Yuna melirik arloji di tangannya saat ia sudah pulang kerja. Ia menelepon
Yeriko beberapa kali namun tidak mendapat jawaban. Ia merasa sedikit aneh.
Siang tadi, semuanya masih terasa biasa saja. Yeriko masih memberikan perhatian
kecil untuknya.
“Huft ... apa dia masih sibuk kerja jam segini?” gumam Yuna sambil menatap
chat di ponselnya. “Udah di-read, kenapa nggak dibalas sih?” tanyanya.
Beberapa menit kemudian, mobil Lamborghini warna biru berhenti di
hadapannya. Mata Yuna langsung berbinar. Ia menghampiri mobil tersebut. Dengan
perasaan bahagia, ia langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.
“Riyan!?” Yuna mengernyitkan dahi begitu melihat Riyan yang duduk di
belakang kemudi.
“Hai ... Nyonya!” Riyan tersenyun manis sambil melambaikan tangannya ke
arah Yuna.
Yuna menoleh ke arah kursi belakang, ia tidak mendapati suaminya ada di
sana. Ia merasa sangat aneh dan terpaksa duduk di kursi depan. Ia memasang
safety belt di pinggangnya sambil bertanya-tanya dalam hati.
“Yeriko mana?” tanya Yuna sambil menoleh ke arah Riyan.
“Pak Bos sudah pulang duluan,” jawab Riyan.
Yuna mengernyitkan dahinya. “Pulang? Dia sekarang udah di rumah?”
Riyan menganggukkan kepala.
“Kenapa dia nggak jemput aku?”
Riyan mengedikkan bahu. “Kurang tahu. Pak Bos nggak ada ngomong apa-apa.
Sepertinya, suasana hatinya memang lagi buruk. Dia marahin semua orang tanpa
sebab dan wajahnya ...” Riyan bergidik mengingat wajah dingin Yeriko. “Kayak
singa mau makan orang!” lanjutnya.
Yuna memajukan bibir bawahnya. Ia tidak mengerti kenapa suaminya tiba-tiba
berubah begitu drastis. “Apa ada masalah dengan perusahaan?” tanyanya.
“Mmh ... sejauh ini sih baik-baik aja. Semua proyek berjalan dengan
lancar.”
Yuna menghela napas. Ia mulai memikirkan banyak hal tentang suaminya.
“Kalau bukan karena masalah pekerjaan, kira-kira masalah apa yang bisa bikin
dia tertekan?”
“Nyonya.”
“Eh!?” Yuna menoleh ke arah Riyan.
Riyan langsung memukul mulutnya sendiri. “Maaf, Nyonya!” tuturnya. “Aku
cuma asal nebak aja.”
Yuna menghela napas. “Sepertinya tebakan kamu bener.” Ia menyandarkan
kepalanya ke kursi. “Kalau bukan karena aku, dia pasti nggak nyuruh kamu buat
jemput aku.”
“Mmh ... iya, juga.” Riyan manggut-manggut. “Ah, Nyonya Muda jangan
berpikir terlalu jauh! Bos Ye sangat menyayangi Nyonya Muda. Kalau dia lagi
marah, pasti marahnya nggak akan lama. Sedikit sentuhan lembut bisa meluluhkan
hatinya.”
“Ah, kamu sok tahu!” sahut Yuna sambil tertawa kecil.
“Tahu banget!” sahut Riyan. “Aku sudah lama ikut Bos Yeri. Cuma Nyonya Muda
yang bisa mengendalikan suasana hatinya.”
“Mmh ... menurut kamu, dia marah karena apa?”
Riyan mengedikkan bahunya. “Apa Nyonya Muda ada bikin salah sama dia?”
Yuna menggelengkan kepala. “Aku nggak tahu. Tadi siang, dia masih baik-baik
aja. Bahkan, dia udah ngizinin aku buat makan siang sama Andre.”
“Andre itu siapa?”
“Temen masa kecilku. Kemarin, Yeriko juga sempat marah sama aku waktu lihat
aku makan siang sama Andre. Bos kamu itu ... cemburunya gede banget.”
Riyan dan Yuna membelalakkan mata, mereka saling pandang beberapa saat.
“Fix! Bos Ye pasti lagi cemburu sama Nyonya Muda,” seru Riyan.
“Ah, nggak mungkin!”
“Eh!? Kenapa nggak mungkin?”
“Abis aku makan siang bareng Andre, Yeriko masih telepon aku dan dia sama
sekali nggak marah. Kalau dia cemburu, harusnya dari awal sudah ngelarang aku
makan siang sama Andre.”
“Ooh ...” Riyan manggut-manggut. “Kalau gitu, cuma Nyonya Muda yang bisa
tahu, ada apa sebenarnya. Sebaiknya, Nyonya tanyakan langsung ke dia setelah
sampai rumah!”
“He-em.” Yuna menganggukkan kepala.
Sesampainya di rumah, Yuna langsung masuk dan menghampiri Bibi War yang
sedang sibuk di dapur.
“Bi, Yeriko udah balik?”
Bibi War menganggukkan kepala.
“Dia di mana sekarang?”
“Ada di ruang kerjanya.”
“Oke. Oh ya, apa hari ini ada sesuatu yang berbeda dari dia?”
“Dia kelihatan nggak terlalu bersemangat saat masuk ke dalam rumah. Lihat
aja! Jasnya dilemparkan gitu aja ke sofa. Nggak biasanya Mas Yeri kayak gitu.
Apa kalian ... lagi ada masalah?”
Yuna menoleh ke arah jas Yeriko yang masih bertengger di sofa. Ia
melangkah, meraih jas tersebut dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Bibi War menghela napas. Ia tidak bertanya lagi. Tapi melihat gelagat
keduanya, sepertinya memang sedang ada masalah.
