“Yun, kakek sama mama minta kita ngerayain tahun baru di
rumah mereka.”
“Oh ya? Syukurlah. Lagian, aku juga nggak punya keluarga
lain buat ngerayain tahun baru.”
“Kalo gitu, siap-siap sekarang!” pinta Yeriko.
“Hah!? Sekarang juga!?”
Yeriko menganggukkan kepala.
“Kenapa selalu mendadak sih!?”
“Kenapa? Kamu nggak suka sama keluargaku?”
“Bukan. Bukan begitu.”
“Terus?”
“Mmh ... gimana kalau kita ke sananya besok aja?” tanya
Yuna. “Hari ini, kita cari kado tahun baru untuk mama dan kakek kamu. Gimana?”
“Kelamaan. Hari ini aja kita cari hadiah untuk mereka dan
langsung berangkat ke rumah kakek.”
“Oh. Oke. Aku siap-siap dulu.”
Yuna bersiap. Mereka bergegas berangkat menuju salah satu
pusat perbelanjaan sebelum akhirnya pergi ke rumah keluarga Yeriko.
Rullyta sangat senang dengan kehadiran Yuna di dalam
rumahnya. Hadiah kecil dari Yuna, ia terima dengan senang hati.
“Kalian menginap di sini kan?” tanya Rullyta.
Yeriko menganggukkan kepala. Ia segera membawa Yuna naik
ke kamarnya.
Yuna mengedarkan pandangannya melihat kamar Yeriko yang
terlihat sangat luas dan mewah. Lebih mewah dari villa yang mereka tinggali.
“Mandi dan istirahatlah dulu!” pinta Yeriko. “Aku mau
turun, nemenin kakek ngobrol.”
Yuna menganggukkan kepala. Ia bergegas mandi dan langsung
turun untuk menemui kakek dan mama mertuanya.
“Sini!” panggil Rullyta saat Yuna ikut bergabung bersama
bersamanya.
Yuna tersenyum. Mereka berbincang banyak hal hingga larut
malam.
Keesokan harinya, Yuna diajak berkeliling rumah Yeriko
untuk beradaptasi dengan rumah keluarganya.
“Beruang, ini rumah atau mall?” tanya Yuna. Ia baru saja
berkeliling ruangan di lantai bawah dan menghabiskan waktu seharian. Masih ada
dua lantai lagi yang belum ia lihat.
Yeriko tersenyum menanggapi pertanyaan Yuna. “Kamu suka
nggak rumah seperti ini?”
“Suka,” jawab Yuna sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Nanti aku bikinin. Mau berapa lantai?”
Yuna mengerutkan keningnya. “Satu aja.”
Yeriko tertawa kecil. “Villa yang kita tempati aja ada
dua lantai. Kamu yakin mau tinggal di rumah satu lantai?”
Yuna menganggukkan kepala. “Bukannya nggak harus repot
kalau rumah cuma satu lantai?”
Yeriko menggelengkan kepala. “Kita harus nyiapin kamar
buat anak-anak kita. Rumah satu lantai terlalu sempit.”
Yuna tertawa kecil. “Emangnya mau punya anak berapa? Satu
aja kan cukup. Rumah yang kita tempati sekarang aja, ada dua kamar kosong di
lantai bawah yang nggak dipakai. Bisa dipakai untuk anak-anak kita nanti.”
Yeriko menggelengkan kepala. “Nggak bisa. Kamar itu
terlalu sempit, Yun.”
“Nggak usah terlalu luas. Biar suasana rumah lebih hangat
kalau saling berdekatan,” tutur Yuna.
Yeriko menghela napas. “Kamu ini ...!?” Ia kesal dengan
Yuna yang terlalu berpikir sederhana. “Aku bukan orang sembarangan. Nggak
mungkin kakek membiarkan kita tinggal di rumah yang sempit.”
Yuna tertawa kecil. Ia langsung bergelayut manja di tubuh
Yeriko. “Aku cuma bercanda. Kamu boleh bikinkan rumah seperti apa pun buat
keluarga kecil kita. Mau rumah sepuluh lantai juga nggak papa,” tutur Yuna
sambil memainkan hidungnya di hidung Yeriko yang bangir.
Yeriko langsung memeluk tubuh Yuna. Entah kenapa, setiap
perdebatan dan perselisihan di antara mereka, membuat Yeriko semakin menyayangi
Yuna sebagai istrinya.
“Permisi, Tuan ...!” sapa salah satu pelayan yang ada di
rumah Yeriko.
“Iya. Kenapa?”
“Sudah ditunggu sama Ibu dan Tuan Besar di halaman
belakang.”
“Oh. Oke.” Yeriko menganggukkan kepala dan menyuruh
pelayan tersebut untuk pergi.
Yuna dan Yeriko melangkah perlahan ke halaman belakang.
Di sana, mamanya telah mempersiapkan banyak hal untuk merayakan tahun baru
bersama. Ia merasa sangat senang dengan keluarga Yeriko yang penuh kehangatan.
Ia tidak pernah berpikir bisa semudah itu diterima dalam keluarga Yeriko.
Usai merayakan tahun baru, Yuna dan Yeriko kembali ke
rumah dan menjalani aktivitas seperti biasa. Yuna ingin pergi bekerja, namun
Yeriko memintanya untuk pergi ke kantornya terlebih dahulu.
“Ngapain ke kantormu?” tanya Yuna saat Yeriko
mengungkapkan permintaannya.
“Nggak usah banyak tanya! Nanti juga bakalan tahu,” jawab
Yeriko. “Aku masih ada meeting sampai jam sepuluh pagi. Kamu datang ke kantorku
jam sepuluh ya!” pinta Yeriko.
Yuna menganggukkan kepala. “Jadi, aku nggak usah pergi ke
kantorku?”
Yeriko menganggukkan kepala. “Kamu istirahat dulu di
rumah!” Ia langsung mengecup kening Yuna dan bergegas pergi ke kantornya.
Yuna tersenyum. Ia ikut mengantarkan Yeriko sampai ke
halaman rumah. Ia merasa sangat senang dan beruntung memiliki suami yang tampan
dan penuh perhatian kepadanya.
Tepat jam sepuluh pagi, Yuna pergi ke kantor GG
menggunakan taksi. Ia langsung masuk ke dalam kantor.
Semua orang menatap kedatangan Yuna dan bertanya-tanya
tentang siapa Yuna sebenarnya. Melihat penampilan Yuna, pastilah bukan orang sembarangan.
Pakaian dan tas Yuna adalah barang bermerek dengan harga yang fantastis.
“Ruangan Yeriko di mana?” tanya Yuna pada resepsionis
saat ia baru sampai di lobi.
“Di lantai paling atas, Bu.”
“Oke.” Yuna langsung melangkahkan kakinya menuju lift.
Saat itu, ia berpapasan dengan Andre.
“Ayuna!?” sapa Andre begitu melihat Yuna.
Yuna mengerutkan keningnya menatap cowok itu. “Astaga!
Kamu Andre?”
Andre menganggukkan kepala.
“Apa kabar?” tanya Yuna dengan wajah sumringah. “Udah
lama banget kita nggak ketemu.”
“Iya. Udah lebih sepuluh tahun kita nggak pernah ketemu
lagi. Kamu ... sekarang udah berubah jadi bidadari kayak gini,” puji Andre
sambil memerhatikan tubuh Yuna.
“Ah, kamu bisa aja,” sahut Yuna sambil menepuk bahu
Andre.
“Suer!” ucap Andre sambil mengacungkan dua jarinya.
Yuna tersenyum kecil. “Kamu juga banyak berubah. Udah
kelihatan dewasa dan ganteng gini. Kamu, udah lama kerja di sini?”
“Nggak. Aku ke sini karena ada urusan
sedikit. Kamu
kerja di sini?” tanya Andre.
Yuna menggelengkan kepala. “Aku kerja di salah satu anak
perusahaan Wijaya Group.”
“Oh, aku pikir kamu kerja di sini. Kamu tinggal di mana?”
tanya Andre.
Yuna tertawa kecil. “Mmh ... ada deh!”
“Astaga! Tempat tinggal aja dirahasiain.”
Yuna tersenyum kecil.
“Eh, gimana kalau aku traktir kamu makan siang ini?
Sambil ngobrol-ngobrol.”
“Traktir apa?” tanya Yuna.
“Lobster. Gimana?”
“Hah!? Serius?”
Andre menganggukkan kepala. “Gimana?”
“Boleh-boleh. Tapi ... nggak siang ini ya!”
“Kenapa?”
“Aku ada banyak urusan, Ndre.”
“Hmm ... ya udah, deh. Aku bisa minta nomer telepon atau
WA kamu?”
“Bisa,” jawab Yuna.
“Berapa?” tanya Andre sambil mengeluarkan ponsel dari
saku celananya.
Yuna langsung menyebutkan nomor telepon miliknya.
“Eh, kabar ayah kamu gimana?” tanya Andre kemudian.
Yuna menghela napas. “Masih seperti itu sejak sebelas
tahun lalu,” jawab Yuna lirih.
Andre meraih tangan Yuna. “Yang sabar ya! Kamu pasti bisa
melewati semuanya dengan mudah dan ayah kamu bisa kembali seperti dulu lagi.”
Yuna menganggukkan kepala. “Ngelihat dia terbaring selama
sebelas tahun, rasanya memang nggak mudah, Ndre.”
Andre tersenyum menatap Yuna. “Sudahlah. Maaf, aku sudah
menanyakan sesuatu yang udah bikin kamu sedih. Oh ya, dia dirawat di rumah
sakit mana? Siapa tahu, aku bisa mengunjungi beliau.
“Di Siloam.”
“Ya sudah. Jangan murung! Jadi jelek, loh.”
Yuna tersenyum sambil menatap Andre.
“Kamu ke sini ada perlu apa?” tanya Andre.
“Mau ketemu sama Yeriko.”
“Pak Ye?” tanya Andre.
Yuna menganggukkan kepala. Ia melangkah mendekati lift
dan memencet tombol lift.
“Kamu ada perlu apa sama Pak Ye?” tanya Andre sambil
menunggu pintu lift terbuka.
Yuna hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Andre. Ia
tidak berani mengungkapkan identitasnya sebagai istri Yeriko. Ia merasa tidak
percaya diri untuk melakukannya.
“Yun ...!” panggil Andre sambil meraih lengan Yuna.
“Ya. Kenapa?”
“Aku seneng banget bisa ketemu sama kamu lagi hari ini.”
Yuna mengangguk. “Aku juga seneng. Kamu nggak perlu
secanggung ini!” pinta Yuna.
Andre tersenyum ke arah Yuna. “Aku terlalu bahagia karena
akhirnya bisa ketemu sama teman masa kecilku. Aku jadi kangen waktu kita masih
sering main bareng.”
Yuna tersenyum. Ia langsung menoleh ke arah pintu lift
yang terbuka. Yuna membelalakkan matanya dan langsung menepis tangan Andre.
“Kenapa?” tanya Andre. Ia juga melihat sosok Yeriko yang
baru saja keluar dari lift dan menyapanya dengan sopan.
Jantung Yuna berdebar sangat kencang melihat ekspresi
wajah Yeriko. “Bodoh!” maki Yuna dalam hati. Ia merasa sangat bersalah karena
membiarkan Andre memegang tangannya.
Yuna tidak bisa berkata-kata, hanya menunggu luapan
amarah yang akan keluar dari suaminya itu. Ia bersedia menerima hukuman apa pun
karena telah membuat suaminya marah.
Makasih yang udah baca
“Perfect Hero” yang bakal bikin kamu baper bertubi-tubi. Jangan malu buat sapa
aku di kolom komentar ya! Kasih kripik ... eh, kritik dan saran juga ya!
Much Love
@vellanine.tjahjadi
0 komentar:
Post a Comment