“Ini masih jam setengah delapan. Mau belanja
dulu?” tanya Yeriko setelah mereka keluar dari kedai ice cream.
“Mmh ... belanja apa?”
Yeriko mengedikkan bahu. “Siapa tahu, ada
yang kamu butuhin. Mumpung masih di luar nih.”
“Oke. Kita lihat-lihat dulu ya! Mau?”
Yeriko menganggukkan kepala. Ia segera membawa Yuna ke
salah satu pusat perbelanjaan.
Walau hanya memakai piyama pendek, Yuna melenggang penuh
percaya diri.
Yeriko menatap wajah Yuna sambil berjalan.
“Eh!? Kenapa?” tanya Yuna sambil
menghentikan langkahnya.
Yeriko memutar kepala Yuna sambil memperbaiki
posisi headband yang dipakai oleh Yuna.
“Berantakan ya?” tanya Yuna sambil menyisir
rambutnya menggunakan jari.
“Udah rapi,” jawab Yeriko sambil tersenyum.
“Hehehe. Ke sana yuk!” ajak Yuna sambil
menunjuk toko pakaian. “Aku mau cari jeroan.”
“Jeroan?” Yeriko mengernyitkan dahi.
“Iih ... nggak usah diperjelas!” Yuna
langsung menarik lengan Yeriko masuk ke dalam toko.
Yuna menghentikan langkahnya saat melihat
lukisan yang ada di dalam toko.
“Kenapa?” tanya Yeriko.
“Astaga! Aku sampe lupa!” seru Yuna sambil
menepuk dahinya.
“Kenapa?”
“Ini tanggal berapa?”
“Tanggal dua belas.”
“Bunda Yana ngundang kita ke acara pameran
Dekranasda. Aku kok sampe lupa ya?”
“Oh.”
“Oh!?” Yuna mengernyitkan dahi menatap
Yeriko. “Tanggal empat belas ini udah penutupan. Nggak enak kalo nggak pergi ke
sana.”
“Kita datang pas acara penutupan aja. Masih
ada waktu dua hari.”
“Oke.” Yuna mengerdipkan mata ke arah Yeriko.
“Sekalian aja cari baju buat ke pameran
nanti!” pinta Yeriko.
“Mmh ... beliin ya!” pinta Yuna.
Yeriko tertawa kecil. “Kamu perhitungan
banget? Kartu kredit yang aku kasih belum kamu pakai?”
Yuna menggelengkan kepala.
“Kalo gitu, pakai sekarang buat beli baju dan
traktir aku ngopi!”
“Eh!?” Yuna menggaruk kepalanya yang tidak
gatal. “Aku nggak bawa dompet,” tuturnya sambil menatap manja ke arah Yeriko.
Yeriko menaikkan kedua alisnya.
“Kamu narik aku keluar rumah cuma pake piyama
doang. Kamu bahkan nggak ngasih aku kesempatan buat ngambil dompet sama hape.”
Yuna memonyongkan bibirnya.
Yeriko tertawa kecil. “Oke. Aku yang bayarin.
Lain kali, kamu harus pake kartu kredit yang aku kasih ke kamu!”
“Belum tahu mau dipake buat apa.”
“Buat traktir Jheni dan Icah belanja juga
bisa.”
“Hah!? Kamu nggak sayang sama uang kamu
sendiri? Kamu yang capek kerja setiap hari, masa aku main habis-habisin aja.”
“Aku lebih sayang sama kamu.”
“Uch ... so sweet!” seru Yuna sambil mencubit
kedua pipi Yeriko. “Ayo, kita belanja!” serunya sambil berbalik dan melangkah
mengitari isi toko.
BRUG ...!
Langkah kaki dan mata Yuna yang tidak searah,
membuatnya menabrak wanita setengah baya yang juga sedang berbelanja di toko
tersebut.
“Tante!?” Yuna membelalakkan matanya saat
bertemu dengan Mega.
“Kamu!? Kalo jalan hati-hati ya!” sentak Mega
sambil menatap wajah Yuna.
“Maaf, Tante. Aku nggak sengaja.”
“Kenapa, Ma?” tanya Bellina yang langsung
menghampiri Mega.
“Nggak papa. Ini anak kalo jalan nggak
lihat-lihat. Nabrak Mama seenaknya.”
“Yuna? Kenapa kamu cari masalah terus?” tanya
Melan. “Kamu pasti sengaja kan nabrak mamanya Lian?”
“Astaga ...! Aku nggak sengaja. Suer dah!”
sahut Yuna.
“Iya. Matamu itu nggak lihat jalan. Kenapa?
Terpesona sama baju-baju di sini yang bagus-bagus?” sahut Mega.
Yuna menarik napas. Ia mencoba mengendalikan
emosinya. Ia tersenyum sambil menatap Mega. “Iya, Tante. Baju di sini semuanya
bagus-bagus. Rasanya, pengen aku beli semua.”
“Sombong banget!” sahut Bellina. “Kamu ke
sini aja cuma pake piyama sama sandal. Sama sekali nggak berkelas. Emangnya ada
yang percaya kalo kamu bisa beli semua baju yang ada di sini?”
Yuna tersenyum menanggapi ucapan Bellina.
“Iya, emang. Aku ke sini cuma pake piyama doang. Emang kenapa kalo aku bisa
borong semua baju yang ada di sini? Kamu yang pakai baju super bagus ini, masih
kalah isi dompetnya sama cewek gembel kayak aku?”
“Kamu ...!?” Bellina geram mendengar reaksi
Yuna yang justru menjatuhkan harga dirinya. Mega dan Melan juga ikut geram
melihat tingkah Yuna.
Yuna menjulurkan lidah, ia menggoyangkan
tubuhnya dan berbalik.
“Anak sama mama sama aja kelakuannya!” seru
Mega. “Sama-sama kecentilan!”
Yuna menghentikan langkahnya begitu mendengar
ucapan Mega. Ia langsung berbalik dan menatap Mega penuh kebencian. “Tante
bilang apa?” tanya Yuna sambil mendelik.
“Anak sama mama sama-sama kecentilan!” tegas
Mega.
Yuna langsung melangkah maju dan berusaha
menyerang Mega. Namun, tubuh Melan menghalanginya.
“Astaga! Aku nggak nyangka kalau kelakuan
kamu kayak preman,” tutur Mega sambil mengelus dadanya. “Untung aja si Lian
nggak jadi sama kamu.”
“Tante jangan ngomong sembarangan ya!” sentak
Yuna. “Tante boleh aja ngehina aku, tapi nggak ada satu orang pun yang boleh
ngehina Bunda!” teriak Yuna berusaha melepaskan diri dari Melan.
“Mbak, tolong bantu saya!” pinta Melan pada
penjaga toko.
“Ada apa ini?” Yeriko langsung menarik tubuh
Yuna dan memeluk pinggang istrinya itu. “Kalian cari gara-gara sama istri
saya?”
“Istri kamu ini yang cari gara-gara sama
saya. Kelakuannya kayak preman gini. Kok, bisa kamu ambil dia jadi istri? Kalo
bukan karena sifatnya yang kecentilan itu, nggak mungkin bisa dapetin cowok
kaya,” tutur Mega kesal.
“Tante jangan ngomong sembarangan ya!” sentak
Yuna sambil menunjuk wajah Mega. “Aku nggak kayak gitu.”
Mega tersenyum sinis. “Kenyataannya yang
terlihat kayak gitu. Kamu sama mama kamu ...”
“Jangan hina Bundaku!” teriak Yuna. Ia
berusaha melepaskan diri pelukan Yeriko dan menggapai tubuh Mega. “Bunda bukan
orang yang seperti itu!”
“Yuna, tenang dulu!” pinta Yeriko sambil
menarik lengan Yuna dan memeluknya erat.
“Gimana aku bisa tenang? Mereka boleh hina
aku terus-terusan. Aku nggak terima kalo mereka sampe ngehina orang tua aku!”
sahut Yuna dengan mata berkaca-kaca.
Yeriko memejamkan mata sambil menarik napas
perlahan. Ia menarik tubuh Yuna ke belakang punggungnya dan menatap tajam ke
arah Mega dan dua orang yang ada di sampingnya.
“Kalian ini masih keluarganya Yuna. Kenapa
kalian terus-terusan menindas dia?”
“Itu karena kelakuan dia sendiri!” sahut
Melan.
“Iya. Istri kamu itu, kelakuannya kayak
preman. Kecentilan. Udah punya suami, masih aja deketin cowok lain. Dia juga
yang udah fitnah Bellina. Bilang kalo Bellina cuma pura-pura hamil. Pasti,
karena kamu masih menginginkan Wilian, kan?”
Yeriko tersenyum sinis menanggapi ucapan
Mega. “Apa Tante pikir, saya nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Bukan Yuna
yang ngejar Lian. Tapi Lian yang masih ngejar Yuna sampai sekarang. Harusnya,
Tante yang bilangin anak Tante buat nggak ngeganggu istri orang!” tegasnya.
“Nggak mungkin Lian suka sama cewek kayak
gini. Dia nggak punya apa-apa. Cuma ngandalkan wajah cantiknya aja buat godain
laki-laki kaya seperti kamu!”
“Aku tahu banget siapa istriku. Kalau bukan
karena kebaikan hati dia. Aku sudah hancurin hidup kalian!” tegas Yeriko.
Melan langsung merangkul lengan Bellina. Ia
sangat khawatir kalau Yeriko benar-benar membuktikan ucapannya untuk
menghancurkan keluarga mereka.
“Aku masih punya hati karena kalian masih
keluarga Yuna. Kalau bukan karena Yuna, aku nggak akan ngasih kalian kesempatan
buat hidup tenang. Aku cuma butuh satu kata dari Yuna buat ngancurin hidup
kalian.”
Melan dan Mega saling pandang. Dari tangan
mereka, keluar keringat dingin dan tatapan mereka tak menentu.
Yeriko tertawa sinis menatap Mega. “Asal
Tante tahu, Wijaya Group nggak ada apa-apanya sama group perusahaan saya. Saya
bisa bikin perusahaan kalian bangkrut dalam sekejap kalau saya mau.”
Mega terdiam. Ia tak berani menghadapi
tatapan Yeriko yang begitu menakutkan.
“Tante Melan, daripada Tante sibuk menindas
Yuna. Lebih baik luangkan waktu yang banyak buat ngurus Bellina dengan baik.
Ajari dia buat jadi perempuan yang lebih bermartabat!” Yeriko berbalik dan
langsung merangkul Yuna meninggalkan tiga perempuan itu.
(( Bersambung ... ))
Makasih udah dukung cerita ini terus. Makasih buat
yang udah kirimin hadiah juga. Jangan sungkan buat sapa aku di kolom komentar
ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment