Cerita Kehidupan yang Menginspirasi dan Menghibur by Rin Muna a.k.a Vella Nine

Sunday, February 9, 2025

Perfect Hero Bab 84 : Suasana Kampung Nelayan

 



“Pagi ...!” sapa Yuna begitu ia masuk ke dalam ruang kerjanya.

 

“Pagi ...!” sahut teman-teman satu departemennya.

 

“Yun, hari ini kerjaan kantor kamu banyak nggak?” tanya Icha.

 

“Mmh ... nggak terlalu. Aku masih baru di sini, kerjaan aku belum banyak. Kenapa?”

 

“Temenin aku lihat proyek yang di kampung nelayan, Yuk!”

 

“Boleh. Jauh nggak lokasinya?”

 

“Nggak terlalu jauh, kok.”

 

“Oke. Jam berapa?”

 

“Mmh ... jam sembilanan gitu. Aku kelarin report aku dulu.”

 

Yuna mengangguk. Mereka bergegas melanjutkan pekerjaan. Tepat jam sembilan pagi, Yuna dan Icha keluar dari kantor untuk melihat proyek di kampung nelayan.

 

Yuna merasa sangat senang dengan keramahan penduduk di kampung nelayan tersebut. Ia terus melihat-lihat kehidupan sehari-hari kampung nelayan yang begitu ceria. Anak-anak bermain pasir, memanjat pohon kelapa dan berenang bersama.

 

“Kakak, mau kelapa muda?” tanya salah seorang anak yang sedang berada di bawah pohon kelapa.

 

“Boleh.” Yuna mengangguk sambil tersenyum.

 

“Woi ...! Kelapanya dibanyakin, ada kakak cantik yang mau juga!” teriak anak tersebut sambil menengadahkan kepala ke atas pohon kelapa.

 

Yuna tersenyum kecil dan merangkul gadis kecil berambut pirang tersebut. “Nama kamu siapa?”

 

“Siti,” jawab gadis kecil itu sambil tersenyum ceria.

 

“Siti kelas berapa?”

 

“Kelas lima,” jawabnya sambil terus menengadahkan kepala. Beberapa buah kelapa muda berjatuhan dari atas pohon.

 

Beberapa menit kemudian, seorang anak laki-laki turun dari atas pohon dengan cepat. Yuna terkejut dengan gerakan anak kecil yang sangat lincah itu.

 

Yuna membelalakkan mata saat anak kecil yang baru turun dari pohon itu mengeluarkan parang dari pinggangnya. “Dek, itu bahaya!” seru Yuna. “Apa nggak ada orang tua kalian yang bisa bukain kelapanya?”

 

Pertanyaan Yuna belum selesai, namun anak kecil tersebut telah berhasil membuka satu buah kelapa dan memberikannya pada Yuna.

 

“Ini, Kak!” Cowok kecil itu langsung menyodorkan kelapa muda ke arah Yuna.

 

Yuna tersenyum sambil meraih buah kelapa muda tersebut, tapi perasaannya masih sangat takut melihat anak kecil yang sudah lihai menggunakan parang yang ada di tangannya.

 

“Eh, ambilin sedotan!” perintah cowok kecil tersebut pada Siti.

 

“Oh ... Iya.” Siti langsung berlari menuju salah satu warung yang ada di dekat mereka. Ia kembali dengan membawa sedotan untuk Yuna.

 

“Ini, Kak!” Siti memberikan sebuah sedotan untuk Yuna. “Duduk sini!” pintanya sambil menunjuk ban bekas yang biasa dipakai untuk duduk.

 

Yuna tersenyum. Ia menikmati kelapa muda yang diberikan dua anak yang bersamanya. Ia merasa sangat bahagia dengan keceriaan anak-anak nelayan yang ada di sana.

 

“Yun ...!” panggil Icha.

 

“Eh!? Gimana? Udah kelar?”

 

Icha menganggukkan kepala. “Aku cari kamu dari tadi, sekalinya malah main di sini. Eh, enak banget kelapa mudanya. Beli di mana?”

 

Yuna menunjuk dua anak kecil yang ada di hadapannya menggunakan dagu.

 

“Kakak mau juga?” tanya Siti.

 

Cowok kecil yang ada di sebelah Siti langsung mengeluarkan parang dari pinggangnya.

 

“Aargh ...!” teriak Icha ketakutan melihat parang yang dibawa oleh teman Siti itu. “Eh, kamu masih kecil. Kenapa mainan golok!?” serunya.

 

Yuna tertawa kecil melihat reaksi Icha. Ia pikir, hanya dirinya saja yang terkejut melihat anak-anak membawa benda tajam. Tapi, sepertinya mereka memang sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini.

 

Cowok kecil itu membukakan kelapa muda untuk Icha dan menyodorkannya.

 

Icha tertegun melihatnya, seluruh tubuhnya gemetar. Ia belum pernah melihat anak-anak selincah itu. “Nama kamu siapa?”

 

“Karjo.”

 

“Karjo? Umur kamu berapa?” tanya Icha penasaran.

 

“Dua belas tahun.”

 

“Masih SD?”

 

Karjo menganggukkan kepala. “Ini, Siti. Adik aku.”

 

“Kenapa kalian bawa parang kayak gitu? Emangnya nggak dimarahi sama orang tua?”

 

Siti dan Karjo menggelengkan kepala. “Kami sudah biasa.”

 

“Oh.” Icha manggut-manggut. Ia akhirnya mengerti dan menikmati suasana kampung nelayan bersama dengan Yuna.

 

Yuna merasa sangat senang berada di kampung nelayan tersebut. Namun, ia dan Icha harus kembali ke kantor. Ia melambaikan tangan pada Siti dan teman-temannya yang telah banyak menghiburnya selama beberapa menit belakangan ini.

 

“Yun, kita makan di mana? Udah waktunya makan siang, nih.”

 

“Di restoran depan kantor itu aja.”

 

Icha mengangguk. Mereka segera masuk ke dalam mobil dan menuju salah satu restoran yang tak jauh dari kantor mereka.

 

Yuna dan Icha banyak berbincang, mereka terlihat sangat ceria saat memasuki restoran. Yuna menghentikan langkahnya saat melihat Bellina juga berada di restoran tersebut. Ia langsung mencari tempat duduk untuk menghindarinya.

 

Bellina tersenyum menatap kedatangan Yuna dan melangkahkan kakinya mendekati Yuna. “Hai ...!” sapa Bellina sambil tersenyum.

 

Yuna sama sekali tidak senang dengan senyuman Bellina. “Kenapa sih selalu aja ketemu sama Mak Lampir satu ini? Dunia sempit banget!” gumam Yuna dalam hati.

 

Bellina tersenyum sambil mengedarkan pandangannya. Hampir semua pengunjung di restoran tersebut adalah karyawan kantor pusat Wijaya Group.

 

“Hai ... Perhatian semuanya!” seru Bellina mencoba menarik perhatian semua orang.

 

“Aku mau kenalin kalian semua sama seseorang,” tutur Bellina saat semua orang telah menatapnya. “Dia ini ...” lanjutnya sambil merangkul pundak Yuna. “Sepupu aku.”

 

Yuna sangat kesal. Ia menepiskan tangan Bellina dari pundaknya.

 

Bellina tersenyum menatap Yuna.

 

“Kalian semua tahu, kalau kemarin dia diantar sama cowok saat jam makan siang. Cowok itu namanya Andre Achmad, mereka sudah saling mengenal sejak kecil. Andre adalah CEO Amora Internasional yang juga saingan perusahaan kita. Dan dia ...” Bellina menunjuk Yuna. “Istri dari Yeriko Sanjaya Hadikusuma, CEO GG yang juga saingan perusahaan kita. Kalian ngerti kan apa maksudku?”

 

Semua orang saling pandang dan mulai mencibir Yuna.

 

“Dia ... masuk ke Wijaya Group, pasti cuma mau jadi mata-mata doang,” tutur Bellina penuh amarah.

 

Yuna mengerutkan bibirnya dan menatap Bellina kesal. “Jangan nuduh sembarangan ya!” sentaknya. “Emangnya, kalau udah kenal lama sama pemilik perusahaan pesaing, itu artinya mata-mata? Gimana sama kamu yang juga sudah kenal sama Andre dari kecil? Berarti, kamu juga mata-mata dong?”

 

“Kamu ...!?” Bellina menunjuk kesal ke arah Yuna.

 

“Udah, deh. Nggak usah selalu fitnah dan cari-cari kesalahan aku. Kamu juga tahu siapa pemilik perusahaan ini sebelum diambil alih sama keluarga Wijaya!?” dengus Yuna.

 

Bellina gelagapan. Tidak semua karyawan mengetahui sejarah perusahaan Lian. Kalau mereka tahu, mereka akan lebih memihak pada Yuna dan membuatnya menjadi orang yang tidak berdaya.

 

“Asal kalian semua tahu, aku magang di sini atas rekomendasi dari universitas aku. Bukan karena aku yang pilih perusahaan. Nggak mungkin pihak universitas ngirim aku jadi mata-mata,” jelas Yuna pada semua orang.

 

“Kamu juga, nggak usah cari perkara terus sama aku!” sentak Yuna sambil menatap Bellina. Ia bangkit dari kursi dan mengajak Icha keluar restoran. Membuat Bellina semakin kesal menghadapi sikap Yuna.

 

“Yun, nggak jadi makan?”

 

“Makan di tempat lain aja. Hilang nafsu makanku ketemu sama Mak Lampir satu itu,” sahut Yuna kesal.

 

“Mau makan di mana?” tanya Icha.

 

“Kita makan itu aja!” jawab Yuna sambil menunjuk pedagang bakso keliling yang sedang mendorong gerobaknya.

 

“Oke.” Icha tidak banyak protes. Ia langsung mengikuti langkah Yuna. Mereka menikmati bakso di pinggir jalan sambil berbincang ceria.

 

“Yun, kamu beneran istrinya CEO GG?” tanya Icha.

 

Yuna menganggukkan kepala.

 

“Kenapa mau makan di pinggir jalan kayak gini?” tanya Icha lagi.

 

“Emangnya ada larangan buat istri CEO makan di pinggir jalan?”

 

“Ya nggak, sih. Tapi ... biasanya orang kaya nggak mau makan di pinggir jalan.”

 

“Masa sih? Aku biasa makan di mana aja,” sahut Yuna.

 

Icha tersenyum menatap Yuna. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Yuna sangat humble meski telah menjadi istri dari CEO yang terkenal dan kaya raya. Sangat jauh berbeda dengan sepupunya yang sombong dan suka menghina orang lain.

 

“Kamu ... beda banget sama sepupu kamu,” tutur Icha.

 

“He-em. Saudara kandung aja bisa beda. Apalagi cuma sepupu,” sahut Yuna.

 

Icha tertawa kecil. Mereka segera menghabiskan bakso yang mereka pesan dan bergegas kembali ke dalam kantornya.

 

 (( Bersambung ... ))

Makasih yang udah baca “Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya! Selamat menjalankan ibadah puasa!

 

Much Love

@vellanine.tjahjadi

 


0 komentar:

Post a Comment

Copyright © Rin Muna
Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | Edited by Gigip Andreas