“My honey bear unyu-unyu ...! Makasih ya udah bantuin aku!”
seru Yuna sambil memainkan kedua pipi Yeriko.
“He-em.” Yeriko menganggukkan kepala. “Mau
belanja apa lagi?”
Yuna menggelengkan kepala. “Mau makan,
laper.”
“Mau makan di apa?”
“Mie kocok yang di depan sana.”
“Oke. Aku bawa ini dulu ke mobil.” Yeriko
mengangkat paper bag yang ada di kedua tangannya.
Yuna mengangguk, ia menunggu Yeriko di depan
pintu plaza. Beberapa menit kemudian, Yeriko sudah kembali menghampirinya.
Mereka melangkah beriringan menuju tempat makan yang diinginkan oleh Yuna.
“Yun, apa keluarga tante kamu memang sering
menindas kamu kayak gitu?”
Yuna tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Aku udah biasa. Udah kebal.”
“Kamu jangan sok kuat! Lain kali, kalo ada
masalah sama mereka, kamu harus cerita sama aku.”
“Eh!? Aku nggak ada masalah apa-apa, kok.
Mungkin, mereka kangen sama aku.” Yuna menghela napas sambil melangkahkan
kakinya. “Lagian, aku nggak mau ingat masa lalu itu,” tuturnya lirih sambil
menatap lantai yang ada di bawahnya.
“Ya udah, nggak usah dibahas. Oh ya, gimana
kalo kamu ceritain ke aku ... masa-masa kamu di Ausie?” tanya Yeriko.
“Sama beratnya,” jawab Yuna sambil menatap
pilu ke arah Yeriko.
Yeriko melirik ke atas.
“Kamu aja yang ceritain tentang masa kecil
kamu. Gimana?”
“Boleh. Aku pesen makanannya dulu!” Mereka
bergegas masuk ke rumah makan tersebut. Yeriko segera memesan dua porsi mie
kocok. Kemudian, mereka duduk sambil berbincang.
“Ayo, ceritain!” pinta Yuna.
“Cerita apa?”
“Masa kecil kamu.”
“Masa kecilku?”
Yuna menganggukkan kepala.
Yeriko tersenyum. “Masa kecilku, aku selalu
bermimpi jadi seorang prajurit seperti kakek. Saat itu, aku ngerasa hebat
banget kalo bisa menyelamatkan banyak orang. Mmh ... waktu itu aku lihat kakek
sangat tampan, gagah dan pemberani.”
Yuna menopang dagu dengan kedua tangan sambil
mendengarkan cerita Yeriko. “Yer, kamu juga sangat tampan, gagah dan pemberani.
You are my hero!” gumam Yuna dalam hati.
“Kenapa lihatin aku kayak gitu?” tanya Yeriko
sambil mencubit hidung Yuna.
“Ganteng banget,” jawab Yuna sambil menatap
Yeriko tanpa berkedip.
“Kamu ini ... kayak nggak pernah lihat suami
kamu aja.”
“Bukan kamu.”
Yeriko mengernyitkan dahi. “Terus?”
“Itu!” Yuna menunjuk pria muda yang duduk di
belakang Yeriko.
Yeriko memutar kepalanya. Ia langsung
mengernyitkan dahi menatap Yuna. “Kamu ...!? Mau main-main sama aku?”
dengusnya.
Yuna meringis. “Hehehe. Bercanda.”
Yeriko kembali menoleh ke belakang. Pria muda
yang ada di belakangnya memang sangat tampan. Bisa jadi, usianya selisih
sepuluh tahun dengan dirinya.
“Aku bercanda. Kamu serius banget
nanggepinnya.” Yuna memutar kepala Yeriko agar menatap ke arahnya.
“Tukar tempat duduk!” pinta Yeriko.
“Kenapa?” tanya Yuna sambil menahan tawa.
Yeriko bangkit. Ia menarik lengan Yuna agar
duduk membelakangi pria muda tersebut.
“Kamu cemburu?” tanya Yuna saat mereka sudah
bertukar tempat duduk.
“Apa masih harus kamu tanya?” sahut Yeriko
ketus.
Yuna menatap makanan dan minuman yang sedang
dihidangkan oleh pelayan ke mejanya.
“Kamu udah setua ini, masih aja cemburu sama
berondong,” celetuk Yuna.
“Apa? Kamu bilang aku tua?”
Yuna langsung menatap wajah Yeriko sambil
menahan tawa.
“Masih muda, kok. Masih unyu-unyu banget.”
“Kamu nggak boleh lihat cowok lain selain aku!”
“Eh!? Aku disuruh merem?” tanya Yuna sambil
memejamkan matanya. “Di sini ada banyak cowok.”
“Nggak gitu.”
“Terus, aku harus gimana biar kamu seneng?”
tanya Yuna sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Nggak usah bercanda terus!” Yeriko meraih
telapak tangan Yuna dan memaksa Yuna memperlihatkan wajahnya.
“E-eh, makanannya tumpah.” Yuna langsung
menahan gelas minumnya yang hampir tumpah.
“Kamu minta digigit? Awas ya, kalo sampe
rumah, aku bakal bikin perhitungan!” bisik Yeriko.
“Ah, aku nggak suka berhitung. Aku sukanya
bercinta.”
“Kamu ...!?” Yeriko menoleh ke sekelilingnya.
Andai tidak berada di tempat umum, ia pasti langsung menelan Yuna
mentah-mentah.
Yuna terkekeh sambil menatap raut wajah
Yeriko.
Yeriko menghela napas dan memperbaiki posisi
duduknya. “Kamu jangan mancing aku di tempat umum!”
“Mancing apaan? Kita lagi makan,” sahut Yuna
sambil menahan tawa.
“Abis makan, kamu yang kumakan!” dengus
Yeriko.
“Iih ... takut!” sahut Yuna sambil tertawa.
“Nggak usah bercanda terus! Cepetan
makannya!” pinta Yeriko.
“Kenapa? Udah nggak tahan?” tanya Yuna sambil
melirik Yeriko.
Yeriko menatap wajah Yuna tanpa berkedip.
“Apa kamu mau aku makan di sini sekarang juga?”
“Maauu ...!” sahut Yuna sambil menyodorkan
lehernya ke arah Yeriko.
Yeriko langsung menelan ludah melihat tingkah
istrinya. Ia menyentil dahi Yuna.
“Aw ... sakit!” seru Yuna.
“Kamu makin hari makin genit aja.”
“Yaelah. Cuma sama suami doang genitnya.
Lagian, aku cuma bercanda. Serius banget nanggepinnya?”
Yeriko tersenyum kecil. Walau hanha candaan,
tapi gairah cintanya sungguh hadir dan bukan sebagai candaan.
“Yer, kamu suka rasa stroberi?”
“Suka.”
“Udah pernah makan mie kocok rasa stroberi?”
tanya Yuna lagi.
“Hah!? Emang ada?”
“Ada.”
Yeriko celingukan mencari nama menu yang
dimaksud oleh Yuna. “Menu baru ya?”
Yuna mengangguk. “Aku tadi beli lipbalm rasa
stroberi. Udah aku pakai. Kamu mau cobain?”
Yeriko tertawa kecil sambil menatap Yuna.
“Kamu ini ada-ada aja. Masa aku disuruh pake lipbalm?” tanyanya sambil menyuap
makanan ke mulutnya.
Yuna bangkit dari tempat duduk. Ia
mencondongkan tubuhnya ke wajah Yeriko dan langsung mengulum bibir suaminya.
Yeriko tertegun beberapa saat. Ia menarik
tengkuk Yuna dan membalas ciuman Yuna penuh kehangatan.
“Kamu udah makin berani ya?” tanya Yeriko.
“Emangnya mau takut apa?”
“Banyak orang yang lihatin kita.”
“Biar aja. Biar mereka tahu, kalo aku lagi
bahagia.”
Yeriko tersenyum sambil mengetuk dahi Yuna.
“Ayo, pulang!” Ia mengeluarkan selembar uang seratus ribu dan meletakkan di
atas meja.
Yeriko bangkit dan langsung menarik Yuna
bangkit dari kursinya. Ia merangkul pundak Yuna dengan mesra. Tak peduli pada
banyak pasang mata yang menatap mereka penuh rasa cemburu. Mereka bergegas kembali ke
rumah.
(( I can almost hear him now ... Gotta make him proud ... I
keep my eyes wide open ... ))
Yuna bersenandung menyanyikan lagu ‘Eyes Wide
Open’ sambil mengeluarkan paper bag dari dalam mobil saat mereka sudah sampai
di rumah.
“Kamu bisa nyanyi?” tanya Yeriko sambil
meraih paper bag dari tangan Yuna.
“Bisa. Tapi suaranya hancur. Hahaha,” jawab
Yuna.
Yeriko tersenyum. Ia tak menyangka kalau Yuna
memiliki suara yang merdu saat bernyanyi. Selama mereka menikah, ia tak pernah
mendengar Yuna bersenandung begitu riang. Hingga tak pernah mengetahui kalau
istrinya memiliki suara yang begitu indah untuk didengar.
“Nggak mau gendong lagi?” tanya Yeriko sambil
membungkuk di depan Yuna.
Yuna menggelengkan kepala. “Kasihan, udah
bawa belanjaan.”
“Kalo gitu, kamu yang gendong aku masuk
rumah!” pinta Yeriko. Ia berlari ke belakang punggung Yuna dan
merangkulkan tangannya ke pundak Yuna.
“Yeriko ...! Kamu berat banget. Aku mana bisa
gendong kamu!” seru Yuna.
Yuna memutar bola matanya. Ia melangkah masuk
ke dalam rumah sambil menahan tubuh Yeriko yang bersandar di punggungnya.
“Huft ...! Badan kamu berat banget. Kenapa
sih harus nyandar di punggungku. Jalan sendiri kan bisa,” celetuk Yuna sambil
membaringkan tubuhnya ke atas sofa ruang tamu.
Yeriko tersenyum, menjatuhkan paper bag di
tangannya ke lantai. Ia langsung menelungkupkan tubuhnya ke atas tubuh Yuna.
“Biar kamu capek dan bisa langsung baring kayak gini,” ucapnya lirih.
Yuna tertawa kecil sambil menatap wajah
Yeriko. “Nggak perlu kayak gini. Aku pasti baring di ranjang dan nuruti semua
perintah kamu,” bisik Yuna di telinga Yeriko.
“Baiklah.” Yeriko bangkit dan langsung
menggendong Yuna naik ke kamarnya. Menghabiskan malamnya dengan
sentuhan-sentuhan cinta yang menggairahkan.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus. Makasih buat
yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar
ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment