“Yun, kamu bisa ikut aku ke pameran pelelangan?” tanya
Yeriko sambil menikmati makan malam bersama Yuna.
“Kapan?”
“Tiga hari lagi.”
“Mmh ... itu acaranya ngapain?”
“Lelang karya.”
“Lukisan?”
Yeriko menganggukkan kepala.
“Karya siapa yang mau dilelang?” tanya Yuna.
“Abah Nasirun,” jawab Yeriko.
Yuna mengernyitkan dahi. “Aku baru denger namanya.”
“Emang kamu pernah denger namanya siapa aja?”
“Mmh ... aku nggak begitu paham sama seniman lukis
Indonesia. Dia ... asli pelukis Indonesia?”
Yeriko menganggukkan kepala. “Kenapa?”
“Nggak papa. Aku kira kamu cuma tertarik sama dunia
bisnis doang. Nggak tertarik sama dunia seni.”
“Seni juga bisa jadi bagian dari bisnis.”
“Maksudnya?”
Yeriko hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna.
“Tadi, Chandra ke kantorku,” tutur Yeriko mengalihkan
pembicaraan.
“Terus?”
“Dia ngasih aku beberapa foto.” Yeriko merogoh foto yang
masih ia simpan di kantong kemejanya.
Yuna langsung membelalakkan matanya melihat Amara
bermesraan dengan pria lain di dalam sebuah kamar. “Ini ... tunangannya
Chandra?”
Yeriko menganggukkan kepala.
“Gila!” seru Yuna. “Dia selingkuh dari Chandra?”
“Ya, begitulah.”
“Chandra kurang apa sih? Dia udah ganteng, kaya dan baik
hati. Cowok kayak gitu aja masih diselingkuhi?” tutur Yuna kesal.
“Kamu yang cewek aja kesel. Gimana sama perasaan
Chandra?”
“Mmh ... dia sendiri gimana reaksinya waktu lihat foto
ini?”
“Ya sedihlah. Tapi, dia masih aja mau bertahan sama
Amara. Dah cinta mati sama tuh cewek.”
“Kasihan banget sih Chandra,” tutur Yuna lirih.
Yeriko memandang Yuna tanpa berkedip.
“Kenapa lihatin aku kayak gitu?”
“Kalau ada pria lain yang lebih baik dari aku, apa kamu
juga bakal kayak dia?” tanya Yeriko sambil menunjuk potret Amara dengan
dagunya.
“Ngaco!” sahut Yuna.
“Aku serius, Yun.”
Yuna menarik napas dalam-dalam. “Mungkin ada banyak pria
lain yang jauh lebih baik dari kamu. Tapi cuma kamu satu-satunya pria yang aku
cintai di dunia ini.”
“Nggak gombal?” tanya Yeriko sambil menaikkan kedua
alisnya.
“Iih ... nggak percayaan banget sih!?” sahut Yuna kesal.
“Kalo kamu nggak percaya sama aku, berarti kamu nggak cinta sama aku. Kalau
kamu nggak cinta, berarti nggak akan bermasalah kalau aku suka sama cowok lain.
Jangan nyesel kalo aku ...”
“Aku percaya sama kamu.” Yeriko tersenyum sambil meraih
jemari tangan Yuna.
Yuna tersenyum menanggapi ucapan Yeriko. “Nah ... gitu
dong! Believe me! Aku nggak akan pernah berpaling dari kamu selama kamu percaya
sama aku. Jangan ada hal apa pun yang kita rahasiakan. Kita sudah menikah, aku
percaya sepenuhnya sama kamu. Aku juga mau kamu seperti itu.”
Yeriko menganggukkan kepala. Ia mencium punggung tangan
Yuna. Matanya tertuju pada jari manis Yuna yang masih kosong. Ia melupakan satu
hal yang seharusnya ia berikan pada Yuna saat pernikahan mereka.
“Aku lupa ...” tutur Yeriko.
“Lupa apa?”
“Aku belum kasih kamu cincin pernikahan.”
Yuna tersenyum menatap Yeriko. “Mama kamu udah kasih
perhiasan turun-temurun. Ada cincin juga di dalamnya. Aku aja yang nggak mau
pakai.”
“Kenapa?”
“Mmh ... aku nggak bisa pakai perhiasan berlebihan.
Jadinya nggak bebas.”
“Nggak bebas gimana?”
“Ya, nggak bebas aja mau ke mana-mana. Kalau pakai
perhiasan mahal, takut jadi incaran perampok. Aku kan udah pernah bilang, aku
nggak mau pakai perhiasan berlebihan kalau untuk hari-hari aja.”
Yeriko tersenyum kecil sambil mengelus lembut punggung
tangan Yuna. Sifat Yuna yang rendah hati membuatnya semakin mencintai istrinya
itu.
“Tapi ... kamu sekarang sudah jadi Nyonya Yeri. Gimana
kalau orang lain lihat kamu biasa aja. Aku khawatir, mereka akan menilai aku
sebagai suami yang pelit.”
“Hahaha.” Yuna tergelak mendengar ucapan Yeriko.
“Kenapa ketawa?”
“Kalo gitu, aku bakal bilang ke mereka kalau suami aku
emang pelit banget,” jawab Yuna sambil tertawa lebar.
“Kamu!?” Yeriko mendelik ke arah Yuna. Ia makin geregetan
dengan sikap Yuna yang sengaja mengajaknya bercanda.
“Hehehe. Tenang aja! Aku nggak kayak gitu, kok. Lagian,
aku tuh suka makan di pinggir jalan. Kalau aku pakai perhiasan mahal, rasanya
nggak cocok dan nggak asyik banget kan?”
“Kamu makan di pinggir jalan?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Kamu tahu nggak kalau makanan di pinggir jalan itu nggak
sehat. Pasti kena debu, kena asap kendaraan. Kenapa kamu makan di pinggir jalan
sih? Apa uang yang aku kasih ke kamu masih kurang?”
Yuna menggelengkan kepala. “Makanannya enak-enak,” jawab
Yuna tanpa berpikir.
“Ck.” Yeriko berdecak kesal mendengar jawaban Yuna.
“Kenapa? Kamu malu punya istri kayak aku?” tanya Yuna.
“Iya!” sahut Yeriko sambil mendelik ke arah Yuna.
Yuna langsung memonyongkan bibir bawahnya.
Yeriko menghela napas. “Bukan karena malu, Yun. Tapi ...
karena makanan di pinggir jalan itu nggak higenis. Gimana kalau kamu sakit?
Yang repot kan aku juga.”
“Iya, iya. Nggak lagi,” sahut Yuna.
“Beneran?”
Yuna menggigit kukunya.
“Lebih baik, kamu minta kirimin makanan dari rumah
daripada harus jajan sembarangan!”
“Siap, Bos! Jangan marah-marah terus!” pinta Yuna sambil
mencubit kedua pipi Yeriko. “Aku baru tahu kalau ternyata suamiku jauh lebih
cerewet dari aku.”
(You still have all of my ... You still have all of my ...
You still have all of my heart ...)
Yuna langsung menoleh ke arah ponsel yang ia letakkan di
atas meja.
“Siapa?” tanya Yeriko.
“Andre.” Yuna langsung menjawab panggilan telepon. “Halo
... Ndre!” tanya Yuna.
“Kamu lagi apa?” tanya Andre balik.
“Baru kelar makan malam. Kenapa?”
“Mmh ... aku boleh minta tolong?”
“Apa?”
“Kamu bisa nggak temani aku ke acara pelelangan?”
“Lelang lukisan?” tanya Yuna sambil melirik wajah Yeriko
yang terlihat sangat kesal.
“Iya. Kok, tahu?”
Yuna tersenyum. “Iya. Aku bakal pergi ke sana.”
“Serius!?” tanya Andre dengan nada penuh bahagia.
“Iya. Sama Yeriko.”
Andre terdiam beberapa saat. Ia pikir, Yuna akan memenuhi
undangannya untuk pergi bersama. Ternyata, Yuna malah pergi bersama suaminya.
“Halo ... Ndre!” panggil Yuna karena Andre terdiam selama
beberapa detik.
“Oh. Iya, Yun. Nggak papa,” tutur Andre. “Aku tutup
teleponnya ya! Bye!”
“Bye!”
Yuna tersenyum dan kembali meletakkan ponselnya ke atas
meja.
“Dia kenapa?”
“Mau ngajak aku ke acara pelelangan juga.”
Yeriko mengernyitkan dahi. “Terus, kamu bilang apa?”
“Aku mau pergi ... bareng suamiku.”
Yeriko menghela napas. “Aku rasa, dia itu suka sama
kamu.”
“He-em.” Yuna menganggukkan kepala.
Yeriko langsung mengernyitkan dahi menatap Yuna yang
duduk di sampingnya.
Yuna membelalakkan mata. Ia tidak sadar kalau telah
mengungkapkan kenyataan yang harusnya bisa ia tutupi dari suaminya. Ia takut,
akan membuat suasana hati Yeriko kembali memburuk.
“Hehehe.” Yuna meringis ke arah Yeriko. “Beberapa hari
lalu, dia emang nembak aku. Tapi aku tolak. Lagian, dia gila banget. Udah tahu
kalau aku udah nikah, tapi tetap aja dia masih ngejar-ngejar aku. Kayak nggak
ada cewek lain aja,” jelas Yuna.
“Apa dia itu abnormal?”
“Abnormal? Maksud kamu?”
“Dia suka sama wanita yang sudah bersuami?”
Yuna tertawa kecil. “Mmh ... bisa jadi memang ada
kelainan jiwa.”
“Ck, bertambah lagi sainganku,” gumam Yeriko.
“Eh!? Saingan apa?”
“Lian itu masih aja ngejar kamu walau tahu kalau kamu
sudah nikah. Sekarang, muncul lagi si Andre. Besok, siapa lagi coba?”
Yuna tertawa kecil menatap Yeriko. “Apa itu artinya ...
aku termasuk cewek cantik?”
Yeriko mengernyitkan dahi.
“Kalau banyak yang suka, bukannya itu karena aku cantik?”
Yeriko tertawa kecil. “Emang resikonya kalau punya istri
yang cantik dan baik hati. Mendapatkannya jauh lebih mudah daripada menjaga dan
mempertahankannya.”
Wajah Yuna menghangat mendengar ucapan Yeriko. Ia merasa
sangat bahagia karena Yeriko selalu saja menaruhnya di tempat yang spesial.
Meski terkenal dingin dan kejam, Yeriko adalah suami yang paling hangat di
seluruh dunia.
Yeriko tersenyum melihat pipi Yuna yang merona. Ia
langsung mengecup bibir Yuna yang mungil.
Banyak hal yang akan ia hadapi setelah menikah, terlebih
lagi Yuna bukanlah gadis biasa. Banyak pria yang menginginkannya dan ia tidak
akan pernah melepaskan Yuna, apa pun yang akan terjadi pada hubungan mereka di
masa depan. Ia akan terus bertahan sampai titik darah penghabisan.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Selamat menjalankan ibadah puasa!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment