Lutfi menyeret Yeriko pergi ke bar. Kebetulan, pikiran
Yeriko sedang kacau dan ia tidak menolak ajakan Lutfi. Mereka menghabiskan
waktu di bar sambil bercerita banyak hal tentang bisnis dan juga wanita di
sekeliling mereka.
“Eh, kamu sudah punya istri. Ini sudah jam tiga pagi. Apa
kamu nggak khawatir ninggalin istrimu?” tanya Lutfi.
Yeriko menggelengkan kepala sambil menenggak anggur yang
ada di tangannya.
“Kenapa? Lagi berantem?” tanya Lutfi sambil tertawa
kecil.
“Lagi kesel aja sama dia.”
“Kesel kenapa?”
“Tadi siang, dia pergi makan sama cowok lain.”
“Hahaha.” Lutfi malah tertawa lebar mendengar pernyataan
Yeriko.
“Kenapa malah ketawa?”
“Kakak Ipar itu cantik dan menyenangkan, wajar aja kalau
ada cowok yang ngajak dia makan siang. Kalau lihat dia makan, kayaknya semua
makanan jadi enak banget. Aku juga mau makan bareng dia.”
Yeriko langsung mengetuk kepala Lutfi. “Kamu bener-bener
nggak menghargai aku ya!?” dengusnya geram.
“Hehehe. Kalau cuma nemenin makan siang, aku rasa nggak
ada masalah. Cemburumu terlalu gede!” seru Lutfi.
“Cemburu?” Yeriko bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Apa benar ia sedang cemburu? Apakah Yuna juga merasa cemburu saat ia makan
bersama Cantika?
“Eh, Lut ... tadi siang aku juga makan bareng Cantika.
Yuna nyamperin aku sambil minta maaf. Tapi, aku cuekin dan ngajak ngobrol
Cantika tanpa melihat dia. Apa dia juga bakal cemburu?”
Lutfi menatap Yeriko sambil tertawa.
“Kenapa malah ketawa?”
“Kalau dia marah, jelas dia cemburu. Apalagi, Cantika itu
cantik dan seksi. Bukan cuma cemburu, dia pasti sudah salah paham. Apalagi
sampai sekarang kamu belum pulang ke rumah. Pasti dia mikir kalau kamu lagi
main sama Cantika.”
“Apa pemikiran cewek serumit itu?”
“Bisa jadi. Bukannya kamu pernah cerita kalau Yuna
sebelumnya pernah diselingkuhi sama pacarnya? Dia pasti akan lebih sensitif
saat lihat kamu jalan sama cewek lain.”
“Tapi ... Cantika cuma klien aku. Dia juga sudah punya
tunangan.”
“Semua wanita sama, sudah menikah atau belum itu sama
aja. Asal suka sama suka, hubungan terlarang bisa aja terjadi,” ucap Lutfi yang
sudah setengah sadar karena berada di bawah pengaruh alkohol.
Yeriko langsung bangkit dari tempat duduk. Ia meraih
jasnya dan bergegas pergi.
“Heh!? Mau ke mana?” tanya Lutfi.
“Pulang,” jawab Yeriko. Ia bergegas keluar dari bar dan
melajukan mobilnya pulang ke rumah.
“Mas Yeri, kok baru pulang?” tanya Bibi War saat melihat
Yeriko masuk ke dalam rumah.
“Bibi belum tidur?”
“Belum. Bibi nggak bisa tidur karena Mbak Yuna ...”
“Yuna kenapa?”
“Dia kelihatan sedih banget sejak pulang kerja. Dia masih
nunggu Mas Yeri pulang. Bibi nggak tega lihat dia kayak gitu. Kenapa Mas Yeri
pulang sampai pagi kayak gini?”
“Lutfi ngajak aku ke bar.” Yeriko melangkah perlahan
menaiki anak tangga. Ia tertegun saat melihat Yuna terduduk di lantai dengan
tatapan kosong. Ia melangkah perlahan menghampiri Yuna.
Yuna menatap sepasang kaki yang tiba-tiba sudah ada di
depannya. Ia langsung mengangkat kepala dan menatap Yeriko yang berdiri di
hadapannya. “Sudah pulang?” tanyanya lirih.
“Belum tidur?” Yeriko balik bertanya. Ia merasa tertekan
melihat wajah Yuna yang pucat pasi dan terduduk di lantai. Yeriko berjongkok di
depan Yuna sambil merapikan rambut Yuna yang berantakan.
“Kamu dari mana?” tanya Yuna dengan mata berkaca-kaca.
“Dari bar.”
“Sama cewek yang tadi siang?”
Yeriko menghela napas. Yuna benar-benar telah berpikir
sangat jauh, sama seperti yang diucapkan oleh Lutfi. Ia menggeleng perlahan.
“Kenapa nggak jemput aku pulang kerja?”
“Aku banyak kerjaan.”
“Bohong! Kamu masih jalan sama klien kamu yang cantik itu
kan?”
“Nggak, Yun!”
“Riyan yang bilang sama aku kalau kamu masih jalan sama
klien itu. Sebenarnya, dia itu klien kamu atau selingkuhan kamu?”
“Yun, jangan berpikir terlalu jauh!” pinta Yeriko. “Dia
cuma klien aku.”
“Aku nggak percaya.”
“Bukannya kamu juga jalan sama cowok lain?”
“Andre temen aku dari kecil. Aku juga makan sama dia baru
sekali ini setelah nggak ketemu bertahun-tahun. Apa aku nggak boleh cuma pergi
makan siang doang?”
“Makan siang atau makan malam sama aja! Tetep aja kamu
pergi sama cowok lain!” sentak Yeriko.
“Apa bedanya sama kamu, hah!? Kamu pakai alasan kerja
buat deketin cewek-cewek cantik.”
“Kamu jangan nuduh sembarangan kayak gini, Yun! Aku nggak
mungkin selingkuh. Aku cuma sayang sama kamu.” Yeriko langsung memeluk tubuh
Yuna.
Yuna melepaskan pelukan Yeriko perlahan. “Aku pusing, mau
tidur,” tutur Yuna sambil bangkit dan naik ke atas ranjang. Kepalanya tiba-tiba
berdenyut kuat. Ia menarik selimut menutupi tubuhnya dan bersin beberapa kali.
Yeriko menarik napas. Ia melepas jas dan dasinya,
membuka kancing kemeja kemeja. Ia berbalik dan keluar dari kamar. Ia masuk ke
ruang kerja dan duduk di sofa.
Yeriko mengambil sebatang rokok, menyalakan dan
menghisapnya perlahan. “Huft ...!” Ia menghembuskan napas sambil mengeluarkan
asap dari mulutnya dan bersandar di sofa. Belum lama menikah, mereka harus bertengkar hebat hanya
karena sama-sama salah paham.
Ia merasa sangat kesal karena Yuna menuduhnya
berselingkuh dengan wanita lain. Yeriko langsung menelepon Chandra untuk
meminta saran tentang hubungannya.
“Kenapa, Yer?” tanya Chandra tanpa basa-basi saat
panggilan telepon Yeriko tersambung. “Tumben telepon pagi-pagi banget?”
“Sudah bangun?”
“Sudah. Kenapa, Yer?”
“Apa kamu pernah berantem sama Amara?”
“Sering.”
“Masalahnya apa?”
“Apa yang bikin perempuan paling marah?”
“Lihat kita jalan sama cewek lain.”
“Maksudnya, selingkuh?”
“Yah, nggak juga sih. Tapi, biasanya dia suka marah-marah
kalau lihat aku jalan sama cewek lain. Bahkan, dia pernah maki-maki Yuna sama
Jheni waktu aku ajak mereka makan siang bareng. Cewek, kalo udah cemburu,
semuanya jadi salah, Yer.”
“Gitu ya?”
“Iya. Ada apa sih? Lagi berantem sama Yuna?”
“Dia cemburu sama Cantika. Semalam aku nggak pulang, dia
pikir aku masih sama Cantika.”
“Kenapa nggak pulang? Parah!”
“Lutfi ngajak aku ke bar.”
“Terus?”
“Yuna nunggu aku pulang sampai jam setengah empat pagi.
Waktu aku pulang, dia marah-marah. Aku bener-bener kesel. Kenapa dia bisa
berpikiran sejauh itu?”
“Namanya juga perempuan, Yer. Wajar kalau dia marah
karena suaminya nggak pulang semalaman. Apalagi, dia udah nunggu kamu sampai
pagi. Dia begitu, pasti karena sayang banget sama kamu.”
Yeriko menghela napas. “Bener juga, sih. Waktu pulang,
aku nggak tega lihat mukanya pucat banget. Sebenarnya, aku udah nggak marah
sama dia. Tapi, dia malah marah-marah dan bikin aku makin emosi.”
“Kamu jangan egois. Kalau urusan cinta, laki-laki harus
banyak mengalah. Yuna pasti sangat menderita kalau dia sampai nunggu kamu
pulang semalaman.”
“Iya.”
“Ya sudah. Tunggu apa lagi! Lebih baik kamu bujuk dia
secepatnya!”
“Oke.” Yeriko langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia
bangkit, keluar dari ruang kerja dan masuk ke kamarnya.
Yeriko mengedarkan pandangannya. Ia tidak mendapati Yuna
berbaring di tempat tidur. Ia mengecek kamar mandi dan tidak ada Yuna di sana.
“Yuna ...!” panggilnya lirih. Ia bergegas turun dari
kamar dan mencari Yuna di meja makan dan ruang tamu. Ia mulai khawatir dengan
keberadaan Yuna. “Pergi ke mana sih?” gumamnya sambil melangkah ke dapur.
“YUNA!” teriak Yeriko saat melihat tubuh Yuna tergeletak di lantai dapur. Ia
langsung mengangkat kepala Yuna. “Yun ...!” panggilnya lirih sambil menepuk
pipi Yuna perlahan. “Bangun!” pintanya.
Yuna bergeming. Tubuhnya lemas dan suhu badannya sangat
tinggi.
“Bibi ...!” teriak Yeriko sambil mengangkat tubuh Yuna.
Hari masih gelap, Bibi War baru saja terbangun karena
tidak bisa tidur semalaman. Ia terkejut mendengar teriakan Yeriko dan bergegas
keluar dari kamarnya.
“Ada apa, Mas?” tanya Bibi War saat melihat Yeriko
menggendong Yuna.
“Dia pingsan di dapur. Bibi, tolong panggilkan dokter
secepatnya!” pinta Yeriko sambil menggendong Yuna dan membawanya naik ke kamar.
“Iya, Mas.” Bibi War langsung menelepon dokter agar bisa
memeriksa Yuna secepatnya.
Usai menelepon dokter, Bibi War ikut naik ke atas untuk
memastikan keadaan Yuna. Ia juga membawa handuk kecil dan air hangat.
“Dia nggak mau makan dan nggak tidur semalaman,” tutur
Bibi War sambil meletakkan handuk hangat ke dahi Yuna.
Yeriko tertunduk lesu. Ia merasa sangat bersalah karena
sudah mengabaikan Yuna dan membuat istrinya jatuh sakit. Ia memijat dahinya
yang berdenyut dan berusaha menahan rasa perih di matanya sambil menatap
Yuna yang terbaring lemah dan tak sadarkan diri.
“Aku sudah salah,” ucapnya lirih. “Maafin aku!” ucap
Yeriko dengan mata berkaca-kaca.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Selamat menjalankan ibadah puasa!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment