Andre menghentikan mobilnya tepat di depan kantor Wijaya Group.
“Makasih ya, traktirannya!” tutur Yuna sambil melepas safety belt.
Andre menganggukkan kepala. Ia ikut melepas safety belt dan bergegas keluar
dari mobil. Ia langsung berlari membukakan pintu untuk Yuna.
“Ah, kamu ini kayak apa aja. Aku bisa buka pintu mobil sendiri.”
Andre tersenyum sambil menatap Yuna yang masih berada di dalam mobil.
“Laki-laki yang baik harus memperlakukan wanita dengan baik juga kan?” ucapnya
sambil mengerdipkan mata.
“Good boy!” puji Yuna sambil mengacungkan jempolnya. Ia keluar dari dalam
mobil.
Andre tersenyum dan langsung menutup pintu mobilnya. Ia menyentuh rambut
Yuna untuk merapikan anak rambut yang sedikit berantakan.
Yuna langsung menepis tangan Andre dan mengusap kepalanya sendiri. “Aku
masuk dulu!” pamit Yuna sambil bergegas pergi.
Andre tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
Pemandangan Yuna dan Andre menarik beberapa pasang mata, terutama Bellina
yang kebetulan juga ada di depan kantor tersebut. Ia merasa sangat senang
karena bisa mendapatkan potret kemesraan Yuna dan Andre. Ia tersenyum penuh
kemenangan.
“Mampus kamu, Yun!” celetuk Bellina sambil tersenyum menatap potret Andre
dan Yuna yang terlihat sangat mesra.
BRUG ...!
Icha, gadis manis dari departemen proyek tak sengaja menabrak Bellina.
“Maaf, Bu!” tutur Icha sambil membereskan barang-barangnya yang terhambur
di lantai.
“Jalan nggak lihat-lihat!” sentak Bellina sambil mengambil ponselnya yang
jatuh ke lantai. “Kalo sampe hp-ku rusak, kamu harus gantiin!” seru Bellina
sambil menyalakan kembali ponselnya yang mati.
“Maaf, Bu! Saya nggak sengaja,” tutur Icha.
“Makanya, jalan pake mata!” sentak Bellina sambil menoyor kepala Icha.
“Heh!? Kamu ini nggak punya perasaan ya!?” sentak Yuna sambil menepis
tangan Bellina. “Jelas-jelas dia udah minta maaf. Kamu masih aja menindas dia!”
Icha hanya menundukkan kepala sambil memperbaiki posisi kacamatanya.
“Kamu nggak usah ikut campur urusan orang lain!” seru Bellina. “Lihat!
Layar hp aku jadi retak kayak gini. Dia harus ganti rugi!”
“Maaf, Bu! Saya nggak sengaja. Na ... nanti ... saya ganti hp Ibu.”
“Heh!? Kamu itu kan orang kaya. Perkara hp retak aja udah marah-marah.
Kayak orang susah aja nggak bisa beli hp baru. Kalo emang beneran kaya,
harusnya kamu bisa dengan mudah ganti hp kamu tanpa harus marah-marah ke orang
lain,” sahut Yuna.
“Kamu!?” Bellina menunjuk wajah Yuna sambil menatapnya penuh kebencian.
“Apa!?” Yuna balas mendelik ke arah Bellina. “Oh ... jangan-jangan kamu
sekarang udah jatuh miskin? Apa si Lian itu sudah mencampakkan kamu? Atau kamu
nggak berhasil dapetin harta kekayaan dia?”
Bellina menghentakkan kaki, ia makin kesal dengan ucapan Yuna. “Awas kamu
ya! Aku bakal bikin perhitungan sama kamu!” ancam Bellina. “Kamu juga!”
sentaknya sambil menatap Icha.
“Bikin aja! Mau perhitungan berapa pun aku jabanin!” sahut Yuna.
Bellina membuang wajah dan langsung bergegas pergi meninggalkan Yuna dan
Icha.
“Huh!? Dasar Mak Lampir!” maki Yuna sambil mengepal tangan ke arah Bellina.
Yuna menoleh ke arah Icha yang berdiri di sampingnya. “Kamu nggak papa?”
Icha menganggukkan kepala. “Makasih ya, udah bantuin aku!”
“Ah, nggak papa. Dia itu emang harus dilawan. Kalo nggak, bakalan ngelunjak
dan menindas orang lain terus. Oh ya, nama kamu siapa?” tanya Yuna.
“Namaku Alyssa, panggil Icha aja.”
“Oh ... namaku Ayuna, panggil Yuna!” ucap Yuna sambil tersenyum dan
mengulurkan tangan ke arah Icha.
Icha tersenyum dan menyambut uluran tangan Yuna.
“Sini, aku bantu!” Yuna mengambil beberapa barang milik Icha.
“Eh!? Nggak usah! Aku bisa sendiri, kok.”
“Nggak papa. Lagian aku juga santai dan nggak bawa apa-apa,” sahut Yuna.
Icha tersenyum. “Makasih ya!” ucapnya dan bergegas melangkah memasuki
kantor beriringan dengan langkah Yuna.
“Ruangan kamu di mana?” tanya Yuna.
“Ruang Departemen Proyek,” jawab Icha.
“Loh? Kita satu departemen?” tanya Yuna.
Icha menganggukkan kepala.
“Sorry ...! Baru masuk tadi pagi dan belum bisa ingat wajah-wajah orang
kantor sini,” tutur Yuna meringis.
Icha tersenyum ke arah Yuna. “Nggak papa.”
“Hmm ... baguslah kalau kita satu divisi. Oh ya, si Belli itu suka menindas
karyawan kantor sini juga?”
Icha menganggukkan kepala. “Bu Bellina istri direktur utama. Mana ada yang
berani ngelawan dia. Cuma kamu, yang berani ngelawan dia. Kamu nggak takut
dipecat?”
Yuna tertawa kecil. “Kalau mau dipecat ya pecat aja! Toh, aku juga cuma
magang di sini.”
“Kamu juga masih magang?” tanya Icha.
Yuna menganggukkan kepala. “Kamu juga karyawan magang?”
Icha menganggukkan kepala. “Aku nggak berani macam-macam karena aku masih
magang di sini.”
“Hmm ... iya juga, sih. Kamu butuh banget ya pekerjaan ini?”
Icha menganggukkan kepala. “Kamu sendiri?”
“Mmh ... dibilang butuh, iya. Dibilang nggak butuh, ya nggak butuh banget,
sih.”
Icha mengernyitkan dahi menatap Yuna.
Yuna meringis ke arah Icha. “Aku lebih suka di kantor lama. Huft, mungkin
karena tempat ini masih kerasa asing. Lagian, proses perpindahan dari kantor
cabang ke kantor pusat ini terlalu cepat. Aku bahkan belum menguasai banget
pekerjaan di sana. Di sini, udah dikasih kerjaan yang baru,” cerocos Yuna.
“Bagus kan? Kamu jadi dapetin banyak ilmu dan pengalaman. Di kantor lama,
kamu di departemen proyek juga?”
Yuna menggelengkan kepala. “Aku di departemen personalia.”
“Bagus.”
“Apanya yang bagus?”
“Yah, kamu jelas punya pengalaman lebih dan bisa mempelajari dua departemen
sekaligus kan? Aku sudah di departemen proyek sejak awal. Sama sekali nggak
paham dengan apa pun yang ada di departemen personalia.”
“Hehehe. Kamu bisa aja,” sahut Yuna sambil meringis.
“Kamu alumni mana?” tanya Icha.
“Melbourne,” jawab Yuna sambil melangkah masuk ke dalam ruangannya.
“Wow! Ternyata kamu lulusan dari luar negeri? Kenapa mau magang di sini?”
tanya Icha.
“Rekomendasi dari kampusku.”
“Oh ... gitu ya? Gimana rasanya tinggal di luar negeri, Yun?” tanya Icha
sambil meletakkan barang-barangnya ke atas meja dan merapikannya satu per satu.
“Sama aja kayak di sini.”
“Ah, nggak mungkin! Kehidupan di luar negeri pasti jauh berbeda kan? Di
sana ... ada empat musim, secara kultural, kehidupannya juga pasti sangat
berbeda dengan Indonesia.”
Yuna hanya tersenyum menatap Icha. “Yah, begitulah. Sulit dijelaskan dengan
kata-kata.”
“Hehehe. Kalau kamu kuliah di luar negeri, pasti orang tua kamu kaya raya
kan? Kenapa nggak magang di perusahaan besar yang ada di luar negeri juga?”
tanya Icha.
Yuna langsung melirik ke langit-langit ruangan. “Iya, ya? Kenapa aku nggak
magang di perusahaan luar negeri juga ya?” tanyanya sambil mengetuk-ngetuk
dagunya. Ia langsung menatap Icha sambil tersenyum. “Mungkin, karena aku
kuliahnya dapet beasiswa dan aku harus cepet-cepet balik ke Indonesia karena
semua keluarga aku ada di sini.”
“Wah ...! Kamu kuliah karena beasiswa? Keren banget sih!? Pantes aja kamu
cepet dipindahin ke kantor pusat. Otak kamu, pasti sudah terprogram dengan baik
dan cerdas banget!”
“Apaan sih!? Emangnya robot?” sahut Yuna sambil menahan tawa.
“Yah ... cuma anak-anak cerdas yang bisa dapet beasiswa ke luar negeri.
Kamu salah satunya.”
“Mmh ... aku ngerasa otakku pas-pasan banget. Aku dapet beasiswa bukan
karena aku cerdas, tapi karena keberuntungan,” sahut Yuna sambil tertawa kecil.
Icha ikut tertawa menanggapi ucapan Yuna. “Memang ya, nggak ada yang bisa
mengalahkan keberuntungan.”
“Hehehe. Kamu sendiri lulusan mana?” tanya Yuna.
“Aku? Cuma lulusan universitas lokal aja,” jawab Icha.
“Oh ya? Universitas mana?” tanya Yuna.
“Atmajaya.”
“Oh ....” Yuna manggut-manggut tanda mengerti.
Icha tersenyum menatap Yuna. Ia sangat mengagumi Yuna yang terlihat
energik, bahkan tatapan matanya pun seolah berbicara tentang banyak kebahagiaan
di dunia ini.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Selamat menjalankan ibadah puasa!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment