“Cha, aku pergi ya! Kamu yang rajin kerjanya!” pamit Yuna
setelah mengemasi barang-barang pribadinya yang ia bawa ke tempat kerja.
“Yun, kita semua pasti bakal kangen banget sama kamu.
Kenapa harus berhenti, sih? Padahal, Bos Lian nggak nyuruh kita berhenti.”
Yuna tersenyum. “Aku juga bakal kangen sama kalian semua.
Kita masih bisa ketemu, kok. Pintu rumah aku, selalu terbuka untuk kalian.”
“Pintu kantor ini juga selalu terbuka buat kamu, Yun.
Apalagi Bos Lian, dia pasti bakal kangen kalo nggak ada kamu.”
“Hush, jangan ngomong gitu! Kalo didenger sama Bellina,
kalian bisa habis!” sahut Yuna.
“Huft, iya ya? Kalo nggak ada kamu. Nggak ada lagi yang
bisa belain kita. Bu Belli pasti bakal lebih merajalela menindas kita.”
“Telpon aku kalo dia berani macam-macam sama kalian! Ntar
aku hadang di simpang jalan,” sahut Yuna.
“Hahaha.” Semua tergelak mendengar candaan Yuna.
Yuna tersenyum. Ia mengangkat kotak barangnya dan melangkah
dengan berat hati keluar dari ruangannya.
“Yuna ...!” seru Icha dan beberapa karyawan yang lainnya.
Mereka langsung menangis sambil memeluk tubuh Yuna.
“Kamu beneran pergi, Yun?”
“Yun, setelah keluar dari sini, kamu harus hidup lebih
baik. Punya karir yang lebih baik.”
“Iya, Yun. Kalo nggak dapet yang lebih baik, kamu balik ke
sini ya! Kita bakal nunggu kamu.”
Yuna tersenyum sambil menatap rekan-rekan kerjanya dengan
mata berkaca-kaca. Ia tak menyangka kalau waktu berjalan begitu cepat. Dalam
waktu yang singkat, ia bisa merasakan kehangatan di tempat kerjanya. Saling
mendukung, mengatasi setiap masalah bersama-sama. Seperti sebuah keluarga.
Yuna melepaskan dirinya dan melangkah perlahan keluar dari
ruang kerjanya. Ia langsung masuk ke dalam lift dan turun ke lobi. Di sana, ada
seorang pria tampan yang telah menunggu kedatangannya.
“Lama ya nunggunya?” sapa Yuna sambil menghampiri Yeriko.
Yeriko menggelengkan kepala.
“Udah pamitan?” tanya Yeriko.
Yuna menganggukkan kepala. Ia menghela napas sejenak. “Aku
belum pamitan sama Lian.”
“Kenapa?”
“Dia belum masuk kantor.”
“Nggak papa. Kalo nggak ketemu hari ini, masih bisa ketemu
besok.”
Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala. Ia dan Yeriko
melangkah keluar dari pintu utama kantor Wijaya Group.
“Pergi sekarang?” tanya Lian yang kebetulan baru sampai
kantor bersama Bellina.
Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Makasih kamu
udah ngasih aku kesempatan bergabung di perusahaan ini. Belajar banyak hal,
punya banyak teman dan pastinya ... ini pengalaman pertamaku yang paling
berharga.”
Lian tersenyum sambil menganggukkan kepala. “Semoga kamu
bisa menjadi lebih baik di tempat yang baru.” Ia menoleh ke arah Yeriko
sejenak. “Kapan pun kamu mau, perusahaan ini akan selalu nerima kamu kembali.”
Yuna mengangguk. Ia melangkahkan kakinya perlahan. “Bye!”
ucap Yuna saat melintas sejajar dengan tubuh Lian.
Yeriko tersenyum menatap Lian dan mengikuti langkah Yuna
dari belakang.
Lian memutar tubuhnya menatap punggung Yuna dan Yeriko yang
perlahan menjauh. Ia tak bisa lagi melihat wajah cantik Yuna dari balik
jendela. Melihatnya tertawa bersama teman-teman kerjanya. Melihatnya begitu
energik setiap melakukan pekerjaan. Melihat wajah cantiknya setiap pagi saat
masuk kerja dari balik kaca mobilnya.
“Bye, Ayuna ...!” bisik Lian dalam hati.
Bellina yang berdiri di samping Lian langsung merangkul
Lian sambil menatap kepergian Yuna. Di bibirnya terlukis goresan bahagia
mengiringi kepergian Yuna dari kantor Wijaya.
“Yun, mau langsung ke rumah sakit atau pulang dulu?” tanya
Yeriko sambil membukakan pintu mobil untuk Yuna.
“Pulang dulu. Ntar aku ke rumah sakit naik taksi aja bareng
Bibi.”
Yeriko mengernyitkan dahi. “Kamu nggak mau ajak aku ketemu
ayah kamu?”
“Kamu kan kerja. Aku udah nggak kerja. Punya banyak waktu
buat nemenin ayah di rumah sakit.”
“Oke.” Yeriko menutup pintu mobil. Ia melangkah mengitari
mobilnya, membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi.
“Kamu tunggu aku di rumah sakit. Ntar aku jemput kamu kalo
udah pulang kerja!” pinta Yeriko sambil menjalankan mobilnya perlahan keluar
dari halaman kantor Wijaya.
Yuna menganggukkan kepala. “Besok jadi kan ke
pameran?”
Yeriko menganggukkan kepala. Ia terus melajukan mobilnya.
“Aku pengen lihat karya-karya seniman lokal di sana. Kayaknya bagus-bagus. Tas
ini, dikasih sama Mama Rully. Katanya dari Bunda Yana. Salah satu karya seniman
kriya di sini. Bagus kan?” tutur Yuna sambil menunjukkan tas rajut yang ia
pakai.
Yeriko menganggukkan kepala tanpa menoleh ke arah Yuna.
“Iih ... nggak lihat tapi udah ngangguk aja.” Sahut Yuna.
“Aku udah lihat dari tadi,” sahut Yeriko. “Oh ya, hari ini
mau ngapain aja selain jenguk ayah?”
“Mmh ... aku mau bikin makanan buat ayah sebelum berangkat
ke rumah sakit. Mmh ... abis itu belum tahu mau ngapain.”
Yeriko tersenyum sambil melirik Yuna lewat kaca spion. “Aku
bakal pulang cepet buat nemenin kamu. Kalo bosan di rumah, kamu bisa pergi
jalan-jalan sama Jheni atau Icha.”
“Icha sibuk kerja. Kalo ada waktu luang, pasti udah
dicolong duluan sama Lutfi.”
“Jheni? Bukannya dia freelancer?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Dia pasti punya banyak waktu buat nemenin kamu.”
Yuna menganggukkan kepala. “Boleh jalan ke mana aja?”
Yeriko mengangguk. “Asal bisa bikin kamu senang.”
“Ke bar?”
“Nggak boleh.”
“Kenapa?”
Yeriko langsung menghentikan mobilnya yang kebetulan sudah
memasuki pekarangan rumah.
“Nggak boleh ke sana tanpa aku! Nggak boleh minum alkohol!”
pinta Yeriko.
Yuna menganggukkan kepala. Matanya tertuju pada tas rajut
yang ada di pangkuannya. “Mmh ... bukannya aku bisa knitting? Aku mau bikin
sesuatu buat Yeri. Mudahan dia suka,” bisik Yuna dalam hati. Ia langsung keluar
dari mobil.
“Aku langsung berangkat kerja!” pamit Yeriko tanpa keluar
dari dalam mobil.
Yuna menganggukkan kepala. “Hati-hati ya!”
Yeriko mengangguk. Ia segera menjalankan mobilnya keluar
dari pekarangan rumah dan melaju menuju kantornya.
Yuna tersenyum sambil masuk ke dalam rumah. “Pagi, Bi!”
sapa Yuna sambil meletakkan box miliknya ke atas meja.
“Pagi ...!” sahut Bibi War. “Kok, tumben banget pagi-pagi
udah pulang kerja? Lagi nggak enak badan?”
Yuna menggeleng sambil menghampiri Bibi War. “Aku udah
berhenti kerja,” ucapnya sambil tersenyum.
“Hah!? Berhenti kerja?” tanya Bibi War dengan wajah
sumringah.
Yuna mengangguk sambil tersenyum.
Bibi War tertawa bahagia sambil memeluk Yuna. “Akhirnya
...”
Yuna tersenyum sambil membalas pelukan bibi War. “Bi, bantu
aku bikin makanan buat ayah ya!” pinta Yeriko. “Asupan makanan untuk ayah nggak
boleh sembarangan. Aku udah minta resep makanan dari ahli nutrisi yang ngerawat
ayah. Aku pergi belanja bahannya dulu. Nanti, Bibi juga temani aku ke rumah
sakit ya!” pinta Yuna.
Bibi War menganggukkan kepala.
Yuna langsung memesan taksi online untuk berbelanja.
Bibi War tersenyum menatap kepergian Yuna. Ia sangat senang
setiap kali melihat Yuna begitu ceria menjalani harinya. Ia membayangkan
bagaimana ramainya rumah ini jika Yuna dan Yeriko sudah memiliki seorang anak.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus. Jangan lupa kasih Star Vote juga biar aku
makin semangat nulis dan bikin ceritanya lebih seru lagi. Makasih buat yang
udah kirimin hadiah juga, bikin aku makin semangat deh.
Selalu sapa aku dengan komen di bawah ya! Kasih
kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment