumam preman itu. Ia segera memerintahkan beberapa temannya untuk berjaga di luar bangunan villa tersebut.

Lion segera menghampiri Chessy yang sudah terbaring lemas tak berdaya. “Chessy ...!” panggilnya lirih sambil mengangkat kepala Chessy agar lebih tinggi dari tubuhnya.

Chessy bergeming. Ia bisa mendengarkan suara di sekitarnya, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia merasa jika dirinya sudah tidak ada di dunia lagi. Ia takut saat ia bangun, ia sudah berada di langit dan tak bisa lagi bertemu dengan Cakra.

“Chess ...! Chessy ...! Ini gue, Lion!” bisik Lion. Ia segera menyandarkan tubuh Chessy ke tubuhnya agar bisa duduk. Kemudian mengambil segelas air putih hangat yang ia bawa bersama bubur buatannya.

Chessy membuka matanya perlahan. Tapi ia tidak bisa melihat sosok Lion yang berada di belakangnya.

“Minum dulu!” pinta Lion saat menyadari kalau tubuh Chessy bereaksi. Ia segera memasukkan minuman itu ke dalam mulut Chessy secara perlahan agar wanita itu bisa memiliki kekuatan dan kesadarannya kembali.

“Kenapa lo ada di sini? Lo yang culik gue, Li?” tanya Chessy begitu ia sudah menghabiskan setengah gelas air hangat.

Lion spontan menggeleng sambil mengayunkan kedua telapak tangannya. “Nggak, Chess! Lo jangan suudzon sama gue!” pintanya. “Gue ke sini buat nolongin lo.”

“Beneran?” tanya Chessy sambil menatap lemas wajah Lion.

Lion mengangguk. “Lo makan dulu, ya! Supaya ada tenaga buat bertahan. Kita ada di tempat yang sulit dan berbahaya.”

“Berbahaya?” tanya Chessy penasaran.

Lion mengangguk. “Gue bakal cerita ke lo. Tapi sambil makan bubur ini, y!”

Chessy mengangguk perlahan. Ia seger menggeser tubuhnya agar tidak lagi bersandar pada tubuh Lion.

“Apa lo masih inget terakhir kali lo ada di mana sebelum diculik ke sini?

“Di acara perjamuan bisnis perusahaan  Nona Mang,” jawab Chessy.

Persis kayak gambaran masa depan yang aku lihat,” batin Lion.

“Lo tahu, nggak, sekarang ada di mana?” tanya Lion.

Chessy menggeleng.

“Kita ada di wilayah hutan Sangkulirang,” jelas Lion.

“Sangkulirang? Apa kita sudah ada di luar Indonesia?” tanya Chessy.

“Masih di Indonesia. Tapi ini daerah Pulau Kalimantan,” jawab Lion.

Chessy terbelalak mendengar jawaban Lion. “Lo serius? Gue nggak lagi di kota Jakarta?”

Lion mengangguk. “Nggak usah banyak omong, dulu! Makan dulu supaya lo punya banyak energi!” pintanya sembari mendekatkan semangkuk bubur ke hadapan Chessy.

Chessy terdiam sambil menatap semangkuk bubur yang disuguhkan oleh Lion. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa dia dibawa sejauh ini. Ia bahkan tak pernah mendengar nama Sangkulirang seumur hidupnya. Apakah dia bisa kembali ke Jakarta lagi?

“Nggak usah takut! Ada gue. Gue nggak akan biarkan mereka ngelukain lo.”

“Gue harus pulang, Li. Cakra pasti nyariin gue,” pinta Chessy.

“Kita nggak bisa keluar dari sini dengan mudah. Yang jaga di rumah ini ada banyak banget dan mereka pegang senjata api. Kita nggak bisa gegabah. Jalan satu-satunya buat gue adalah menjadi bagian dari mereka. Seenggaknya ini bisa menjamin kalau lo bakal aman.”

“Lo tahu dari mana kalau gue ada di sini?” tanya Chessy.

Lion tersenyum kecil dan menyuapkan bubur ke mulut Chessy. “Gue udah lama di sini, Chess. Gue lagi therapy dan banyak belajar spiritual,” jawabnya. “Gue nggak sengaja lihat lo dibawa ke tempat ini. Awalnya, gue pikir orang lain. Nggak nyangka kalau ternyata perempuan yang mereka sekap itu lo.”

“Kenapa gue nggak tahu kalau lo udah lama keluar dari kota Jakarta? Lo nggak pernah ngabarin gue, Li.”

“Lo udah sibuk sama kehidupan baru lo, Chess. Gue nggak mau ganggu kalau Cuma buat hal-hal kecil kayak gini,” jawab Lion. Ia tersenyum saat melihat Chessy mau memakan bubur buatannya dengan lahap.

“Untuk sementara, lo ikuti skenario orang-orang yang nyulik lo ini. Gue bakal nyari celah supaya kita bisa keluar dari tempat ini,” pinta Lion.

Chessy mengangguk. “Lo yakin kalau semua bakal aman?”

Lion mengangguk. “Gue yang bakal jagain lo, Ches. Gue yang bakal pastiin kalau mereka nggak akan ngelukai lo sedikitpun. Karena mereka mau duit suami lo.”

“Mereka minta tebusan?” tanya Chessy.

Lion mengangguk. “Kayaknya mereka minta nilai yang fantastis. Biar gimana pun, suami lo adalah orang paling kaya di negeri ini. Mana mungkin mereka minta uang recehan 200 atau 300 juta aja. Mereka juga bilang kalo lo berharga. Jadi, nggak akan berani bikin lo luka.”

Chessy menarik napas dalam-dalam dan bulir-bulir air mata mulai menghiasi mata indahnya.

“Kenapa nangis? Ada gue di sini. Lo bakal aman.”

“Gue kepikiran Cakra. Kasihan dia. Dia bakal kesusahan gara-gara gue, Li,” jawab Chessy lirih. Air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah juga.

“Chess, suami lo bukan orang biasa. Dia nggak mungkin kesusahan. Dia punya segalanya, Chess. Dia bisa ngelakuin apa aja yang dia mau pake uang yang dia punya. Bahkan buat cari banyak istri baru yang bakal gantiin posisi lo,” ucap Lion sambil menahan emosi melihat Chessy sedang menangisi suaminya.

PLAK!

Telapak tangan Chessy refleks menampar pipi Lion. “Jangan ngomong sembarangan, ya!” sentaknya.

Lion menatap tajam ke arah Chessy sambil memegangi pipinya yang memanas. Seumur hidupnya, Chessy tak pernah menamparnya meski ia kerap marah dan berkata kasar. Hatinya tiba-tiba merasa sakit karena perubahan sikap Chessy terhadap dirinya.

“Lo nampar gue demi laki-laki yang baru lo kenal, Chess?” tanya Lion sambil tersenyum sinis. “Dua puluh tahun kita hidup bareng, gue masih kalah sama cowok yang baru lo kenal setahun belakangan ini. Gue nggak nyangka kalo lo bakal berubah secepat ini, Chess,” ucap Lion penuh kekecewaan. Ia segera meletakkan mangkuk bubur yang isinya sisa dua sendok, kemudian bangkit dan melangkah keluar dari kamar tersebut dengan lunglai.

Chessy tertegun menatap telapak tangannya sendiri. Air matanya jatuh perlahan ketika ia dihadapkan oleh dua hal yang sangat penting dalam hidupnya, tapi ia harus memilih salah satunya.

“Kenapa? Kenapa gue bisa semarah ini sama Lion? Nggak seharusnya gue nampar dia,” lirih Chessy. Meski begitu, jauh di dalam lubuk hatinya ia tidak bisa menerima perkataan Lion yang menganggap remeh Cakra dan segala hal negatif tentang suaminya itu. Ia tidak mengerti kenapa rasanya begitu sakit saat Lion mengatakan kalau Cakra bisa dengan mudahnya bersama wanita lain di luar sana.

“Cak, kamu nggak akan nyakitin aku, kan?” ucap Chessy lirih sambil berlinang air mata. Semua kenangan antara ia dan Cakra, tiba-tiba muncul di pikirannya. Meski belum lama mengenal Cakra, ia merasa ada banyam memori indah yang memenuhi isi kepalanya, juga membahagiakan hatinya.

“Apa yang membuat rasanya berbeda? Kenapa kenanganku dengan Lion selama dua puluh tahun tidak lebih banyak dari kenanganku bersama Cakra selama satu tahun belakangan ini? Apa ini yang namanya cinta?” gumam Chessy. Ia terus sibuk berperang dengan hati dan pikirannya. Ia harap, ia bisa menjalani lebih banyak kebahagiaab bersama Cakra, meski orang lain mengatakan bahwa itu adalah penderitaan.


((Bersambung ...))

Terima kasih yang sudah setia mengikuti cerita ini sampai ke sini. Mohon banget kalau author udah bikin para pembaca kebingungan. Author juga jauh lebih bingung karena kontrak di platform F itu tidak menghasilkan apa-apa. Hanya menghasilkan lelah tak berujung yang bikin authornya kehilangan mood dan semangat buat nulis. Semoga kalian bisa mengerti bahwa tidak semua rumah bisa nyaman ditinggali oleh para penulis. 


Much Love,

@vellanine.tjahjadi

 

 

 

Saturday, February 1, 2025

The Cakra Bab 120 : PETUNJUK INDIGO || a Romance Novel by Vella Nine

         

 

BAB 120 : PETUNJUK INDIGO

 


Chessy membuka matanya perlahan, tapi ia tidak bisa melihat apa pun.

“Gue di mana?” batin Chessy sembari berusaha untuk bangkit.

BUG!

Tak sampai ia bangkit, kepalanya sudah membentur sesuatu di hadapannya. Mata Chessy semakin terbelalak lebar, tapi ia tidak bisa melihat apa pun di sana karena sangat gelap. Ia berusaha untuk meraba dinding-dinding di sekitarnya dan ia menyadari jika ia dibaringkan di dalam sebuah tempat yang sangat sempit.

“Apa gue ada di dalam peti mati?” gumam Chessy.

BRAAK …!

“TOLONG …!”

Chessy berusaha berteriak sekuat tenaga. Tapi ia tahu jika usahanya tak akan berhasil meski suara dan tenaganya sudah habis terbuang.

“Cakra … can you help me?” lirih Chessy sembari menitikan air matanya.

Semua bayangan masa lalunya tiba-tiba berkelebat di pelupuk mata. Semua orang-orang yang ada di hidupnya, tiba-tiba muncul bergantian seolah memberikan pesan bahwa hari ini adalah hari terakhir bagi Chessy untuk hidup di dunia ini.

“Semua orang bakal mati, tapi gue nggak mau mati dalam keadaan dikubur hidup-hidup kayak  gini. Gue punya salah apa? Kenapa ada orang yang sekejam ini sama gue?” ucap Chessy yang kini diselimuti oleh rasa takut.

Braaak …!

Chessy langsung menyentuh dinding kayu yang menutupi tubuhnya ketika ia bisa mendengar suara dari luar. “Gue belum dikubur, masih ada aktivitas di luar sana,” lirihnya. Ia langsung berusaha kembali memukul-mukul dinding yang menutup tubuhnya.

“TOLONG …! TOLONG …! TOLONG …!”

Meski sudah berusaha memberontak sekuat tenaga, Chessy tetap tidak mendapatkan hasil apa pun.

Cakra … kalau aku mati, kamu jangan nikah lagi! Aku pengen jadi istri kamu satu-satunya sampai di surga nanti,” batin Chessy di sisa-sisa tenaga yang ia miliki.

 

 

***

 

Di waktu yang sama.

“Bagaimana? Apakah kamu sudah bisa mengendalikan indera keenammu dengan baik, anak muda?” tanya seorang pria tua yang sedang berada di sebuah pondok kecil di tengah hutan.

Lion mengangguk. ”Sudah lebih baik, Kek. Setidaknya, saya tidak perlu dirawat di rumah sakit lagi karena melihat masa depan orang lain.”

Kakek tua itu tersenyum. ”Seperti yang sudah aku katakan. Kamu bisa melihat masa depan, tapi kamu tidak bisa mengendalikannya. Jika kamu berusaha mengendalikannya, jangan kecewa pada takdir yang sudah digariskan Tuhan!”

Lion mengangguk. ”Lion mengerti,” ucapnya setengah menunduk sambil tersenyum.

Lion terkesiap ketika tiba-tiba lantai di bawahnya memunculkan wajah Chessy yang sedang tersenyum riang di tengah-tengah pesta. Kemudian, disusul dengan adegan Chessy yang berada di atas gedung bersama Arabella. Dilanjutkan lagi dengan Chessy yang tiba-tiba diculik oleh empat orang pemuda dalam keadaan tak sadarkan diri.

Chessy dibawa masuk ke dalam sebuah mobil box bersama barang-barang yang di-supply ke dalam gedung hotel tersebut. Kemudian, Chessy dimasukkan ke dalam peti mati dan dibawa menuju sebuah bandara. Peti mati itu berada bersama barang-barang logistik di pesawat. Kemudian, dibawa oleh beberapa orang pria ke dalam sebuah mobil pengangkut barang dan dibawa ke suatu tempat di tengah hutan.

”CHESSY ...!” seru Lion dan seketika ia tersadar.

”Siapa Chessy?” tanya kakek tua yang sedang berada bersama Lion.

”Adik saya,” jawab Lion lirih.

”Apakah kamu melihat hal buruk sedang terjadi padanya?” tanya kakek tua itu kembali saat melihat raut wajah Lion yang berubah panik.

Lion menganggukkan kepalanya.

”Ingin membantunya?” tanya kakek itu lagi.

”Apakah saya bisa?”

”Takdir seseorang bisa berubah dan kita boleh berusaha mengubahnya. Tapi jangan kecewa, bahkan menyalahkan Tuhan jika takdir itu tidak mampu untuk kamu ubah.”

Lion mengangguk tanda mengerti. Ia kembali memejamkan mata dan berusaha untuk kembali pada rekaman kehidupan Chessy yang baru saja ia lihat. ”Aku harus bisa. Aku harus bisa. Aku pasti bisa!” batinnya.

Lion berusaha untuk menelusuri jejak lewat memorinya. Ia sedikit terperanjat ketika ia menemukan sebuah pohon besar yang sering ia lewati di daerah pegunungan tersebut.

Sudah beberapa bulan lalu, Lion dikirim oleh orang misterius untuk belajar mengendalikan indera keenamnya pada kakek tua yang tinggal di dalam hutan, di wilayah pegunungan Rinjani, Pulau Lombok.

Hingga kini, ia tidak mengetahui siapa orang yang mengirimnya karena tiba-tiba ia sudah berada di Pulau Lombok saat sadarkan diri. Ia sudah berusaha menelusuri lewat memori indera keenamnya, tapi tetap nihil.

”Dia ada di wilayah ini,” ucapnya lirih, kemudian Lion kembali pada kesadarannya.

”Kamu yakin? Kamu bisa mencoba mengasah kemampuan indera keenammu dengan cara menemukannya,” ucap kakek tua itu.

Lion mengangguk. Ia segera berpamitan dengan kakek tua tersebut untuk menemukan keberadaan Chessy. Jauh dalam hatinya ia berharap jika hal buruk yang sedang ia lihat, tidak terjadi sungguhan pada Chessy.

”Anak muda, jika sudah kembali ke tempatmu, ingatlah untuk berterima kasih pada orang yang membawamu ke tempat ini! Dia tidak bisa melihatmu, tapi bisa mendengarmu dari jauh.” ucap kakek tua itu sebelum Lion benar-benar menghilang dari pandangannya.

Lion mengangguk. ”Baik, Kek.” Ia segera melangkah keluar dari rumah kayu tersebut dan menyusuri jalan setapak di dalam hutan.

Tak berapa lama, Lion menemukan sebuah pohon besar yang muncul di dalam bayangannya. Ia segera melangkah menyusuri wilayah tersebut perlahan dan menemukan sebuah rumah kayu yang cukup besar. Dilihat dari bentuknya, bangunan itu seperti sebuah villa di tengah hutan yang kurang terawat. Tak jauh dari bangunan tersebut, terdapat danau kecil yang asri dan menenangkan. Tempat seperti ini sangat disukai oleh wisatawan mancanegara.

”Kamu siapa!?” sentak seorang pria sambil menghampiri Lion begitu melihat Lion mendekat ke arah villa tersebut.

Lion langsung tersenyum. Ia mengusap tangan dan mengulurkan telapak tangannya kepada pria tersebut. ”Selamat siang, Kakak! Perkenalkan, nama saya Lion. Saya sedang cari kayu bakar untuk masak sore ini. Rumah saya tidak jauh dari sini,” jawabnya.

”Jangan bohong! Memangnya ada rumah di tengah hutan begini?” sentak pria asing itu.

”Ada. Di sini juga ada,” jawab Lion santai sambil menunjuk rumah villa yang ada di sana. ”Rumah saya ada di balik gunung ini. Kalau kakak tidak percaya, kakak bisa main ke sana.”

”Kamu pikir, aku pengangguran, hah!?” sentak pria itu makin kesal.

“Jangan marah-marah, Kakak! Saya jawab apa adanya. Apakah ada pekerjaan untuk saya, Kakak? Rumah ini terlihat kurang terawat. Bagaimana kalau saya bantu merawatnya? Saya pandai bersih-bersih rumah, pandai memasak juga,” sahut Lion.

Pria asing itu memerhatikan tubuh Lion dari ujung rambut sampai ke ujung kaki selama beberapa saat. ”Boleh juga kalau ada yang ngerawat tempat ini dan ada yang masak buat kita semua,” batinnya.

”Kakak tidak perlu khawatir soal gaji. Saya tidak digaji juga tidak apa-apa. Yang penting, setiap hari saya bisa membawa pulang makanan untuk kakek saya. Saya yatim piatu, hanya tinggal bersama kakek dan beliau sedang sakit,” ucap Lion agar pria itu mempertimbangkan dirinya bisa masuk ke dalam villa tersebut.

”Hmm .... boleh juga. Kami juga butuh orang untuk masak. Tapi kamu harus bisa menjaga semua rahasia yang ada di dalam villa ini. Ikut aku!” ucap pria asing itu.

Lion mengangguk sambil tersenyum. ”Saya janji, akan bekerja dengan baik.”

Pria asing itu langsung melangkah menuju halaman belakang villa. Ia membuka pintu dan menunjukkan ruang dapur yang ada di tempat tersebut. Tidak terlalu besar, tapi fasilitasnya cukup lengkap.

”Listrik di villa ini menggunakan genset dan tenaga surya. Kamu harus bisa berhemat menggunakan listriknya karena bahan bakar terbatas. Kami ada lima orang. Setiap harinya kamu harus memasak untuk kami semua!”

”He-em.” Lion mengangguk tanda mengerti.

“Kami punya tawanan seorang wanita di sini. Kamu tidak boleh membebaskannya. Kalau sampai kamu bebaskan tawanan kami, kamu dan kakekmu akan kami panggang hidup-hidup!”

Lion tersentak, tapi ia berusaha untuk menganggukkan kepalanya. ”Chessy beneran ada di tempat ini,” batinnya.

”Cepat kamu masakkan bubur untuk tawanan kami! Dia belum makan selama 24 jam karena kami suntik bius. Dia wanita yang sangat berharga dan nggak boleh sampai mati karena dia akan jadi sumber uang kita dan bikin kita kaya-raya.”

Lion menganggukkan kepala. Ia segera bergerak di dapur tersebut untuk membuat masakan seperti yang diperintahkan. Ia harus bisa membuktikan kalau ia benar-benar bisa memasak. Juga harus segera membuat hidangan untuk Chessy agar wanita itu bisa bertahan hidup dengan baik.

Chess, kamu jangan khawatir! Selama ada aku, nggak akan ada satu orang pun yang bisa melukai kamu, termasuk suamimu sendiri,” batin Lion.

 

 ((Bersambung ...))

 

Tuesday, January 21, 2025

The Cakra BAB 119 – Lalai Menjagamu || a Romance Novel by Vella Nine

 

BAB 119 – Lalai Menjagamu

 


“Tuan Cakra, bisa kita bicara sebentar? Ada beberapa penawaran bisnis yang ingin saya sampaikan ke Anda,” pinta Nona Mang begitu ia sudah berada di hadapan Cakra.

”Apa hanya Tuan Cakra yang diajak untuk membicarakan bisnis di perjamuan ini, Nona?” tanya salah seorang pria paruh baya yang sedang berbincang bersama Cakra.

”Tentu tidak,” jawab Nona Mang sambil tersenyum manis. ”Tentunya kita semua ingin menjadi partner bisnis yang sustainable dengan Galaxy World. Bukankah begitu?”

”Perusahaan Nona Mang men-supply 70% energy di kota ini. Pastinya akan berperan besar pada operasional Galaxy World,” ucap salah seorang pria paruh baya yang berdiri di dekat Cakra.

Cakra hanya tersenyum tipis. ”Galaxy World sudah mendapatkan supply besar dari perusahaan energi di Arab Saudi. Jika ingin bekerja sama dengan Galaxy, bekerjasamalah dengan perusahaan-perusahaan kontraktor yang sudah lebih dahulu membersamai kami. Aku juga tidak mengurus kerjasama bisnis. Semua diurus oleh Direktur Pengembangan Bisnis. Kalian bisa langsung ajukan kerjasama dengan beliau.”

”Tapi Tuan Cakra adalah pemilik Galaxy World. Apa pun yang Tuan Cakra perintahkan, tentu akan dituruti oleh semua orang-orang Tuan Cakra. Apakah kami benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk bekerjasama dengan Galaxy World?” tanya salah seorang lagi yang ada di sana.

”Selalu ada kesempatan. Tapi bukan aku yang mengurusnya. Aku sudah membayar mahal orang lain agar mereka bekerja untukku. Aku tidak ingin repot mengurus kerjasama bisnis kecil-kecilan seperti ini,” sahut Cakra.

Nona Mang langsung menatap kesal ke arah Cakra. ”Sialan! Bisa-bisanya dia meremehkan para pengusaha yang ada di sini,” batinnya. ”Sebesar apa bisnis Galaxy sampai menganggap kami sebagai bisnis kecil-kecilan?

Cakra menatap tajam ke arah Nona Mang. ”Galaxy World memiliki penghasilan 500 Kuadriliun US Dollar setiap tahunnya. Mana mungkin kami menganggap perusahaan dengan pendapatan 5 Milyar per tahun sebagai perusahaan besar yang layak untuk bersanding dengan perusahaan kami.”

Nona Mang membelalakkan matanya dan menelan saliva dengan susah payah. Ia berusaha menghitung  berapa banyak kekayaan yang dimiliki oleh pria tampan yang ada di hadapannya itu. ”Gila! Dia bener-bener penguasa dunia? Kenapa nggak gue aja yang jadi istrinya? Kenapa dia malah milih Chessy yang jelas-jelas anak yatim-piatu dan sangat miskin,” batinnya.

Sementara, semua orang yang ada di sana hanya saling pandang dan berusaha berkomunikasi lewat tatapan mata ketika mendengar jumlah penghasilan yang dimiliki oleh perusahaan Galaxy World. Tak ada satu orang pun yang berani mengeluarkan kata-kata. Mereka merasa tidak layak mengajukan diri sebagai partner bisnis Galaxy World karena penghasilan dari perusahaan mereka hanya bernilai milyaran per tahunnya.

”Kondisikanlah niatmu, Nona! Aku mau hadir ke sini karena istriku. Jika bukan karena dia, aku tidak akan muncul di tempat umum,” ucap Cakra sambil menatap tajam ke arah Nona Mang.

Nona Mang hanya terdiam sambil menahan kekesalan di dalam hatinya. Ia sangat mengagumi Cakra yang tampan dan kaya raya. Tapi ia juga sangat membenci sikap Cakra yang dingin, ketus, dan kejam.

Cakra hanya tersenyum sinis mendengar pergumulan di dalam hati Nona Mang. Ia memeriksa arloji yang ada di tangan kirinya. Sudah lebih dari empat puluh lima menit, Chessy tak kunjung muncul kembali di hadapannya. Membuat ia sangat mengkhawatirkan Chessy karena ia juga tidak mampu menangkap suara Chessy dari radius 5 kilometer.

Ke mana Chessy?” batinnya. ”Bukankah tadi aku masih bisa mendengarkan pembicaraan dia dan sahabatnya?

”Tolong ...!” seru Arabella sambil melangkah memasuki ballroom tempat perjamuan bisnis tersebut.

Cakra langsung memutar kepalanya begitu ia mendengar suara Arabella muncul dari salah satu pintu ballroom. Ia bisa melihat luka dan darah yang mengucur di lengan Arabella.

Tanpa pikir panjang, Cakra langsung berlari menghampiri Arabella. ”Di mana istriku?”

”Dia dibawa pergi sama orang yang nggak kami kenal. Aku sudah berusaha nolong dia. Tapi ... penjahar itu melukaiku dan aku nggak bisa melawan,” jawab Arabella lirih sembari menatap wajah Cakra.

”ALVARO ...!” teriak Cakra sekuat tenaga.

Alvaro yang berjaga di luar ruang ballroom bersama anggotanya, langsung berlari menghampiri Cakra begitu mendengar teriakan dari adik sepupunya itu.

”Ada apa, Cak?” tanya Alvaro.

”Kamu tidak menjaga isriku?”

”Bukannya dia di dalam sama kamu?” balas Alvaro.

”Dia pergi keluar bersama wanita ini sementara aku sibuk membicarkan bisnis dengan banyak orang di sini,” jawab Cakra. ”Kenapa kamu biarkan istriku jauh darimu?”

”Aku nggak tahu keluarnya dari mana. Dari pertama datang, dia selalu sama kamu,” sahut Alvaro.

”Aku tidak ingin kita berdebat berlama-lama. Cepat temukan istriku!” perintah Cakra.

Alvaro mengangguk.

”Minta anak buahmu yang lain untuk memeriksa sistem keamanan di gedung ini!” perintah Cakra lagi.

Alvaro mengangguk. Ia segera memberikan komando kepada anak buahnya agar bergerak cepat sesuai perintah Cakra.

Cakra segera melangkah keluar bersama Alvaro untuk mencari keberadaan istrinya. Ia harap, para penjahat yang menculik istrinya itu masih berada dalam jangkauannya.

Arabella tersenyum sinis sambil menatap punggung Cakra yang bergerak pergi. ”Rasain lo, Chess! Gue nggak akan biarin lo hidup bahagia dan pamer kebahagiaan di depan gue. Gue yakin kalau saat ini Chessy sudah dibawa keluar dari kota Jakarta,” batinnya.

Cakra langsung menghentikan langkahnya begitu ia mendengar suara isi hati Arabella. Lengannya menahan tubuh Alvaro agar tidak melangkah leih dahulu meninggalkannya.

”Kenapa, Cak!” tanya Alvaro penasaran.

”Tangkap wanita itu!” perintah Cakra sambil menunjuk tubuh Arabella.

Alvaro mengangguk. Ia segera memerintahkan beberapa anak buahnya untuk menyeret Arabella keluar dari tempat pesta tersebut.

Arabella membelalakkan matanya mendengar perintah Cakra. ”What the hell? Gue juga korban di sini. Kenapa kalian malah mau nangkap gue, hah!?” serunya pada beberapa pria bertubuh kekar yang menghampirinya.

”Ini perintah,” sahut salah seorang pria yang ada di sana.

”Kalian nggak lihat tangan gue luka kayak gini, hah!? Bukannya ditolongin, malah mau nangkap gue? Manusia nggak punya hati!” seru Arabella kesal.

”Bawa dia ke rumah sakit dan jangan dilepaskan sampai aku menemukan istriku!” perintah Cakra.

Empat orang anak buah Alvaro mengangguk dan segera menjalankan perintah dari Cakra.

”Gila kalian, ya!” sentak Arabella. Ia menoleh ke dalam ballroom dan menatap Nona Mang yang berdiri sangat jauh darinya. Ia ingin meminta pertolongan pada atasannya itu. Tapi anak buah Cakra sudah lebih dulu menyeretnya keluar dari gedung tersebut.

”Cak, kamu yakin kalau dia terlibat dalam kasus penculikan Chessy?” tanya Alvaro sambil menatap wajah Cakra begitu.

”Kamu masih meragukanku?” tanya Cakra balik.

”Nggak. Cuma masih heran aja. Bukannya dia sahabat baik istrimu. Tangan dia juga luka parah karena nolongin Chessy. Bisa jadi ...”

”Aku paling benci manusia penuh sandiwara!” sambar Cakra.

Alvaro terdiam. Ia langsung mengerti maksud dari Cakra dan memeriksa ponsel untuk mengetahui hasil kerja anak buahnya yang ia perintahkan mengecek CCTV gedung tersebut.

”CCTV di gedung ini sengaja dimatikan saat kejadian, Cak. Semua CCTV mati. Artinya, penculikan ini sudah direncanakan sebelumnya dan mereka mengetahui sistem keamanan di gedung ini tidak terlalu baik,” ucap Alvaro.

Cakra terdiam sambil mengedarkan pandangannya ke arah luar gedung. ”Kalau begitu, kamu cek CCTV yang berseberangan dengan gedung ini dan juga CCTV jalan. Periksa semua nomor kendaraan yang keluar-masuk gedung ini dan kepemilikannya. Cepat!” perintahnya lagi.

Alvaro mengangguk. Ia bergegas menuruti perintah Cakra dan mengerahkan seluruh anak buahnya untuk memeriksa seluruh CCTV terdekat dan memeriksa kepemilikan setiap kendaraan yang lewat melalui data kepolisian yang terintegrasi.

Cakra terdiam sambil memejamkan mata untuk menangkap suara-suara yang kemungkinan berhubungan dengan istrinya. ”Aku pasti menemukanmu, Chessy. Maafkan aku yang lalai menjagamu.

 

(Bersambung ...)

 

 

 

Thursday, January 16, 2025

The Cakra Bab 118 - Sandiwara Arabella || a Romance Novel by Vella Nine

 



“Orang-orang itu sedang berusaha menipumu?” tanya Cakra saat Chessy menghampirinya kembali.

Chessy mengangguk. “Apa aku kelihatan bodoh banget hari ini?”

Cakra menggeleng. “Aku perkenalkan kamu dengan beberapa pengusaha besar di kota ini.”

Mata Chessy berbinar mendengar ucapan Cakra.

Cakra merangkul pinggang Chessy. Ia segera melangkah menghampiri empat pria paruh baya yang sedang asyik membicarakan bisnis mereka.

“Selamat malam, Tuan Cakra!” sapa salah seorang pria dengan cepat begitu mengetahui jika Cakra menghampirinya.

“Malam,” balas Cakra. Hampir semua pengusaha besar sangat mengetahui sosok Cakra. Satu-satunya pewaris di keluarga Hadikusuma.

“Ternyata rumor kalau Presdir Galaxy akan datang di pesta ini, benar. Kami pikir, Presdir Galaxy tidak akan sudi berkunjung ke pesta bisnis yang kecil seperti ini.”

Cakra tersenyum menanggapi ucapan pria paruh baya yang menyapanya dengan tangan terulur ke arahnya. “Aku tidak berpikiran sesempit itu. Jika ada waktu, aku pasti datang ke acara apa pun yang mengundangku,” sahutnya sembari menyambut uluran tangan dari pria paruh baya berjas cokelat itu.

“Wah ... tentunya keberuntungan yang bisa membuat Tuan Cakra hadir hari ini.”

Cakra hanya tersenyum kecil menanggapi ucapan orang yang ada di hadapannya itu.

“Apakah rumor jika Tuan Cakra sudah beristri itu benar?” tanya pria yang lain sambil memperhatikan Chessy yang berdiri tepat di sisi Cakra.

Cakra mengangguk. “Perkenalkan, ini istri saya!”

Chessy tersenyum ke semua orang yang ada di hadapannya dan segera mengulurkan tangan untuk berkenalan.

“Istri Presdir ini cantik banget. Dia berasal dari keluarga mana? Kenapa aku nggak pernah mengenalnya?” batin seseorang sambil memperhatikan wajah Chessy dengan seksama.

“Selera seorang Presdir memang sangat tinggi. Perempuan ini cantik banget. Kulitnya mulus sempurna. Wajahnya sangat imut dan bibirnya indah sepertu buah delima. Rasanya aku ingin ...”

Cakra memperhatikan wajah orang-orang yang ada di hadapannya saat mereka sibuk mengagumi Chessy dalam hati mereka.