Yuna bergegas masuk ke dalam kamar. Ia meletakkan jas Yeriko dan tasnya ke
atas tempat tidur dan pergi mandi terlebih dahulu.
Usai mandi, Yuna mengenakan lingerie berwarna peach. Ia menatap tubuhnya di
cermin dan tersenyum pada dirinya sendiri. “Jia you!” Yuna mengepalkan tangan,
memberi semangat pada dirinya sendiri. Ia bergegas keluar kamar dan langsung
turun ke dapur. Yuna membuat segelas susu untuk Yeriko dan mengantarkannya ke
ruang kerja.
Yuna menarik napas dalam-dalam saat sudah sampai di depan pintu. Ia
mengetuk pintu beberapa kali.
“Masuk!” perintah Yeriko.
Yuna tersenyum dan langsung membuka pintu. Ia masuk dan melangkah perlahan
menghampiri Yeriko yang sedang membaca buku di meja kerjanya.
Yeriko membuang wajah saat mengetahui kalau Yuna yang masuk ke dalam
ruangannya.
Yuna meletakkan segelas susu ke meja Yeriko sambil melirik suaminya yang
masih bergeming. Ia tersenyum kecil. “Banyak kerjaan? Aku buatkan susu. Diminum
ya!” pinta Yuna lembut.
Yeriko menatap tajam ke arah Yuna. Di bola matanya, tergambar jelas amarah
yang begitu membara. Membuat Yuna tidak tahu harus berkata apa untuk
menenangkan suasana hati Yeriko.
“Pergi dari sini!” sentak Yeriko.
Yuna menggigit bibirnya. Ia masih saja bergeming di tempatnya.
“Kamu nggak denger aku ngomong apa, hah!? Cepet pergi dari sini!” sentak
Yeriko lagi sambil memukul meja kerjanya. “Nggak usah sok perhatian kayak
gini!” Yeriko menyentuh gelas susu menggunakan punggung tangannya.
Yuna langsung membuka mulutnya lebar-lebar saat gelas susu yang ia bawa
jatuh ke lantai dan menjadi berkeping-keping. Ia menatap air susu yang
berhamburan di lantai.
Mata Yuna berkaca-kaca menatap gelas kaca yang tak lagi utuh. Ia
membungkukkan tubuhnya dan mulai mengumpulkan pecahan gelas yang ada di
hadapannya sambil menangis. Tangan kanannya sibuk membersihkan pecahan gelas,
sementara tangan kirinya terus mengusap air mata yang menetes.
“Aku salah apa? Kenapa kamu sampai semarah ini?” batin Yuna dalam hati.
Yuna mengumpulkan pecahan gelas ke atas nampan yang ia bawa.
Yeriko menatap Yuna yang masih berjongkok di depan meja kerjanya. Hatinya
terasa sangat ngilu melihat air mata kesedihan yang keluar dari mata Yuna. “Apa
aku sudah keterlaluan?” tanyanya dalam hati.
“Suruh Bibi ke sini buat beresin! Kamu kembali ke kamar! Jangan ganggu aku!
Aku mau baca buku!” pinta Yeriko dingin.
Yuna menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Ia bangkit
perlahan dan melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerja Yeriko.
Yeriko mengusap wajahnya. Sekalipun ia bisa melampiaskan rasa marahnya
kepada Yuna, perasaannya justru semakin tidak tenang. Hatinya sangat terpukul
saat melihat Yuna menangis dan murung. Ia benar-benar tidak tahu harus bersikap
di saat seperti ini.
“Mbak Yuna kenapa?” tanya Bibi War saat melihat Yuna kembali ke dapur
sambil menangis. Ia menoleh ke arah nampan yang berisi pecahan gelas. Ia tak
banyak bertanya dan langsung mengambil nampan dari tangan Yuna.
“Yeriko marah sama aku. Aku nggak tahu, aku salah apa ke dia,” tutur Yuna
sambil terisak. Ia terduduk lemas di kursi dapur dan menangis sejadi-jadinya.
Bibi War mengelus pundak Yuna dan berusaha menenangkannya.
“Bibi disuruh ke ruangannya buat bersihin tumpahan susu. Dia bener-bener
nggak mau lihat aku,” ucap Yuna sambil mengusap air matanya.
“Mbak Yuna nggak usah khawatir! Suasana hatinya pasti akan segera membaik.
Dia perlu waktu buat sendiri dulu,” tutur Bibi War. Ia mengambil kain lap dan
bergegas naik ke ruang kerja Yeriko.
Bibi War mendapati Yeriko sedang melamun di meja kerjanya. Ia menghela
napas dan segera membersihkan tumpahan susu yang berhamburan di lantai.
“Mas, sebenarnya ada apa? Mbak Yuna nggak berhenti menangis sejak keluar
dari ruangan ini. Kalian baru saja berbaikan. Apa nggak kasihan sama Mbak Yuna?
Dia sangat menyayangi Mas Yeri. Apa ada kesalahan yang tidak termaafkan?” tanya
Bibi War sambil menatap Yeriko.
Yeriko bergeming. Ia bahkan tidak menoleh ke arah Bibi War sedikit pun.
Bibi War menghela napas melihat sikap Yeriko. “Jangan sampai, kejadian
kemarin terulang lagi!” tuturnya mengingatkan. “Mbak Yuna tidak pernah
memikirkan dirinya sendiri, dia bisa membahayakan dirinya sendiri.” Bibi War
berbalik dan bergegas keluar dari ruangan Yeriko.
Yeriko langsung bangkit dari kursinya. Ia menyadari kalau dirinya sudah
keterlaluan dan melukai perasaan Yuna. Ia bergegas keluar dari ruang kerjanya.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Selamat menjalankan ibadah puasa!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment