Yuna duduk berpangku tangan sambil memainkan pena yang ada di tangannya. Ia teringat pada Andre Achmad, teman masa kecilnya. Ia terus tersenyum mengingat masa-masa kecil yang lucu saat bersama Andre.
Yuna
merasa pekerjaannya sedikit santai karena Bellina belum masuk kerja dan tidak
ada satu orang pun yang berani mengusiknya.
“Yun,
dipanggil sama asistennya Pak Lian!” seru Bagus yang baru saja masuk ke dalam
ruangan.
“Eh!?
Ada apaan?” tanya Yuna.
“Nggak
tahu. Katanya, kamu suruh nunggu dia di depan ruang meeting.”
“Dia
lagi di dalam ruang meeting? Kok, bisa ketemu sama kamu? Aneh!” celetuk Yuna.
“Office
Girl yang sampaikan ke aku. Kamu nggak percaya sama aku?”
“Awas
kalau sampe ngerjain ya!” dengus Yuna.
“Astaga!
Nggak percaya banget, sih!? Buruan ke sana. Ntar dia marah!” pinta Bagus. “Ntar
dikira aku yang nggak nyampaikan.”
Yuna
memonyongkan bibirnya dan bergegas keluar dari ruang kerjanya. Ia menunggu di
depan pintu ruang meeting.
Beberapa
menit kemudian, pintu ruang meeting terbuka. Beberapa orang keluar dari ruang
meeting satu persatu. Seorang asisten cantik berambut pendek menghampiri Yuna.
“Fristi
Ayuna?” tanya asisten cantik tersebut.
Yuna
menganggukkan kepala.
“Ikut
saya!” pinta asisten itu sambil melangkah keluar.
“Kita
mau ke mana?” tanya Yuna saat mereka sudah ada di depan kantor dan bersiap
menaiki mobil.
“Ke
kantor pusat,” jawab asisten tersebut.
“Oh.”
Yuna tak banyak bertanya lagi dan langsung mengikuti asisten tersebut. Ia masuk
ke dalam mobil dan meluncur menuju kantor pusat.
Sesampainya
di kantor pusat, Yuna langsung dibawa ke ruangan CEO Wijaya Group.
“Ada
apa?” tanya Yuna tanpa basa-basi begitu mendapati sosok Lian sedang berdiri
sambil menatap ke luar jendela.
Lian
langsung berbalik dan tersenyum ke arah Yuna. “Akhirnya ... kamu datang juga.
Duduk!” pinta Lian.
“Nggak
usah basa-basi! Kamu mau apa minta aku datang ke sini?” tanya Yuna.
Lian
tersenyum kecil dan melangkah perlahan menghampiri Yuna. “Nggak nyangka kalau
sekarang kamu sudah banyak berubah. Aku sudah tanya ke Departemen Personalia.
Perkembangan kamu di perusahaan sangat baik. Aku mau narik kamu pindah ke
sini.”
“Kenapa?”
“Apa
yang aku omongin masih kurang jelas?”
“Aku
nggak mau pindah,” sahut Yuna.
“Kenapa?”
tanya Lian.
“Masih
ada banyak hal yang harus aku pelajari di sana dan aku juga udah nyaman.”
Lian
tersenyum dan terus mendekatkan tubuhnya ke tubuh Yuna. “Kamu sekarang sudah
dewasa. Bukan gadis kecil seperti yang dulu lagi,” ucap Lian sambil menatap
lekat mata Yuna.
Yuna
menghela napas mendengar ucapan Lian. “Kalo udah nggak ada lagi yang mau
dibicarakan, aku pulang sekarang.”
Lian
tersenyum kecil menatap Yuna. “Kamu sudah jauh berbeda semenjak jadi Nyonya
Yeriko. Kamu sudah menjadi dewasa secepat ini. Aku ... merindukan saat-saat
kita bersama seperti dulu.”
“Aku
nggak ada waktu buat bahas urusan kita,” sahut Yuna ketus.
Lian
tersenyum kecil. “Kalau gitu, kamu harus mau pindah ke sini.”
“Kamu
jangan gunakan kekuasaan kamu buat ngelakuin hal semena-mena sama aku!” tegas
Yuna.
“Kenapa?
Kamu karyawan aku dan aku punya hak untuk menarik kamu ke sini. Aku masih bos
kamu.”
Yuna
terdiam mendengar ucapan Lian. Yang diucapkan Lian memang benar, tidak
seharusnya ia bersikap sesukanya pada atasannya sendiri.
“Gimana?”
tanya Lian. “Kamu pilih dimutasi atau berhenti kerja?”
Yuna
menghela napas. “Terserah kamu! Aku masih dalam masa magang dan seharusnya kamu
bisa ngasih aku kesempatan buat tetep kerja di kantor itu. Setidaknya sampai
aku selesai magang.”
“Yun,
aku kayak gini karena pengen bisa lihat kamu setiap hari.”
“Lian,
kamu tahu aku sudah nikah. Bellina juga sudah mengandung anak kamu. Apa kamu
bener-bener nggak punya perasaan?” tanya Yuna.
“Aku
masih punya perasaan. Itulah sebabnya aku minta kamu buat ke sini,” sahut Lian
sambil menyentuh pipi Yuna.
Yuna
langsung menepis tangan Lian. “Kamu jangan lancang sama aku!” sentak Yuna.
Lian
tersenyum kecil. “Kenapa? Bukannya kita berpisah tanpa ada kata putus? Artinya,
kita masih ada hubungan dan aku masih punya hak buat kangen sama kamu.”
“Jangan
sembarangan kalo ngomong!” sentak Yuna. “Aku bukan wanita murahan kayak
Bellina.”
Lian
tersenyum menatap Yuna. “Aku tahu. Sejak kita berpisah, aku baru menyadari
kalau kamu jauh lebih berharga dari apa pun.”
“Li,
sebaiknya kamu pikirin masa depan anak kamu dan calon istri kamu aja. Kamu
nggak perlu sibuk mengganggu kehidupan aku lagi!”
“Aku
nggak ganggu. Aku cuma ... kangen sama kamu.”
“Li,
kamu itu CEO di perusahaan. Harusnya kamu bisa bersikap lebih bermartabat. Kamu
pikir, wanita itu bisa kamu permainkan sesukamu? Kemarin, kamu buang aku gitu
aja karena Bellina. Sekarang, kamu tiba-tiba datang lagi. Mau kamu apa sih,
Li?”
“Aku
mau kamu ...”
“Lian!”
sentak Yuna. “Kamu bener-bener nggak tahu diri ya? Jelas-jelas aku udah jadi
istri orang lain. Kamu masih punya nyali ganggu istri orang?”
“Aku
nggak peduli!” sahut Lian. “Asalkan kamu masih cinta sama aku, aku nggak akan
menyerah gitu aja.”
“Aku
udah nggak cinta lagi sama kamu,” tutur Yuna. “Setelah apa yang kamu lakuin ke
aku selama ini. Apa kamu pikir, aku nggak punya hati? Kamu udah mengkhianati
aku selama tujuh tahun. Yang lebih parahnya lagi, dia itu sepupu aku.” Mata
Yuna berkaca-kaca sembari menatap Lian.
“Yun,
itu karena dia yang selalu godain aku dari awal. Awalnya, aku selalu nolak.
Tapi lama-lama, dia terus menjebak aku dan aku nggak bisa menahan diri.”
“Aku
nggak mau tahu. Nggak setia, selingkuh tetep aja selingkuh!” sahut Yuna. “Nggak
usah membela diri! Kamu udah nyakitin aku terlalu dalam. Saat itu juga,
perasaanku sudah mati kamu bunuh.”
“Yun,
maafin aku! Aku tahu, aku salah.” Lian langsung memeluk tubuh Yuna. “Please,
balik ke aku! Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi.”
Yuna
berusaha melepaskan diri dari pelukan Lian dan mendorong tubuh cowok itu. “Kamu
gila ya! Kamu pikir aku ini cewek apaan? Bisa kamu mainin sesuka kamu?”
“Yun,
aku tahu kamu juga masih cinta sama aku,” tutur Lian sambil menjatuhkan
lututnya ke lantai. “Aku mohon, kembalilah sama aku! Aku bakal ngelakuin apa
aja buat kamu asal bisa nebus kesalahanku dan bikin kita balikan.”
“Bener-bener
nggak berperasaan. Aku ini sudah menikah, kamu nggak perlu seperti ini. Karena
aku nggak akan pernah kembali sama kamu lagi!” tegas Yuna.
“Yun,
kamu masih bisa bercerai sama Yeriko dan kembali sama aku. Aku juga bakal
ceraikan Bellina tiga tahun lagi setelah anak kami lahir.”
“Gila
kamu ya! Aku baru tahu kamu bisa impulsif dan posesif kayak gini. Sekalipun
kamu sudah mencampakkan aku. Aku nggak akan ngebiarin kamu mencampakkan Bellina
juga. Seburuk apa pun dia, dia tetap sepupu aku.”
“Aku
emang udah gila. Aku nggak pernah bisa ngelupain kamu selama ini. Semakin kamu
jauh, perasaanku makin tersiksa.”
“Semakin
kamu kayak gini, aku semakin benci sama kamu!” sahut Yuna.
“Yun
... apa aku bener-bener udah nggak punya tempat lagi di hati kamu?”
Yuna
menggelengkan kepala. “Aku harap kamu bisa ngerti. Aku sudah menjadi istri
orang lain dan aku sangat mencintai suamiku.”
“Tapi
... “
“Lebih
baik kamu fokus dengan hubunganmu dan Bellina. Jangan ganggu hubungan kami.
Kami sudah sangat bahagia.”
“Aku
tahu, kamu baru mengenal Yeriko. Apa kamu bener-bener cinta sama dia? Kamu
kayak gini cuma mau bikin aku cemburu kan?” tanya Lian sambil menatap Yuna yang
berdiri di hadapannya.
“Ya,”
jawab Yuna tanpa menatap Lian. “Sekaligus buat nunjukin kalau aku bisa dapet
cowok yang lebih baik dan lebih mencintai aku. Setidaknya, dia bukan pria yang
suka mempermainkan wanita,” lanjutnya.
Lian
menatap Yuna penuh kepedihan. Ia tidak bisa membalikkan waktu. Apa yang telah
ia lakukan di masa lalu, sudah membuat hidup Yuna begitu menderita. Tapi, ia
juga tidak bisa melepaskan Yuna begitu saja. Belakangan ini ia baru menyadari
kalau Bellina tidak jauh lebih baik dari Yuna.
Yuna
tersenyum sinis. Ia berbalik dan bergegas keluar dari kantor tanpa menghiraukan
Lian yang masih berlutut di lantai. Yuna melangkah pasti sambil tersenyum
bahagia.
0 komentar:
Post a Comment