Yuna masih terduduk lesu di kursi dapur. Ia melipat kedua
kaki, kedua lengannya memeluk kakinya sendiri sembari meletakkan dagu di atas
lutut. Air mata masih terus menetes mengingat perlakuan Yeriko.
“Aku cuma punya kamu ...” bisik Yuna lirih. Semua
penderitaan yang telah ia alami beberapa tahun belakangan ini terlintas di
pikirannya dan membuatnya semakin sedih.
Bibi War yang kembali ke dapur, menatap pilu ke arah
Yuna. Ia merasa sangat sedih setiap kali melihat Yuna murung. Tapi, ia sendiri
tidak tahu bagaimana caranya menghibur Yuna.
“Mbak, sebaiknya temui Mas Yeri lagi dan tanyakan apa
yang terjadi!” pinta Bibi War sambil menatap wajah Yuna.
Yuna menggeleng kecil. Ia tak memiliki keberanian bertemu
dengan Yeriko. Terlebih, Yeriko sudah memecahkan gelas di hadapannya dengan
kasar.
Bibi War menghela napas. Sekalipun Yuna adalah gadis yang
ceria, tapi sangat sulit menghiburnya di saat seperti ini. Ia lebih baik
berhadapan dengan Yeriko yang berwajah dingin untuk menasehatinya.
Bibi War menatap sosok pria yang berdiri di belakang
Yuna. Ia langsung tersenyum melihat Yeriko yang akhirnya turun untuk menemui Yuna.
Bibi War melangkah pergi, memberikan
waktu bagi mereka memperbaiki hubungannya.
Yeriko tidak tega melihat keadaan Yuna. Ia berjongkok di
depan Yuna sambil memegang jemari kaki Yuna.
Yuna langsung mengangkat wajahnya. Ia mengusap air mata
dan langsung menurunkan kakinya begitu melihat Yeriko berjongkok di hadapannya.
Yeriko tersenyum kecil menatap Yuna.
Yuna langsung menyentuh pipi Yeriko. “Ini beneran kamu?”
Yeriko menganggukkan kepala.
Yuna langsung memeluk tubuh Yeriko dan terisak.
“Sudahlah. Jangan nangis!” pinta Yeriko.
“Kamu jahat!” Yuna terus terisak sambil memukul-mukuli
punggung Yeriko. “Aku salah apa sama kamu?”
Yeriko menahan sakit di punggungnya, ia mengelus lembut
punggung Yuna.
Yuna melepas pelukannya dan menatap Yeriko. “Kenapa
tiba-tiba marah sama aku?”
tanyanya.
Yeriko menarik napas dalam-dalam sambil menundukkan
kepala. Ia ingin marah, tapi hatinya justru melunak saat melihat Yuna menangis.
Yeriko mengambil ponsel di sakunya dan menunjukkan foto
Andre yang sedang memperbaiki rambut Yuna.
“Kamu dapet foto ini dari mana?” tanya Yuna sambil
membelalakkan matanya.
“Nggak penting dapet dari mana!” sahut Yeriko. “Kamu suka
sama dia?”
“Andre?”
Yeriko menganggukkan kepala.
Yuna tertawa kecil. “Kamu marah sama aku cuma karena foto
ini?”
Yeriko mengernyitkan dahi menatap Yuna.
Yuna menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan. “Foto ini diambil dari sudut yang bagus. Membuat kami seolah-olah
sedang bermesraan. Kamu tahu, Andre cuma merapikan anak rambutku. Itupun aku
langsung menepis tangan dia. Kenapa fotonya bisa kelihatan semesra ini? Kamu
dapet foto ini dari mana?”
“Kamu nggak ada hubungan apa-apa sama dia?”
Yuna menganggukkan kepala. “Kami berteman sejak kecil.
Aku sudah menganggap dia seperti kakakku sendiri. Apakah dia jadi salah satu
orang yang pantas buat kamu cemburui?”
“Ada banyak hal yang bisa aja terjadi di luar sana. Aku
cuma nggak mau kamu lebih memilih orang lain dan ninggalin aku.”
Yuna tersenyum sambil menangkupkan kedua telapak
tangannya ke wajah Yeriko. “Saat ini ... aku cuma punya kamu. Gimana bisa kamu
berpikir kalau aku bakal ninggalin kamu? Bukankah seharusnya ... aku yang takut
kalau kamu nggak ada lagi di samping aku?”
Yeriko tersenyun kecil sambil menatap wajah Yuna.
“Hmm ... kira-kira siapa orang yang udah ngirim
foto ini ke kamu? Dia pasti ... orang yang pengen bikin hubungan kita
berantakan.”
Yeriko mengernyitkan dahi. “Siapa orang yang ingin
mengganggu hubungan kita. Apa keuntungan buat mereka?”
“Mmh ... bisa jadi, cewek-cewek yang udah kamu tolak
cintanya dan nggak senang sama hubungan kita.”
Yeriko tersenyum kecil. “Aku bakal cari tahu siapa
orangnya.”
“Aku udah tahu.”
“Maksud kamu?”
“Waktu aku turun dari mobil. Ada Bellina di depan pintu
masuk. Cuma dia satu-satunya orang yang nggak senang sama aku dan pasti seneng
kalau aku menderita.”
Yeriko tersenyum. Ia merapikan rambut Yuna.
“Kamu udah nggak marah lagi?”
Yeriko menggelengkan kepala. “Asal kamu nggak
mesra-mesraan lagi sama cowok lain. Kamu sekarang sudah jadi Nyonya Ye dan
harus bisa menjaga nama baik.”
Yuna menganggukkan kepala. “Lagian, aku nggak ada
hubungan apa-apa sama Andre. Apa aku emang nggak boleh berteman sama orang
lain? Asal kamu tahu, meskipun ada banyak laki-laki yang berusaha buat
deketin aku. Aku Cuma sayang dan cinta sama kamu. Aku nggak bisa sehari aja
tanpa kamu.”
“Apa kamu mencintaiku?” tanyanya sambil menatap Yuna.
“Kalau aku nggak cinta, aku nggak akan ada di sini
sekarang. Aku nggak akan sedih setiap kali lihat kamu marah. Aku nggak akan
...”
Yeriko langsung membungkam mulut Yuna dengan bibirnya.
Yuna tertegun sesaat. Ia menatap mata Yeriko yang begitu
dekat. Mata yang selalu membuatnya nyaman, memberikan kehangatan dalam setiap
sudut waktu yang ia miliki.
Yeriko tersenyum menatap Yuna. Ia meraih tangan Yuna dan
mengajaknya kembali ke ruang kerjanya.
“Masih mau kerja?” tanya Yuna sambil masuk ke ruang kerja
Yeriko.
Yeriko menganggukkan kepala. “Kamu temenin sebentar ya!”
pintanya.
Yuna mengangguk.
“Gimana pekerjaan kamu hari ini?” tanya Yeriko.
“Baik.” Yuna melangkahkan kakinya sembari melihat
beberapa lukisan yang terpajang di dinding ruang kerja Yeriko.
Yeriko membuka laptop dan menyelesaikan beberapa
pekerjaannya. Walau ia sibuk memverifikasi data perusahaan yang masuk ke dalam
sistemnya, matanya sesekali tetap tertuju pada Yuna yang masih mondar-mandir di
ruangannya.
Yeriko menghela napas sambil menopang kening dengan
telapak tangannya. Pikirannya sangat terganggu dengan Yuna yang terus
berkeliling di dalam ruang kerjanya, terlebih Yuna memakai lingerie,
memperlihatkan tubuhnya yang seksi dan terus menarik perhatian Yeriko.
“Sini!” Yeriko langsung menarik lengan Yuna saat istrinya
berjalan di dekatnya dan memeluk Yuna ke dalam pangkuannya.
“Eh!? Udah selesai kerjanya?” tanya Yuna.
Yeriko menggelengkan kepala.
“Kalau gitu, selesaikan dulu! Abis ini kita makan malam
bareng!” pinta Yuna.
“Masih bisa aku lanjutin besok.” Yeriko tersenyum sambil
membuka kaki Yuna agar menghadap ke tubuhnya. Ia memeluk pinggang Yuna. “Ada
hal yang lebih penting.”
“Oh ya? Apa itu?” tanya Yuna sambil merangkul leher
Yeriko. Ia tersenyum sambil memainkan hidungnya di atas hidung Yeriko.
“Kamu,” jawab Yeriko. Ia mengulum bibir Yuna perlahan.
Tangannya mulai menjalar masuk ke dalam pakaian Yuna yang tipis.
“Apa kehadiran aku udah ganggu kerjaan kamu?” tanya Yuna
sambil menatap wajah Yeriko.
Yeriko menggelengkan kepala. “Aku malah makin semangat
kalau ada kamu.”
“Kalau gitu, cepet kelarin kerjaannya!” pinta Yuna.
“Mmh ... cium dulu!” rengek Yeriko manja.
“Idih ... manja banget sih!? Lanjutin kerjaannya! Bibi
udah nyiapin makan malam buat kita, ntar keburu dingin.”
“Nah, kan? Selalu aja ada alasan untuk menghindar,”
celetuk Yeriko.
“Menghindar apa sih?”
Yeriko langsung membuang pandangannya sambil mengerutkan
bibir.
“Beruang ... jelek banget sih kalo ngambek gini. Nanti
aku kasih kalau sudah selesai makan malam.”
“Beneran?”
Yuna menganggukkan kepala.
“Mau ngasih berapa kali?”
“Kamu maunya berapa?”
“Mmh ... dua belas. Gimana?”
“Halah, gaya banget!” sahut Yuna. “Baru main dua kali aja
udah kecapean,” lanjutnya.
Yeriko tertawa kecil. “Itu karena aku lagi capek banget
banyak kerjaan juga.”
“Ya udah, lanjutin kerjaan kamu lagi!” pinta Yuna sambil
melepaskan tubuhnya dari pelukan Yeriko.
“Jangan pergi!” Yeriko mengeratkan pelukannya.
Yeriko mengecup bibir Yuna. Ia meraih mouse dengan tangan
kanannya. Ia meneruskan pekerjaannya sambil terus memeluk Yuna seperti memeluk
anak kecil.
Yuna tersenyum bahagia. Ia merasa sangat senang dan
merebahkan kepalanya di bahu Yeriko. Ia merasa hubungannya dengan Yeriko
semakin mesra setelah perang dingin yang terjadi di antara mereka.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Selamat menjalankan ibadah puasa!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment