“Yun, dipanggil Pak Lian ke ruangannya!” tutur Icha usai
menerima telepon.
“Ada apa ya?” tanya Yuna.
Icha mengedikkan bahunya. Tak jauh dari meja kerja Yuna,
sepasang mata Herjuan memerhatikan Yuna secara diam-diam.
Yuna menarik napas dalam-dalam. Ia menghembuskannya lagi
dan bangkit dari kursinya. Secepatnya ia melangkahkan kakinya menuju ruangan
Lian yang berada di lantai paling atas.
“Nyari aku?” tanya Yuna begitu ia masuk ke dalam ruangan
Lian.
Lian menganggukkan kepala. “Duduk!” perintahnya.
“Nggak usah. Di sini aja!” sahut Yuna. Ia masih berdiri
di depan meja Lian.
“Duduk dulu kenapa sih!?” sentak Lian.
“Langsung aja! Mau ngomong apa?”
Lian menatap Yuna dengan seksama. “Apa kayak gini cara
kamu menghadap atasan?”
Yuna menarik napas dan duduk di kursi, tepat di hadapan
Lian.
“Yun, kenapa kamu ketus banget sama aku?” tanya Lian.
“Manggil aku ke sini buat apa?” tanya Yuna tanpa menatap
wajah Lian.
Lian menghela napas. Ia menatap wajah Yuna selama
beberapa detik. “Aku mau nugasin kamu ke acara pelelangan.”
“Pelelangan ntar malam?”
Lian menganggukkan kepala.
“Aku nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku mau ambil cuti sore ini.”
“Tapi, acara ini penting banget buat perusahaan kita.”
“Banyak karyawan yang lain. Kenapa harus aku?” sahut
Yuna.
“Aku yang punya perusahaan ini. Aku punya hak buat ngatur
karyawanku.”
“Aku mau ijin sore ini. Kamu bisa bawa Bellina buat
dateng ke acara pelelangan itu. Kenapa harus dibikin repot sih?”
“Kamu karyawan di departemen proyek dan sudah seharusnya
kamu yang datang ke acara itu. Kamu tahu, Bellina itu Manager Personalia dan
nggak ada sangkut pautnya sama proyek perusahaan.”
Yuna menatap kesal ke arah Lian.
“Aku nggak ijinin kamu cuti sore ini. Kamu harus pergi ke
acara pelelangan!” tegas Lian.
“Tapi ...”
“Aku nggak akan keluarin sertifikat magang kamu kalau
kamu nggak bisa mematuhi agenda perusahaan!” ancam Lian.
Yuna menghela napas. “Kamu ... pemaksaan banget sih!?
Kamu kan tahu kalau aku ini karyawan yang masih magang. Aku nggak ngerti acara
begituan.”
“Yun, aku tahu latar belakang kamu. Kamu lulusan
Melbourne University. Itu bukan universitas sembarangan. Kamu juga punya selera
tinggi soal seni. Kamu bisa nyulam, bisa ngerajut, bisa ngelukis dan pastinya
punya referensi seni yang bagus juga. Ini salah satu pertimbangan kenapa aku
nyuruh kamu dateng ke acara pelelangan itu.”
“Acara ini penting banget buat perusahaan?”
Lian menganggukkan kepala.
“Kamu dateng ke acara itu kan?”
Lian mengangguk.
“Kalo gitu, kamu minta dampingi sama Bellina aja. Kenapa
harus aku?”
“Aku udah bilang kalau Bellina sama sekali nggak paham
sama sekali soal proyek. Aku mau, kamu yang dateng ke acara itu!” tegas Lian.
“Kenapa harus Yuna?” tanya Bellina yang tiba-tiba masuk
ke dalam ruangan. “Bukannya masih ada karyawan lain yang lebih senior?”
Yuna bergeming. Ia tak punya selera sedikitpun menanggapi
ucapan Bellina.
“Yun, kamu sengaja bikin Lian milih kamu buat pergi ke
acara itu? Apa kamu nggak bisa ngelepasin dia? Kamu sengaja deketin Lian
terus?”
Yuna tidak menjawab. Ia membuang pandangannya, tak ingin
menatap Bellina sedikitpun. Ia bangkit dari tempat duduk dan langsung pergi
meninggalkan Lian dan Bellina.
“Yun, aku tetap nggak kasih kamu izin. Kamu harus dateng
ke pelelangan itu sebagai perwakilan perusahaan!” seru Lian.
“Kamu nggak perlu khawatir!” sahut Yuna sambil memegang
gagang pintu, ia langsung menariknya dan keluar dari ruangan Lian.
Bellina langsung menatap Lian. “Kenapa kamu ajakin dia?”
tanyanya.
“Aku punya penilaian sendiri.”
“Li, kalau cuma ke acara pelelangan doang. Aku juga bisa
dampingi kamu. Aku nggak bego-bego banget soal seni.”
“Bel, ini acara perusahaan. Kamu Manager Personalia dan
aku nggak mau semua karyawan mengira yang bukan-bukan. Aku memang seharusnya
membawa karyawan dari departemen proyek. Karena proses pelelangan ini akan
berpengaruh dengan proyek perusahaan kita ke depannya.”
“Tapi ...”
“Ini masih pagi. Sebaiknya kamu kembali ke kantor kamu!”
perintah Lian. “Aku masih banyak kerjaan.”
Bellina mengerutkan bibirnya. Ia menghentakkan kaki dan
bergegas keluar dari ruangan Lian sambil melipat wajahnya.
Yuna sudah kembali ke ruangannya. Ia meraih ponsel yang
ia letakkan di atas meja kerjanya dan langsung menelepon Yeriko.
“Halo ...!” sapa Yeriko begitu panggilan telepon Yuna
tersambung.
“Halo ... kamu di mana?”
“Di kantor. Tumben banget telepon pagi-pagi gini?”
“Aku mau ngadu,” jawab Yuna sambil memonyongkan bibirnya.
Yeriko
tertawa kecil. “Ngadu apaan?”
“Bos aku ngeselin banget!” seru Yuna. “Aku nggak dikasih
izin buat cuti sore ini. Gimana dong?”
“Alasannya?”
“Aku juga disuruh dateng ke acara itu sebagai perwakilan
perusahaan. Gimana dong?”
“Wilian yang minta kamu?”
“Iya.”
“Oke.”
“Kok, oke?”
“Kita bicarain nanti waktu makan siang. Aku jemput kamu!”
“Hmm ...”
“Aku mau meeting lima menit lagi.”
“Oh ... oke, deh. Selamat bekerja!” tutur Yuna sambil
tersenyum.
“Oke. Aku matiin teleponnya sekarang.”
“Iya.”
“Kiss dulu!” pinta Yeriko.
“Idih, kayak orang pacaran aja?” sahut Yuna.
“Kita lebih dari pacaran.”
“Hehehe. Mmuaach! Bye!” Yuna langsung mematikan
teleponnya. Ia tidak ingin mengganggu pekerjaan Yeriko. Agenda suaminya memang
jauh lebih padat darinya. Sangat keterlaluan kalau ia menuntut waktu Yeriko
lebih banyak untuknya.
“Yun, kamu mau pergi ke acara lelang?” tanya Icha.
Yuna menganggukkan kepala sambil meletakkan kembali
ponselnya ke atas meja.
“Wah ...! Seneng banget bisa dateng ke acara bergengsi
itu.”
“Eh!?” Yuna menaikkan kedua alisnya. “Maksudnya?”
“Mmh ... aku denger-denger, acara ini cuma dihadiri sama
pengusaha-pengusaha kelas atas. Nggak sembarang orang bisa masuk ke tempat itu.
Kamu beruntung banget bisa pergi ke sana.”
“Oh ya?”
Icha menganggukkan kepala. “Kamu baru kerja di sini
beberapa hari, sudah menarik perhatian Bos Lian.”
“Ah, kamu apa-apan sih? Aku sama sekali nggak tertarik
pergi ke tempat itu. Apalagi sama Lian.”
“Why?”
“Males aja ngadepin si Belli. Kamu tahu, Mak Lampir satu
itu selalu aja salah paham. Apalagi sampai kita jalan sama tunangannya. Haduh
...! Aku nggak bisa ngebayangin gimana tanduk apinya itu keluar.”
“Hahaha.” Icha tergelak mendengar ucapan Yuna.
“Kenapa ketawa?”
“Nggak papa. Lucu aja ngebayangin dia marah.”
“Lucu atau takut?” dengus Yuna.
“Lucu,” jawab Icha sambil tergelak.
“Halah ...! Waktu itu, kamu ketakutan berhadapan sama
Bellina.”
Icha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Yah, aku kan
cuma membayangkan aja. Rasanya lucu. Kalau ngadepin dia, mana berani.”
Yuna tertawa kecil melihat ekspresi wajah Icha.
“Kenapa kamu bisa berani banget sama dia? Apa kamu selalu
menelan pil keberanian?” tanya Icha.
“Pil keberanian?” Yuna mengerutkan dahi sambil menahan
tawa.
“Iya. Biar berani menghadapai orang jahat kayak Bu
Belli.”
Yuna tergelak mendengar ucapan Icha. “Ada-ada aja kamu.
Kebanyakan nonton drama kolosal!”
Icha meringis ke arah Yuna sambil membenarkan posisi
kacamatanya. Mereka kembali fokus dengan report mereka masing-masing hingga
tiba waktunya jam makan siang.
Sesuai dengan janjinya. Yeriko menjemput Yuna untuk makan
siang bersama di salah satu restoran. Ia memesan banyak hidangan laut untuk
Yuna.
“Banyak banget,” celetuk Yuna sambil menatap makanan yang
sudah terhidang di atas meja.
“Kamu suka makanan laut, kan?”
Yuna tersenyum kecil. “Ah, kamu bisa aja.” Ia terlihat
sangat bersemangat saat melihat lobster besar yang tersaji di hadapannya.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Selamat menjalankan ibadah puasa!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment