Lagi-lagi, pertanyaan itu muncul dari bibir mungil milik puteriku, Livia.
Beberapa jam lalu, kami baru saja kembali dari minimarket. Livia yang masih berusia 6 tahun, mengajak untuk jajan ke minimarket yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari rumah. Sebenarnya, ada banyak toko di desaku, tapi Livia minta ke luar karena aku tahu yang sebenarnya dia inginkan adalah jalan-jalan.
Saat perjalanan pulang, tiba-tiba Livia mengajukan pertanyaan itu. Aku cuma tersenyum dan menjawab “Bapak kerja, Nak. Makanya dia di kota”.
Di tahun itu, Livia masih sangat menginginkan kedekatan dengan ayahnya. Ia masih sering mempertanyakan keberadaan sang ayah. Dia tidak mengetahui jika aku dan ayahnya sudah bercerai. Kami tidak bisa lagi tinggal bersama.
Aku sudah sering bilang pada mantan suami kalau soal anak, kita urus sama-sama. Yah, meski pada akhirnya aku harus mengurus semuanya sendiri. Karena dia tidak peduli sama sekali pada anak-anaknya.
Aku harus banting tulang setiap hari. Memikirkan bagaimana caranya bisa menghidupi dua anakku yang masih kecil-kecil. Livia masih duduk di bangku TK, sementara adiknya baru berusia 1,5 tahun.
Rasanya sangat berat, apalagi aku tinggal di wilayah pelosok yang tidak banyak lapangan kerja. Aku masih dilema memilih antara mengurus anak dan pergi bekerja. Karena aku sangat menyayangi kedua anakku dan akulah yang tidak bisa hidup tanpa mereka.
“Bapak jahat sama kita!” ucap Livia lagi. “Masa kita ditinggal di hutan, sedangkan bapak enak di kota.”
“Bapak itu nggak jahat. Bapak sayang sama Mbak Pii sama adek, kok. Sekalipun nanti bapak jadi jahat dan nggak mau sayang sama kalian, Mbak Pii dan adek harus tetap sayang sama bapak, ya!” ucapku dengan lembut sembari mengelus pipi mungil Livia.
Livia mengangguk tanda mengerti. Tapi tak dapat kubaca bagaimana isi hatinya. Manik matanya menyiratkan sebuah kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang bisa aku pahami karena ia harus kehilangan sosok ayah dalam hidupnya, padahal sosok itu masih ada di dunia ini.
“Ya udah, unboxing dulu jajannya, ya! Tadi Mbak Pii beli apa aja?” pintaku sembari menatap ke arah kantong belanja yang tak jauh dari tempatku berdiri.
Livia mengangguk. Ia dengan semangat membuka kantong belanja tersebut. Mengeluarkan barang satu per satu. Ada beberapa jajanan yang ia pilih untuk ia berikan pada adik tercintanya. Setiap kali ia pergi keluar untuk jajan, ia tidak pernah lupa membelikan susu kotak kesukaan sang adik yang baru berusia satu setengah tahun.
Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Aku mendapati ibuku sedang tertidur pulas di kamar bersama Arga. Tapi, Arga sudah bangun lebih dahulu. Ia duduk di atas kasur sambil memainkan mainannya. Ia langsung turun dari tempat tidur dan berlari ke arahku begitu ia menyadari keberadaanku.
“Mama ...!” seru Arga. Ia langsung memeluk kedua kakiku dengan hangat.
Aku tersenyum. Aku segera menggendong Arga, kemudian kuciumi kedua pipinya dengan gemas. Aku kembali menutup pintu kamar perlahan agar ibuku tidak terganggu tidur lelapnya. Dia pasti sudah sangat lelah menjaga Arga lebih dari setengah hari. Terlebih, putera kecilku ini termasuk anak yang hyperaktif. Menemaninya bermain selama dua jam saja sudah sangat terasa lelahnya.
“Itu, Mbak Pii belikan jajan buat adek,” ucapku sambil melangkah menghampiri Livia yang masih asyik menyusun barang-barang belanjaannya di lantai.
Livia langsung tersenyum. Ia segera bangkit dan mengajak adiknya untuk bermain. Tak lupa, ia memberikan satu buah kotak susu cokelat berukuran kecil.
“Jagain adek, ya! Mama mau masak dulu.”
Livia mengangguk tanda mengerti. Aku pun segera melangkah ke dapur untuk menyiapkan makan malam.
Tidak ada menu istimewa malam ini, sama seperti biasanya. Hanya ada seikat kacang panjang pemberian tetangga. Tetangga kerap mengirimkan sayur-mayur ke rumah untuk nenekku. Selain merawat dua anak, aku juga merawat nenekku yang sudah renta. Meski terkadang menyebalkan karena tingkahnya seperti anak kecil, aku tetap menyayanginya sepenuh hati.
Aku menghela napas sambil menatap dua butir telur yang ada di dapur. Tidak ada makanan lain lagi selain telur ini. Aku juga sudah tidak punya uang untuk belanja dapur. Setiap kali anakku meminta sesuatu, aku selalu mendahulukan keinginannya. Tak apa aku menahan kebutuhanku dulu. Karena aku tidak tega melihat anak-anakku bersedih karena tidak bisa beli jajan seperti yang lain.
Pagi tadi, uangku hanya tersisa lima puluh ribu rupiah. Livia merengek minta jajan ke minimarket. Akhirnya, aku pilih menghaniskan uang untuk menyenangkan anakku. Aku hanya berdoa, semoga Allah cepat kembalikan dan aku bisa mendapatkan uang lagi untuk biaya hidup keesokan harinya, entah dari mana saja.
Menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga, rasanya sangat berat. Terutama ketika dihadapkan oleh dua pilihan, bekerja atau mengurus rumah. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kedua anakku dan nenekku terlalu lama. Tapi, aku juga tidak bisa berdiam diri di dalam rumah tanpa uang. Bagaimana aku bisa menghidupi mereka semua?
“Ya Allah ... kenapa takdirku begitu berat? Jika memang sudah ini jalannya, maka kuatkanlah aku, ya Allah. Aku tidak minta bebanku diringankan, tapi aku minta Engkau selalu memberikan kekuatan di setiap tahapan ujian kehidupan ini,” batinku sambil menitikan air mata.
Kuraih dua butir telur ayam yang tersisa di dapur hari ini. Tidak ada lagi stok makanan untuk besok. Hari sudah mulai gelap dan aku tidak tahu harus pergi ke mana mencari uang agar anak-anakku tetap bisa makan esok hari.
“Oh, God! Help us!”
0 komentar:
Post a Comment