Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Sunday, February 9, 2025

Perfect Hero Bab 87 : Antara Karir dan Cinta || a Romance Novel by Vella Nine

 


“Yun, dipanggil Pak Lian ke ruangannya!” tutur Icha usai menerima telepon.

 

“Ada apa ya?” tanya Yuna.

 

Icha mengedikkan bahunya. Tak jauh dari meja kerja Yuna, sepasang mata Herjuan memerhatikan Yuna secara diam-diam.

 

Yuna menarik napas dalam-dalam. Ia menghembuskannya lagi dan bangkit dari kursinya. Secepatnya ia melangkahkan kakinya menuju ruangan Lian yang berada di lantai paling atas.

 

“Nyari aku?” tanya Yuna begitu ia masuk ke dalam ruangan Lian.

 

Lian menganggukkan kepala. “Duduk!” perintahnya.

 

“Nggak usah. Di sini aja!” sahut Yuna. Ia masih berdiri di depan meja Lian.

 

“Duduk dulu kenapa sih!?” sentak Lian.

 

“Langsung aja! Mau ngomong apa?”

 

Lian menatap Yuna dengan seksama. “Apa kayak gini cara kamu menghadap atasan?”

 

Yuna menarik napas dan duduk di kursi, tepat di hadapan Lian.

 

“Yun, kenapa kamu ketus banget sama aku?” tanya Lian.

 

“Manggil aku ke sini buat apa?” tanya Yuna tanpa menatap wajah Lian.

 

Lian menghela napas. Ia menatap wajah Yuna selama beberapa detik. “Aku mau nugasin kamu ke acara pelelangan.”

 

“Pelelangan ntar malam?”

 

Lian menganggukkan kepala.

 

“Aku nggak bisa.”

 

“Kenapa?”

 

“Aku mau ambil cuti sore ini.”

 

“Tapi, acara ini penting banget buat perusahaan kita.”

 

“Banyak karyawan yang lain. Kenapa harus aku?” sahut Yuna.

 

“Aku yang punya perusahaan ini. Aku punya hak buat ngatur karyawanku.”

 

“Aku mau ijin sore ini. Kamu bisa bawa Bellina buat dateng ke acara pelelangan itu. Kenapa harus dibikin repot sih?”

 

“Kamu karyawan di departemen proyek dan sudah seharusnya kamu yang datang ke acara itu. Kamu tahu, Bellina itu Manager Personalia dan nggak ada sangkut pautnya sama proyek perusahaan.”

 

Yuna menatap kesal ke arah Lian.

 

“Aku nggak ijinin kamu cuti sore ini. Kamu harus pergi ke acara pelelangan!” tegas Lian.

 

“Tapi ...”

 

“Aku nggak akan keluarin sertifikat magang kamu kalau kamu nggak bisa mematuhi agenda perusahaan!” ancam Lian.

 

Yuna menghela napas. “Kamu ... pemaksaan banget sih!? Kamu kan tahu kalau aku ini karyawan yang masih magang. Aku nggak ngerti acara begituan.”

 

“Yun, aku tahu latar belakang kamu. Kamu lulusan Melbourne University. Itu bukan universitas sembarangan. Kamu juga punya selera tinggi soal seni. Kamu bisa nyulam, bisa ngerajut, bisa ngelukis dan pastinya punya referensi seni yang bagus juga. Ini salah satu pertimbangan kenapa aku nyuruh kamu dateng ke acara pelelangan itu.”

 

“Acara ini penting banget buat perusahaan?”

 

Lian menganggukkan kepala.

 

“Kamu dateng ke acara itu kan?”

 

Lian mengangguk.

 

“Kalo gitu, kamu minta dampingi sama Bellina aja. Kenapa harus aku?”

 

“Aku udah bilang kalau Bellina sama sekali nggak paham sama sekali soal proyek. Aku mau, kamu yang dateng ke acara itu!” tegas Lian.

 

“Kenapa harus Yuna?” tanya Bellina yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. “Bukannya masih ada karyawan lain yang lebih senior?”

 

Yuna bergeming. Ia tak punya selera sedikitpun menanggapi ucapan Bellina.

 

“Yun, kamu sengaja bikin Lian milih kamu buat pergi ke acara itu? Apa kamu nggak bisa ngelepasin dia? Kamu sengaja deketin Lian terus?”

 

Yuna tidak menjawab. Ia membuang pandangannya, tak ingin menatap Bellina sedikitpun. Ia bangkit dari tempat duduk dan langsung pergi meninggalkan Lian dan Bellina.

 

“Yun, aku tetap nggak kasih kamu izin. Kamu harus dateng ke pelelangan itu sebagai perwakilan perusahaan!” seru Lian.

 

“Kamu nggak perlu khawatir!” sahut Yuna sambil memegang gagang pintu, ia langsung menariknya dan keluar dari ruangan Lian.

 

Bellina langsung menatap Lian. “Kenapa kamu ajakin dia?” tanyanya.

 

“Aku punya penilaian sendiri.”

 

“Li, kalau cuma ke acara pelelangan doang. Aku juga bisa dampingi kamu. Aku nggak bego-bego banget soal seni.”

 

“Bel, ini acara perusahaan. Kamu Manager Personalia dan aku nggak mau semua karyawan mengira yang bukan-bukan. Aku memang seharusnya membawa karyawan dari departemen proyek. Karena proses pelelangan ini akan berpengaruh dengan proyek perusahaan kita ke depannya.”

 

“Tapi ...”

 

“Ini masih pagi. Sebaiknya kamu kembali ke kantor kamu!” perintah Lian. “Aku masih banyak kerjaan.”

 

Bellina mengerutkan bibirnya. Ia menghentakkan kaki dan bergegas keluar dari ruangan Lian sambil melipat wajahnya.

 

Yuna sudah kembali ke ruangannya. Ia meraih ponsel yang ia letakkan di atas meja kerjanya dan langsung menelepon Yeriko.

 

“Halo ...!” sapa Yeriko begitu panggilan telepon Yuna tersambung.

 

“Halo ... kamu di mana?”

 

“Di kantor. Tumben banget telepon pagi-pagi gini?”

 

“Aku mau ngadu,” jawab Yuna sambil memonyongkan bibirnya.

 

Yeriko tertawa kecil. “Ngadu apaan?”

 

“Bos aku ngeselin banget!” seru Yuna. “Aku nggak dikasih izin buat cuti sore ini. Gimana dong?”

 

“Alasannya?”

 

“Aku juga disuruh dateng ke acara itu sebagai perwakilan perusahaan. Gimana dong?”

 

“Wilian yang minta kamu?”

 

“Iya.”

 

“Oke.”

 

“Kok, oke?”

 

“Kita bicarain nanti waktu makan siang. Aku jemput kamu!”

 

“Hmm ...”

 

“Aku mau meeting lima menit lagi.”

 

“Oh ... oke, deh. Selamat bekerja!” tutur Yuna sambil tersenyum.

 

“Oke. Aku matiin teleponnya sekarang.”

 

“Iya.”

 

“Kiss dulu!” pinta Yeriko.

 

“Idih, kayak orang pacaran aja?” sahut Yuna.

 

“Kita lebih dari pacaran.”

 

“Hehehe. Mmuaach! Bye!” Yuna langsung mematikan teleponnya. Ia tidak ingin mengganggu pekerjaan Yeriko. Agenda suaminya memang jauh lebih padat darinya. Sangat keterlaluan kalau ia menuntut waktu Yeriko lebih banyak untuknya.

 

“Yun, kamu mau pergi ke acara lelang?” tanya Icha.

 

Yuna menganggukkan kepala sambil meletakkan kembali ponselnya ke atas meja.

 

“Wah ...! Seneng banget bisa dateng ke acara bergengsi itu.”

 

“Eh!?” Yuna menaikkan kedua alisnya. “Maksudnya?”

 

“Mmh ... aku denger-denger, acara ini cuma dihadiri sama pengusaha-pengusaha kelas atas. Nggak sembarang orang bisa masuk ke tempat itu. Kamu beruntung banget bisa pergi ke sana.”

 

“Oh ya?”

 

Icha menganggukkan kepala. “Kamu baru kerja di sini beberapa hari, sudah menarik perhatian Bos Lian.”

 

“Ah, kamu apa-apan sih? Aku sama sekali nggak tertarik pergi ke tempat itu. Apalagi sama Lian.”

 

“Why?”

 

“Males aja ngadepin si Belli. Kamu tahu, Mak Lampir satu itu selalu aja salah paham. Apalagi sampai kita jalan sama tunangannya. Haduh ...! Aku nggak bisa ngebayangin gimana tanduk apinya itu keluar.”

 

“Hahaha.” Icha tergelak mendengar ucapan Yuna.

 

“Kenapa ketawa?”

 

“Nggak papa. Lucu aja ngebayangin dia marah.”

 

“Lucu atau takut?” dengus Yuna.

 

“Lucu,” jawab Icha sambil tergelak.

 

“Halah ...! Waktu itu, kamu ketakutan berhadapan sama Bellina.”

 

Icha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Yah, aku kan cuma membayangkan aja. Rasanya lucu. Kalau ngadepin dia, mana berani.”

 

Yuna tertawa kecil melihat ekspresi wajah Icha.

 

“Kenapa kamu bisa berani banget sama dia? Apa kamu selalu menelan pil keberanian?” tanya Icha.

 

“Pil keberanian?” Yuna mengerutkan dahi sambil menahan tawa.

 

“Iya. Biar berani menghadapai orang jahat kayak Bu Belli.”

 

Yuna tergelak mendengar ucapan Icha. “Ada-ada aja kamu. Kebanyakan nonton drama kolosal!”

 

Icha meringis ke arah Yuna sambil membenarkan posisi kacamatanya. Mereka kembali fokus dengan report mereka masing-masing hingga tiba waktunya jam makan siang.

 

Sesuai dengan janjinya. Yeriko menjemput Yuna untuk makan siang bersama di salah satu restoran. Ia memesan banyak hidangan laut untuk Yuna.

 

“Banyak banget,” celetuk Yuna sambil menatap makanan yang sudah terhidang di atas meja.

 

“Kamu suka makanan laut, kan?”

 

Yuna tersenyum kecil. “Ah, kamu bisa aja.” Ia terlihat sangat bersemangat saat melihat lobster besar yang tersaji di hadapannya.

 

 (( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 

0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas