Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Sunday, February 16, 2025

The Cakra Bab 122 : Hasil Pengecekkan CCTV || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Jangan sampai mamaku tahu kalau Chessy menghilang!” perintah Cakra pada Fikri dan Alvaro saat mereka semua sudah masuk ke dalam rumah apartemen milik Cakra.

“Tapi, gimana kita bisa dapetin Chessy kalau nggak pakai media? Kamu aja nggak tahu di mana posisi Chessy meski kamu bisa dengar suara dari kejauhan,” sahut Alvaro.

Cakra langsung menatap tajam ke arah Alvaro. “Aku beri kamu dua pilihan, bantu atau pergi?”

Alvaro menelan ludah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Iya, bantu. Aku bantu!” ucapnya.

“Ngopo aku nduwe dulur koyok ngene iki, cah?” batinnya. “Kalo bukan adekku, wes tak pites ndase!” lanjutnya sambil menahan gemas di dalam pikirannya.

Cakra memilih untuk diam. Membiarkan Alvaro mengutuknya dalam hati seperti biasa. Ia sudah terbiasa mendengarkan isi hati Alvaro dan semua kemelut hatinya, termasuk semua kekesalannya. Ia tidak pernah tersinggung dengan caci-maki Alvaro saat sedang emosi. Karena ia tahu jika jauh di dalam lubuk hati Alvaro sangat menyayanginya. Jika tidak, mana mungkin Alvaro rela mengabdikan diri untuk menemaninya setiap saat.

Alvaro mengeluarkan laptop dari tas ransel yang ia bawa dan mengecek semua laporan anak buahnya yang sudah masuk.

“Ada perkembangan, Mas?” tanya Fikri lirih sambil menghampiri Alvaro yang sudah duduk di sofa.

Alvaro tak langsung menyahut. “Bikinkan aku kopi dulu, Fik! Raiso mikir aku kalo nggak ngopi sek,” perintahnya.

“Siap, Mas!” sahut Fikri sambil memberi hormat dan segera ke dapur untuk membuatkan secangkir kopi pesanan Alvaro.

Alvaro terus mengamati beberapa video rekaman  CCTV di sekitar gedung yang telah berhasil dikumpulkan oleh anak buahnya.

“Mmh ... semua mobil yang masuk adalah mobil-mobil elite. Mana yang paling mencurigakan?” batin Alvaro. Ia segera mengeluarkan ipad yang ia miliki dan mencatat setiap sudut peristiwa berdasarkan waktu agar ia bisa mencocokkan dengan semua waktu CCTV yang ada.

“Jam 7.30, Chessy dan Cakra masuk gedung. Chessy menghilang di jam 10.30. CCTV di dalam gedung bisa mati semua karena diretas di jam 9.00. Oke, ini bukan penculik biasa. Mereka pasti sudah merencanakannya dengan baik,” batin Alvaro sambil mengamati data yang ia terima.

Cakra terdiam sambil menyimak isi hati Alvaro. Ia terlihat sangat tenang, tapi dalam hatinya sedang bergejolak hebat. Ia ingin marah pada dirinya sendiri karena tak mampu mengetahui keberadaan Chessy, bahkan dengan indera keenam yang ia miliki. Ia juga kecewa pada dirinya sendiri karena terlalu percaya pada sahabat Chessy dan ia lalai dalam menjaga istrinya itu.

“ Artinya ... para penculik itu beraksi di jam 9.00 sampai jam 10.30. Ini bukan waktu yang cepet banget. Aku harus cek pergerakan kendaraan sekitar di jam ini,” batin Alvaro lagi.

TING!

“Bang, gue nemuin CCTV dari arah belakang gedung. Udah gue kirim ke email lo, Bang.” Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Alvaro.

Alvaro segera mengecek email masuk dan mengunduh video berdurasi dua menit yang baru saja dikirimkan oleh salah satu anak buahnya asal Jakarta. Tak membutuhkan waktu lama, Alvaro langsung bisa melihat rekaman mobil box yang keluar dari dalam gedung pada jam 10.00 malam.

“Kenapa mobil es batu gini dikasihkan ke aku? Goblok!” umpat Alvaro kesal karena anak buahnya mengirimkan video mobil box bertuliskan merk es batu kristal yang kemungkinan dikirimkan ke dalam gedung untuk jamuan makan malam tersebut.

Cakra yang duduk di hadapan Alvaro, langsung bangkit begitu mendengar umpatan Alvaro. Ia segera menghampiri Alvaro, merebut laptop milik sepupunya itu dan mengamati video yang baru saja dikirim oleh anak buah mereka.

“Cuma ini kendaraan yang keluar dari gedung sebelum jam 10.30?” tanya Cakra.

“Iya. Semua tamu keluar dari gedung di atas jam 11.30. Cuma kita aja yang keluar duluan dan ...?” Ucapan Alvaro tiba-tiba terhenti dan menatap wajah Cakra.

“Periksa mobil ini!” perintah Cakra.

Alvaro mengangguk. Ia segera melakukan panggilan grup ke beberapa anak buahnya untuk mendapatkan lebih banyak rekaman CCTV di waktu yang sama agar ia bisa melihat sampai di mana pergerakan mobil box tersebut.

Beberapa jam kemudian, semua anak buah Alvaro berhasil mengumpulkan rekaman CCTV lalu lintas di waktu yang bersamaan sesuai dengan waktu pergerakan mobil box itu sejak keluar dari dalam gedung.

“DJANCOK ...!” maki Alvaro begitu mengetahui kalau mobil box es batu kristal itu masuk ke dalam area bandara. “Mereka mau ngelabuhi kita, cok! Masa iya, mobil box malah ke bandara? Bukan pulang ke perusahaan mereka?”

 “Kita cari ke sana!” ajak Cakra.

“Bentar, Cak! Nggak bisa gegabah nyarinya. Airport bukan tempat sembarangan. Keamanan di sana juga cukup tinggi. Kalau mereka bawa Chessy ke bandara, pasti sudah menyiapkan banyak hal. Kita nggak tahu gimana cara mereka bawa Chessy. Aku harus koordinasi dengan polisi bandara dulu,” ucap Alvaro.

“Bisa koordinasi di mobil sambil jalan. Kita tidak bisa berdiam diri di sini. Bagaimana keadaan istriku di tangan orang lain? Aku tidak ingin dia terluka lebih banyak,” pinta Cakra.

“Ini jam sibuk, bos. Jalanan kota Jakarta lagi macet parah. Aku siapkan pilot dulu. Kita naik helikopter saja ke bandara,” ucap Fikri sambil menatap layar televisi yang menunjukkan hasil pemantauan lalu lintas terkini dari NTMC Polri.

“Cepat!” sambar Cakra tak sabar. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB. Artinya, sudah lebih sembilan jam ia kehilangan Chessy dan ia sudah tak bisa lagi menahan rasa sabar.

Fikri mengangguk. Ia segera menghubungi pilot pribadi keluarga Hadikusuma. Untungnya, pilot itu tinggal di apartemen yang sama dengan mereka. Sehingga tak perlu menunggu lama untuk menyiapkan helikopter yang juga selalu standby di atap gedung apartemen tersebut.

Beberapa menit kemudian, Fikri mendapat kabar bahwa helikopter telah siap dan mereka semua bisa segera terbang menuju  Soekarno-Hatta International Airport.

“Cak, aku pake motor aja ke bandara,” pinta Alvaro sambil mengemasi barang-barang ke dalam ranselnya.

“Kenapa?” tanya Cakra.

“Nggak papa. Lebih leluasa bergerak kalau pakai motor,” jawab Alvaro.

“Banyak kendaraan yang disediakan oleh bandara. Kamu bawa kendaraan sendiri, bukankah akan lebih menyulitkan?” tanya Cakra lagi.

“Nggaklah. Aku kan polisi,” sahut Alvaro sambil menunjukkan seragam polisi yang ia kenakan. “Aku juga mau ambil surat tugas dari atasanku. Tanpa surat tugas, aku nggak bisa intervensi ke bandara,” lanjutnya.

Cakra menatap Alvaro selama beberapa saat. “Al, kenapa kamu masih bertahan menjadi bintara? Bukankah kamu bisa dengan mudahnya menjadi seorang jenderal?” tanyanya dengan wajah serius. Ia merasa miris dengan pilihan hidup Alvaro yang masih berada di bawah perintah orang lain.

“Males, Cak. Jadi jenderal tanggung jawabnya besar. Banyak yang harus diurusi. Kalau kayak gini, aku Cuma ngurus diriku sendiri aja. Bisa sambil ngurus perusahaanku juga. Kalau jadi jenderal, harus ngurusin ratusan ribu anak buah. Anak buahku yang baru dua puluh biji aja aku sudah pusing sama kelakuan mereka,” jawab Alvaro.

Cakra tersenyum kecil. “Baiklah. Jika kamu kesulitan, jangan sungkan untuk bicara padaku!”

Alvaro mengangguk sambil merapikan sepatu miliknya. Ia segera bangkit dari tempat duduk dan menepuk pundak Cakra. “Amanlah. Hidupku nggak akan lengkap kalau nggak ngerepotin kamu,” ucapnya. Ia segera beranjak keluar lebih dulu agar bisa mengejar waktu dan bisa sama-sama sampai ke bandara meski ia hanya menggunakan sepeda motor.

 

((Bersambung ...))

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas