Yuna
menunggu taksi di depan kantor pusat Wijaya Group. Ia harus kembali ke
kantornya lagi. Ia tertegun saat melihat mobil sedan warna hitam berhenti di
hadapannya.
“Hai
...!” sapa pemilik mobil sembari membuka kaca mobilnya.
“Andre?”
sahut Yuna dengan wajah sumringah.
Andre
tersenyum manis ke arah Yuna. “Mau ke mana?” tanyanya.
“Mau
balik ke kantor.”
“Nunggu
taksi?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Ayo,
aku antar!” pinta Andre sambil membukakan pintu dari dalam.
“Mmh
... nggak usah, Ndre! Aku nunggu taksi aja.”
“Nggak
usah sungkan kayak gitu. Kita kan teman.”
“Beneran?
Nggak ngerepotin?”
Andre
menggelengkan kepala.
Yuna
tersenyum dan masuk ke dalam mobil Andre. “Kamu nggak banyak kerjaan?” tanya
Yuna sembari memasang safety belt.
“Ini
jam istirahat. Aku mau cari makan sekalian,” jawab Andre sambil menyalakan
mesin mobil dan menjalankan mobilnya perlahan.
“Oh.”
“Kamu
udah lama kerja di Wijaya Group?”
“Belum.
Baru sebulan dan masih magang.”
“Oh
... bukannya suami kamu pemilik GG? Kenapa nggak magang di sana?”
“Ikut
rekomendasi dari universitas.”
“Wah
... Wijaya Group boleh juga,” celetuk Andre.
“Boleh
juga?”
“Bisa
direkomendasikan sama kampus dari luar negeri. Kamu dari Melbourne kan?”
Yuna
menganggukkan kepala. “Kamu sendiri? Kantor kamu di mana?”
“Kantor
pusatku di Singapura.”
“Jadi,
ke sini cuma sementara aja?”
Andre
menganggukkan kepala. “Bisa sementara, bisa juga selamanya.”
“Kenapa
gitu?”
“Tergantung
sama sesuatu yang bisa bikin aku pergi atau menetap.”
Andre
menoleh ke arah Yuna sambil tersenyum manis. “Oh ya, kamu udah makan siang?”
Yuna
menggelengkan kepala.
“Kita
mampir makan dulu ya!”
Yuna
mengangguk. “Mau traktir nih?”
Andre
tertawa kecil. “Kamu sudah jadi nyonya besar dan masih suka makan gratisan?”
Yuna
nyengir ke arah Andre. “Aku udah lama nggak pernah ngerasain makan duitmu.
Lagian, kamu juga kan udah jadi bos besar.”
“Tahu
dari mana?”
“Kamu
pasti sudah jadi penerus perusahaan keluarga kamu kan? Perusahaan Internasional
itu?”
Andre
tersenyum menatap Yuna. “Aku ikut prihatin sama apa yang sudah terjadi sama
kamu sebelas tahun lalu. Apa kamu masuk ke Wijaya Group karena orang tua kamu?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Aku bukan penerus Wijaya Group. Walau dulu ayah adalah
CEO perusahaan itu. Sekarang, aku bukan siapa-siapa lagi di perusahaan itu.
Cuma karyawan biasa aja.”
“Gimana
kalau kamu pindah ke perusahaan aku?”
Yuna
tersenyum menatap Andre. “Makasih untuk tawarannya. Aku sudah nyaman dengan
posisiku sekarang. Lagian, aku masih magang dan masih harus banyak belajar.
Yeriko juga minta aku buat pindah ke perusahaan dia. Tapi aku masih mau
berusaha sendiri buat meningkatkan kemampuanku.”
Andre
menatap Yuna kagum. “Kamu tuh ya, dari dulu selalu aja kayak gini. Nggak mau
ngerepotin orang lain.”
Yuna
tersenyum ke arah Andre. “Bukannya aku udah sering ngerepotin dan ganggu kamu
terus?”
Andre
tergelak mendengar ucapan Yuna. “Masih ingat aja. Aku nggak pernah ngerasa kamu
itu merepotkan. Aku seneng bisa selalu ada di samping kamu.”
Yuna
tersenyum sambil menatap Andre. “Kamu masih nggak berubah ya ... setelah
bertahun-tahun nggak ketemu, kamu tetep Andre yang dulu.”
“Aku
nggak akan pernah berubah. Kayaknya, kamu yang banyak berubah.”
“Berubah
gimana?”
“Makin
cantik,” jawab Andre.
“Hahaha.
Iya lah, kalo makin ganteng kan aneh.”
“Iya.
Gantengnya buat aku aja!” pinta Andre.
Yuna
langsung menatap wajah Andre sambil menahan senyum. “Kamu bisa juga se-narsis
ini?”
Andre
tersenyum kecil sambil membelokkan setirnya masuk ke salah satu halaman
restoran mewah yang ada di pusat kota.
“Mau
makan apa?” tanya Andre.
Yuna
membuka menu yang sudah diberikan oleh pelayan. “Ndre ...!” panggilnya
berbisik.
“Apa?”
“Makanan
di sini mahal-mahal. Kamu beneran mau traktir aku?”
Andre
tertawa kecil sambil mengacak ujung kepala Yuna. “Kamu tuh masih aja kayak
dulu. Perhitungan!”
“Hehehe.
Bukan perhitungan, tapi hemat.” Yuna meringis ke arah Andre.
“Kamu
sudah jadi Nyonya Ye tapi masih aja mikirin buat hemat. Apa suami kamu nggak
pernah ngasih uang?”
Yuna
menggelengkan kepala.
Andre
langsung membelalakkan mata menatap Yuna. “Serius?”
Yuna
menganggukkan kepala. “Dia nggak pernah ngasih uang. Tapi ngasih aku kartu
kredit unlimited,” bisiknya.
“Hahaha.
Kamu udah bikin aku hampir jantungan. Aku pikir, dia pria yang cuma menindas
kamu.”
Yuna
tersenyum. “Dia suami yang baik.”
“Baguslah.
Kalau sampai dia nyakitin kamu, aku bakal ngerebut kamu dari dia!” tegas Andre.
“Hahaha.
Kamu bisa aja.”
Andre
tersenyum kecil menatap Yuna yang terlihat begitu bahagia. Ia merindukan
senyuman manis dari gadis kecil yang pernah mengisi hari-harinya. Sinar mata
Yuna, menghangatkan dan menenangkan jiwanya.
“Mbak,
aku pesen ini ... ini ... sama ini ya!” tutur Yuna sambil menunjuk gambar
makanan dan minuman yang ada di buku menu.
“Kamu
mau pesen apa?” tanya Yuna pada Andre yang masih terpaku menatap Yuna.
Andre
tersenyum. Ia menutup buku menu dan menyerahkan pada pelayan yang berdiri di
sampingnya. “Samain aja sama dia.”
Pelayan
tersebut mengangguk, lalu pergi untuk memproses pesanan Yuna dan Andre.
“Ndre,
kabar Oom sama Tante gimana?” tanya Yuna.
“Baik.”
“Masih
tinggal di rumah yang dulu?”
Andre
menggelengkan kepala. “Sekarang udah pindah tinggal ke Jakarta.”
“Oh.
Jadi, udah nggak pernah ke rumah kita yang dulu? Aku jadi kangen sama suasana
rumah kita yang dulu.”
“Kamu
yang sering ngambilin mainanku kan?” dengus Andre.
“Aku
pinjem.”
“Pinjem
tapi nggak ngomong. Aku sering banget nyari mainanku sampe nangis-nangis.”
“Siapa
suruh udah kelas lima SD masih cengeng aja,” sahut Yuna sambil menjulurkan
lidahnya.
Andre
langsung mengetuk dahi Yuna. “Cuma kamu yang paling tahu rahasiaku. Sekarang,
aku udah nggak cengeng lagi kan?”
“Serius?
Ditinggal pacar nggak nangis?”
Andre
menggelengkan kepala. “Aku nggak pernah pacaran.”
“Ah,
bohong!” sahut Yuna. “Kamu kan ganteng dan kaya. Nggak mungkin nggak pernah
pacaran.”
Andre
tersenyum menatap Yuna. “Kamu wanita pertama yang aku sukai sampai sekarang,”
ucapnya dalam hati.
Yuna
menoleh ke arah pelayan yang menghidangkan makanan ke atas meja mereka.
“Kamu
udah lama nikah?” tanya Andre sambil menyesap minuman yang ia pesan.
“Baru
sebulan.”
“Oh
ya? Berarti kalian masih pengantin baru?”
Yuna
menganggukkan kepala.
“Aku
telat dikit aja, kamu udah jadi milik orang lain,” gumam Andre lirih.
“Eh!?
Apa?” tanya Yuna yang tidak bisa mendengar ucapan Andre dengan jelas.
“Nggak
papa. Makanlah!” pinta Andre.
Yuna
tersenyum dan langsung melahap makanan yang ada di depannya.
Andre
terus melirik ke arah Yuna sambil mencicipi makanan sedikit demi sedikit. Ia
lebih tertarik melihat Yuna yang makan dengan lahap daripada menikmati
makanannya sendiri.
“Bellina
apa kabar?” tanya Andre.
“Baik,”
jawab Yuna dengan mulut penuh makanan.
“Dia
masih kayak gitu?” tanya Andre.
“Kayak
gitu gimana?”
“Masih
suka menindas kamu.”
“Uhuk
... uhuk ...!” Yuna langsung tersedak mendengar pertanyaan Andre.
“Kalau
makan pelan-pelan!” Andre menepuk-nepuk punggung Yuna. Ia langsung menyodorkan
segelas air putih ke arah Yuna.
Di
saat yang sama, Yeriko juga sedang makan siang bersama Cantika, kliennya yang
sangat cantik dan memiliki tubuh yang ideal. Mereka duduk di meja ketiga dari
Yuna dan Andre.
Yeriko
tertegun saat melihat Yuna sedang makan siang bersama Andre.
“Kenapa?”
tanya Cantika saat melihat Yeriko tak berkedip menatap Yuna. Ia ikut menoleh ke
arah Yuna yang terlihat sangat mesra bersama Andre.
“Pak
Ye kenal sama dia?” tanya Cantika.
Yeriko
tak menyahut. Ia bangkit dari tempat duduk dan menghampiri Yuna dari belakang
dan menyentuh kepala Yuna.
Yuna
langsung memutar kepalanya saat ia merasakan sentuhan di kepalanya. Ia
membelalakkan matanya saat melihat Yeriko sudah berdiri di belakangnya.
Yeriko
tidak menunjukkan ekspresi wajah yang ramah. Matanya diselimuti kebencian saat
melihat Yuna bisa begitu bahagia menikmati makan siang dengan pria lain.
“Pak
Ye? Makan di sini juga?” tanya Andre. “Ayo gabung sekalian!” ajaknya dengan
ramah.
Yeriko
menatap tajam ke arah Andre. Ia mengangkat dagu dan menunjukkan kesombongannya.
“Aku lagi makan sama klien. Kalian berdua bersenang-senanglah!” sahutnya ketus.
Ia langsung membalikkan tubuhnya.
“Yer
...!” panggil Yuna sambil menahan lengan Yeriko.
Yeriko
langsung melepas tangan Yuna perlahan. “Aku masih banyak urusan. Jangan ganggu
aku!” Yeriko tak menoleh ke arah Yuna dan langsung melangkah kembali ke meja
makannya.
Yuna
menggigit bibirnya. Ia tertunduk lesu dan merasa sangat bersalah karena
kehadiran Andre dalam hidupnya telah membuat Yeriko cemburu.
Andre
menatap pilu ke arah Yuna. Melihat kesedihan yang tergambar dari wajah Yuna,
hatinya merasa begitu sakit. Ia tak punya hak mencampuri urusan rumah tangga
Yuna. Tapi ketika melihat Yuna sedih, ia merasa sangat sedih dan ingin
mengembalikan senyuman indah yang terukir di bibir Yuna.
0 komentar:
Post a Comment