“Jangan sampai mamaku tahu kalau Chessy menghilang!” perintah
Cakra pada Fikri dan Alvaro saat mereka semua sudah masuk ke dalam rumah
apartemen milik Cakra.
“Tapi, gimana kita bisa dapetin Chessy kalau nggak pakai
media? Kamu aja nggak tahu di mana posisi Chessy meski kamu bisa dengar suara
dari kejauhan,” sahut Alvaro.
Cakra langsung menatap tajam ke arah Alvaro. “Aku beri
kamu dua pilihan, bantu atau pergi?”
Alvaro menelan ludah sambil menggaruk kepalanya yang
tidak gatal. “Iya, bantu. Aku bantu!” ucapnya.
“Ngopo aku nduwe dulur koyok ngene iki, cah?” batinnya.
“Kalo bukan adekku, wes tak pites ndase!” lanjutnya sambil menahan gemas di
dalam pikirannya.
Cakra memilih untuk diam. Membiarkan Alvaro mengutuknya
dalam hati seperti biasa. Ia sudah terbiasa mendengarkan isi hati Alvaro dan
semua kemelut hatinya, termasuk semua kekesalannya. Ia tidak pernah tersinggung
dengan caci-maki Alvaro saat sedang emosi. Karena ia tahu jika jauh di dalam
lubuk hati Alvaro sangat menyayanginya. Jika tidak, mana mungkin Alvaro rela
mengabdikan diri untuk menemaninya setiap saat.
Alvaro mengeluarkan laptop dari tas ransel yang ia bawa
dan mengecek semua laporan anak buahnya yang sudah masuk.
“Ada perkembangan, Mas?” tanya Fikri lirih sambil
menghampiri Alvaro yang sudah duduk di sofa.
Alvaro tak langsung menyahut. “Bikinkan aku kopi dulu, Fik!
Raiso mikir aku kalo nggak ngopi sek,” perintahnya.
“Siap, Mas!” sahut Fikri sambil memberi hormat dan
segera ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi pesanan Alvaro.
Alvaro terus mengamati beberapa video rekaman CCTV di sekitar gedung yang telah berhasil
dikumpulkan oleh anak buahnya.
“Mmh ... semua mobil yang masuk adalah mobil-mobil
elite. Mana yang paling mencurigakan?” batin Alvaro. Ia segera mengeluarkan
ipad yang ia miliki dan mencatat setiap sudut peristiwa berdasarkan waktu agar
ia bisa mencocokkan dengan semua waktu CCTV yang ada.
“Jam 7.30, Chessy dan Cakra masuk gedung. Chessy
menghilang di jam 10.30. CCTV di dalam gedung bisa mati semua karena diretas di
jam 9.00. Oke, ini bukan penculik biasa. Mereka pasti sudah merencanakannya
dengan baik,” batin Alvaro sambil mengamati data yang ia terima.
Cakra terdiam sambil menyimak isi hati Alvaro. Ia
terlihat sangat tenang, tapi dalam hatinya sedang bergejolak hebat. Ia ingin
marah pada dirinya sendiri karena tak mampu mengetahui keberadaan Chessy,
bahkan dengan indera keenam yang ia miliki. Ia juga kecewa pada dirinya sendiri
karena terlalu percaya pada sahabat Chessy dan ia lalai dalam menjaga istrinya
itu.
“ Artinya ... para penculik itu beraksi di jam 9.00
sampai jam 10.30. Ini bukan waktu yang cepet banget. Aku harus cek pergerakan
kendaraan sekitar di jam ini,” batin Alvaro lagi.
TING!
“Bang, gue nemuin CCTV dari arah belakang gedung. Udah
gue kirim ke email lo, Bang.” Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Alvaro.
Alvaro segera mengecek email masuk dan mengunduh video
berdurasi dua menit yang baru saja dikirimkan oleh salah satu anak buahnya asal
Jakarta. Tak membutuhkan waktu lama, Alvaro langsung bisa melihat rekaman mobil
box yang keluar dari dalam gedung pada jam 10.00 malam.
“Kenapa mobil es batu gini dikasihkan ke aku? Goblok!” umpat
Alvaro kesal karena anak buahnya mengirimkan video mobil box bertuliskan merk
es batu kristal yang kemungkinan dikirimkan ke dalam gedung untuk jamuan makan
malam tersebut.
Cakra yang duduk di hadapan Alvaro, langsung bangkit
begitu mendengar umpatan Alvaro. Ia segera menghampiri Alvaro, merebut laptop
milik sepupunya itu dan mengamati video yang baru saja dikirim oleh anak buah
mereka.
“Cuma ini kendaraan yang keluar dari gedung sebelum jam
10.30?” tanya Cakra.
“Iya. Semua tamu keluar dari gedung di atas jam 11.30.
Cuma kita aja yang keluar duluan dan ...?” Ucapan Alvaro tiba-tiba terhenti dan
menatap wajah Cakra.
“Periksa mobil ini!” perintah Cakra.
Alvaro mengangguk. Ia segera melakukan panggilan grup ke
beberapa anak buahnya untuk mendapatkan lebih banyak rekaman CCTV di waktu yang
sama agar ia bisa melihat sampai di mana pergerakan mobil box tersebut.
Beberapa jam kemudian, semua anak buah Alvaro berhasil
mengumpulkan rekaman CCTV lalu lintas di waktu yang bersamaan sesuai dengan
waktu pergerakan mobil box itu sejak keluar dari dalam gedung.
“DJANCOK ...!” maki Alvaro begitu mengetahui kalau mobil
box es batu kristal itu masuk ke dalam area bandara. “Mereka mau ngelabuhi
kita, cok! Masa iya, mobil box malah ke bandara? Bukan pulang ke perusahaan
mereka?”
“Kita cari ke
sana!” ajak Cakra.
“Bentar, Cak! Nggak bisa gegabah nyarinya. Airport bukan
tempat sembarangan. Keamanan di sana juga cukup tinggi. Kalau mereka bawa
Chessy ke bandara, pasti sudah menyiapkan banyak hal. Kita nggak tahu gimana
cara mereka bawa Chessy. Aku harus koordinasi dengan polisi bandara dulu,” ucap
Alvaro.
“Bisa koordinasi di mobil sambil jalan. Kita tidak bisa berdiam
diri di sini. Bagaimana keadaan istriku di tangan orang lain? Aku tidak ingin
dia terluka lebih banyak,” pinta Cakra.
“Ini jam sibuk, bos. Jalanan kota Jakarta lagi macet
parah. Aku siapkan pilot dulu. Kita naik helikopter saja ke bandara,” ucap
Fikri sambil menatap layar televisi yang menunjukkan hasil pemantauan lalu
lintas terkini dari NTMC Polri.
“Cepat!” sambar Cakra tak sabar. Waktu sudah menunjukkan
pukul 08.00 WIB. Artinya, sudah lebih sembilan jam ia kehilangan Chessy dan ia
sudah tak bisa lagi menahan rasa sabar.
Fikri mengangguk. Ia segera menghubungi pilot pribadi
keluarga Hadikusuma. Untungnya, pilot itu tinggal di apartemen yang sama dengan
mereka. Sehingga tak perlu menunggu lama untuk menyiapkan helikopter yang juga
selalu standby di atap gedung apartemen tersebut.
Beberapa menit kemudian, Fikri mendapat kabar bahwa
helikopter telah siap dan mereka semua bisa segera terbang menuju Soekarno-Hatta International Airport.
“Cak, aku pake motor aja ke bandara,” pinta Alvaro
sambil mengemasi barang-barang ke dalam ranselnya.
“Kenapa?” tanya Cakra.
“Nggak papa. Lebih leluasa bergerak kalau pakai motor,”
jawab Alvaro.
“Banyak kendaraan yang disediakan oleh bandara. Kamu
bawa kendaraan sendiri, bukankah akan lebih menyulitkan?” tanya Cakra lagi.
“Nggaklah. Aku kan polisi,” sahut Alvaro sambil
menunjukkan seragam polisi yang ia kenakan. “Aku juga mau ambil surat tugas
dari atasanku. Tanpa surat tugas, aku nggak bisa intervensi ke bandara,”
lanjutnya.
Cakra menatap Alvaro selama beberapa saat. “Al, kenapa
kamu masih bertahan menjadi bintara? Bukankah kamu bisa dengan mudahnya menjadi
seorang jenderal?” tanyanya dengan wajah serius. Ia merasa miris dengan pilihan
hidup Alvaro yang masih berada di bawah perintah orang lain.
“Males, Cak. Jadi jenderal tanggung jawabnya besar.
Banyak yang harus diurusi. Kalau kayak gini, aku Cuma ngurus diriku sendiri
aja. Bisa sambil ngurus perusahaanku juga. Kalau jadi jenderal, harus ngurusin
ratusan ribu anak buah. Anak buahku yang baru dua puluh biji aja aku sudah
pusing sama kelakuan mereka,” jawab Alvaro.
Cakra tersenyum kecil. “Baiklah. Jika kamu kesulitan,
jangan sungkan untuk bicara padaku!”
Alvaro mengangguk sambil merapikan sepatu miliknya. Ia
segera bangkit dari tempat duduk dan menepuk pundak Cakra. “Amanlah. Hidupku
nggak akan lengkap kalau nggak ngerepotin kamu,” ucapnya. Ia segera beranjak keluar
lebih dulu agar bisa mengejar waktu dan bisa sama-sama sampai ke bandara meski
ia hanya menggunakan sepeda motor.
((Bersambung ...))