“Ehem ...!” Cakra berdehem. “Dia adalah puteri dari keluarga Mahendra. Saat ini dia memimpin Han Group yang berhasil aku akuisisi sebulan lalu.”

Semua orang di sana tersentak mendengar ucapan Cakra.

“Bagaimana perusahaan keluarga Handoko bisa diakuisisi oleh Galaxy? Kesalahan apa yang sudah diperbuat oleh keluarga itu?” tanya seseorang dalam hati yang mendengar pernyataan Cakra.

Sejak dulu, keluarga Hadikusuma dikenal sangat berbahaya dalam dunia bisnis. Semakin hari, perusahaannya semakin besar dan memiliki banyak pengaruh di berbagai negara di Asia-Eropa. Galaxy World berhasil menjadi salah satu perusahaan terbesar yang menguasai semua sektor bisnis.

“Selamat malam, Nona!” sapa seorang pria sambil mengulurkan tangannya ke arah Chessy. “Perusahaan saya sudah lama bekerjasama dengan Han Group. Semoga, peralihan kepemimpinan ini bisa terus membuat kerjasama kita berkembang dengan baik. Saya akan selalu memenuhi apa pun yang Nona butuhkan,” jelasnya memperkenalkan diri.

“Salam kenal, Pak!” Chessy membalas uluran tangan pria paruh baya itu sambil tersenyum manis.

Tak hanya itu. Cakra juga memperkenalkan Chessy dengan pengusaha-pengusaha besar yang sangat berpotensi menjadi mitra bagi perusahaan yang baru saja dipimpin oleh istrinya itu.

Nona Mang memperhatikan Chessy dan Cakra yang terlihat mendominasi di pesta perjamuan tersebut. Ia semakin merasa kesal karena seharusnya dialah yang menjadi pusat perhatian dalam pesta itu.

“Bell, do something for me!” pinta Nona Mang sambil berbisik di telinga Arabella.

Arabella memperhatikan Chessy yang masih berdiri berangkulan dengan Cakra. “Emang nggak bahaya kalau kita nyinggung menantu keluarga Hadikusuma?” tanyanya berbisik.

“Jangan sampai ketahuan!” sambar Nona Mang. “Lo kelarin Chessy! Gue yang bakal ngalihkan perhatian Cakra.”

Arabella mengangguk. Ia segera melangkah pergi menjauhi Nona Mang untuk menjalankan aksinya.

 

***

 

“Chess, gue mau ngomong penting sama lo. Berdua aja, bisa?” bisik Arabella saat menghampiri Chessy yang masih bersama Cakra.

Chessy menatap wajah Arabella selama beberapa detik, kemudian menoleh ke arah Cakra.

Cakra mengangguk kecil, memberi isyarat pada istrinya jika ia mengizinkan istrinya itu untuk berbincang dengan Arabella. Ia harap, hubungan Chessy dan Arabella bisa membaik seperti dulu. Ia sudah mengetahui bagaimana masa lalu Chessy. Arabella adalah satu-satunya sahabat wanita yang dimiliki oleh istrinya itu.

Chessy mengangguk ke arah Arabella sebagai tanda setuju.

Senyum di bibir Arabella langsung merekah begitu ia Chessy bersedia untuk ikut dengannya. Ia langsung menggandeng mesra lengan Chessy. “Gue kangen banget masa-masa indah saat kita masih temenan, Ches. Lo udah punya suami yang lebih dari segala-galanya dari Adit. Seharusnya, lo nggak dendam sama gue, kan? Meski gue salah, gue juga berperan penting sama hidup lo saat ini. Kalau bukan karena gue, lo nggak bakal kenal dan nikah sama Cakra, kan?” cerocos Arabella sambil melangkah memasuki lift, menuju ke rooftop gedung tersebut.

Chessy memilih untuk diam. Ia setuju dengan ucapan Arabella. Tapi ia tidak bisa menerimanya begitu saja. Baginya, kesalahan Arabella dan Adit di masa lalu, tetaplah menjadi luka yang mendalam. Tidak akan semudah itu dilupakan hanya karena statusnya saat ini yang sudah menjadi istri Cakra.

Beberapa saat kemudian, Arabella dan Chessy sudah berada di rooftop gedung tersebut. Mereka bisa menyaksikan pemandangan di sekitar sambil menikmati semilir angin malam kota tersebut.

“Lo mau ngomong apa, Bel? To the point, aja!” pinta Chessy.

Arabella tersenyum menanggapi pertanyaan Chessy. “Gue mau minta maaf ke elo, Chess. Nggak usah sinis gitu, dong! Walau gimana pun, kita ini pernah jadi sahabat baik.”

Chessy bergeming.

“Sejak lo jadi istri Cakra, sikap lo berubah banget, Chess. Gue tahu, saat ini kita udah beda strata. Lo udah punya segalanya dan nggak mau berteman lagi sama gue,” ucap Arabella.

Chessy langsung memutar kepalanya menatap Arabella. Sebelah alisnya terangkat dengan kening sedikit mengenyit. “Lo salah, Bel. Gue nggak pernah berubah. Lo yang bikin gue berubah. Gue nggak mau berteman sama lo bukan karena status sosial gue saat ini, tapi karena sakit hati sama lo!”

Arabella menundukkan kepala sambil memasang wajah muram. “Gue minta maaf, Chess!” ucapnya lirih. “Gue juga nggak bisa mengendalikan diri gue sendiri. Gue sayang banget sama Adit.”

Chessy menatap Arabella selama beberapa saat, kemudian menghela napas. “Sudahlah. Nggak ada gunanya juga aku kayak gini. Sudah waktunya aku melepaskan masa lalu supaya aku bisa hidup tenang sama masa depanku,” batinnya.

“Sebenarnya, gue udah maafin lo dari dulu, Bel. Cuma ... gue nggak bisa balikin hubungan kita kayak dulu lagi. Gue ngerasa ... kita sudah jadi orang asing dan biarkan aja kayak gini terus. Gue pengen hidup tenang bareng Cakra,” ucap Chessy sambil menatap wajah Arabella.

“Jadi, lo udah nggak mau berteman sama gue kayak dulu lagi, Chess?” tanya Arabella dengan mata berkaca-kaca. “Chess, lo tahu sendiri kalau gue juga nggak punya siapa-siapa di kota ini. Satu-satunya saudara yang gue punya, cuma lo aja, Chess.”

Kalo lo ngerasa gue saudara lo, kenapa lo khianati gue, Bel? Lo nggak tahu gimana sakitnya dikhianati sama orang terdekat?” batin Chessy dengan mata berkaca-kaca. Ia teringat semua hal yang telah ia jalani bersama Arabella. Mereka kerap membeli makanan satu porsi dimakan berdua karena tidak punya cukup uang.

“Lo yang bodoh, Bell! Hubungan kita nggak akan jadi kayak gini kalo lo nggak selingkuh sama Adit. Gue sama Adit boleh nggak berjodoh. Gue bisa ikhlas ngelepasin dia. Tapi kenapa harus lo yang ada di antara kami?” ucap Chessy penuh kekecewaan. Air matanya jatuh perlahan karena tak kuasa lagi untuk membendungnya.

“Iya. Gue tahu, Chess. Makanya, gue di sini pengen minta maaf sama lo. Gue pengen perbaiki hubungan kita lagi. Bisa, kan?” tanya Arabella sambil menitikan air mata menatap Chessy.

Chessy mengangguk kecil. Ia sudah cukup lelah dengan rasa sakitnya sendiri. Sudah saatnya ia harus melepaskan semuanya.

Arabella tersenyum. Ia segera menghapus air matanya dan mendekap tubuh Chessy. “Thank’s, Chess! Gue bakal berusaha jadi temen baik lo kayak dulu lagi.”

Chessy mengangguk setuju dan membalas pelukan Arabella.

Tiba-tiba, segerombolan pria berpakaian serba hitam, menarik tubuh Chessy dan Arabella bersamaan.

“Kalian siapa!?” seru Arabella sambil berusaha melepaskan diri dari pria yang sedang mencengkeram lengannya.

“Nggak penting kami siapa. Yang penting, kami bisa dapatkan Nyonya Galaxy yang sangat berharga ini,” jawab seorang pria yang sedang mencengkeram lengan Chessy.

“Kalian mau apa?” tanya Chessy.

“Hahaha. Kami mau apa? Tentu saja mau uang suamimu.”

Chessy tersenyum sinis. “Jangan berharap kamu bakal dapetin uang dari dia sepeserpun!”

“Nggak usah banyak bicara! Kita lihat saja nanti. Ikut kami!” sentak pria tersebut.

“TOLONG ...!” teriak Arabella.

PLAK ...!

Salah seorang pria yang berada di samping Arabella langsung menampar Arabella hingga tubuhnya tersungkur ke lantai.

“Diam kamu!” sentak pria tersebut.

“Bel, lo nggak papa?” tanya Chessy dengan perasaan tak karuan. Ia berusaha untuk berteriak dan memberontak. Namun, gerombolan pria yang ada di sana langsung menahan tubuh Chessy dan merekatkan lakban di mulut Chessy agar wanita itu tidak bersuara.

“LEPASIN DIA!” seru Arabella.

“Kalau kamu masih teriak lagi, pisau ini akan melukai kamu!”

“Gue nggak takut!” sambar Arabella.

“Oh, ya?” pria itu langsung menggoreskan pisau tersebut ke lengan Arabella.

“Aaargh ...!” Arabella berteriak histeris.

Chessy berusaha memberontak saat melihat Arabella dilukai oleh para pria itu. Namun, tenaga yang ia miliki tak mampu untuk melawan banyaknya pria yang ada di sana.

“Kamu kasih tahu ke Tuan Galaxy kalau istri tercintanya ada di tangan kami. Kami minta tebusan Lima Milyar!” ucap pria itu sambil menatap Arabella.

“Cepat bawa pergi perempuan ini!” perintah pria itu sambil menunjuk Chessy.

“Yang satunya, bos?”

“Nggak perlu dibawa! Dia nggak berguna. Nggak ada harganya,” jawab pria yang dipanggil bos.

“Lepasin!” seru Chessy.

“Berisik!” salah seorang pria langsung mengeluarkan sapu tangan yang sudah diisi obat bius dan menempelkan di hidung chessy dengan erat.

“CHESSY ...!” teriak Arabella sekuat tenaga.

Chessy masih berusaha memberontak, tapi pandangan matanya semakin meredup. Lamat-lamat, suara Arabella yang terus memanggil namanya semakin menghilang. Dalam ingatan terakhirnya, ia hanya melihat luka dan dan darah segar yang keluar dari lengan Arabella. “Maafin gue udah bikin lo luka, Bel,” batinnya hingga ia tidak lagi sadarkan diri.

Arabella tersenyum sinis saat melihat Chessy sudah tak sadarkan diri karena pengaruh obat bius yang diberikan oleh preman-preman itu. “Gue nggak akan biarin lo hidup bahagia terus, sementara gue menderita,” batinnya.

 

 ((Bersambung))

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas